Malam itu, Raya duduk di kamar kost-ya, menatap kosong ke arah layar laptopnya yang membuka folder berisi foto-foto dirinya dengan Kenzie dulu, saat mereka masih bahagia.
"Kenzie... aku melakukan semua ini karena kamu," gumamnya getir. "Tapi kenapa diacuhkan Ares, aku malah lebih patah hati?" Ponselnya berdering. telepon dari Liodra, satu-satunya sahabat yang mengetahui niatnya menggoda Ares, ayah Kenzie. "Raya, gimana udah berhasil belum misinya?" seru Liodra di seberang telepon. Raya terdiam lama, sampai akhirnya menjawab dengan nalas, "Belum. Dia sepertinya emang kebal." "Tidak mungkin! Kamu udah pake semua jurus kan?" "Aku udah lakuin semuanya, Li." Sesuatu di dalam dada Raya bergejolak campuran antara putus asa, frustasi, dan sedikit harapan yang tidak mau mati. "Dengerin, Ray. Sebagai 'ani-ani' profesional, aku kasih tahu ya cara yang paling ampuh. Pancing dia dengan sentuhan yang lebih berani terlebih dulu," ujar Liodra. Sebagai simpanan seorang direktur tentu Liodra lebih paham cara-caranya. Hanya saja semangat Raya sudah tidak semenggebu sebelumnya. "Kalau tidak berhasil?" "Kirim foto telanjang, dengan angle yang membuat penasaran. Terus bilang kalau kamu salam kirim, tunda beberapa menit, sebelum kamu tarik pesannya." "Li!" bentak Raya. "Ide macam itu?!" "Serius, Ray. Cowok itu hidup dengan imajinasi dan fantasi. Kalau dikirim foto nude, dia masih bebal. Berarti kamu emang gak menarik, Ray," timpal Liodra santai sambil tertawa kecil. "Kurang ajar kamu!" Raya ikut tertawa tak tersinggung. "Udah dulu ya, Ray. Sugar daddyku udah datang, butuh belaian dan tunggangan. Lakuin saranku." Liodra menutup panggilannya tanpa menunggu jawaban dari Raya yang kini termenung meresapi saran dari sahabatnya yang lrbih berpengalaman. "Baiklah," gumamnya pelan. "Satu kali lagi. Kalau gagal aku menyerah." *** Jam pulang kantor Raya masih duduk di mejanya, pura-pura sibuk meski sebenarnya ia hanya menulis tulisan acak. Gedung perkantoran sudah sepi. Hanya lampu di ruangan Ares dan mejanya yang masih menyala. Seharian ini ia tidak memiliki kesempatan menggoda Ares. Pria itu berada di luar kantor seharian, dengan sengaja mengajak Sari untuk mendampinginya. Alasannya Raya harus menyelesaikan pekerjaan yang ada di kantor. Pukul sepuluh malam, akhirnya pintu ruangan Ares terbuka. Pria itu keluar dengan jas yang sudah ia lepas, lengan kemejanya digulung hingga siku, menampakkan lengan berotot yang membuat Raya harus menelan ludah. Ares cukup terkejut melihatnya masih ada. "Kenapa kamu belum pulang?" "Menunggu Bapak selesai," jawab Raya dengan senyum kecil, berusaha terdengar tulus. "Saya pikir mungkin Bapak butuh sesuatu sebelum pulang." Rahang Ares menegang. "Kamu tidak perlu melakukan itu. Pulang sekarang. Sudah malam." "Baik, Pak." Raya berdiri, mengambil tasnya dengan gerakan perlahan. Ia melangkah mendekati Ares, jantungnya hampir melompat keluar dari dada. Ini kesempatan terakhirnya. Sesuai saran sahabatnya, beranikan diri untuk menyentuh. "Bapak tidak lelah?" tanyanya lembut, menatap mata Ares dengan tatapan yang ia harapkan terlihat perhatian dan menggoda. "Sudah seharian bekerja." Raya mengangkat tangan perlahan, hendak menyentuh lengan Ares yang terbuka. tangannya hampir menyentuh kulit pria itu tapi— GREP! Ares menangkap pergelangan tangannya dengan cepat. Genggamannya kuat tapi tidak menyakitkan. "Jaga sikapmu, Raya," ucapnya pelan, tapi nada suaranya tajam seperti pisau yang baru diasah. Matanya tajam langsung menyorot kedua mata Raya. Raya balik menatapnya, napasnya tertahan. Anehnya bukan karena takut, tapi karena sentuhan tangan Ares yang hangat di pergelangan tangannya membuat jantungnya berdetak tidak karuan. "Pak—" "Kamu belum makan malam, kan?" potong Ares tiba-tiba, melepaskan tangannya. Tatapannya berubah, lebih lembut tapi tetap berjarak. "Ayo, saya traktir." Raya terpana. Eh... kenapa tiba-tiba? jeritnya dalam hati. Tapi ini kesempatannya! Makan malam berdua dengan Ares! Senyum lebar mernghiasi wajah Raya. Tak ingin membuat Ares menunggu, ia segera mengikuti langkah Ares yang sudah berjalan terlebih dahulu didepannya. Di private room restoran Jepang mewah di lantai paling atas gedung perkantoran. Hanya ada beberapa tamu, suasananya tenang dan privat. Lampu temaram menciptakan suasana yang romantis. Raya duduk di hadapan Ares, jantungnya berdebar keras. Ini kesempatannya. Mungkin setelah ini, pria itu akan melangkah lebih jauh. Mungkin, mereka akan— "Naraya, saya tahu siapa kamu." Suara Ares mengalun rendah penuh peringatan. Kalimat itu menghancurkan semua lamunan Raya. Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa dingin. Raya membeku. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. "A-apa maksud Bapak?" "Kamu mantan kekasih Kenzie." Rasanya seperti ada palu besar yang menghantam dadanya. Raya merasakan darahnya mengalir lebih lambat. Wajahnya memucat. "Saya juga tahu kenapa kamu tiba-tiba mengubah penampilan dan menggodaku," lanjut Ares, suaranya tenang, tapi setiap katanya terasa seperti tusukan. "Kamu ingin membalas dendam pada Kenzie lewat saya. Benar?" Raya tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu. Tenggorokannya tercekat. Semua kata-kata yang sudah ia persiapkan menguap begitu saja. Ares meletakkan gelas sake-nya di atas meja, menatap Raya dengan tatapan yang sulit dibaca, campuran antara kekecewaan, kemarahan yang ditahan, dan entah apa lagi. "Ingat Naraya, Saya tidak tertarik dengan permainan seperti ini. Saya bukan anak kecil yang bisa kamu gunakan untuk menyakiti anak saya." "Pak—" Raya mencoba membela diri, tapi suaranya keluar seperti bisikan lemah. "Dan perlu kamu tahu," Ares memotong lagi, kali ini suaranya lebih rendah, lebih berbahaya, "saya tidak tertarik dengan anak kecil yang masih bermain-main sepertimu. Kamu pikir dengan menggodaku, kamu bisa membuat Kenzie cemburu? Membuat dia menderita? Kamu terlalu naif, Naraya." Ares tersenyum sinis. Senyuman yang membuat Raya merasa begitu kecil dan bodoh. "Kenzie bahkan tidak peduli. Dia sudah bahagia dengan kekasih barunya. Sementara kamu?" Ares menatapnya tajam. "Kamu masih terjebak di masa lalu. Membuang-buang waktu dan harga dirimu untuk balas dendam yang tidak akan membawamu ke mana-mana." Setiap kata yang keluar dari mulut Ares terasa seperti cambukan. Raya merasakan air matanya mulai menggenang di pelupuk mata. "Ciuman kemarin..." bisiknya pelan, suaranya bergetar. "Ciuman kemarin itu apa artinya buat Anda?" Hening sesaat. Ares menatapnya dalam-dalam. Ada kilatan yang lewat di matanya, yang hampir terlihat seperti penyesalan. Tapi kilatan itu hilang secepat kedipan mata. "Kesalahan," jawab Ares dingin. "Kesalahan yang tidak akan terulang lagi." Kesalahan? Raya merasakan sesuatu pecah di dalam dadanya. Sakitnya luar biasa, jauh lebih sakit daripada saat Kenzie memutuskannya. Jauh lebih sakit daripada semua hinaan yang ia terima dari Kenzie dan Alicia. Karena kali ini ia merasa benar-benar bodoh, terhina, tidak berharga dan dipermalukan. Benar apa yang di katakan Kenzie, gadis sepertinya tidak akan bisa menarik perhatian Ares. "Besok," kata Ares, bangkit dari duduknya dengan gerakan yang tegas, "saya harap kamu kembali bersikap profesional. Atau saya akan memindahkanmu ke divisi lain." Ares meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja, jauh lebih banyak dari harga makanan mereka lalu berbalik pergi tanpa menoleh lagi. Raya tetap duduk, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui Ares. Air matanya akhirnya tumpah. Mengalir deras tanpa suara. Bahunya bergetar menahan isak tangis yang ingin meledak. Diatapnya piring sushi di hadapannya yang bahkan belum ia sentuh. Tangan nya gemetar mengambil gelas air, tapi ia tidak sanggup meminumnya. "Bodoh..." bisiknya getir, suaranya bergetar. "Aku... sangat bodoh..." Semua usahanya selama hampir seminggu ini berakhir sia-sia. Dan yang lebih menyakitkan, Ares tahu segalanya. Sejak awal Ares sudah tahu. Pria itu hanya membiarkannya mempermalukan diri sendiri. "Kenapa aku hal sebodoh ini? Nyatanya aku memang tidak bernilai lebih," bisiknya di antara isak tangisnya. Ada juga kekecewaan yang aneh. Kekecewaan karena Ares menolaknya bukan hanya karena tidak tertarik, tapi karena ia tahu niat Raya sejak awal. Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada ditolak karena tidak menarik. Karena artinya, di mata Ares, ia bukan hanya tidak menarik. Ia juga tidak berharga dan hanya anak kecil yang naif. Raya menutup wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan tangisnya pecah di restoran yang sepi itu.Keesokan harinya, Raya datang ke kantor dengan perasaan campur aduk, malu, gugup, tapi juga sedikit penasaran. Ares sudah membaca pesannya tadi malam, tapi pria itu tidak membalas apa-apa.Apakah strateginya berhasil? Atau malah membuat Ares semakin jijik padanya, menganggapnya seperti wanita murahan?Ares tiba pukul delapan pagi, Raya menyapanya dengan formal seperti biasa. "Selamat pagi, Pak. Ini jadwal Bapak hari ini."Ares mengambil tablet dari tangannya tanpa menatapnya. "Terima kasih."Tapi Raya menangkap sesuatu. Sesaat setelah Ares mengambil tablet itu, tatapannya turun sekilas ke tubuhnya sebelum cepat berpaling.Jantung Raya berdetak lebih cepat. Apa tadi? Apa Ares baru saja meliriknya? Apa semalam berhasil?Entahlah itu berhasil atau tidak. Yang pasti Raya mulai menyadari perubahan kecil pada perilaku Ares.Saat meeting pagi dengan tim finance, Raya duduk di samping Ares untuk mencatat risalah. Beberapa kali ia menangkap Ares melirik ke arahnya, tatapan singkat yang turun k
Sudah tiga hari sejak makan malam itu. Tiga hari Raya berusaha bersikap profesional seperti yang diminta Ares. Tiga hari ia mengenakan pakaian tertutup, berbicara formal, dan menjaga jarak.Tapi malam ini, sendirian di kost-nya, Raya menatap ponselnya dengan tatapan frustasi. Di layar terbuka grup chat dengan Liodra tadi siang. Liodra : 'Ray, jalankan jurus terakhir malam ini. Tiga hari udah cukup bikin bos-mu kehilangan sosok Raya yang menggoda.'Raya menatap saran itu lama. Sesuatu di dalam dadanya bergejolak, campuran antara ragu, malu, dan sedikit harapan yang tidak mau mati."Gila... Apa aku sudah gila?" gumamnya, tapi jemarinya sudah membuka kamera ponselnya.Ia berdiri di depan cermin besar di kamarnya, melepas semua pakaiannya kecuali celana dalam hitam satin yang seksi. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar."Ini gila. Ini benar-benar gila," bisiknya sambil mengatur angle kamera.Tapi tangannya tidak berhenti. Ia mengambil beberapa foto dari belakang, memperlihatkan
Raya berbaring di kasurnya, menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya. Matanya bengkak karena menangis. Tubuhnya terasa remuk.Ponselnya berdering di meja. Nama Liodra muncul di layar.Dengan tangan gemetar, Raya mengangkatnya."Ray! Gimana? Berhasil nggak? Udah jadian sama si bos ganteng?" suara cempreng Liodra memecah hening malam.Raya menutup mata, mencoba menahan sesak di dadanya. Suaranya serak saat menjawab, "Gagal. Dia tahu semuanya. Dia tahu aku cuma deketin dia buat balas dendam ke Kenzie. Dia anggap aku anak kecil.""WHAT?!" Liodra langsung teriak. "Serius?! Aduh, Ray... terus sekarang gimana? Kamu masih mau lanjutin, atau mau udahan aja?"Raya terdiam.Air matanya jatuh lagi tanpa izin. "Gak tahu. Rasanya pengen hilang aja, Li. Aku malu banget. Semua yang aku lakuin, sia-sia. Dan yang lebih parah gajiku bulan ini abis." Suara tangisnya pecah di ujung kalimat.Beberapa detik hening, hanya terdengar suara isak dan tarikan napas tertahan. “Ray...” suara Liodra kali ini t
Pukul sebelas malam, Ares masih duduk di kursi kerjanya di ruang pribadi mansionnya. Di hadapannya, sebuah gelas whiskey setengah kosong. Ini gelas ketiganya malam ini.Ditatapnya layar komputernya yang menampilkan foto profil Raya dari database karyawan. Foto itu diambil di hari pertama Raya bekerja, tersenyum polos, mata berbinar penuh harapan, rambut diikat sederhana. Tidak perlu berdandan berlebihan pun Raya sudah terlihat menarik.Sangat berbeda dengan Raya yang ia tinggalkan tadi. Raya yang terluka. Raya yang hancur.Ares menutup mata, mencoba mengatur detak jantungnya yang memburu. Baru saja ia melakukan kebohongan terbesar dalam hidupnya. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menyaksikan bagaimana wajah Raya berubah dari harapan menjadi kehancuran total.Mata gadis itu berkaca-kaca. Bibirnya yang bergetar menahan isak. Tangannya yang gemetar saat menggenggam tas."Sialan," desis Ares, membuka mata dan menatap pantulannya sendiri di jendela dengan penuh kebencian.Ares meneguk w
Malam itu, Raya duduk di kamar kost-ya, menatap kosong ke arah layar laptopnya yang membuka folder berisi foto-foto dirinya dengan Kenzie dulu, saat mereka masih bahagia."Kenzie... aku melakukan semua ini karena kamu," gumamnya getir. "Tapi kenapa diacuhkan Ares, aku malah lebih patah hati?"Ponselnya berdering. telepon dari Liodra, satu-satunya sahabat yang mengetahui niatnya menggoda Ares, ayah Kenzie."Raya, gimana udah berhasil belum misinya?" seru Liodra di seberang telepon.Raya terdiam lama, sampai akhirnya menjawab dengan nalas, "Belum. Dia sepertinya emang kebal." "Tidak mungkin! Kamu udah pake semua jurus kan?""Aku udah lakuin semuanya, Li."Sesuatu di dalam dada Raya bergejolak campuran antara putus asa, frustasi, dan sedikit harapan yang tidak mau mati."Dengerin, Ray. Sebagai 'ani-ani' profesional, aku kasih tahu ya cara yang paling ampuh. Pancing dia dengan sentuhan yang lebih berani terlebih dulu," ujar Liodra.Sebagai simpanan seorang direktur tentu Liodra lebih pah
Raya tiba di kantor pagi itu dengan senyum penuh percaya diri. Kemarin ia berhasil membuat Ares kehilangan kontrol. Ciuman itu yang panas dan intens adalah bukti nyata bahwa rencananya berhasil. Kini, ia hanya perlu mendorong sedikit lagi.Hari ini, sengaja ia memakai gaun hitam selutut dengan potongan V di bagian dada, cukup menggoda tapi tetap terlihat profesional. Rambutnya ia gerai dengan sedikit gelombang, memancarkan aura feminin yang lebih kuat. Parfum vanilla-nya sengaja ia semprotkan sedikit lebih banyak. Di cermin toilet kantor, ia tersenyum puas melihat penampilannya."Hari ini pasti lebih berhasil," bisiknya pada bayangannya sendiri.Seperti kemarin, ia datang lebih awal dan membuatkan kopi untuk Ares. Saat pria itu tiba, Raya menyambutnya dengan senyum manis, sedikit memiringkan kepalanya, pose yang ia pelajari dari video semalam, "bagaimana terlihat menggoda secara natural"."Selamat pagi, Pak. Kopi Anda sudah siap," ucapnya dengan nada suara yang sengaja dibuat lebih le