Laporan dari kepala pelayan membuat pikiran Baskara kacau. Annisa pergi. Hanya membawa dua koper, meninggalkan semua barang pemberiannya, bahkan menyingkirkan semua foto mereka. Kenapa?
Tanpa pikir panjang, Baskara melajukan mobilnya kembali ke rumah. Ia harus melihatnya sendiri.
Ia melangkah ke lantai dua, langsung menuju kamar Annisa. Pintu terbuka, memperlihatkan ruangan yang terasa dingin dan kosong. Tidak ada lagi jejak Annisa di sana. Lemari pakaiannya penuh dengan gaun-gaun mahal yang tak pernah disentuh. Entah kenapa, Baskara merasa kecewa.
Matanya lalu tertuju pada sebuah kilau di atas meja nakas. Cincin kawin mereka. Annisa meninggalkannya. Baskara mengambil cincin itu, rasa sesal yang aneh tiba-tiba menyergapnya. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia benar-benar memperhatikan cincin itu di jari Annisa. Sambil memasukkan cincin itu ke saku, ia berjalan ke ruang kerjanya.
Di atas meja, hanya tersisa satu bingkai foto pernikahan mereka. Foto terakhir Annisa di rumah ini. Saat tangannya terulur untuk mengambilnya, ponselnya berdering. Nama 'Dylan' tertera di layar.
"Kenapa dia telepon? Bukannya lagi cuti?" gumam Baskara.
"Halo, Bos. Maaf ganggu," sapa Dylan dari seberang, suaranya terdengar ragu.
"Langsung saja. Kenapa telepon?"
"Anu, Bos... saya nggak tahu ini penting atau nggak, tapi... barusan saya lihat Nona Annisa di bandara."
Darah Baskara serasa berhenti mengalir. "Di mana?"
"Di terminal internasional, Bos. Dia sama pembantunya. Kayaknya mau ke luar negeri," lanjut Dylan. "Saya nggak bisa ikut masuk buat mastiin."
Ke luar negeri? Secepat ini? Rasa penasaran yang beberapa hari ini menghantuinya kini berubah menjadi kepanikan yang samar.
"Kamu bawa paspor?" tanya Baskara cepat.
"Bawa, Bos. Tapi saya lagi di terminal domestik, mau pulang kampung—"
"Pakai jet pribadiku," potong Baskara tegas. "Cari dia. Sekarang!"
Baskara langsung menutup telepon dan bergegas keluar rumah menuju mobilnya. Ia harus ke bandara.
Setibanya di sana, ia berlari menuju terminal internasional. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Sosok yang sangat ia kenal berjalan dari arah berlawanan.
"Sean..."
--
Baskara tiba di bandara dan langsung menuju terminal internasional. Langkahnya terhenti saat melihat sosok yang ia kenal.
"Sean," sapa Baskara.
"Eh, Baskara. Lama nggak ketemu," balas Sean Saputra, menjabat tangan Baskara. "Mau ke luar negeri?"
"Ada urusan," jawab Baskara singkat, matanya sibuk mengamati sekitar. "Aku duluan, ya. Nanti kuhubungi."
"Oke, santai saja," kata Sean, memperhatikan Baskara yang berjalan tergesa-gesa masuk ke dalam terminal. Begitu Baskara menghilang, ponsel Sean bergetar. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya saat membaca pesan yang masuk.
[Annisa: Aku udah mau boarding. Makasih banyak ya, Sean.]
[Sean: Hati-hati di jalan, Nisa.]
Sementara itu, di dalam terminal, Baskara menemukan Dylan yang tampak putus asa.
"Gimana?" tanya Baskara.
Dylan menggeleng lemah. "Nihil, Bos. Nggak ketemu. Kayaknya Nona Annisa udah naik pesawat."
Baskara menggeram tertahan. Kecewa. Ia menyuruh Dylan untuk tetap melanjutkan cutinya, sementara ia sendiri berjalan keluar bandara dengan pikiran berkecamuk. Di dalam mobil, ia langsung menelepon seseorang.
"Max, cari tahu soal Annisa Larasati. Dia baru saja terbang ke luar negeri, aku mau semua datanya."
"Siap, Bos. Gampang itu," jawab Max dengan percaya diri dari seberang telepon.
Baskara sedikit lebih tenang. Ia melajukan mobilnya, pikirannya masih dipenuhi tanda tanya. Kenapa ia sampai sejauh ini? Kenapa ia begitu peduli?
Tak lama, ponselnya kembali berdering. Max.
"Gimana, Max? Cepat juga kerjamu."
"Bos... gawat," suara Max terdengar tegang, kepercayaan dirinya yang tadi lenyap seketika.
Jantung Baskara berdebar. "Gawat kenapa?"
"Datanya... nggak ada, Bos. Kosong. Bersih. Identitas Nona Annisa dan pembantunya itu disegel. Level rahasia negara," jelas Max, suaranya terdengar frustrasi. "Saya nggak bisa tembus. Kalau saya paksa, yang ada saya yang diciduk intelijen negara. Ini bukan main-main, Bos."
Baskara menginjak rem mendadak, memarkir mobilnya di bahu jalan. Ia terdiam, mencerna informasi itu. Rahasia negara? Siapa sebenarnya Annisa Larasati, wanita yang telah menjadi istrinya selama empat tahun itu?
Rasa penasarannya kini berubah menjadi obsesi yang membara.
Alan mengikuti Baskara dari belakang dengan senyum lega. Setidaknya tuannya tidak membatalkan makan malam kali ini.Saat Baskara memasuki ruang tamu, Jessica adalah yang pertama kali menyadarinya. Ia langsung berdiri dan menghampirinya dengan senyum lebar."Anakku, akhirnya kamu datang juga. Ya ampun, kamu makin tampan saja... sini, sini... peluk Mama. Mama kangen sekali, Baskara.""Ma," sapa Baskara, menerima pelukan ibunya dengan kaku.Jessica melepaskan pelukannya. "Kenapa nggak langsung temui kami? Kamu kan sudah tahu kami pulang liburan?""Aku sibuk di kantor, Ma. Nggak ada waktu luang.""Sayang, tolonglah... luangkan sedikit waktu buat dirimu sendiri. Nanti kamu stres dan kecapekanó""Cukup, Jessica!" suara berat dan berwibawa dari belakang membuat Jessica berhenti bicara. William Aditama, suaminya, menatap mereka. Ia tersenyum pada putranya. "Baskara, sini duduk.""Ayahó"Sebelum Baskara sempat bergabung dengan ayah dan kakeknya, ibunya menahan lengannya. "Nak, Mama perlu bicar
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan restoran .Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.–Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Baru
Ucapan Annisa terpotong oleh tawa Baskara yang tiba-tiba menggema di ruangan."Hahaha, aku tahu..."'Kenapa dia tertawa!?' Annisa bingung. 'Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang bisa dia pelintir... lagi!?'"Aku tahu... kamu cemburu sama dia! Oh, Nisa... kan sudah kubilang aku nggak punya hubungan apa-apa sama perempuan itu. Harusnya kamu percaya sama aku."Annisa terdiam, tak bisa berkata-kata."Baskara, selamat tinggal untuk imajinasi liarmu!" katanya kesal. Melihat Baskara hendak bicara, ia langsung menyela, "—Aku nggak ngomongin soal itu. Aku cuma mau kasih tahu, aku berencana menuntut dia!"Annisa akan memberi pelajaran pada Laura Kiels sebelum ia menjadi selebriti papan atas. Beraninya dia main-main dengan Quantum Capital!?"Kamu mau menuntut Laura Kiels?" Meskipun Baskara tidak punya hubungan dengan Laura, sebagai seorang pebisnis, ia terkejut mendengar ucapan Annisa.Bagi agensi hiburan yang bahkan tidak masuk lima besar di negara ini, kehilangan Laura Kiels bisa menjamin
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan rumah Baskara.Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Bar
Wajah Baskara menegang mendengar pertanyaan Annisa.'Kenapa dia berasumsi aku menikah dengan Laura? Apa Ibu yang memberitahunya? Sengaja biar dia marah!?' batinnya.Setelah berpikir beberapa detik, semuanya menjadi jelas. Pantas saja sikap Annisa begitu sinis saat pertama kali bertemu di restoran sushi itu.'Dia pasti cemburu, kan?'Baskara menatap lekat mata Annisa, mencoba mencari jejak kecemburuan di sana. Annisa balas menatapnya, dahinya berkerut seolah sedang memikirkan sesuatu. Tak lama, senyum hangat yang menawan perlahan terukir di bibir Baskara."Nisa, aku tahu kamu cemburu. Tapi kamu nggak perlu khawatir soal perempuan itu. Aku nggak punya hubungan apa-apa sama dia, bahkan menyentuhnya pun nggak pernah."Annisa terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tak bisa berkata-kata.'Dia pikir apa? Siapa juga yang cemburu sama dia?' Ia menatap Baskara dengan tajam, tapi pria itu hanya tersenyum, senyum terbaik yang pernah Annisa lihat darinya.Annisa menggelengkan kepalanya pelan, mencoba
Senyum di wajah Baskara perlahan memudar. "Maaf soal ibuku, Nisa," katanya tulus. "Aku janji hal seperti itu nggak akan terjadi lagi. Ibuku nggak akan pernah muncul di hadapanmu lagi.""Ok, Baskara. Tapi yang kukhawatirkan sekarang bukan ibumu. Aku nggak mau dia sampai ketemu anakku—""Anak kita, Nisa," potong Baskara.Annisa menelan ludah, tapi tidak mengoreksinya. "Baskara, aku khawatir," tangannya terkepal. "Kalau ibumu sampai tahu soal Dax, aku nggak mau dia bertingkah memalukan seperti tadi. Kamu bisa janji?""Tentu saja, Nisa. Kamu istriku, dan Dax anakku. Aku akan melindungi kalian. Nggak akan ada yang bisa menyakiti kalian... bahkan ibuku sendiri."Annisa menghela napas. "Aku bukan istrimu. Bisa serius sedikit nggak, Baskara?""Aku serius. Kamu wanitaku, tentu saja akan kulindungi.""Astaga..." Annisa kehabisan kata-kata. Kenapa pria ini terus-menerus memanggilnya 'istri'? "Tuan Aditama, apa kepala Anda habis terbentur sampai lupa kalau kita sudah cerai?"Baskara terdiam."Ser