Home / Romansa / Menggoda Kekasih Ibu Tiri / 2. Permainan Dimulai

Share

2. Permainan Dimulai

last update Huling Na-update: 2025-02-15 11:25:49

Calia

Aku duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Perutku terasa mual, bukan karena makanan di hadapanku, tetapi karena pemandangan menjijikkan di seberang meja.

Manda—ibu tiriku, yang selalu terlihat angkuh dan tak tersentuh—hari ini tersenyum lembut seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta. Tatapannya berbinar, tangannya dengan santai melingkar di lengan pria di sampingnya.

Pria itu adalah Agra.

Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan ekspresi kesal. Takdir memang punya selera humor yang kejam. Kemarin malam, aku menyewa pria asing untuk menjadi pasangan pura-puraku di pesta pernikahan mantan. Dan sekarang? Aku justru mendapati pria yang sama duduk dengan santai di samping ibu tiriku.

Dunia benar-benar gila.

Aku melirik ke arah Agra, mencoba mencari petunjuk di wajahnya. Tapi pria itu tetap dengan ekspresi datarnya, seolah kehadiranku di sini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dia tampak santai, bahkan nyaris bosan, sementara Manda terus menempel padanya dengan sikap yang sangat menjijikkan.

Lalu, tiba-tiba, Manda menyandarkan kepalanya ke bahu Agra.

Aku hampir tersedak anggurku.

"Sayang," katanya dengan suara manja. "Kamu pasti iri, ya?"

Aku mengangkat alis. "Iri?" tanyaku, berusaha terdengar acuh tak acuh meskipun dalam hati aku ingin membanting gelas anggur ke lantai.

Manda tersenyum dengan penuh kemenangan. "Iya, lihat saja. Aku akhirnya bertemu pria yang benar-benar mencintaiku, bukan uangku."

Bukan uangnya? Aku hampir tertawa. Manda tak pernah menjalin hubungan tanpa alasan yang menguntungkan dirinya.

Tangannya yang lentik mulai mengusap lengan Agra dengan gerakan yang terlalu lambat, terlalu sensual. Aku menahan diri untuk tidak meringis.

"Tidak seperti dulu saat aku harus mengurus semua urusan keuangan sendirian setelah ayahmu pergi," lanjutnya. "Tapi ya, kamu kan masih terlalu muda untuk mengerti."

Aku meletakkan garpu di piring dengan sedikit lebih keras dari yang diperlukan. Mataku menatapnya tajam, tetapi Manda tetap tersenyum seolah dia baru saja membicarakan cuaca.

"Mengurus keuangan?" ulangku dengan nada rendah. "Maksudmu, saat kau merebut semua warisan milik ayahku?"

Ketegangan di meja makan meningkat.

Aku bisa melihat bagaimana ekspresi Manda sedikit berubah, tapi dia cepat menutupinya dengan seringai kecil.

"Jangan membesar-besarkan, Calia." Dia mengangkat gelas anggurnya dengan anggun, memutarnya perlahan di tangannya, seolah menikmati permainan ini.

"Lagipula, akulah yang mengurus semuanya setelah ayahmu tiada. Kau masih terlalu kecil, terlalu naif untuk memahami dunia bisnis. Aku hanya memastikan semuanya tetap berjalan dengan baik."

Darahku mendidih.

Aku mengepalkan tanganku yang satu nya di bawah meja, kuku-kuku jariku hampir menusuk telapak tangan.

"Memastikan semuanya tetap berjalan?"

Aku mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatapnya lurus. "Maksudmu, memastikan semua uangnya tetap masuk ke kantong mu sendiri?"

Manda tersenyum tipis, memainkan ujung rambutnya. "Calia, sayang. Bisnis itu kejam. Ayahmu pun pasti akan melakukan hal yang sama jika dia berada di posisiku."

Aku bisa merasakan ujung garpu yang kembali kugenggam mulai melengkung karena genggamanku terlalu kuat.

Aku ingin menampar wanita ini. Aku ingin berteriak di wajahnya bahwa aku bukan lagi gadis kecil yang bisa dia permainkan.

Lalu tiba-tiba, suara berat yang tenang menyela.

"Warisan?"

Aku dan Manda sama-sama menoleh ke arah Agra.

Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu di matanya yang membuatku menggigil.

Manda tertawa kecil, melambaikan tangan seolah ini bukan masalah besar. "Ah, itu hanya masalah lama, sayang. Hanya kesalahpahaman kecil di keluarga."

Aku mendengus sinis. "Masalah lama? Kesalahpahaman? Kau merebut semua hakku dan menyebutnya kesalahpahaman?"

Aku bisa melihat bibir Agra melengkung sedikit, tapi bukan dalam senyuman. Lebih seperti ekspresi seseorang yang baru menemukan sesuatu yang menarik.

Manda tampak sedikit tidak nyaman sekarang.

Dia mengambil ponselnya dari dalam tas dan melirik layar sekilas. "Sayang," katanya kepada Agra dengan nada manja, tangannya menggenggam lengannya. "Aku harus pergi sebentar, ada urusan penting yang harus aku tangani. Kamu tidak keberatan, kan?"

Agra menoleh ke arahnya, ekspresinya tetap datar. "Pergilah."

Jawabannya sederhana, tanpa emosi. Tapi Manda tersenyum puas, seolah mendapatkan jawaban yang dia inginkan.

"Baiklah, aku akan kembali nanti." Dia melirikku dengan nada mengejek. "Calia, jangan bersikap buruk di depan Agra"

Aku hanya tersenyum sinis, menunggu sampai dia benar-benar pergi sebelum mengalihkan perhatian kembali ke arah pria di depanku.

Sekarang hanya ada aku dan Agra di meja makan.

Aku mengaduk-aduk makanan di piringku dengan garpu, mencoba mencari cela untuk membaca pria ini.

Tiba-tiba, ide gila muncul di kepalaku. Jika Manda bisa merebut sesuatu yang berharga dariku, kenapa aku tidak melakukan hal yang sama?

Aku melirik Agra sekilas. Pria itu tampak tidak peduli, tapi ada sesuatu di matanya yang membuatku bertanya-tanya.

Baiklah, kalau ibu tiriku begitu mencintai pria ini, maka aku akan melakukan hal yang sama.

Aku akan merebut Agra darinya. Apa pun akan kulakukan untuk membuat Manda hancur dan merasakan penderitaan yang sama seperti yang kurasakan.

Untuk sekarang aku harus tahu... apakah Agra sudah menyadari rencanaku?

Aku kembali menoleh ke arahnya, tetapi Agra sudah lebih dulu menatapku. Tatapan itu tajam, menelanjangi setiap pikiran ku.

"Aku bisa merasakan tatapan mu," Katanya secara tiba-tiba.

Aku tersentak, tapi dengan cepat memasang senyum santai. "Apa aku tidak boleh melihat kekasih ibu tiriku sendiri?"

Dia tidak segera menjawab. Sebaliknya, dia menyesap anggurnya, lalu meletakkan gelasnya dengan tenang.

"Kau punya banyak cara untuk melihat, Calia," katanya, nada suaranya begitu tenang hingga terasa seperti bisikan. "Tapi cara yang kau gunakan saat ini... menarik."

Aku tertawa kecil, menutupi kegugupanku. "Aku hanya mencoba memahami pria yang begitu tiba-tiba muncul dalam hidup ibu tiriku." Aku meletakkan daguku di telapak tangan, menatapnya dengan intens. "Kau pria seperti apa, Agra?"

Dia menyeringai tipis, tetapi tidak seperti pria yang terjebak dalam permainan. Lebih seperti seseorang yang sudah menguasai permainan ini sejak awal.

"Aku?" katanya sambil bersandar ke kursinya. "Aku hanya pria biasa, tidak ada yang spesial."

Aku mendengus pelan. "Entahlah...Seorang pria biasa tidak akan bersikap seperti ini. Aku punya feeling jika kamu bukan sekedar pria biasa"

Dia tidak membantah, juga tidak meluruskan.

Aku bersandar ke kursiku, menyesap anggurku sekali lagi. "Jadi, apa yang kau cari dari ibu tiriku? Kekayaan? Pengaruh? Atau kau benar-benar menyukainya?"

Agra mengangkat alisnya, seolah tertarik dengan pertanyaanku. "Menurutmu?"

Aku menatapnya dengan tajam. "Aku pikir kau pria yang lebih licik dari yang terlihat."

Dia tersenyum samar, tetapi tidak mengatakan apa pun. Itu membuatku semakin frustrasi.

Lalu, dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.

"Aku juga punya pertanyaan untukmu, Calia," katanya pelan, matanya mengunci milikku. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"

Aku menelan ludah, jantungku berdegup lebih cepat.

Aku tersenyum santai, meskipun dalam hati aku mulai sadar…

Aku bukan satu-satunya pemain dalam permainan ini.

Agra juga ikut bermain.

Dan aku tidak tahu siapa yang akan menang pada akhirnya. Yang jelas, aku akan berusaha untuk memenangkan permainan ini.

Bagaimanapun caranya.

Bersambung...

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   15. Restoran Le Étoile

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Mobil kami melaju pelan di belakang mobil Andre, menjaga jarak yang aman. Aku terus memperhatikan arah, memastikan tak kehilangan jejak. Hanya butuh beberapa menit sampai akhirnya mobil Andre berhenti di depan sebuah bangunan yang... well, membuat dompetku langsung meringis.Sebuah restoran mewah bintang lima, dengan lampu gantung kristal terlihat dari luar dan pelayan-pelayan berjas rapi menyambut para tamu.Aku menelan ludah. “Dia masuk ke sana.”Salah satu bodyguard-ku yang duduk di depan mengerutkan kening. “Restoran ini bukan tempat umum untuk kerja kelompok, apakah kamu serius?”Ups.“Iya aku serius. itu memang bukan... tempat biasa,” jawabku cepat. “Tapi kami... kerja kelompoknya beda. Ada tugas observasi soal layanan konsumen premium kelas atas. Dari kampus.”Kedua bodyguard saling pandang.“Tugas... observasi?”“Iya. Dan aku yang milih tempatnya. Nanti juga temanku datang,” tambahku, masih berakting untuk meyakinkan mereka berdua.Mereka masih terlihat ragu, tapi a

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   14

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Aku duduk di atas ranjang empuk berlapis seprai linen putih yang bahkan terlalu mewah untuk disentuh. Saking empuknya, rasanya seperti tenggelam ke dalam awan. Rumah Agra… lebih tepatnya mansion Agra, ini bukan rumah biasa. Ini istana. Lebih mewah daripada rumahnya Tristan. Serius. Dari marmer dingin di lantai, tangga melingkar dramatis di tengah ruangan, sampai jendela besar yang memperlihatkan taman belakang seukuran lapangan bola.Dan sekarang, tempat ini sepi. Agra entah pergi ke mana.Setelah kami tiba tadi pagi, dia hanya berkata pendek:"Jangan pergi sendirian. Kalau perlu ke luar, dua orang akan mengawalmu."Lalu… hilang. Menguap. Pergi entah ke mana tanpa menjelaskan satu hal pun, padahal aku ini asistennya. Seharusnya dia menjelaskan tapi ya sudahlah. Aku menarik napas panjang dan menjatuhkan tubuhku ke kasur. Mewah, iya. Tapi tanpa Agra, rumah ini terasa dingin dan terlalu sunyi meski banyak pembantu yang berkeliaran Ponselku bergetar di atas meja.Aku meraihn

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   13

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Jam tiga pagi.Angin dini hari menyambut wajahku saat mobil hitam yang mengantarku berhenti di depan apartemen kecilku. Aku turun perlahan, masih mengenakan gaun hitam mahal itu—belahan tinggi sampai paha, bahu terbuka, dan aroma parfum mahal yang bukan milikku masih melekat di kulit.Aku menatap pintu apartemenku lama sebelum akhirnya membuka. Begitu masuk, suasana sunyi langsung memelukku.Tapi kepalaku? Kacau.Bibirku masih terasa hangat. Sentuhan Tristan... ciumannya yang tiba-tiba dan terlalu intens untuk dibilang hanya gertakan.Apa yang dia pikirkan? Dan kenapa aku...Kenapa aku hanya diam ketika dia melakukannya?Ada satu hal yang pasti, yaitu Tristan mendekati ku untuk mengorek informasi tentang Agra secara halus. Startegi nya benar-benar bisa diprediksi dengan mudah dan tentu saja aku tidak akan berpihak kepada nya. Aku melepas sepatu hak tinggi dan berjalan pelan ke dapur. Baru saja ingin mengambil air minum, suara pintu belakang tiba-tiba terbuka.Aku membalik

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   12

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Aku tidak tahu di mana tepatnya tempat ini. Tapi yang jelas... ini tidak terlihat seperti markas kriminal ataupun tempat penyiksaan. Mobil berhenti di depan sebuah mansion besar—lebih mirip istana kecil, dengan gerbang besi tinggi, taman yang terlalu rapi, dan pencahayaan yang hangat membuat semuanya terasa... berkelas."Ini... bukan tempat penyiksaan, kan?" aku nyeletuk tanpa sadar.Tristan hanya tersenyum kecil, lalu turun lebih dulu tanpa menjawab pertanyaan ku. Pintu mobil dibuka dari luar. Salah satu anak buahnya mengisyaratkan ku untuk turun. Aku mengikuti nya, walau dalam hati penuh dengan tanda tanya besar. Tanganku sudah tidak diikat, tapi tetap aja... situasi ini tidak masuk akal.Aku dibawa masuk melewati lorong besar, dindingnya dipenuhi lukisan dan lampu gantung kristal. Serius, ini tempat siapa? Bagus banget. Rumahnya Tristan? Sampai akhirnya aku dibawa ke sebuah kamar tamu super mewah. Di dalamnya terdapat kasur king size, jendela besar yang menghadap ke t

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   11

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮“Aku dan kau akan cari si pengkhianat itu.” Kata-kata Agra masih menggema di kepala saat aku duduk di dalam mobil, di kursi penumpang, memandangi jendela yang mulai buram oleh embun malam.Ada juga hal lain yang masih melekat di benakku adalah itunya Agra yang terlihat besar di balik celananya. Astaga. Hentikan. Mobil melaju pelan, menembus jalanan ibu kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan terlihat seperti bayangan tak bernyawa yang cuma lewat begitu saja.Agra menyetir seperti biasa, diam dan penuh perhitungan. Tapi aku tahu di kepalanya, rencana sedang disusun rapi. Kami sudah diskusikan semuanya tadi—siapa yang akan jadi umpan, siapa yang akan mengawasi dari jauh, dan siapa yang mungkin bakal beraksi duluan. “Besok pagi kita mulai,” kata Agra singkat sebelum berhenti di depan gang kecil menuju apartemenku.Aku mengangguk. “Kamu yakin rencana ini bakal berhasil?”Dia menatapku sejenak. “Seratus persen, jika gagal. Kita masih punya rencana B dan C”Kalimat itu membua

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   10. Siapa Asisten mu?

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Malam ini, kantor Agra lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di sofa, mendengarkan suaranya yang rendah tapi tajam, membahas kemungkinan adanya pengkhianat di Panthers. Baru beberapa hari aku bekerja sebagai asistennya, tapi aku sudah berada di tengah pusaran sesuatu yang besar dan berbahaya.Apakah Agra mempercayaiku, atau ini hanya ujian lain darinya?"Menurut informasi yang sudah ku berikan padamu. Siapa penghianat di antara Panthers?," tanyanya, matanya setajam bilah pisau.Aku menegang. Aku tidak bisa menebak secara asal-asalan. "Aku tidak bisa menebak dengan terburu-buru. aku butuh informasi lain nya. Apakah ada aktifitas yang tidak biasa akhir-akhir ini?" tanyaku. Agra menyandarkan punggungnya ke kursi, pikirannya jelas sedang bekerja. "Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. siapapun penghianat itu, dia bermain dengan sangat mulus"Tiba-tiba— BRAK! Pintu terbuka dengan kasar. Aku menoleh, dan jantungku serasa melompat keluar dari dadaku.Manda berdiri di ambang p

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status