"Kak Bagas teleponan sama siapa, ya?" batin Melati.
"Iya, aku duduk sama Shania, kan jumlah cewek di kelasku ganjil, terus kursi di meja Shania belum ada yang dudukin, kamu gak usah cemburuan gitu, Sil," kata Bagas diam sejenak mendengarkan pembicaraan Silmi. "Iya, aku pernah suka sama Shania, tapi itu dulu 'kan? Udah dulu, ya, aku mau makan siang, udah ditunggu sama tanteku di bawah." ucap Bagas, bicara di sambungan telepon yang kemudian didengar oleh Melati.
Tiba-tiba Bagas keluar dari kamarnya, Melati sontak terkejut. "Mel, kamu ngapain di sini?" kata Bagas, sama terkejutnya dengan Melati.
"Emm … eng–gak, aku disuruh Mama, susulin Kakak buat makan siang bareng," jawab Melati gugup, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya udah, ayo buruan ngapain masih di situ?"ucap Bagas, sambil menarik tangan Melati menuruni anak tangga.
"Ayo, sini buruan Mama udah nunggu kalian dari tadi," ucap Ratih.
"Iya, Tan, maaf tadi Bagas jawab telepon dulu," kata Bagas, segera duduk di samping Melati.
* * *
Hari-hari Bagas kini menjadi hari yang indah, cintanya pada Shania menjadi penyemangat hidupnya, meskipun Silmi masih menjadi halangan baginya untuk memiliki Shania. Setidaknya, setiap hari ia bertemu Shania bukan lagi dari jarak jauh. Namun, sangat dekat.
"Bagas, aku mau ngomong sama kamu," pinta Silmi, sambil menarik tangan Bagas yang baru saja tiba di Sekolah.
"Astaghfirullah, Silmi, ngagetin aja. Ada apa, sih?!" ucap Bagas, kesal.
"Aku gak suka kalo kamu duduk satu meja sama Shania, gak ada tempat lain lagi emangnya?!" bentak Silmi.
"Gak ada, Sil, kamu tanya aja sama anak-anak, lagian kamu cemburuan gitu, sih, aku gak ngapa-ngapain, kok," jawab Bagas, mengelak.
"Oke, aku percaya sama kamu, awas aja kalo kamu macam-macam." Silmi mengancam.
"Iya, enggak, aku masuk duluan, ya? Daah Silmi," ucap Bagas, kemudian melangkah pergi meninggalkan Silmi. Dalam hatinya, ia mengakui kebohongannya.
Sesampainya di kelas, Bagas tidak melihat Shania di kursinya, tidak seperti biasanya. "Astrid, liat Shania, gak? kok dia belum datang, tumben," tanya Bagas pada Astrid.
"Hari ini Shania gak masuk, tadi dia chat ke aku, katanya sakit."
"Sakit apa? boleh aku minta no whattsapp Shania?" tanya Bagas lagi.
"Boleh, aku kirim kontaknya, ya."
"Terima kasih, Astrid."
"Sip, sama-sama."
Awalnya Bagas berniat untuk menanyakan kabar Shania melalui chat, tapi setelah ia pikir-pikir takut menggangu Shania yang sedang istirahat.
Sepulang sekolah, Bagas mengajak teman-temannya untuk menjenguk Shania. Sebetulnya Bagas ingin menjenguk seorang diri, akan tetapi, ia tidak punya keberanian untuk itu.
"Assalamu'alaikum!" ucap Bagas dan teman-temannya serentak.
"Waalaikumsalam, teman-teman Shania, ya?" tanya ibunda Shania basa basi.
"Iya, Tante, katanya Shania sakit, ya?" tanya Astrid, mewakili teman-temannya.
"Iya, Nak, semalam Shania demam, tapi kata Dokter cuma kecapean," jawab wanita itu, sambil melangkah ke kamar Shania yang tidak jauh dari ruang tamu."Ayo sini, ke kamar Shania aja, ya, biar ngobrolnya sambil Shania tiduran," ujar ibu Shania.
Mata bagas memindai ruangan pribadi Shania yang tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil, bernuansa pink dan sangat nyaman.
Ketika semua temannya memperhatikan Shania dan bertanya tentang sakitnya, tak sengaja Bagas menyenggol buku diary berwarna pink milik Shania dari meja belajar Shania dan mengambilnya. Diary itu terbuka, tanpa sepengetahuan orang yang berada dalam satu ruangan itu, Bagas segera membacanya dan seketika ia terkejut, lalu tak lupa ia memfotonya.
"Akan kujadikan bukti, Shania tidak bisa mengelak lagi," batin Bagas, tersenyum lebar.
"Emmm ...." Tiba-tiba ada yang memanggil namanya. Suara Shania tercekat ketika menjawab pertanyaan Egi karena panggilan seseorang. Sontak ia melihat ke arah datangnya suara. "Bagas?" Seketika matanya melirik ke arah Egi, lalu berganti ke arah Bagas. "Akhirnya kita ketemu di sini, ya, Shan." Bagas antusias. "Emmm ... memangnya, kamu cari aku?" tanya Shania dengan wajah datar. "Iya, dong. Aku masih nyariin kamu ke mana-mana," ucap Bagas sambil menarik kursi di seberang Shania dan duduk tanpa permisi. "Ada apa?" tanya Shania melirik ke arah Egi yang ada di sampingnya. Egi diam tak mengatakan apa pun. Ia bingung karena takut salah ucap. Egi cukup bijaksana menyikapi situasi seperti ini. "Shan, aku ke toilet bentar, ya." Egi pamit kepada Shania.
"Sejak kapan, ya?""Sejak pertama kali kita bertemu."Mata mereka saling beradu. Hampir saja Shania sakah tingkah."Be-benarkah? Kok, baru bilang sekarang?""Yup. Love at first sight. Memangnya, kalo aku bilang dari dulu, kamu bakal mau jadi pacar aku? Waktu itu kamu masih pacarnya Bagas.""Emmm ... iya, sih. Lalu? Kakak cari tau tentang aku dari mana?" Shania tersipu malu."Dunia ini sempit, Shan. Aku mengikutimu saat kamu ke kampus atau saat kamu pergi.""Jadi, selama ini, Kakak sering ngikutin aku?""Yup. Aku ingin melindungimu, meski dari jauh."Mata Shania menganak, ia terharu mendengar ucapan Egi. Ia tidak pernah tau ada orang yang diam-diam mencintainya."Jadi, Kakak tau saat aku rapuh?" tanya Shania dengan wajah serius.
"Ih, Mama ... sekongkol, nih, sama Kak Egi!" Shania protes sembari duduk di samping mamamya.Ia curiga, Egi merahasiakan sesuatu bersama ibunya."Nggak. Tadi, Egi cerita tentang awal pertemuan dengan kamu." Ibunya berbohong."Wah, emang, iya, Kak? Eh, diminum duku, Kak. Teh manis bikinan aku, mantap, loh, Kak." tanya Shania sembari meminta Egi untuk meminum teh manis buatannya."Emmm ... I-ya. Kamu inget nggak awal kita ketemu? Diminum, ya, Tan, Shan." Egi meminum teh manis itu."Enak beneran, ya. Aku mau daftar jadi suami, kamu, ya. Biar tiap hari dibikinin teh manis seenak ini." Egi membuat Shania tersipu malu.Shania salah tingkah dan mengalihkan topik pembicaraan."Eh, waktu aku nabrak Kak Egi, pas keluar dari kantin itu, ya? Itu pertama kali kita ketemu, kan? ""Iya. Wakt
"Assalamualaikum," ucap Egi sambil mengetuk pintu."Waalaikumsalam," sahut Shania sembari membuka pintu."Hi, Kak!""Hi, Shan.""Silakan masuk, Kak." Mereka berhadapan dan baru kali ini jarak antara Egi dan Shania lebih dekat dari biasanya. Mata mereka beradu, seperti ingin saling mencengkram."Kamu makin cantik, Shan." Shania memalingkan wajahnya yang memerah karena malu."Emmm, silakan duduk, Kak." Shania mengalihkan perhatian Egi yang masih saja menatap dirinya.Ada debar di dada masing-masing yang tak mungkin diungkapkan. Keduanya mengatur napas agar tidak gugup. Egi mengambil posisi duduk di sofa dekat pintu, sedangkan Shania duduk di sofa yang berada di samping tempat duduk Egi. Dengan anggunnya Shania memulai membuka suara. Sedikit basa-basi untuk menyambut lelaki tampan itu.
"Ini, siapa, ya?""Saya Egi, Shan.""Ya Allah, Kak Egi. Bikin orang parno aja. Nelepon yang pertama kenapa gak ngomong?""Oh, jadi yang tadi tuh, nyambung? Tadi tuh, aku udah niat telepon kamu, trus tiba-tiba mamaku manggil. Aku taro ponselku di atas meja. Aku kira belum nyambung. Hahaha ...,""Ih, Kak Egi! Aku sempet takut tadi.""Takut kenapa emang?""Ya, takut orang jahat, gitu.""Ya udah, maafin aku, ya!""Ya, nggak apa-apa, Kok. Btw ada apa, Kak? Tumben.""Kangen aja sama kamu, pengen dengar suara kamu.""Iih, gombal!""Serius, aku kangen.""Ya udah, terserah.""Asyik! Berarti aku boleh kangen sama kamu, dong?""Ih, Kak Egi! Awas ya! Godain aku terus.""Kar
"Sini-sini kita duduk dulu, Shan." Astrid menarik tangan Shania. "Cerita sama aku." Ia mengusap lembut bahu Shania. Perempuan yang masih berurai air mata itu menceritakan semua yang terjadi ketika sahabatnya tidak ada di sampingnya.Tak berhenti derasnya air mata, membuktikan betapa sakitnya perasaan Shania. Meski cintanya tetap milik Bagas, tapi kini ia ingin melupakan lelaki yang tidak pernah menyerah mengejarnya. Baginya cinta tak selalu harus memiliki. Biarkan nama dan kenangan bersama Bagas terkubur bersama masa lalunya. Tak sedikit pun ia berharap untuk kembali merengkuh asa yang pernah ada."Sabar ya, Shan." Astrid kembali memeluk Shania. Akhirnya air mata itu surut. Ia lega telah menceritakan semua pada Sahabatnya."Makasih, ya, Astrid. Aku lega sekarang." Shania berusaha tersenyum."Sama-sama, Shan. Aku seneng bisa jadi temen kamu dalam susah dan senang.""Btw tadi Andika ngapain ketemu kamu? Kalian jadian, ya?" t