MasukPukul sebelas malam, Ares masih duduk di kursi kerjanya di ruang pribadi mansionnya. Di hadapannya, sebuah gelas whiskey setengah kosong. Ini gelas ketiganya malam ini.
Ditatapnya layar komputernya yang menampilkan foto profil Raya dari database karyawan. Foto itu diambil di hari pertama Raya bekerja, tersenyum polos, mata berbinar penuh harapan, rambut diikat sederhana. Tidak perlu berdandan berlebihan pun Raya sudah terlihat menarik. Sangat berbeda dengan Raya yang ia tinggalkan tadi. Raya yang terluka. Raya yang hancur. Ares menutup mata, mencoba mengatur detak jantungnya yang memburu. Baru saja ia melakukan kebohongan terbesar dalam hidupnya. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menyaksikan bagaimana wajah Raya berubah dari harapan menjadi kehancuran total. Mata gadis itu berkaca-kaca. Bibirnya yang bergetar menahan isak. Tangannya yang gemetar saat menggenggam tas. "Sialan," desis Ares, membuka mata dan menatap pantulannya sendiri di jendela dengan penuh kebencian. Ares meneguk whiskey-nya habis dalam satu tegukan, berharap alkohol itu bisa menghilangkan rasa bersalah yang menggerogotinya. Cairan amber itu membakar tenggorokannya, tapi rasa sakitnya tak ada apa-apanya dibanding rasa sakit di dadanya. Rasa bersalah semakin kuat, semakin membuatnya sesak. Ia mengingat tatapan mata Raya saat ia mengatakan gadis itu hanyalah gadis naif. Mata yang begitu indah dan ekspresif itu meredup seketika. Seperti melihat cahaya padam. Dan saat Raya bertanya tentang ciuman mereka di kantor dengan suara bergetar. Ares menjawabnya sebagai sebuah kesalahan. Padahal ciuman itu adalah segalanya. Ciuman itu adalah momen ketika ia kehilangan semua kontrol yang selama ini ia jaga ketat. Ciuman itu adalah bukti bahwa ia sudah jatuh terlalu dalam untuk gadis berusia dua puluh dua tahun itu. Itu bukan kesalahan atau kecelakaan. Itu adalah sesuatu yang sudah ia inginkan sejak lama. Ia masih bisa merasakan kelembutan bibir Raya, mendengar desahan kecilnya, merasakan tubuh mungil itu gemetar di pelukannya. "Ini yang terbaik," gumamnya lagi, berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk kesekian kalinya. Suaranya terdengar hampa bahkan di telinganya sendiri. "Lagipula usia kami berdua terlampau jauh. Raya bisa mendapatkan pria yang lebih muda dan lebih mencintainya." Tapi hatinya tahu, itu hanyalah kebohongan yang ia ciptakan untuk melindungi dirinya sendiri. Ares menutup mata, mengatur napasnya yang memburu. Hanya membayangkan Raya berada dalam pelukan pria lain saja, sudah membuat dadanya panas. Karena sejujurnya, ia sangat tertarik pada Raya. Terlalu tertarik, bahkan. Hingga membuatnya hampir kehilangan akal setiap kali perempuan itu berada terlalu dekat. "Tapi tidak boleh, Ares! Dia mantan pacar anakmu, dan sepertinya Kenzie masih memiliki hati pada Naraya," geramnya pada diri sendiri. "Kamu tak bisa menggandeng gadis yang pernah menjalin hubungan dengan anakmu!" Ares mengepal rahangnya lebih keras, mengingat bagaimana awal ia mengetahui hubungan antara Kenzie dan Raya. Saat Kenzie datang mengganggu Raya di kantor waktu itu, sesuatu dalam diri Ares tergelitik. Cara Raya bereaksi, cara wajahnya berubah pucat, cara tubuhnya menegang, itu bukan reaksi biasa. Ia kemudian meminta Putra, asistennya, untuk menyelidiki. Dan laporan yang ia terima membuat darahnya mendidih. Kenzie, anak semata wayangnya yang dimanja, telah melukai Raya dengan cara yang sangat kejam. Dipermalukan di depan umum, dikhianati dengan sahabatnya sendiri, bahkan membuat Alicia menyebarkan video yang merendahkan martabat Raya. Dan sekarang, Raya ingin balas dendam. Menggunakan dirinya sebagai senjata. Ares tidak bisa menerima itu. "Ini yang terbaik," gumamnya pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Ini yang terbaik untuk kita berdua." Tapi hatinya berteriak sebaliknya. Hatinya ingin berlari kembali ke dalam restoran, memeluk Raya erat-erat, dan mengatakan bahwa semua yang barusan ia katakan adalah kebohongan belaka. Hatinya begitu terluka melihat gadis itu pergi dengan mata berkaca-kaca, bahu bergetar menahan tangis. Namun ia tidak bisa. Usianya bukan lagi usia untuk bermain-main, apalagi dengan permainan berbahaya seperti ini. Lagipula, tujuan balas dendam Raya adalah anaknya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa menjalani hubungan yang dibangun di atas fondasi yang rapuh seperti itu? Meskipun itu artinya ia harus menyakiti gadis yang mulai mengisi pikirannya setiap malam. Gadis yang membangkitkan sisi liar dan penuh gairah yang sudah lama ia pendam. "Maafkan aku, Raya," bisiknya pelan ke arah pantulan di jendela, suaranya serak. "Ini yang terbaik untuk kita berdua. Suatu hari nanti, kamu akan mengerti." Ares menurunkan gelasnya dengan gerakan lambat, lalu memijat pelipisnya. Kepalanya berat, tapi bukan karena alkohol, karena pikiran. Karena penyesalan yang menyesakkan dada. Ponselnya bergetar di meja. Nama Kenzie muncul di layar. Ares menatap layar itu lama, lalu akhirnya menjawab. “Ya?” suaranya berat. “Dad, besok aku mau ke rumah. Kita perlu bicara.” “Bicara tentang apa?” “Raya,” jawab Kenzie pelan. "Naraya?" Ares mengerutkan keningnya. "Ada apa dengan dia?" "Kuharap Dad harus berhati-hati dengannya." "Apa maksudmu, Kenzie?" suaranya dalam, datar, tapi mengandung tekanan halus. "Dad harus tahu siapa Raya sebenarnya." Kenzie tertawa kecil di ujung sana, tawa yang membuat Ares ingin membanting ponselnya. “Dia bukan gadis polos seperti yang terlihat. Dia—” “Langsung ke intinya,” potong Ares tajam. Kenzie terdiam sesaat, lalu mendesah seperti seseorang yang akan memberi peringatan penting. "Dia berniat untuk menggoda Dad. Dia ingin membuatku cemburu setelah aku memutuskannya," Ares membiarkan Kenzie berbicara sepuasnya. Suara putranya itu terdengar semakin tajam, penuh ejekan yang dibungkus kepura-puraan prihatin. "Dia bahkan sempat menyombongkan diri padaku, Dad. Katanya Dad terlalu mudah dibuat jatuh hati. Raya gadis yang licik. Aku pikir Dad harus hati-hati." Ares mengusap wajahnya dengan satu tangan, napasnya berat. Ia tahu betapa manipulatifnya Kenzie kalau merasa terancam atau kalah. Tapi kata-kata Kenzie tentang Raya itu, memang membuatnya geram. Hingga ingin memukul putranya agar sadar. “Kamu tak perlu mengkhawatirkannya. Aku akan mengurus semuanya," Suara Ares rendah tapi tegas, tak ingin mendengarkan lebih lanjut Kenzie menjelek-jelekan Raya. Kenzie terkekeh pelan, terdengar puas. “Bagus. Kalau Dad mau mengurusnya. Gadis seperti Raya tempatnya bukan di samping kita, Dad. Sebaiknya Dad memecatnya segera.” Ares langsung memutuskan sambungan telepon. Ditatapnya ponselnya lama, seolah masih mendengar gema suara anaknya. Tangan Ares mengepal di meja, jemarinya menegang sampai buku-buku jarinya memutih. "Semakin kamu melarangku berdekatan dengan Naraya. Semakin aku ingin membuktikan kalau Naraya bisa memilikiku Kenzie!"Brandon, seperti biasa, menjadi orang pertama yang berhasil menguasai rasa kagetnya. Ia langsung mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, seperti sedang ditodong polisi. "Aduh... sumpah, Res. Maaf! Kita nggak tahu kamu lagi..." Brandon tampak mencari-cari kata yang tepat, matanya bergulir kiri–kanan. "euh... sibuk." Ia menyeringai canggung, mencoba menutupi rasa kagetnya dengan tawa kecil yang dipaksakan. Geri di sampingnya langsung menggaruk kepala, tertawa kering. "Serius, kita kira kamu sendirian. Harusnya kita ketuk pintu kayak orang ngeronda." Kevin dan Fattah saling pandang, lalu mengangguk sopan pada Raya yang terlihat malu setengah mati. Mereka menahan senyum geli. Tapi Bella? Wanita itu justru berdiri kaku dengan wajah yang mulai memerah, bukan karena merasa bersalah, tapi kesal yang jelas terpancar dari matanya. Di sampingnya, Maura—yang semua orang tahu adalah simpanan Kevin—menganga tanpa berusaha menutup mulutnya. Tatapannya bolak-balik antara Ares dan Raya, seolah ba
Tok. Tok. "Masuk," suara Ares terdengar datar sekaligus tegas dari dalam. Pintu perlahan dibuka, menampilkan Raya yang melangkah masuk dengan berkas di tangannya. Ares tengah berdiri di depan meja, melepas jasnya dan menggantungnya di kursi. Ia langsung berbalik menatap kekasihnya. Kemeja putihnya digulung sampai siku, membuatnya tampak jauh lebih kasual tapi tetap berwibawa, dan jauh lebih berbahaya bagi ketenangan Raya. "Kok lama," ujar Ares sambil merapikan lengan kemejanya. "Kurirnya telat?" Raya menutup pintu dengan hati-hati, berusaha menjaga profesionalisme yang tersisa. "Maaf, Pak. Tadi Sisca sama Dina ngajak ngobrol sebentar." Alis Ares terangkat pelan. Ia dapat membaca dari wajah Raya, kalau mereka bukan mengobrol obrolan biasa. "Ngobrol apa?" Raya melangkah beberapa langkah mendekat. Napasnya terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena beban informasi yang baru saja ia terima. "Soal Mbak Sari." Ares terdiam. Sorot matanya berubah tegas, nyaris dingin. Ia telah men
Suasana lobby gedung Mahardika Group siang ini cukup ramai—karyawan berlalu-lalang, beberapa tamu menunggu di sofa, suara obrolan, langkah sepatu, dan dering telepon bercampur jadi satu. Raya berdiri di area terbuka dekat pintu masuk, tempat orang datang–pergi secara konstan. Mata Raya fokus pada lift kaca di sisi kanan lobby, lalu bergeser pada pintu putar kaca besar. Ia sedang menunggu kurir lapangan yang seharusnya tiba lima menit lalu, membawa berkas penting yang Ares butuhkan sebelum rapat sore. Ia mengecek ponsel lagi. Chat terakhir bertuliskan Kurir: On the way, Mbak. Lima menit lagi. "Raya!" Suara yang terlalu lantang itu membuatnya menoleh cepat. Ia langsung melihat Sisca dan Dina datang terburu-buru, seperti dua reporter yang menemukan bahan gosip bernilai miliaran rupiah. Bahkan dari jauh saja ekspresi keduanya sudah seperti ingin meledakan informasi yang ditahannya. Raya tersenyum ramah. "Hai... dari mana?" Sisca mendekat seperti agen rahasia yang takut disadap. Be
Raya segera menghampiri Ares begitu melihat Ratih masuk kembali ke kamar untuk beristirahat. Pria itu masih duduk di sofa kecil ruang tamu, satu tangan memijat keningnya seperti baru saja melewati ujian berat. Mendengar langkah kaki Raya, Ares membuka mata. Senyumnya langsung mengembang sempurna, hangat dan lega. Tangannya terulur, meminta Raya mendekat. "Sini," ucapnya pelan dan lembut. Raya mendekat, duduk di samping Ares. Wajahnya terlihat khawatir. Kekasihnya langsung meraih tangannya, menggenggamnya erat sambil membelai pipi Raya dengan tangan satunya. "Sayang," bisiknya pelan, seolah kata itu adalah mantra yang menenangkan. Raya refleks menegakkan bahu, antara tersipu dan khawatir. "Kenapa mukanya kaya tegang banget?" Raya menatap wajah Ares, dipenuhi rasa penasaran bercampur cemas. "Ibu tanya apa aja? Kamu gak apa-apa kan?" Ares menahan tawa kecil, menggelengkan kepala "Rahasia. Cuma bahasan antara calon menantu dan ibu mertua,” ujarnya, Raya mengangkat alis. "Serius?"
Keesokan harinya, Ratih sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit ditemani Raya dan Dio. Anita yang mengantar mereka sampai rumah, memastikan semuanya berjalan lancar. Namun perjalanan pulang itu terasa hening. Ratih tampak banyak berpikir, menatap keluar jendela sambil sesekali melirik Raya. Sesampainya di rumah, Ratih langsung masuk kamar untuk beristirahat. Fisiknya sudah pulih, tapi jelas pikirannya penuh beban. Sore hari, bel rumah tiba-tiba berbunyi. Raya yang membuka pintu langsung terbelalak. Ares berdiri di depannua, mengenakan kaos putih polos dengan celana chino. Wajahnya serius tapi sopan. "Ares?" bisik Raya kaget. "Kok bisa disini? Bukannya—" "Aku gak bisa ninggalin kamu sendirian disini, jadi aku gak jadi pulang ke Jakarta." "Tapi gimana kamu bisa tahu rumahku? Mau apa kesini?" Ares tersenyum kecil. "Mudah sekali mendapatkan alamat karyawanmu sendiri, sayang." Tangan Ares terulur mengusap pipi kekasihnya. Padahal baru semalam saja mereka tak bertemu tapi Ares s
Di salah satu kamar suite hotel bintang lima di Ares berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota Surabaya dengan lampu-lampu yang berkelip di kejauhan. Tangannya terkepal di saku celana, rahangnya mengeras. Ia urung pulang ke Jakarta seperti yang dikatakannya pada Raya. Hati dan pikirannya mengatakan ia harus tetap berada di Surabaya. Berjaga-jaga kalau Raya membutuhkannya, atau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Dan ternyata instingnya benar. Beberapa menit yang lalu ia mendapatkan laporan pelaku penyebaran foto dan video Raya. David duduk beberapa meter dibelakangnya tengah membuka laptop, melihat berbagai bukti digital yang telah dikumpulkan selama beberapa hari terakhir. "Tuan," panggil David. "Semuanya sudah terkonfirmasi. Pelakunya memang Sari." Ares tak berbalik, hanya mengangguk pelan, wajahnya begitu dingin. "Selama ini dia memang menguntit Nona Raya," lanjut David sambil membaca laporan di layar. "Hampir seluruh kegiatan Nona di kantor, saat gathering, bahkan







