 로그인
로그인
Setelah tangisannya mereda, Raya melepaskan diri dari pelukan Ares dengan perlahan. Wajahnya sembab, mata merah, tapi ada kelegaan kecil di dadanya setelah melepaskan semua emosi yang terpendam. "Aku... aku harus kembali bekerja," katanya dengan suara serak. Ares mengangguk, tangannya mengusap pipi Raya dengan lembut. "Kita bicarakan ini nanti." Sisa hari itu berlalu dengan sangat lambat dan sangat tegang. Kabarnya Kenzie sudah meninggalkan gedung kantor, semejnak keluar dari ruangan Ares. Ia pergi dengan wajah yang masih berdarah, masuk ke mobilnya, dan pergi tanpa pamit pada siapapun. Dan ia tidak kembali hingga siang. Raya mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi tangannya gemetar setiap kali mengetik. Matanya terus melirik ke pintu ruangan Ares yang tertutup rapat, tidak ada suara dari dalam, tidak ada panggilan, tidak ada apapun. Gosip menyebar seperti api. Raya bisa mendengar bisikan-bisikan di pantry, di lorong, bahkan di toilet. "Jadi benar apa engga kalau Naraya itu maina
Kenzie bangkit sambil mengusap darah di bibirnya. "Aku tahu semuanya, Dad. Aku mengikuti Raya kemarin. Aku tahu Dad memberikannya apartemen mewah di daerah. Jadi sebenarnya Raya memang menjual tubuhnya untuk dijadikan simpanan pria tua kaya!" Raya terpaku. Air matanya jatuh tanpa suara, tapi setiap kata Kenzie terasa seperti pisau yang diseret di kulitnya. "Dan yang paling lucu, adalah..." Kenzie menatap Raya dengan tatapan penuh kemenangan yang kejam, "niatmu yang katanya untuk balas dendam. Katanya mau menggoda ayahku untuk membalas dendam padaku. BULLSHIT!" teriak Kenzie kehilangan kendali. Ia menunjuk Raya dengan jari yang gemetar karena amarah. "Sejak awal kamu memang menargetkan Dad. Kamu cuma ingin kemewahan instan. Kamu lelah jadi tumpuan keluargamu setelah ayahmu pergi, kan? Jadi kamu cari jalan pintas." Suara Kenzie semakin mengejek. Senyum Kenzie semakin kejam. "Makanya kamu membungkus semuanya dengan kata ‘balas dendam’, padahal hanya untuk membenarkan tindakan kotormu
Ares berjalan langsung ke ruangannya tanpa melirik siapapun, pintu ditutup dengan keras. Membuat seluruh ruangan terdiam. Beberapa menit kemudian, suara intercom di meja Raya berbunyi. "Naraya, ke ruangan saya. Sekarang. Bawa Dina dan Siska juga." Suara Ares sangat dingin, sangat profesional, tapi Raya bisa mendengar amarah yang terkandung di dalamnya. Raya segera menelepon Dina dan Siska untuk datang. Hati Raya berdebar sangat kencang. Ia sudah memiliki firasat, kalau semua ini berkaitan dengannya. Tak lama Dina dan Siska datang, mereka melirik satu sama lain dengan tatapan bingung dan takut, tapi mengikuti Raya menuju ruangan Ares. Begitu masuk, mereka melihat Ares berdiri di depan jendela dengan punggung menghadap mereka, tangan terkepal di belakang punggung. Kenzie berdiri di sudut ruangan, menatap Raya dengan tatapan yang membuat kulit Raya merinding. "Duduk," perintah Ares tanpa berbalik. Ketiganya duduk dengan gugup. Ares akhirnya berbalik, wajahnya terkontrol tapi mata
Senyum tidak bisa hilang dari wajah Raya saat bersiap-siap untuk bekerja, mengingat kemarin ulang tahun terbaik dalam hidupnya. Ares sudah bangun lebih dulu, sedang membuat kopi di dapur dengan kemeja kerja yang belum dikancing, memberikan pemandangan yang membuat Raya ingin kembali ke tempat tidur dan membatalkan semua rencana hari ini. "Selamat pagi, sayang," sapa Ares sambil menyerahkan secangkir kopi yang sudah dibuatnya, dengan takaran gula dan susu persis seperti yang Raya suka. "Selamat pagi," jawab Raya sambil mengambil cangkir itu, mengecup pipi Ares dengan cepat. "Hari ini kita berangkat bersama. Anita sudah siap dengan mobil barumu," kata Ares sambil menyeruput kopinya. Raya langsung menggeleng kuat. "Tidak, Ares. Aku tidak bisa." Ares mengerutkan kening. "Kenapa tidak? Itu mobilmu. Kamu berhak memakainya." "Ares," Raya menarik napas panjang. "Dari kemarin aku selalu taksi online. Kalau hari ini tiba-tiba aku datang dengan mobil seharga miliaran, apa yang akan orang-o
"Sekarang," bisik Ares, bibirnya menyentuh telinga Raya, "saatnya menghukum kenakalanmu, Naraya." Ia mencium bibir Raya dengan lembut, lalu menekan tubuh Raya ke permukaan kaca yang dingin, dan menatap pantulan mereka berdua. Pemandangan kota yang berkilauan menjadi latar belakang yang sempurna untuk momen intim ini. Ia menahan pinggang Raya dengan kedua tangannya, lalu mengangkat salah satu kakinya. Dengan gerakan perlahan, ia menyatukan tubuh mereka. Raya memejamkan mata, merasakan sensasi yang begitu akrab namun selalu baru dan menggairahkan. Mereka bergerak bersama, berirama dengan denyutan hasrat, di bawah tatapan bintang-bintang kota. Setiap dorongan membawa mereka semakin dalam, semakin tinggi, menuju puncak kenikmatan yang tak terlukiskan. Mereka berciuman, berpelukan, dan membiarkan hasrat menguasai mereka sepenuhnya. Mereka bergerak bersama, berirama dengan denyutan hasrat, di bawah tatapan bintang-bintang kota. Setiap dorongan membawa mereka semakin dalam, semakin tin
Raya duduk di tepi kasur, jantungnya berdebar kencang. Ia mengenakan kostum murid yang ia beli. Rok kotak-kotak merah yang sangat pendek menutupi pahanya, kemeja putih ketat yang dikancing hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya, lengkap dengan dasi kecil yang terikat longgar di lehernya. Rambutnya ia ikat setengah, membiarkan sebagian jatuh di bahu, memberikan kesan innocent namun menggoda. Pintu kamar mandi terbuka, dan Ares keluar dengan penampilan yang membuat napas Raya tertahan. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, celana katun gelap, dan kacamata baca yang biasanya hanya ia pakai saat bekerja larut malam. Penampilannya sempurna sebagai seorang guru yang tegas namun menggoda. Mata mereka bertemu. Cokelat gelap yang penuh gairah bertemu dengan cokelat madu yang berkilat antisipasi. "Naraya," panggil Ares dengan suara yang rendah dan berwibawa, masuk sepenuhnya ke dalam peran. Ia berjalan perlahan mendekat, setiap langkahnya diperhitungkan, seperti predat








