Stockholm, Swedia.
Begitu Annisa dan Bibi Nuri keluar dari terminal kedatangan Bandara Arlanda, langkah Annisa mendadak terhenti. Di depan pintu keluar, dua sosok yang sangat ia kenal berdiri seolah menunggunya.
"Sial! Kenapa mereka bisa ada di sini?" gumam Annisa, jantungnya berdebar kencang.
Tanpa pikir panjang, ia memutar troli barangnya dan berusaha berjalan ke arah lain. Ia belum siap bertemu mereka. Belum sekarang.
"Non, itu siapa?" bisik Bibi Nuri cemas, melihat kepanikan di wajah nona mudanya.
"Bukan urusan kita, Bi. Ayo, cepat," desak Annisa.
Tapi usahanya sia-sia.
"Annisa Larasati, mau lari ke mana kamu?" sebuah suara familier memanggil dari belakang. Seorang wanita dengan setelan merah menyala dan seorang pria berjas hitam berjalan cepat ke arah mereka.
Annisa menghela napas pasrah. Percuma saja. Ia berhenti dan berbalik, memasang wajah sedatar mungkin.
"Hana. Jay," sapa Annisa dingin. "Gimana caranya kalian tahu aku mendarat hari ini?"
Hana, wanita berjas merah itu, tersenyum lebar. "Sayangku Annisa... penampilan boleh berubah, ya. Makin berisi sekarang," godanya sambil menatap Annisa dari atas ke bawah. "Tapi aku tetap kenal kamu, kok."
Wajah Annisa mengeras mendengar sindiran itu. Ia memutar bola matanya dan mengalihkan pandangannya pada pria di samping Hana. "Jay. Kamu yang jawab."
"Lho, kok aku dicuekin?" Hana cemberut, pura-pura sedih.
Annisa menghela napas lagi, kali ini tanda menyerah. "Oke, oke, Hana! Jawab pertanyaanku. Gimana kalian bisa tahu?"
Melihat sahabatnya itu akhirnya luluh, senyum kemenangan terukir di wajah Hana.
Hana memeluk Annisa dengan erat. "Kangen banget, Nisa! Sumpah, aku senang banget akhirnya kamu ninggalin cowok brengsek itu!" bisiknya, membuat Annisa tertegun.
"Kamu tahu?" tanya Annisa, mendorong Hana pelan untuk menatap wajahnya. "Gimana caranya— eh, tunggu." Pandangannya beralih tajam ke arah Jay. "Kalian nge-hack HP-ku, ya?!"
"Sayang, kami tahu semua penderitaanmu, tapi—"
"Sudah, ayo ikut aku!" potong Jay, berjalan lebih dulu menuju pintu keluar. "Kita ngobrol nanti. Cepat!"
Mereka tidak punya pilihan selain mengikuti Jay. Sebuah Bentley hitam sudah menunggu di area penjemputan.
"Annisa, Hana, masuk," perintah Jay.
Annisa menggeleng. "Nggak, aku sudah sewa mobil sendiri. Kasih alamatnya saja, nanti aku susul."
"Nggak usah. Kamu ikut aku. Nanti biar sopirku yang urus mobil sewaanmu," kata Jay tegas. Ia kemudian menoleh ke Bibi Nuri. "Bibi, mohon maaf, apa bisa ikut dengan sopir saya? Biar saya bisa bicara sebentar dengan Annisa."
Bibi Nuri menatap Annisa dengan cemas. "Non, Bibi nggak bisa tinggalin Non sendirian."
Annisa tersenyum. "Nggak apa-apa, Bi. Mereka sahabatku, nggak akan macam-macam. Percaya sama aku, ya?"
Setelah meyakinkan Nuri, Annisa dan Hana masuk ke mobil bersama Jay. Di dalam mobil, Annisa dan Hana langsung asyik mengobrol, melupakan pertanyaan yang tadi sempat tertunda. Jay hanya tersenyum tipis sambil menyetir, sesekali melirik mereka dari kaca spion. Melihat Annisa bisa tertawa lepas membuatnya lega.
Tak lama, Annisa akhirnya teringat.
"Oke, sekarang jujur," katanya, menatap Jay dan Hana bergantian. "Bagaimana kalian tahu aku mau ke sini dan tahu soal perceraianku?"
"Annisa, aku mungkin bisa meretas perangkatmu, tapi aku nggak akan pernah melakukan itu," jawab Jay lembut namun tegas. "Kami tahu karena kamu sendiri yang kasih petunjuk."
"Petunjuk? Maksudnya? Kapan aku kasih petunjuk?" tanya Annisa bingung.
Sebelum Jay sempat menjawab, tawa Hana meledak. "Hahaha! Aku menang, Jay! Jangan lupa janjimu, ya! Mobil baru!"
Jay hanya terkekeh. "Iya, iya, kamu benar."
Annisa semakin bingung melihat interaksi keduanya.
"Hahaha! Aku menang, Jay! Jangan lupa janjimu, ya!" seru Hana sambil menepuk bahu Jay.
"Iya, iya, beres," jawab Jay sambil terkekeh, lalu melirik Annisa yang menatap mereka dengan bingung.
"Tunggu, kalian ini ngomongin apa, sih? Mobil? Aku tanya soal lain, jawabnya ke mana-mana," protes Annisa, mulai tidak sabar.
"Nanti kita bahas," kata Jay sambil memarkir mobil di depan sebuah kafe. "Kita ngopi dulu. Kamu nggak keberatan, kan?"
Annisa hanya bisa pasrah. Di dalam kafe, setelah pesanan mereka datang, ia langsung menodong kedua sahabatnya. "Oke, sekarang jelaskan. Aku nggak ngerti."
"Rekening bank Swiss-mu," kata Jay singkat.
Annisa terdiam, mencoba mengingat. Beberapa detik kemudian, ia menepuk dahinya sendiri. "Astaga! Aku lupa total soal itu!"
Dulu, sebelum menikah, mereka bertiga membuat perjanjian rahasia. Annisa akan benar-benar menghilang dari dunia bisnis mereka, dan mereka berjanji tidak akan mencarinya. Satu-satunya cara Annisa bisa memberi sinyal bahwa ia siap kembali atau butuh bantuan adalah dengan menggunakan rekening bank Swiss yang mereka buat bersama. Setiap transaksi di rekening itu akan menjadi notifikasi untuk Jay.
"Kamu sendiri yang bilang, kalau kamu pakai rekening itu, artinya kamu siap untuk kembali," jelas Jay. "Transferan besar dari Baskara, pembelian properti di Swedia... semuanya jadi petunjuk buat kami."
"Dan soal cerai," sela Hana sambil menyeruput lattenya. "Nggak susah nebaknya, kok. Buat apa juga suamimu tiba-tiba transfer duit sebanyak itu kalau bukan karena pisah? Logis, kan?"
Annisa terdiam. Mereka benar. Ia menghela napas. "Oke, kalian benar. Aku dan Baskara cerai." Ia menatap Jay. "Tapi, aku belum bisa kembali ke perusahaan sekarang."
"Kenapa?" tanya Jay, nadanya terdengar khawatir. "Jangan bilang kamu mau terus-terusan bersembunyi. Kamu harus bangkit, Nisa."
"Benar kata Jay," timpal Hana, menggenggam tangan Annisa. "Jangan sedih terus. Kamu pantas bahagia."
Annisa tersenyum tipis, tersentuh oleh perhatian mereka. "Bukan itu masalahnya. Aku... cuma butuh waktu lebih lama."
"Berapa lama?" tanya Jay.
"Lima tahun."
"Lima tahun?!" seru Hana kaget. "Lama banget! Memangnya mau ngapain?"
Annisa menatap kedua sahabatnya bergantian, lalu tersenyum.
"Aku butuh lima tahun buat urus anakku dulu sebelum mulai kerja lagi."
Hening seketika. Wajah Jay dan Hana melongo dengan ekspresi yang sama.
"Tunggu," kata Hana terbata-bata. "Ka-kamu... hamil?!"
Alan mengikuti Baskara dari belakang dengan senyum lega. Setidaknya tuannya tidak membatalkan makan malam kali ini.Saat Baskara memasuki ruang tamu, Jessica adalah yang pertama kali menyadarinya. Ia langsung berdiri dan menghampirinya dengan senyum lebar."Anakku, akhirnya kamu datang juga. Ya ampun, kamu makin tampan saja... sini, sini... peluk Mama. Mama kangen sekali, Baskara.""Ma," sapa Baskara, menerima pelukan ibunya dengan kaku.Jessica melepaskan pelukannya. "Kenapa nggak langsung temui kami? Kamu kan sudah tahu kami pulang liburan?""Aku sibuk di kantor, Ma. Nggak ada waktu luang.""Sayang, tolonglah... luangkan sedikit waktu buat dirimu sendiri. Nanti kamu stres dan kecapekanó""Cukup, Jessica!" suara berat dan berwibawa dari belakang membuat Jessica berhenti bicara. William Aditama, suaminya, menatap mereka. Ia tersenyum pada putranya. "Baskara, sini duduk.""Ayahó"Sebelum Baskara sempat bergabung dengan ayah dan kakeknya, ibunya menahan lengannya. "Nak, Mama perlu bicar
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan restoran .Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.–Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Baru
Ucapan Annisa terpotong oleh tawa Baskara yang tiba-tiba menggema di ruangan."Hahaha, aku tahu..."'Kenapa dia tertawa!?' Annisa bingung. 'Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang bisa dia pelintir... lagi!?'"Aku tahu... kamu cemburu sama dia! Oh, Nisa... kan sudah kubilang aku nggak punya hubungan apa-apa sama perempuan itu. Harusnya kamu percaya sama aku."Annisa terdiam, tak bisa berkata-kata."Baskara, selamat tinggal untuk imajinasi liarmu!" katanya kesal. Melihat Baskara hendak bicara, ia langsung menyela, "—Aku nggak ngomongin soal itu. Aku cuma mau kasih tahu, aku berencana menuntut dia!"Annisa akan memberi pelajaran pada Laura Kiels sebelum ia menjadi selebriti papan atas. Beraninya dia main-main dengan Quantum Capital!?"Kamu mau menuntut Laura Kiels?" Meskipun Baskara tidak punya hubungan dengan Laura, sebagai seorang pebisnis, ia terkejut mendengar ucapan Annisa.Bagi agensi hiburan yang bahkan tidak masuk lima besar di negara ini, kehilangan Laura Kiels bisa menjamin
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan rumah Baskara.Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Bar
Wajah Baskara menegang mendengar pertanyaan Annisa.'Kenapa dia berasumsi aku menikah dengan Laura? Apa Ibu yang memberitahunya? Sengaja biar dia marah!?' batinnya.Setelah berpikir beberapa detik, semuanya menjadi jelas. Pantas saja sikap Annisa begitu sinis saat pertama kali bertemu di restoran sushi itu.'Dia pasti cemburu, kan?'Baskara menatap lekat mata Annisa, mencoba mencari jejak kecemburuan di sana. Annisa balas menatapnya, dahinya berkerut seolah sedang memikirkan sesuatu. Tak lama, senyum hangat yang menawan perlahan terukir di bibir Baskara."Nisa, aku tahu kamu cemburu. Tapi kamu nggak perlu khawatir soal perempuan itu. Aku nggak punya hubungan apa-apa sama dia, bahkan menyentuhnya pun nggak pernah."Annisa terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tak bisa berkata-kata.'Dia pikir apa? Siapa juga yang cemburu sama dia?' Ia menatap Baskara dengan tajam, tapi pria itu hanya tersenyum, senyum terbaik yang pernah Annisa lihat darinya.Annisa menggelengkan kepalanya pelan, mencoba
Senyum di wajah Baskara perlahan memudar. "Maaf soal ibuku, Nisa," katanya tulus. "Aku janji hal seperti itu nggak akan terjadi lagi. Ibuku nggak akan pernah muncul di hadapanmu lagi.""Ok, Baskara. Tapi yang kukhawatirkan sekarang bukan ibumu. Aku nggak mau dia sampai ketemu anakku—""Anak kita, Nisa," potong Baskara.Annisa menelan ludah, tapi tidak mengoreksinya. "Baskara, aku khawatir," tangannya terkepal. "Kalau ibumu sampai tahu soal Dax, aku nggak mau dia bertingkah memalukan seperti tadi. Kamu bisa janji?""Tentu saja, Nisa. Kamu istriku, dan Dax anakku. Aku akan melindungi kalian. Nggak akan ada yang bisa menyakiti kalian... bahkan ibuku sendiri."Annisa menghela napas. "Aku bukan istrimu. Bisa serius sedikit nggak, Baskara?""Aku serius. Kamu wanitaku, tentu saja akan kulindungi.""Astaga..." Annisa kehabisan kata-kata. Kenapa pria ini terus-menerus memanggilnya 'istri'? "Tuan Aditama, apa kepala Anda habis terbentur sampai lupa kalau kita sudah cerai?"Baskara terdiam."Ser