"Akan kujadikan bukti, Shania tidak bisa mengelak lagi," batin Bagas, tersenyum lebar.
"Hei, ngapain senyum-senyum sendiri? Dari tadi elo diem aja, sih? Padahal elo tadi yang paling semangat ngajakin kita ke sini?" cecar Rendi temannya Bagas, sambil menepuk bahunya
"Ya ampun! Elo ngagetin gue aja! Ya, gue lagi nyimak kalian ngomong aja, masa semuanya ngomong? Siapa yang dengerinnya nanti? Hahaha," jawab Bagas, tertawa lepas.
Semua orang yang ada di ruangan itu spontan melihat ke arah Bagas, termasuk Shania yang sedari tadi tidak menyadari kehadiran Bagas, karena lelaki itu memilih berdiri di belakang teman-temannya.
"Hai, Shania, gimana keadaan kamu? Kapan sekolah lagi? Jangan lama-lama sakitnya, ya. Di kelas gak seru kalo gak ada kamu." Bagas memberondong Shania dengan pertanyaan, sambil tersenyum manis.
"Iya, doakan saja aku cepet sembuh, ya," jawab Shania, lembut.
"Aamiin," ucap semua yang ada di kamar Shania.
"Yuk, teman-teman, kita pulang, biar Shania istirahat," kata Astrid." Cepet sembuh ya, Shania!" tambahnya.
Satu per satu dari mereka menyalami Shania untuk pamit dan keluar dari kamarnya, yang terakhir adalah Bagas.
"Shan, cepet sembuh, ya, aku kangen sama kamu," bisik Bagas menyalami Shania, mereka saling bertatapan.
"Iya, terima kasih, Bagas," jawab Shania, setengah berbisik.
* * *
Malam ini adalah malam yang indah untuk Bagas, pasalnya ia mendapat lampu hijau atas harapannya pada Shania. Ia membuka ponselnya dan melihat tulisan yang sempat ia foto pada lembaran buku diary milik Shania. Bagas membacanya sambil tersenyum.
Dear Bagas,
Seandainya kamu tahu, aku juga menyukaimu sejak kita berada dalam satu kelas.
Seandainya aku bisa, aku ingin mengungkapkan perasaan ini padamu.
Seandainya kamu bukan milik siapa-siapa, aku ingin menjadi milikmu.
Seandainya Tuhan mengizinkan, aku akan menunggu saat itu tiba.
Aku dan kamu bahagia bersama.
Shania Artamevia.
Tiba-tiba Melati datang, nampaknya pintu kamar Bagas tidak ditutup. Sehingga ia masuk tanpa diketahui oleh kakak sepupunya itu, dan sempat membaca tulisan dalam foto tersebut.
"Ciyeeeee, pucuk dicinta ulam pun tiba," kata Melati, mengagetkan Bagas yang berada di depannya, sambil tertawa.
"Kamu, kok ada di sini?! Kapan masuknya?" tanya Bagas kesal.
"Yee, salah sendiri pintunya gak ditutup," jawab Melati, memajukan bibirnya.
"Eh, Kak, dapat dari mana itu foto?" tanya Melati, penasaran.
"Iih, kepo! Udah sana masuk kamar, waktunya bobo cantik, adikku sayaang," ucap Bagas, sambil mencubit hidung Melati.
"Gak mau, jawab dulu dong, Kak," pinta Melati, manja.
"Gak, bukan urusan kamu," jawab Bagas sambil berlalu ke arah balkon kamarnya.
"Kalo gitu, aku bilang kak Silmi, ya. Dadah kakak, aku mau bobo cantik dulu, ya," ucap Melati. Ia pergi meninggalkan Bagas, lalu dikejar oleh Bagas.
"Eh, Mel jangan dong, Mel," teriak Bagas mengejar Melati ke kamarnya.
"Habis, Kakak gak mau cerita, hahaha," kata Melati, tertawa.
"Oke, Kakak cerita, tapi jangan bilang siapa-siapa termasuk Silmi, please." lirih Bagas memohon.
"Oke, swear!" kata Melati, sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, menunjukkan ia bersumpah.
"Jadi, tadi tuh kakak jenguk Shania di rumahnya, terus gak sengaja nyenggol buku diary punya Shania. Kakak ambil dan kebuka, pas banget halaman itu, terus Kakak baca. Buat bukti biar Shania gak ngelak, ya, kakak foto dong tulisan itu. Gimana? Cerdas, 'kan?" terang Bagas panjang lebar.
"Hahaha, pinter, kakaknya siapa dulu, dong!" ucap Melati, mereka tertawa bersama.
* * *
[Hari ini ada rapat OSIS pulang Sekolah, kita akan membicarakan tentang acara Dies Natalis] Bagas mengirim pesan ke grup W******p anggota OSIS, ketika jam istirahat.
Beda dengan biasanya, kali ini Bagas terlihat lebih cuek pada Shania, selain kesibukannya yang akan mengadakan kegiatan besar di sekolahnya, ia ingin menguji Shania, sampai di mana Shania bisa menyembunyikan perasaan padanya.
"Tumben, muka lo ditekuk, biasanya lo ceria," tanya Rendi, di kantin Sekolah.
"Gak apa-apa, biasa aja," Bagas melengos kasar.
"Eh, elo mau ke mana? Tunggu!" teriak Rendi, menyusul Bagas.
"Napa sih lo? PMS, ya? Hahaha," tanya Rendi, menggoda Bagas.
"Bagas, aku boleh pinjam HP kamu? HP-ku lowbat, aku mau ngabarin mama kalo aku pulang telat, kan mau rapat OSIS," ucap Silmi, tiba-tiba datang ke ruang OSIS.
Spontan Bagas memberikan HP-nya ke tangan Silmi, tanpa menyadari dalam galery HP-nya menyimpan rahasia besar tentang Shania.
Benar saja, Silmi meminjam HP milik Bagas bukan hanya untuk mengabari mamanya, tapi memeriksa semua percakapan yang ada di daftar chat aplikasi W******p. Tak menemukan hal yang mencurigakan di sana, kemudian ia membuka menu galery di HP milik kekasihnya, yang kurang lebih sudah enam bulan berjalan.
Silmi terkejut melihat foto tulisan tangan Shania, lalu ia membacanya, matanya sedikit melebar terkejut dengan apa yang dilihatnya.
"What? dari mana, Bagas punya foto tulisan Shania?" batin Silmi, terduduk lemas.
Bagas baru menyadari kesalahannya meminjamkan ponsel kepada Silmi, bersamaan dengan ia menyadari ponselnya terlalu lama dipinjam Silmi.
"Sil, Hp-ku mana? Kok lama?" kata Bagas, mendatangi Silmi yang sedang duduk di ruang OSIS, tapi jauh dengan kursi tempat Bagas duduk tadi.
"Ini apa Bagas? Dari mana kamu dapat foto ini? Jadi benar selama ini kalian saling mencintai? Gimana dengan aku?" Silmi memberondong sang kekasih dengan pertanyaan.
Bagas terdiam, ia tak dapat menjelaskan apa-apa, karena percuma, Silmi sudah tidak akan percaya lagi padanya.
"Kenapa diam, Bagas?" tanya Silmi terisak.
"Apa kamu masih akan percaya, kalo aku jelasin?" tanya Bagas, setengah berbisik. Bagaimana pun Bagas tidak ingin menyakiti Silmi, hingga ia sanggup menyimpan rahasianya seorang diri.
"Jika benar kalian saling mencintai, aku akan beri kesempatan kalian untuk bersatu. Baiklah, mulai sekarang kita putus," Silmi berlari keluar dari ruang OSIS.
"Tunggu, Sil, aku belum jelasin," kata Bagas, mengejar Silmi dan menggenggam tangannya.
"Apalagi Bagas?" bisik Silmi, berurai airmata.
"Please, jangan kayak gini, Sil, aku gak mau menyakiti kamu, aku juga gak mau mutusin hubungan kita," jawab Bagas, memelas.
"Tapi ...." Silmi mengusap air matanya. "Nyatanya, kamu sudah menyakitiku, Bagas," kata Silmi, melanjutkan.
"Maaf, kenapa kamu buka galery di-HP aku?" tanya Bagas, masih memegang tangan Silmi.
"Kalo aku gak buka galery HP kamu, aku gak bakal tau semuanya," bentak Silmi, sambil menarik tangannya dari genggaman Bagas.
"Oke, jadi aku yang salah?" tanya Bagas, masih dengan kesabarannya.
"Aku gak tau, pokonya kita putus!" bentak Silmi, berlari meninggalkan Bagas.
"Silmi," teriak Bagas, memanggil Silmi. Namun, tak berhasil membuat Silmi kembali.
Bagas frustasi dan mengacak-ngacak rambutnya, yang rapi. Dan berteriak, "aaaarrrggg."
"Sabar Bro, gue tau perasaan elo, btw foto apaan sih yang Silmi liat dari HP lo?" tanya Rendi, yang sejak tadi menonton adegan pertengkaran sepasang kekasih.
"Nih." Bagas memberikan HP-nya pada Rendi.
"Dapet dari mana ini, Bro?" tanya Rendi, penasaran.
"Waktu kita ke rumahnya Shania," jawab Bagas, singkat.
"Terus sebenernya, perasaan elo sama Shania tuh gimana? Ngapain elo foto tulisan Shania? Jangan bilang elo naksir Shania juga?" Rendi memberondongkan pertanyaan.
"Elo udah tau jawaban gue," jawab Bagas, lesu.
"Oke, gue ngerti, kalo gitu rapatnya kita tunda besok ya, Gas? Elo kayaknya lagi gak siap buat mimpin rapat." Rendi mengusap bahu sahabatnya itu, lalu ia mewakili Bagas untuk membatalkan rapat OSIS, kemudian mengirimnya di grup.
* * *
Di tempat yang berbeda, Shania sedang berada di koridor depan kelasnya, bersama Andika.
"Shan, kamu mau gak jadi pacarku?" kata Andika, setengah berbisik karena takut ada yang mendengar.
"Maksud, kamu?" tanya Shania.
"Aku suka sama kamu, Shania, kamu mau gak jadi pacar aku?" kata Andika menjelaskan.
"Sorry Dika, aku gak bisa. Astrid suka sama kamu, mana mungkin aku pacaran sama orang yang disukai sahabatku sendiri," jawab Shania.
"Beneran, Shan? Astrid suka sama aku? Tapi aku sukanya sama kamu." Andika memaksa.
"Maaf banget Dika, aku gak bisa. Aku duluan, ya." Shania pergi meninggalkan Andika sendirian, dengan luka karena penolakannya.
Saat Bagas berjalan di koridor menuju kelas yang sama dengan Shania, tak sengaja matanya menangkap pemandangan yang membuat ia cemburu.
"Shania baru aja ngobrol sama Andika?" batin Bagas. Sikapnya masih tak acuh pada Shania, perasaannya sedang tidak stabil, ia takut salah bicara.
Begitu juga dengan Shania, ia tidak mau lebih dulu menyapa Bagas. Padahal dalam hatinya ia merasa kecewa. Tidak seperti yang diharapkan, Bagas kini bersikap dingin kepadanya. Walaupun mereka berada di satu meja, tapi mereka tidak saling menyapa.
Seutas harapan sirna, ketika melihat sikap Bagas yang akhir-akhir ini tak lagi memperdulikannya. Padahal setiap hari cintanya semakin bertambah, otaknya sudah mulai dipenuhi dengan nama dan bayangan wajah laki-laki yang bernama Bagas. Mampukah ia menahan rasa itu sendiri? Karena ia menyangka cintanya bertepuk sebelah tangan.Mereka berdua tak lagi saling menyapa. Bagas menjaga jarak dengan Shania, bukan karena cintanya sudah hilang, akan tetapi ia sedang menjaga perasaan Silmi. Ia sedang mengatur strategi untuk bisa menyatakan cintanya pada Shania, tak ingin perempuan yang dicintainya dianggap sebagai perusak hubungannya dengan Silmi.Meskipun Bagas tak lagi duduk satu meja dengan Shania, ia memantau gerak-gerik Shania. Kini Rendi yang menggantikan Bagas, duduk di sebelah Shania. Melalui Rendi, ia mengorek informasi tentang Shania."Sudah dua minggu, elo putus dengan Silmi, kapan mau lo tembak si Shania?" tanya Rendi di ruang OSIS."Sant
"Shan, kamu tau gak Bagas putus sama Silmi?" tanya Rendi, sambil mengerjakan tugas dari Guru Matematika."Wah, beneran, Ren? Kok aku gak tau, sih," jawab Shania, melihat ke arah Rendi."Sebulan yang lalu mereka berantem gara-gara cemburu sama kamu," terang Rendi."Kok gara-gara aku?! Aku gak ngapa-ngapain, loh," jawab Shania heran."Iya, jadi Silmi tau kalo Bagas suka sama kamu, dan duduk sebangku sama kamu," terangnya lagi."Oh, pantesan akhir-akhir ini Bagas gak nyapa aku sama sekali, jadi gitu, ya, masalahnya?" kata Shania, menghentikan kegiatannya yang sedang mengerjakan tugas."Iya, sebetulnya dia udah mau nembak kamu, cuma dia nunggu waktu yang tepat," kata Rendi, menjelaskan."Serius? Emangnya tau dari mana?" tanya Shania."Lah, tiap hari dia curhat sama aku," ucap Rendi.***Ucapan Rendi terus terngiang di telinga Shania, hatinya kini berbunga-bunga bag
[Assalamu'alaikum, Nak Bagas. Apa kabar? Mama mau mengadakan syukuran ulang tahun Silmi, boleh Mama minta bantuan Nak Bagas untuk mengisi acaranya Silmi? Menjadi pembawa acara dan membaca beberapa ayat Al-qur'an?] pesan dari mamanya Silmi. [InsyaAllah, Ma, Bagas bisa.] [Terima kasih, ya, Nak, Mama senang sekali.] [Sama-sama, Ma, Bagas juga senang bisa bantu Mama.] [Nanti ngobrol saja dengan Silmi lebih detailnya, ya, Nak.] [Baik, Ma.] Bagas bingung, sebetulnya sudah ada janji dengan Shania untuk mengantarnya ke toko buku, akan tetapi Bagas tak dapat menolak permintaan mamanya Silmi. "Bagaimana, ini? Shania pasti ngambek lagi," batin Bagas, sambil mengusap wajahnya dengan kasar. [Shan, aku minta maaf sebelumnya, sepertinya aku gak bisa mengantarmu ke toko buku besok, boleh kita pending dulu, gak? Minggu depan mudah-mudahan bisa.] [Memangnya kenapa? Kamu ada acara?] [Mamanya Silmi minta a
Satu tahun kemudian.Meskipun hubungan mereka sering tidak akur, entah bagaimana mereka tidak bisa berpisah satu sama lain. Bagas mencintai Shania, meskipun ia terus menyakiti wanitanya. Shania tidak menyangka hubungannya dengan Bagas akan seperti ini, jauh dari apa yang dibayangkan olehnya."Kenapa sih aku ngeliat orang pacaran, ceweknya diperlakukan seperti ratu? Beda sama aku, kok gak ngerasa jadi ratu, ya?" celetuk Shania pada Astrid, yang kebetulan melanjutkan pendidikan di Universitas yang sama. Yaitu Universitas Pendidikan Indonesia, mereka bercita-cita menjadi seorang guru."Masa, sih, bukannya Bagas sayang banget sama kamu?" jawab Astrid, heran."Iya, aku gak habis pikir, Bagas masih aja sering ke rumah Silmi, bahkan mengorbankan aku," kata Shania, sedih."Lalu?" tanya Astrid."Satu sisi aku cape, sisi lain aku masih sayang sama dia," jawab Shania."Aku ngerti banget Sha
Perasaan Bagas hancur karena pertunangan Silmi, ia baru sadar ternyata dalam hatinya masih menyimpan sisa cinta untuk Silmi. Kesedihan yang justru membuatnya memutuskan kisah kasihnya dengan Shania.Lelaki tampan nan rupawan itu, kini sedang putus asa, seolah ia kehilangan separuh jiwanya. Namun, seharusnya ia tidak egois seperti ini, padahal ada perempuan yang mencintainya sepenuh hati. Ia menyia-nyiakan cinta Shania.Tok ... Tok ... Tok"Kak Bagas, makan yuk! Di panggil Mama, tuh," teriak Melati dari balik pintu kamar Bagas."Masuk," jawab Bagas, bermalas-malasan."Ih, tumben kamarnya berantakan? Trus kenapa Itu muka kusut banget, Kak," berondong Melati, sambil melihat sekeliling kamar Bagas, lalu duduk di atas kursi tempat Bagas belajar."Lagi males beresin. Kamu duluan makan aja, bilang sama Tante aku sudah kenyang. tadi sore sudah makan ditraktir teman," jawab Bagas, asal."Kakak, kenapa, sih? Gak biasanya
"Enak juga tidur di lantai," gumam Bagas.Meskipun lantai keras, tapi tetap membuatnya tidur nyenyak. Ia mencari kontak yang diberi nama Shaniaku, Lalu meng-klik tombol berwarna hijau. Tidak ada jawaban dari sang pemilik nomor telepon itu, sekali lagi ia coba menghubungi nomor tersebut, kali ini di-reject. Bagas mencoba lagi dan lagi, tetap tidak ada jawaban."Shania marah padaku, bagaimana ini?" batin Bagas, sambil mengusap wajahnya dengan kasar. "Astrid, aku harus hubungi Astrid, siapa tau Shania sedang bersama Astrid." gumamnya lagi.[Astrid, sorry urgent nih, Shania ada bareng kamu, gak?] tanya Bagas, di aplikasi WhatsApp.[Gak ada, hari ini dia gak masuk kuliah."[Aku telepon dia di-reject Trid, kemana Shania, ya?][Ada apa sebenernya di antara kalian? Aku bingung, kemaren Shania yang cemasin kamu, sekarang kamu yang nyari dia, heran aku, kalian kenapa, sih?!][Benarkah? Waktu itu Shania nyariin aku?]
Bagas tidak menyerah, terus saja menghubungi Shania. Setelah puluhan kali Bagas menekan tombol hijau itu, kini kontak Shania sedang sibuk. Bagas kesal, akhirnya ia berhenti menghubungi Shania. Lelaki itu frustrasi dan melempar ponselnya ke tempat tidur yang beberapa hari ini selalu berantakan. Begitu dahsyat perasaan seseorang yang sedang dimabuk cinta, seolah dunia akan berakhir jika tidak bisa mendapatkan sang pujaan hati. Kini ia menyesal karena tidak memperlakukan Shania dengan baik. Baru menyadari semua aturan dan keribetan Shania adalah bukti bahwa perempuan yang selisih usianya hanya beberapa bulan dengannya itu serius dan ingin yang terbaik untuk hubungan mereka. Waktu tak dapat diulang, seandainya Bagas ingin memperbaiki pun sudah terlambat. Meski lelaki itu yakin Shania masih mencintai dirinya. Namun, tak mudah memberi kesempatan yang kedua kali. Buktinya, puluhan kali ia menghubungi sang mantan, tidak pernah ada jawaban atau balasan da
Shania dan Astrid saling berpandangan, ketika melihat laki-laki itu duduk di hadapan mereka."Sepertinya aku kenal, nih orang," batin Shania."Kok, kayak kenal, ya? gumam Astrid." Iya, kalian pasti kenal saya," sahut lelaki itu, sambil membuka kacamata, masker dan topinya."Andika?!" ucap Shania dan Astrid, serentak."Ya ampun tadi kirain, siapa," ucap Shania mengeraskan suara."Iya, Shan. Saya sengaja kesini mau bicara serius sama Astrid," terang Andika."Aku?" tanya Astrid terkejut."Waw, surprise. Oke aku balik duluan deh, ya?" pamit Shania."Jangan dong, Shan. Aku balik bareng kamu, ya," cegah Astrid."Ih, kamu ntar di anter Andika, dong," kata Shania."Iya, aku anterin kamu nanti, Astrid," ucap Andika menatap Astrid lekat."Tuh kan, ya sudah aku duluan, ya," Shania meninggalkan mereka berdua di kantin.Shania berlalu sendi