𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮
Aku menghela napas panjang, menatap bayanganku di cermin besar di kamarku. Gaun hijau zamrud dengan potongan rendah menghiasi tubuhku, membingkai kulitku dengan sempurna. Kainnya lembut, membelai kulitku setiap kali aku bergerak. Tapi tetap saja, meski tampak luar biasa di luar, perutku terasa seperti diaduk dari dalam. Aku menarik napas dalam. Tenang, Calia. Ini hanya pesta. Pesta pernikahan mantanku. Bodoh? Ya, sangat. Tapi aku tidak akan membiarkan Dion berpikir aku masih terluka karena pengkhianatannya. Masalahnya… aku tidak punya pasangan. Semua teman yang kumintai tolong mendadak sibuk, termasuk Lita, satu-satunya karyawan di café-ku. Aku berjalan keluar apartemen menelusuri trotoar, membiarkan angin malam menampar wajahku. Aku butuh seseorang—siapa pun—untuk jadi penyelamatku malam ini. Lalu aku melihatnya. Seorang pria bersandar santai di mobil hitam mengilap, merokok dengan tenang. Asap putih tipis mengepul di udara malam yang sejuk, mengitari wajahnya yang tajam dan dingin. Jaket kulit hitam membungkus tubuhnya dengan sempurna, menambah kesan misterius yang berbahaya. Tepat seperti yang kubutuhkan. Aku mengangkat dagu, menarik napas, dan melangkah mendekat dengan penuh percaya diri. Jika aku bisa merayunya, Dion pasti akan menyesal setengah mati. "Heh, merokok itu tidak sehat, tahu?" tegurku santai, menyandarkan diri ke mobilnya seolah kami sudah saling kenal lama. Pria itu menoleh perlahan, matanya—gelap, tajam, dan menusuk—mengamati wajahku. "Dan bicara dengan orang asing di malam begini sehat?" Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang… menarik. Aku tersenyum tipis, mengabaikan tatapan dinginnya. "Mungkin tidak. Tapi aku sedang dalam misi darurat." Dia tidak menanggapi, hanya menatapku seolah menunggu penjelasan. Aku mendekatkan diri, menatap matanya dengan pandangan yang—mudah-mudahan—cukup menggoda. "Aku butuh pasangan untuk menghadiri pesta pernikahan mantanku. Tertarik jadi penyelamatku malam ini, wahai pria asing yang tampan?" Dia mengembuskan napas pelan, mematikan rokoknya di aspal, lalu menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Aku bahkan tidak tahu siapa namamu." "Calia," jawabku cepat, menyodorkan tangan. "Aku seorang barista." Dia menatap tanganku sejenak sebelum akhirnya menjabatnya. "Agra." Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu dalam caranya mengucapkan namanya sendiri yang terasa… berbahaya. Aku tetap mempertahankan senyumku. "Baiklah, Agra. Ini kerja sama singkat. Kau hanya perlu berjalan di sisiku, mungkin tersenyum sesekali, dan membuat Dion berpikir aku sudah move on. Bagaimana?" Agra menyilangkan tangan di dada. "Dan apa imbalannya?" Aku mengedip, otakku bekerja cepat. "Hmm… uang? Tapi aku tidak punya banyak uang." Aku berpikir sejenak, lalu menambahkan dengan nada main-main, "Bagaimana kalau aku jaminkan KTP dulu?" Dia mendengus kecil, seolah aku ini lelucon berjalan. "Aku tidak menerima KTP," katanya akhirnya. "Aku hanya ingin kopi buatanmu nanti. Kuharap kau seorang barista yang handal." Aku memiringkan kepala, tertawa kecil. "Serius cuma kopi?" "Seratus persen serius." "Wow, aku kira kau akan meminta sesuatu yang lebih besar," candaku. "Oke. Sepakat. Sekarang, ayo buat mantanku menyesal!" --- 𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Pesta pernikahan Dion berlangsung meriah. Lampu-lampu kristal bersinar mewah, musik jazz mengalun lembut, dan tamu-tamu dengan gaun serta jas mahal saling bercengkerama. Dan aku? Aku berjalan masuk dengan Agra di sisiku. Aku bisa merasakan tatapan orang-orang tertuju pada kami, terutama tatapan Dion yang langsung berubah begitu melihatku. Aku menggenggam lengan Agra lebih erat, membiarkan tubuhku lebih dekat dengannya. Panas tubuhnya terasa di kulitku, solid dan kuat. "Jadi itu mantanmu?" bisik Agra, nada suaranya terdengar malas. Aku melirik Dion yang berdiri di dekat meja dessert, rahangnya mengeras. "Ya. Tipe pria sok sempurna yang menganggap semua wanita akan menyesal kehilangannya." Agra tersenyum kecil, seolah menikmati permainan ini. "Buktikan dia salah, oke?" Aku tersenyum penuh arti. "Dengan senang hati." Kami berjalan melewati Dion, dan aku bisa melihat bagaimana matanya langsung menyipit, menilai pria di sampingku. "Calia, kau datang," sapanya dengan senyum yang jelas dipaksakan. Aku memasang ekspresi puas. "Tentu saja." Aku menoleh ke Agra, lalu dengan suara yang sengaja dibuat lebih lembut, aku berkata, "Kenalkan, ini Agra, kekasihku." Aku tidak menyangka, tapi Agra benar-benar memainkan perannya dengan baik. Dia mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Dion, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Senang bertemu denganmu." Dion terlihat kaget—sangat kaget—tapi dia cepat-cepat menutupi ekspresinya. Dia menjabat tangan Agra, meski sekilas aku bisa melihat bagaimana jemarinya menegang. "Senang bertemu denganmu juga, Agra." Aku bisa merasakan ketegangan di udara. Dion cemburu. Aku tahu itu. Aku mengambil kesempatan ini untuk menggoda Agra lebih jauh—menggandeng tangannya lebih erat, sesekali berbisik ke telinganya sambil tertawa kecil. Aku bisa melihat bagaimana Dion menegang setiap kali aku menyentuh Agra. Sukses besar. Setelah pesta selesai, aku berjalan keluar bersama Agra. Udara malam terasa lebih dingin, tetapi aku merasa puas. "Terima kasih sudah jadi pahlawan malam ini," kataku riang, menoleh ke arahnya. "Kamu benar-benar baik, Agra." Dia tetap menatapku, ekspresinya sulit dibaca. Lalu, tiba-tiba dia berkata, "Calia, lain kali, jangan bermain-main dengan orang asing." Nada suaranya rendah, hampir seperti peringatan. Aku mengernyit, tapi sebelum aku sempat bertanya, Agra berbalik. Mobil hitam yang tadi terparkir tiba-tiba muncul dari kegelapan, membawanya pergi dalam sekejap, meninggalkanku di trotoar dengan ribuan pertanyaan di kepala. Aku mendesah panjang, menyandarkan tubuh ke dinding bangunan terdekat. Siapa sebenarnya pria itu? Lalu aku teringat sesuatu. Aku belum memberi tahu alamat café-ku. Jadi… bagaimana Agra akan menagih kopinya? 𝘈𝘨𝘳𝘢 Nama yang terus berputar-putar di dalam benak ku sepanjang malam. Keesokan harinya Aku menerima undangan makan malam dari Manda, ibu tiriku. Aku mengira ini hanya acara makan malam biasa. Tapi dugaanku salah. Saat tiba di sana, Manda menyambutku dengan senyum penuh kemenangan. "Kenalkan, sayang. Ini Agra Calief, kekasih baruku." Aku membeku. Aku menatap pria di sampingnya, dan saat mata kami bertemu, Agra tersenyum tipis, senyum yang seolah mengatakan bahwa dia tahu sesuatu yang tidak aku tahu. Pria yang kusewa untuk menghadiri pernikahan Dion… ternyata kekasih ibu tiriku sendiri. Aku menahan napas, otakku berteriak satu hal: 𝘚𝘐𝘈𝘓𝘈𝘕 Bersambung…𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Mobil kami melaju pelan di belakang mobil Andre, menjaga jarak yang aman. Aku terus memperhatikan arah, memastikan tak kehilangan jejak. Hanya butuh beberapa menit sampai akhirnya mobil Andre berhenti di depan sebuah bangunan yang... well, membuat dompetku langsung meringis.Sebuah restoran mewah bintang lima, dengan lampu gantung kristal terlihat dari luar dan pelayan-pelayan berjas rapi menyambut para tamu.Aku menelan ludah. “Dia masuk ke sana.”Salah satu bodyguard-ku yang duduk di depan mengerutkan kening. “Restoran ini bukan tempat umum untuk kerja kelompok, apakah kamu serius?”Ups.“Iya aku serius. itu memang bukan... tempat biasa,” jawabku cepat. “Tapi kami... kerja kelompoknya beda. Ada tugas observasi soal layanan konsumen premium kelas atas. Dari kampus.”Kedua bodyguard saling pandang.“Tugas... observasi?”“Iya. Dan aku yang milih tempatnya. Nanti juga temanku datang,” tambahku, masih berakting untuk meyakinkan mereka berdua.Mereka masih terlihat ragu, tapi a
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Aku duduk di atas ranjang empuk berlapis seprai linen putih yang bahkan terlalu mewah untuk disentuh. Saking empuknya, rasanya seperti tenggelam ke dalam awan. Rumah Agra… lebih tepatnya mansion Agra, ini bukan rumah biasa. Ini istana. Lebih mewah daripada rumahnya Tristan. Serius. Dari marmer dingin di lantai, tangga melingkar dramatis di tengah ruangan, sampai jendela besar yang memperlihatkan taman belakang seukuran lapangan bola.Dan sekarang, tempat ini sepi. Agra entah pergi ke mana.Setelah kami tiba tadi pagi, dia hanya berkata pendek:"Jangan pergi sendirian. Kalau perlu ke luar, dua orang akan mengawalmu."Lalu… hilang. Menguap. Pergi entah ke mana tanpa menjelaskan satu hal pun, padahal aku ini asistennya. Seharusnya dia menjelaskan tapi ya sudahlah. Aku menarik napas panjang dan menjatuhkan tubuhku ke kasur. Mewah, iya. Tapi tanpa Agra, rumah ini terasa dingin dan terlalu sunyi meski banyak pembantu yang berkeliaran Ponselku bergetar di atas meja.Aku meraihn
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Jam tiga pagi.Angin dini hari menyambut wajahku saat mobil hitam yang mengantarku berhenti di depan apartemen kecilku. Aku turun perlahan, masih mengenakan gaun hitam mahal itu—belahan tinggi sampai paha, bahu terbuka, dan aroma parfum mahal yang bukan milikku masih melekat di kulit.Aku menatap pintu apartemenku lama sebelum akhirnya membuka. Begitu masuk, suasana sunyi langsung memelukku.Tapi kepalaku? Kacau.Bibirku masih terasa hangat. Sentuhan Tristan... ciumannya yang tiba-tiba dan terlalu intens untuk dibilang hanya gertakan.Apa yang dia pikirkan? Dan kenapa aku...Kenapa aku hanya diam ketika dia melakukannya?Ada satu hal yang pasti, yaitu Tristan mendekati ku untuk mengorek informasi tentang Agra secara halus. Startegi nya benar-benar bisa diprediksi dengan mudah dan tentu saja aku tidak akan berpihak kepada nya. Aku melepas sepatu hak tinggi dan berjalan pelan ke dapur. Baru saja ingin mengambil air minum, suara pintu belakang tiba-tiba terbuka.Aku membalik
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Aku tidak tahu di mana tepatnya tempat ini. Tapi yang jelas... ini tidak terlihat seperti markas kriminal ataupun tempat penyiksaan. Mobil berhenti di depan sebuah mansion besar—lebih mirip istana kecil, dengan gerbang besi tinggi, taman yang terlalu rapi, dan pencahayaan yang hangat membuat semuanya terasa... berkelas."Ini... bukan tempat penyiksaan, kan?" aku nyeletuk tanpa sadar.Tristan hanya tersenyum kecil, lalu turun lebih dulu tanpa menjawab pertanyaan ku. Pintu mobil dibuka dari luar. Salah satu anak buahnya mengisyaratkan ku untuk turun. Aku mengikuti nya, walau dalam hati penuh dengan tanda tanya besar. Tanganku sudah tidak diikat, tapi tetap aja... situasi ini tidak masuk akal.Aku dibawa masuk melewati lorong besar, dindingnya dipenuhi lukisan dan lampu gantung kristal. Serius, ini tempat siapa? Bagus banget. Rumahnya Tristan? Sampai akhirnya aku dibawa ke sebuah kamar tamu super mewah. Di dalamnya terdapat kasur king size, jendela besar yang menghadap ke t
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮“Aku dan kau akan cari si pengkhianat itu.” Kata-kata Agra masih menggema di kepala saat aku duduk di dalam mobil, di kursi penumpang, memandangi jendela yang mulai buram oleh embun malam.Ada juga hal lain yang masih melekat di benakku adalah itunya Agra yang terlihat besar di balik celananya. Astaga. Hentikan. Mobil melaju pelan, menembus jalanan ibu kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan terlihat seperti bayangan tak bernyawa yang cuma lewat begitu saja.Agra menyetir seperti biasa, diam dan penuh perhitungan. Tapi aku tahu di kepalanya, rencana sedang disusun rapi. Kami sudah diskusikan semuanya tadi—siapa yang akan jadi umpan, siapa yang akan mengawasi dari jauh, dan siapa yang mungkin bakal beraksi duluan. “Besok pagi kita mulai,” kata Agra singkat sebelum berhenti di depan gang kecil menuju apartemenku.Aku mengangguk. “Kamu yakin rencana ini bakal berhasil?”Dia menatapku sejenak. “Seratus persen, jika gagal. Kita masih punya rencana B dan C”Kalimat itu membua
𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Malam ini, kantor Agra lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di sofa, mendengarkan suaranya yang rendah tapi tajam, membahas kemungkinan adanya pengkhianat di Panthers. Baru beberapa hari aku bekerja sebagai asistennya, tapi aku sudah berada di tengah pusaran sesuatu yang besar dan berbahaya.Apakah Agra mempercayaiku, atau ini hanya ujian lain darinya?"Menurut informasi yang sudah ku berikan padamu. Siapa penghianat di antara Panthers?," tanyanya, matanya setajam bilah pisau.Aku menegang. Aku tidak bisa menebak secara asal-asalan. "Aku tidak bisa menebak dengan terburu-buru. aku butuh informasi lain nya. Apakah ada aktifitas yang tidak biasa akhir-akhir ini?" tanyaku. Agra menyandarkan punggungnya ke kursi, pikirannya jelas sedang bekerja. "Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. siapapun penghianat itu, dia bermain dengan sangat mulus"Tiba-tiba— BRAK! Pintu terbuka dengan kasar. Aku menoleh, dan jantungku serasa melompat keluar dari dadaku.Manda berdiri di ambang p