Tujuh Tahun Kemudian
Februari 2025.
Di sebuah kabin kecil yang modern, Annisa Larasati sedang berdiri di dekat jendela besar yang menghadap danau beku. Ia hanya mengenakan sweter cokelat muda dan legging.
Meskipun pakaiannya santai, Annisa tetap terlihat menawan. Kulitnya yang pucat namun bercahaya sangat kontras dengan rambut hitamnya yang digerai begitu saja. Tubuhnya tidak lagi berisi seperti dulu, melainkan telah kembali ideal. Lekuk tubuhnya pun semakin terlihat jelas.
Mata abu-abunya terfokus memandangi danau beku sambil memegang secangkir kopi. Ia tengah melamun, memikirkan rencananya untuk kembali ke Indonesia.
Sebenarnya, ia masih ingin menikmati musim dingin di Swedia Utara, tetapi kepulangannya tidak dapat ditunda lagi. Perusahaan membutuhkannya. Jay hampir setiap hari menelepon, mengingatkannya perihal cabang mereka di Indonesia.
Dan, alasan terbesarnya untuk bergegas kembali adalah kakeknya. Kabar terakhir yang ia dengar, kondisi kesehatan kakeknya sedang menurun drastis.
"Mama—" suara anak kecil di ruangan itu membuyarkan lamunan Annisa.
Senyumnya seketika merekah saat melihat seorang anak laki-laki yang montok dan berkulit putih berjalan ke arahnya. Menggemaskan sekali melihatnya masih mengenakan piyama hitam.
"Pagi, pangeran kecilku, Dax..." sapa Annisa sambil tersenyum lebar dan meletakkan cangkir kopinya di meja.
Sambil setengah berlutut, Annisa menatap mata biru Dax yang cerah. Ia menjadi makin khawatir karena putranya itu setiap hari semakin mirip dengan Baskara, dari warna mata hingga rambutnya. Membayangkan Baskara atau keluarganya melihat putranya membuat jantungnya berdebar kencang. Salah satu ketakutan terbesarnya saat kembali ke Indonesia adalah bagaimana cara menyembunyikan Dax dari keluarga Aditama.
"Lho, pangeran kecilku kok nggak nyapa Mama? Terus kok mukanya cemberut gitu pagi ini?" tanya Annisa iseng sambil mengusap pipi Dax yang hangat.
"Ma, pagi," kata si kecil Dax datar.
Melihat ekspresi Dax, Annisa kembali teringat pada pria yang sangat ingin ia lupakan. 'Ya Tuhan... bagaimana bisa ekspresinya begitu mirip?' Annisa hanya bisa menarik napas dalam hati.
"Pangeranku, tidurnya nyenyak?"
"Ma, udahan dong manggil aku pangeran..." protes Dax.
Annisa tertawa kecil, "Oh, sayang, terima saja, ya. Kamu bakal jadi Pangeranku sampai kamu besar nanti..."
Dax menggeleng-gelengkan kepala tetapi tidak berkomentar. Ia malah membantu Annisa berdiri.
"Yuk, Ma, kita duduk sambil ngobrol." Dax memegang tangan Annisa dan menuntunnya ke sofa dekat perapian.
"Kenapa sih nggak suka Mama panggil gitu? Kan lucu," tanya Annisa setelah mereka duduk.
"Aku bukan pangeran," jawab Dax sambil melipat tangan di dada. "Aku lebih suka Mama panggil Dax atau Daxton. Kan Mama ngasih nama buat dipanggil, kan?"
Annisa terdiam sejenak, menahan tawa mendengar ucapan putranya yang terdengar dewasa.
"Oke, oke... Mama berhenti manggil gitu. Tapi janji jangan cemberut lagi, ya!?" kata Annisa sambil mengacak-acak rambut Dax yang lembut.
Dax tersenyum kepada ibunya yang cantik itu, mata birunya menatap lekat. Dipanggil Pangeran dan diajak bicara seperti anak bayi itu membuatnya risih.
"Daxton-ku ganteng banget deh kalau senyum gini..." Annisa balas tersenyum, lalu mencium pipi montok anaknya.
Annisa selalu berdoa agar anaknya tidak cepat-cepat tumbuh dewasa, namun sepertinya doanya tidak terkabul. Perkembangannya begitu pesat. Sejak beberapa tahun terakhir, Dax telah menunjukkan kecerdasan dan sikap yang melampaui usianya. Dia tidak tertarik pada mainan seperti anak lain, melainkan lebih menyukai buku, komputer, dan musik.
Setiap hari, Annisa melihat Dax belajar banyak hal dengan sangat cepat. Itu membuatnya khawatir. Tetapi, menurut Nuri, Dax itu jenius dan tidak perlu dikhawatirkan, justru harus menjadi kebanggaan.
"Ma, kapan kita ketemu kakek !?" Dax tiba-tiba bertanya, membuat Annisa terkejut.
Ia diam-diam menarik napas dalam-dalam, teringat janjinya kepada Dax untuk mengajaknya bertemu kakek buyutnya begitu tiba di Indonesia.
"Kan Mama udah bilang? Nanti kita langsung ke sana begitu sampai," jawab Annisa. "Sudah beres-beres? Nggak usah bawa banyak-banyak. Nanti apa-apa yang kamu butuhkan kita beli di sana saja..."
Mereka akan meninggalkan rumah ini besok dan singgah di Stockholm semalam sebelum kembali ke Indonesia.
"Hmm, Nenek Nuri udah bantuin beres-beres kok. Tenang aja, Ma... Aku cuma bawa beberapa baju sama buku-bukuku aja."
Keesokan harinya, Annisa akhirnya terbang kembali ke negaranya.
Saat Annisa tiba di Bandara Arlanda, ia terkejut melihat Jay Foster sudah berada di dekat konter check-in. Seperti biasa, Jay mengenakan setelan formalnya yang pas di badan. Rambutnya ditata rapi, terlihat sangat tampan.
Ia hanya berdiri diam, namun sudah berhasil menarik perhatian orang-orang di sekitarnya yang memandangnya seperti melihat pangeran kaya raya.
Annisa tersenyum lebar. Ia langsung menggandeng tangan Dax dan menghampiri Jay.
"Jay, seneng banget deh ketemu kamu di sini," kata Annisa sambil tersenyum lebar, lalu melirik putranya, "Dax, sapa Om Jay."
"Halo, Om Jay," sapa Dax sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Hei, jagoan. Senang ketemu lagi. Kamu kelihatan lebih tinggi ya sekarang..." kata Jay sambil menerima tangan mungil Dax.
"Jay, makasih banyak, ya," Annisa mengambil troli koper dari Nuri dan mendorong ke arah Jay. "Kamu emang sahabat terbaikku, deh. Nggak nyangka orang sesibuk kamu mau-maunya ke sini bantuin kita..." Annisa memberikan tiket dan paspor mereka.
Jay terdiam, hampir tersedak mendengar ucapan Annisa.
'Siapa juga yang ke sini untuk membantu membawa koper?' batinnya. Ia ke sini untuk memastikan Annisa benar-benar kembali ke Indonesia. Perusahaan mereka sedang menunggunya untuk mengambil alih.
Jay ingin menjawab, tetapi terdiam saat melihat Annisa sudah berjalan lebih dulu menuju ruang tunggu. Ia hanya bisa tertawa kecil sambil memberi isyarat kepada pengawalnya.
"Urus ini..." perintah Jay, lalu menyusul Annisa.
Alan mengikuti Baskara dari belakang dengan senyum lega. Setidaknya tuannya tidak membatalkan makan malam kali ini.Saat Baskara memasuki ruang tamu, Jessica adalah yang pertama kali menyadarinya. Ia langsung berdiri dan menghampirinya dengan senyum lebar."Anakku, akhirnya kamu datang juga. Ya ampun, kamu makin tampan saja... sini, sini... peluk Mama. Mama kangen sekali, Baskara.""Ma," sapa Baskara, menerima pelukan ibunya dengan kaku.Jessica melepaskan pelukannya. "Kenapa nggak langsung temui kami? Kamu kan sudah tahu kami pulang liburan?""Aku sibuk di kantor, Ma. Nggak ada waktu luang.""Sayang, tolonglah... luangkan sedikit waktu buat dirimu sendiri. Nanti kamu stres dan kecapekanó""Cukup, Jessica!" suara berat dan berwibawa dari belakang membuat Jessica berhenti bicara. William Aditama, suaminya, menatap mereka. Ia tersenyum pada putranya. "Baskara, sini duduk.""Ayahó"Sebelum Baskara sempat bergabung dengan ayah dan kakeknya, ibunya menahan lengannya. "Nak, Mama perlu bicar
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan restoran .Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.–Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Baru
Ucapan Annisa terpotong oleh tawa Baskara yang tiba-tiba menggema di ruangan."Hahaha, aku tahu..."'Kenapa dia tertawa!?' Annisa bingung. 'Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang bisa dia pelintir... lagi!?'"Aku tahu... kamu cemburu sama dia! Oh, Nisa... kan sudah kubilang aku nggak punya hubungan apa-apa sama perempuan itu. Harusnya kamu percaya sama aku."Annisa terdiam, tak bisa berkata-kata."Baskara, selamat tinggal untuk imajinasi liarmu!" katanya kesal. Melihat Baskara hendak bicara, ia langsung menyela, "—Aku nggak ngomongin soal itu. Aku cuma mau kasih tahu, aku berencana menuntut dia!"Annisa akan memberi pelajaran pada Laura Kiels sebelum ia menjadi selebriti papan atas. Beraninya dia main-main dengan Quantum Capital!?"Kamu mau menuntut Laura Kiels?" Meskipun Baskara tidak punya hubungan dengan Laura, sebagai seorang pebisnis, ia terkejut mendengar ucapan Annisa.Bagi agensi hiburan yang bahkan tidak masuk lima besar di negara ini, kehilangan Laura Kiels bisa menjamin
Baskara, dengan ekspresi datar, menjawab, "Baiklah. Tapi tolong janji kamu akan menghubungiku saat tiba di rumah...""Hmm... Kalau kamu memaksa, aku akan—" Annisa melambaikan tangannya saat ia menekan pedal gas, meninggalkan rumah Baskara.Di kaca spion, Annisa melihat Baskara masih berdiri di sana, tatapan khawatirnya terpaku pada mobilnya yang menjauh.Hemff..!"Andai saja kamu memperlakukanku sebaik ini saat kita menikah, Baskara Aditama... Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tapi, kamu sudah terlambat sekarang..."Ia hanya bisa tersenyum kecut pada kata-katanya sendiri.Hidden Paradise PalaceSaat Annisa memarkir mobilnya, ia terkejut melihat Dax dan Bibi Nuri sudah menunggunya di depan pintu. Terpesona oleh kelucuan putranya, ia langsung lupa untuk mengirim pesan pada pria yang kini hanya bisa menatap ponselnya dengan cemas.Merasa kecewa karena Annisa tidak menelepon atau mengirim pesan, Baskara naik ke lantai dua dengan ekspresi muram, berniat istirahat sebelum makan malam.Bar
Wajah Baskara menegang mendengar pertanyaan Annisa.'Kenapa dia berasumsi aku menikah dengan Laura? Apa Ibu yang memberitahunya? Sengaja biar dia marah!?' batinnya.Setelah berpikir beberapa detik, semuanya menjadi jelas. Pantas saja sikap Annisa begitu sinis saat pertama kali bertemu di restoran sushi itu.'Dia pasti cemburu, kan?'Baskara menatap lekat mata Annisa, mencoba mencari jejak kecemburuan di sana. Annisa balas menatapnya, dahinya berkerut seolah sedang memikirkan sesuatu. Tak lama, senyum hangat yang menawan perlahan terukir di bibir Baskara."Nisa, aku tahu kamu cemburu. Tapi kamu nggak perlu khawatir soal perempuan itu. Aku nggak punya hubungan apa-apa sama dia, bahkan menyentuhnya pun nggak pernah."Annisa terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tak bisa berkata-kata.'Dia pikir apa? Siapa juga yang cemburu sama dia?' Ia menatap Baskara dengan tajam, tapi pria itu hanya tersenyum, senyum terbaik yang pernah Annisa lihat darinya.Annisa menggelengkan kepalanya pelan, mencoba
Senyum di wajah Baskara perlahan memudar. "Maaf soal ibuku, Nisa," katanya tulus. "Aku janji hal seperti itu nggak akan terjadi lagi. Ibuku nggak akan pernah muncul di hadapanmu lagi.""Ok, Baskara. Tapi yang kukhawatirkan sekarang bukan ibumu. Aku nggak mau dia sampai ketemu anakku—""Anak kita, Nisa," potong Baskara.Annisa menelan ludah, tapi tidak mengoreksinya. "Baskara, aku khawatir," tangannya terkepal. "Kalau ibumu sampai tahu soal Dax, aku nggak mau dia bertingkah memalukan seperti tadi. Kamu bisa janji?""Tentu saja, Nisa. Kamu istriku, dan Dax anakku. Aku akan melindungi kalian. Nggak akan ada yang bisa menyakiti kalian... bahkan ibuku sendiri."Annisa menghela napas. "Aku bukan istrimu. Bisa serius sedikit nggak, Baskara?""Aku serius. Kamu wanitaku, tentu saja akan kulindungi.""Astaga..." Annisa kehabisan kata-kata. Kenapa pria ini terus-menerus memanggilnya 'istri'? "Tuan Aditama, apa kepala Anda habis terbentur sampai lupa kalau kita sudah cerai?"Baskara terdiam."Ser