Share

Bab 6

Penulis: QueenShe
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-07 11:35:00

Malam itu, Raya duduk di kamar kost-ya, menatap kosong ke arah layar laptopnya yang membuka folder berisi foto-foto dirinya dengan Kenzie dulu, saat mereka masih bahagia.

"Kenzie... aku melakukan semua ini karena kamu," gumamnya getir. "Tapi kenapa diacuhkan Ares, aku malah lebih patah hati?"

Ponselnya berdering. telepon dari Liodra, satu-satunya sahabat yang mengetahui niatnya menggoda Ares, ayah Kenzie.

"Raya, gimana udah berhasil belum misinya?" seru Liodra di seberang telepon.

Raya terdiam lama, sampai akhirnya menjawab dengan nalas, "Belum. Dia sepertinya emang kebal."

"Tidak mungkin! Kamu udah pake semua jurus kan?"

"Aku udah lakuin semuanya, Li."

Sesuatu di dalam dada Raya bergejolak campuran antara putus asa, frustasi, dan sedikit harapan yang tidak mau mati.

"Dengerin, Ray. Sebagai 'ani-ani' profesional, aku kasih tahu ya cara yang paling ampuh. Pancing dia dengan sentuhan yang lebih berani terlebih dulu," ujar Liodra.

Sebagai simpanan seorang direktur tentu Liodra lebih paham cara-caranya. Hanya saja semangat Raya sudah tidak semenggebu sebelumnya. "Kalau tidak berhasil?"

"Kirim foto telanjang, dengan angle yang membuat penasaran. Terus bilang kalau kamu salam kirim, tunda beberapa menit, sebelum kamu tarik pesannya."

"Li!" bentak Raya. "Ide macam itu?!"

"Serius, Ray. Cowok itu hidup dengan imajinasi dan fantasi. Kalau dikirim foto nude, dia masih bebal. Berarti kamu emang gak menarik, Ray," timpal Liodra santai sambil tertawa kecil.

"Kurang ajar kamu!" Raya ikut tertawa tak tersinggung.

"Udah dulu ya, Ray. Sugar daddyku udah datang, butuh belaian dan tunggangan. Lakuin saranku."

Liodra menutup panggilannya tanpa menunggu jawaban dari Raya yang kini termenung meresapi saran dari sahabatnya yang lrbih berpengalaman.

"Baiklah," gumamnya pelan. "Satu kali lagi. Kalau gagal aku menyerah."

***

Jam pulang kantor Raya masih duduk di mejanya, pura-pura sibuk meski sebenarnya ia hanya menulis tulisan acak. Gedung perkantoran sudah sepi. Hanya lampu di ruangan Ares dan mejanya yang masih menyala.

Seharian ini ia tidak memiliki kesempatan menggoda Ares. Pria itu berada di luar kantor seharian, dengan sengaja mengajak Sari untuk mendampinginya. Alasannya Raya harus menyelesaikan pekerjaan yang ada di kantor.

Pukul sepuluh malam, akhirnya pintu ruangan Ares terbuka. Pria itu keluar dengan jas yang sudah ia lepas, lengan kemejanya digulung hingga siku, menampakkan lengan berotot yang membuat Raya harus menelan ludah.

Ares cukup terkejut melihatnya masih ada. "Kenapa kamu belum pulang?"

"Menunggu Bapak selesai," jawab Raya dengan senyum kecil, berusaha terdengar tulus. "Saya pikir mungkin Bapak butuh sesuatu sebelum pulang."

Rahang Ares menegang. "Kamu tidak perlu melakukan itu. Pulang sekarang. Sudah malam."

"Baik, Pak." Raya berdiri, mengambil tasnya dengan gerakan perlahan. Ia melangkah mendekati Ares, jantungnya hampir melompat keluar dari dada. Ini kesempatan terakhirnya. Sesuai saran sahabatnya, beranikan diri untuk menyentuh.

"Bapak tidak lelah?" tanyanya lembut, menatap mata Ares dengan tatapan yang ia harapkan terlihat perhatian dan menggoda. "Sudah seharian bekerja."

Raya mengangkat tangan perlahan, hendak menyentuh lengan Ares yang terbuka. tangannya hampir menyentuh kulit pria itu tapi—

GREP!

Ares menangkap pergelangan tangannya dengan cepat. Genggamannya kuat tapi tidak menyakitkan.

"Jaga sikapmu, Raya," ucapnya pelan, tapi nada suaranya tajam seperti pisau yang baru diasah. Matanya tajam langsung menyorot kedua mata Raya.

Raya balik menatapnya, napasnya tertahan. Anehnya bukan karena takut, tapi karena sentuhan tangan Ares yang hangat di pergelangan tangannya membuat jantungnya berdetak tidak karuan.

"Pak—"

"Kamu belum makan malam, kan?" potong Ares tiba-tiba, melepaskan tangannya. Tatapannya berubah, lebih lembut tapi tetap berjarak. "Ayo, saya traktir."

Raya terpana. Eh... kenapa tiba-tiba? jeritnya dalam hati. Tapi ini kesempatannya! Makan malam berdua dengan Ares! Senyum lebar mernghiasi wajah Raya. Tak ingin membuat Ares menunggu, ia segera mengikuti langkah Ares yang sudah berjalan terlebih dahulu didepannya.

Di private room restoran Jepang mewah di lantai paling atas gedung perkantoran. Hanya ada beberapa tamu, suasananya tenang dan privat. Lampu temaram menciptakan suasana yang romantis.

Raya duduk di hadapan Ares, jantungnya berdebar keras. Ini kesempatannya. Mungkin setelah ini, pria itu akan melangkah lebih jauh. Mungkin, mereka akan—

"Naraya, saya tahu siapa kamu." Suara Ares mengalun rendah penuh peringatan.

Kalimat itu menghancurkan semua lamunan Raya. Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa dingin.

Raya membeku. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. "A-apa maksud Bapak?"

"Kamu mantan kekasih Kenzie."

Rasanya seperti ada palu besar yang menghantam dadanya. Raya merasakan darahnya mengalir lebih lambat. Wajahnya memucat.

"Saya juga tahu kenapa kamu tiba-tiba mengubah penampilan dan menggodaku," lanjut Ares, suaranya tenang, tapi setiap katanya terasa seperti tusukan. "Kamu ingin membalas dendam pada Kenzie lewat saya. Benar?"

Raya tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu. Tenggorokannya tercekat. Semua kata-kata yang sudah ia persiapkan menguap begitu saja.

Ares meletakkan gelas sake-nya di atas meja, menatap Raya dengan tatapan yang sulit dibaca, campuran antara kekecewaan, kemarahan yang ditahan, dan entah apa lagi.

"Ingat Naraya, Saya tidak tertarik dengan permainan seperti ini. Saya bukan anak kecil yang bisa kamu gunakan untuk menyakiti anak saya."

"Pak—" Raya mencoba membela diri, tapi suaranya keluar seperti bisikan lemah.

"Dan perlu kamu tahu," Ares memotong lagi, kali ini suaranya lebih rendah, lebih berbahaya, "saya tidak tertarik dengan anak kecil yang masih bermain-main sepertimu. Kamu pikir dengan menggodaku, kamu bisa membuat Kenzie cemburu? Membuat dia menderita? Kamu terlalu naif, Naraya."

Ares tersenyum sinis. Senyuman yang membuat Raya merasa begitu kecil dan bodoh.

"Kenzie bahkan tidak peduli. Dia sudah bahagia dengan kekasih barunya. Sementara kamu?" Ares menatapnya tajam. "Kamu masih terjebak di masa lalu. Membuang-buang waktu dan harga dirimu untuk balas dendam yang tidak akan membawamu ke mana-mana."

Setiap kata yang keluar dari mulut Ares terasa seperti cambukan. Raya merasakan air matanya mulai menggenang di pelupuk mata.

"Ciuman kemarin..." bisiknya pelan, suaranya bergetar. "Ciuman kemarin itu apa artinya buat Anda?"

Hening sesaat.

Ares menatapnya dalam-dalam. Ada kilatan yang lewat di matanya, yang hampir terlihat seperti penyesalan. Tapi kilatan itu hilang secepat kedipan mata.

"Kesalahan," jawab Ares dingin. "Kesalahan yang tidak akan terulang lagi."

Kesalahan?

Raya merasakan sesuatu pecah di dalam dadanya. Sakitnya luar biasa, jauh lebih sakit daripada saat Kenzie memutuskannya. Jauh lebih sakit daripada semua hinaan yang ia terima dari Kenzie dan Alicia.

Karena kali ini ia merasa benar-benar bodoh, terhina, tidak berharga dan dipermalukan. Benar apa yang di katakan Kenzie, gadis sepertinya tidak akan bisa menarik perhatian Ares.

"Besok," kata Ares, bangkit dari duduknya dengan gerakan yang tegas, "saya harap kamu kembali bersikap profesional. Atau saya akan memindahkanmu ke divisi lain."

Ares meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja, jauh lebih banyak dari harga makanan mereka lalu berbalik pergi tanpa menoleh lagi.

Raya tetap duduk, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui Ares. Air matanya akhirnya tumpah. Mengalir deras tanpa suara. Bahunya bergetar menahan isak tangis yang ingin meledak.

Diatapnya piring sushi di hadapannya yang bahkan belum ia sentuh. Tangan nya gemetar mengambil gelas air, tapi ia tidak sanggup meminumnya.

"Bodoh..." bisiknya getir, suaranya bergetar. "Aku... sangat bodoh..."

Semua usahanya selama hampir seminggu ini berakhir sia-sia. Dan yang lebih menyakitkan, Ares tahu segalanya. Sejak awal Ares sudah tahu. Pria itu hanya membiarkannya mempermalukan diri sendiri.

"Kenapa aku hal sebodoh ini? Nyatanya aku memang tidak bernilai lebih," bisiknya di antara isak tangisnya.

Ada juga kekecewaan yang aneh. Kekecewaan karena Ares menolaknya bukan hanya karena tidak tertarik, tapi karena ia tahu niat Raya sejak awal. Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada ditolak karena tidak menarik. Karena artinya, di mata Ares, ia bukan hanya tidak menarik. Ia juga tidak berharga dan hanya anak kecil yang naif.

Raya menutup wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan tangisnya pecah di restoran yang sepi itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Noor AL Fitri Aish
terlalu naif mukin ya... tapi kasihan raya...gak bisa move on apa gimana ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 201

    Brandon, seperti biasa, menjadi orang pertama yang berhasil menguasai rasa kagetnya. Ia langsung mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, seperti sedang ditodong polisi. "Aduh... sumpah, Res. Maaf! Kita nggak tahu kamu lagi..." Brandon tampak mencari-cari kata yang tepat, matanya bergulir kiri–kanan. "euh... sibuk." Ia menyeringai canggung, mencoba menutupi rasa kagetnya dengan tawa kecil yang dipaksakan. Geri di sampingnya langsung menggaruk kepala, tertawa kering. "Serius, kita kira kamu sendirian. Harusnya kita ketuk pintu kayak orang ngeronda." Kevin dan Fattah saling pandang, lalu mengangguk sopan pada Raya yang terlihat malu setengah mati. Mereka menahan senyum geli. Tapi Bella? Wanita itu justru berdiri kaku dengan wajah yang mulai memerah, bukan karena merasa bersalah, tapi kesal yang jelas terpancar dari matanya. Di sampingnya, Maura—yang semua orang tahu adalah simpanan Kevin—menganga tanpa berusaha menutup mulutnya. Tatapannya bolak-balik antara Ares dan Raya, seolah ba

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 200

    Tok. Tok. "Masuk," suara Ares terdengar datar sekaligus tegas dari dalam. Pintu perlahan dibuka, menampilkan Raya yang melangkah masuk dengan berkas di tangannya. Ares tengah berdiri di depan meja, melepas jasnya dan menggantungnya di kursi. Ia langsung berbalik menatap kekasihnya. Kemeja putihnya digulung sampai siku, membuatnya tampak jauh lebih kasual tapi tetap berwibawa, dan jauh lebih berbahaya bagi ketenangan Raya. "Kok lama," ujar Ares sambil merapikan lengan kemejanya. "Kurirnya telat?" Raya menutup pintu dengan hati-hati, berusaha menjaga profesionalisme yang tersisa. "Maaf, Pak. Tadi Sisca sama Dina ngajak ngobrol sebentar." Alis Ares terangkat pelan. Ia dapat membaca dari wajah Raya, kalau mereka bukan mengobrol obrolan biasa. "Ngobrol apa?" Raya melangkah beberapa langkah mendekat. Napasnya terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena beban informasi yang baru saja ia terima. "Soal Mbak Sari." Ares terdiam. Sorot matanya berubah tegas, nyaris dingin. Ia telah men

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 199

    Suasana lobby gedung Mahardika Group siang ini cukup ramai—karyawan berlalu-lalang, beberapa tamu menunggu di sofa, suara obrolan, langkah sepatu, dan dering telepon bercampur jadi satu. Raya berdiri di area terbuka dekat pintu masuk, tempat orang datang–pergi secara konstan. Mata Raya fokus pada lift kaca di sisi kanan lobby, lalu bergeser pada pintu putar kaca besar. Ia sedang menunggu kurir lapangan yang seharusnya tiba lima menit lalu, membawa berkas penting yang Ares butuhkan sebelum rapat sore. Ia mengecek ponsel lagi. Chat terakhir bertuliskan Kurir: On the way, Mbak. Lima menit lagi. "Raya!" Suara yang terlalu lantang itu membuatnya menoleh cepat. Ia langsung melihat Sisca dan Dina datang terburu-buru, seperti dua reporter yang menemukan bahan gosip bernilai miliaran rupiah. Bahkan dari jauh saja ekspresi keduanya sudah seperti ingin meledakan informasi yang ditahannya. Raya tersenyum ramah. "Hai... dari mana?" Sisca mendekat seperti agen rahasia yang takut disadap. Be

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 198

    Raya segera menghampiri Ares begitu melihat Ratih masuk kembali ke kamar untuk beristirahat. Pria itu masih duduk di sofa kecil ruang tamu, satu tangan memijat keningnya seperti baru saja melewati ujian berat. Mendengar langkah kaki Raya, Ares membuka mata. Senyumnya langsung mengembang sempurna, hangat dan lega. Tangannya terulur, meminta Raya mendekat. "Sini," ucapnya pelan dan lembut. Raya mendekat, duduk di samping Ares. Wajahnya terlihat khawatir. Kekasihnya langsung meraih tangannya, menggenggamnya erat sambil membelai pipi Raya dengan tangan satunya. "Sayang," bisiknya pelan, seolah kata itu adalah mantra yang menenangkan. Raya refleks menegakkan bahu, antara tersipu dan khawatir. "Kenapa mukanya kaya tegang banget?" Raya menatap wajah Ares, dipenuhi rasa penasaran bercampur cemas. "Ibu tanya apa aja? Kamu gak apa-apa kan?" Ares menahan tawa kecil, menggelengkan kepala "Rahasia. Cuma bahasan antara calon menantu dan ibu mertua,” ujarnya, Raya mengangkat alis. "Serius?"

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 197

    Keesokan harinya, Ratih sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit ditemani Raya dan Dio. Anita yang mengantar mereka sampai rumah, memastikan semuanya berjalan lancar. Namun perjalanan pulang itu terasa hening. Ratih tampak banyak berpikir, menatap keluar jendela sambil sesekali melirik Raya. Sesampainya di rumah, Ratih langsung masuk kamar untuk beristirahat. Fisiknya sudah pulih, tapi jelas pikirannya penuh beban. Sore hari, bel rumah tiba-tiba berbunyi. Raya yang membuka pintu langsung terbelalak. Ares berdiri di depannua, mengenakan kaos putih polos dengan celana chino. Wajahnya serius tapi sopan. "Ares?" bisik Raya kaget. "Kok bisa disini? Bukannya—" "Aku gak bisa ninggalin kamu sendirian disini, jadi aku gak jadi pulang ke Jakarta." "Tapi gimana kamu bisa tahu rumahku? Mau apa kesini?" Ares tersenyum kecil. "Mudah sekali mendapatkan alamat karyawanmu sendiri, sayang." Tangan Ares terulur mengusap pipi kekasihnya. Padahal baru semalam saja mereka tak bertemu tapi Ares s

  • Menggoda Ayah Mantan Kekasihku    Bab 196

    Di salah satu kamar suite hotel bintang lima di Ares berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota Surabaya dengan lampu-lampu yang berkelip di kejauhan. Tangannya terkepal di saku celana, rahangnya mengeras. Ia urung pulang ke Jakarta seperti yang dikatakannya pada Raya. Hati dan pikirannya mengatakan ia harus tetap berada di Surabaya. Berjaga-jaga kalau Raya membutuhkannya, atau terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Dan ternyata instingnya benar. Beberapa menit yang lalu ia mendapatkan laporan pelaku penyebaran foto dan video Raya. David duduk beberapa meter dibelakangnya tengah membuka laptop, melihat berbagai bukti digital yang telah dikumpulkan selama beberapa hari terakhir. "Tuan," panggil David. "Semuanya sudah terkonfirmasi. Pelakunya memang Sari." Ares tak berbalik, hanya mengangguk pelan, wajahnya begitu dingin. "Selama ini dia memang menguntit Nona Raya," lanjut David sambil membaca laporan di layar. "Hampir seluruh kegiatan Nona di kantor, saat gathering, bahkan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status