“Kau dari mana, Dave?” Caroline langsung menanyai Dave tatkala dilihatnya Dave menuruni tangga.
“Kamar Maura.” Jawab Dave singkat. Ia lalu mengempaskan tubuhnya di sofa. Caroline yang masih duduk di kursi meja makan akhirnya beranjak menghampiri Dave. Ia pun memilih duduk di samping Dave. Ditatapnya Dave yang terlihat kusut dan lesu.
“Maura itu siapa?” Caroline mengawali interogasinya. Dave terlihat enggan menjawab. Ia tahu Caroline akan terus menanyainya sampai puas.
“Maura itu mahasiswa master di kampus kita.”
“Bagaimana kalian bertemu?”
“Kami bertemu tidak sengaja. Terjadi begitu saja di kampus.”
Caroline m
Dave dan Maura kini menjadi lebih irit bicara. Banyak hal yang dulunya mendekatkan mereka kini menjadi kebalikannya. Ketika harus terjebak dalam ruangan atau situasi yang sama berdua saja, baik Dave atau Maura mampu bertahan dalam kebisuan masing-masing. Ketika Dave meminta Maura untuk mengecek, membaca, dan membalas surel yang masuk, biasanya ia akan memberi tahu Maura secara langsung atau menelepon sendiri. Namun kini Dave selalu menyuruh Matt untuk memanggil Maura.Maura mengetuk pintu ruang kerja Dave satu kali. Terdengar suara Dave menjawab dari dalam. Perlahan, Maura membuka pintu dan mendapati Dave tengah sibuk di balik meja kerjanya. Dengan isyarat gerakan dagunya, Dave menunjuk apa yang harus dikerjakan Maura. Maura mengangguk paham dan segera menuju komputer yang terletak di sisi kanan meja kerja Dave.Jemari Maura yang bergerak lincah di atas
Maura berjalan dengan langkah gontai meninggalkan café Mev Inge. Hari masih sangat pagi sehingga belum ada bus yang beroperasi. Maura kecewa karena Mev Inge tidak mengizinkannya membantu pekerjaan paginya, belanja bahan makanan lalu mengolahnya.Kalian seharusnya menyelesaikan masalah secara dewasa. Orang dewasa melakukannya dengan bicara, Maura…. berkomunikasi. Bukan kabur seperti ini.Rasanya setiap kata yang diucapkan Mev Inge masih terdengar sangat jelas di telinga Maura. Maura bisa menangkap kesal yang teramat sangat pada suara Mev Inge. Tapi, mau bagaimana lagi. Maura benar-benar tidak tahan melihat tingkah Dave.Kau cemburu, Maura?“Tentu saja.” Maura menjawab pertanyaan dirinya dengan suara cukup lantang. Un
Maura sedang menuruni tangga ketika Dave muncul dengan wanita yang berbeda lagi. Maura hampir terjatuh karena mengira kakinya telah menginjak anak tangga terakhir. Untunglah refleks Maura masih bagus sehingga ia bisa dengan cepat meraih pegangan tangga yang tidak jauh darinya.Wanita berbeda lagi. Batin Maura. Maura menatap Dave dan wanita di sampingnya bergantian.“Maura, Ini Sofia.” Ucap Dave santai. Tangan Dave yang tadinya menggandeng tangan Sofia kini berubah posisi. Dave seolah sengaja melingkarkan di pinggang wanita itu. Maura masih terdiam, namun akhirnya ia membalas juga sapaan Dave.“Hai Sofia.” Maura melambaikan tangan dengan memaksakan sebuah senyuman. Dave lalu mengajak Sofia untuk duduk&
Maura menyentuh dada Dave dan mendorongnya perlahan. Napasnya terlampau sesak karena ciuman Dave yang membara. Alih-alih menghentikan ciumannya, Dave justru menggenggam pergelangan tangan Maura. Mencoba menahan dorongan Maura pada dadanya."Katakan kamu juga menginginkanku, Maura." Dave berbisik lembut begitu menyudahi ciumannya. Maura yang masih terengah-engah segera mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia begitu mengkhawatirkan dirinya sendiri. Khawatir tidak mampu mengontrol lidahnya karena luapan hasrat yang telah sampai ke ubun-ubun. Sejujurnya Maura juga menginginkan Dave, tapi mengatakannya dengan gamblang bukanlah perkara mudah."Kau tahu, Maura. Tidak ada satu pun dari wanita-wanita itu yang kusentuh." Dave menatap bola mata Maura lekat-lekat."Kenapa, Dave?" Maura bertanya dengan terbata. Ia pun membalas t
Maura mengerjap ketika telinganya menangkap suara cicitan burung yang bersahutan. Dilihatnya jendela yang berselimut vitrase. Langit sudah tidak lagi berwarna gelap.“Sudah pagi.” Gumam Maura sambil melihat Dave di sampingnya, masih terlelap dengan lengan kanan di bawah kepalanya dan lengan kiri memeluk pinggangnya. Dada Dave yang telanjang terasa begitu nyaman sebagai naungan.“Selamat pagi, Dave.” Bisik Maura lembut. Dave tetap bergeming. Entah ia memang masih terlelap tidur atau enggan membuka mata. Maura menatap wajah damai Dave yang tampak menyunggingkan senyum.“Apakah kau tengah bermimpi, Dave?” Bisik Maura. ia benar-benar penasaran dengan senyuman Dave.“Jika memnag kamu tengah bermimpi, mimpi seperti apakah itu?&rd
Maura menghentikan langkahnya ketika mendapati seorang wanita cantik sedang duduk di ruang tamu. Kecantikan wanita itu tak biasa. Perpaduan antara Asia dan Eropa yang sempurna. Maura sempat menduga jika wanita itu blasteran Indonesia.“Hai.” Sapa Maura singkat. Ia tidak tahu harus menyapa seperti apa. Wanita itu tidak menjawab. Hanya lambaian tangannya sebagai jawaban. Maura tersenyum kecut.Ah, mungkin ia menggira aku pembantu di rumah ini. Pikir Maura sambil berusaha tidak berlama-lama memendam kecewa.Umm…. Tapi bukankah aku memang seorang pembantu di sini. Statusku dan Matt atau pun Bibi Tilda adalah sama, sama-sama pembantu Dave. Maura semakin mempertegas posisinya di rumah ini.
“Selamat pagi.” Sebuah kecupan mendarat di bibir Maura. Maura menggeliat kemudian mengerjapkan mata. “Dave....” Panggil Maura masih dengan mata sedikit terpejam. “Hmm....” Dave membalas dengan dehaman pendek. Ia pun memutuskan untuk duduk di samping Maura. “Dave....” Panggil Maura lagi. Ia terlihat masih enggan membuka mata. “Tidakkah kau ingin membuka mata, Maura. Aku sudah duduk di sampingmu dari tadi.” Dave mengembuskan nafasnya kasar. Ia sengaja berpura-pura marah. Maura langsung membuka mata begitu mendengar nada bicara Dave yang berbeda. “Kau sudah rapi?” Maura mengerjap satu kali sebelum akhirnya membelalak keheranan. “Ya.” Jawab Dave singkat. Dave beranja
Dave menggenggam tangan Maura sangat erat. Ia seolah tidak rela membiarkan Maura pulang sendirian. Matt yang sedang mengemudi tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia khawatir tidak bisa mencapai bandara tepat waktu. “Menyetirlah dengan hati-hati, Matt.” Dave memperingatkan Matt yang melajukan mobil dengan kecepatan melebihi batas aman berkendara. Matt menekan pedal rem perlahan untuk mengurangi kecepatan. “Jika memang pesawat terakhir tidak terkejar, aku akan ikut pulang bersama Maura.” Dave membuat keputusan final. Maura segera menarik tangannya sebagai bentuk protes. “Jangan, Dave.” Maura menggeleng cepat. “Kau tidak boleh bersikap seperti ini.” Lanjut Maura. Dave menyunggingkan senyum tipis. “Kau tidak nyaman