Langkah Govan terdengar mantap menyusuri lobi kantor. Setelan jasnya rapi, rambut disisir ke belakang dengan gaya yang sederhana tapi elegan.
Tatapannya fokus, meski ada sedikit bayang kelelahan yang tersisa dari semalam. Tapi ada pula sesuatu yang berbeda, seberkas cahaya tenang di balik ekspresinya. Mungkin karena pagi ini dimulai dengan seseorang yang membuatnya tersenyum, meski hanya lewat kecupan singkat.
“Selamat pagi, Pak Govan.”
Laras sudah berdiri di depan ruangannya, menyambutnya dengan senyum yang lembut tapi penuh harap. Rambutnya digelung rapi, dan ia mengenakan blouse biru muda yang membuatnya tampak profesional dan segar.
“Pagi, Laras,” jawab Govan singkat, mengangguk.
“Saya sudah print laporan meeting kemarin. Juga jadwal hari ini, ada rapat internal pukul sepuluh, lalu makan siang dengan Pak Haris dari klien T Group.” Lar
Di dapur, aroma teh melati perlahan menguar dari cangkir yang baru diseduh. Nabila berdiri memandangi air mendidih yang mengalir ke dalam mug, tapi pikirannya melayang jauh ke belakang… ke momen beberapa menit lalu, tepat di depan pagar rumah.Wajahnya memerah pelan, tak bisa menahan senyum yang perlahan merekah.Flasback.Tangan Berlian mengangkat helm pelan dari kepala Nabila, lalu menepuk-nepuk rambutnya yang berantakan. Gerakannya lembut. Mata mereka sempat bertemu sejenak dalam sorot lampu jalan yang remang.Ada hening singkat. Tapi bukan hening yang kaku melainkan hening yang terasa penuh.“Helmmu gak copot-copot dari tadi. Rambutmu kusut semua,” celetuk Berlian, berusaha mencairkan suasana.“Biarin. Yang penting gak jatuh,” jawab Nabila, menepis tangannya pelan.Tapi kemudian gerakan yang tidak disangka terjadi. Berlian mendekat, jari te
Di ruang tengah, Govan duduk sendiri di atas sofa. TV menyala menampilkan tayangan acak, tapi matanya tak benar-benar memperhatikan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, lalu kembali menatap layar ponselnya seolah menanti sesuatu yang tak kunjung datang.Pukul 20.47.Masih belum ada kabar lagi dari Nabila.Ia menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya ke sofa. Tangannya menggenggam ponsel erat, lalu jempolnya secara otomatis membuka pesan terakhir dari Nabila, pesan yang dikirim beberapa jam lalu."Om, aku ke gym sama Riska ya. Gak lama kok, paling jam tujuh udah balik."Dan ia hanya membalas singkat."Oke. Hati-hati ya."Itu tadi dan sekarang sudah lewat dari waktu yang disebutkan. Ia tahu Nabila sudah cukup dewasa untuk menjaga diri, tapi tetap saja... gelisah ini tak bisa ditepis.Govan berdiri, berjalan ke jendela samping dan menyingkap sedikit tirai. Pandangannya menatap jalanan depan rumah yang masih cukup ter
“Laper gak?” tanya Berlian akhirnya.“Laper banget. Tapi aku belum kepikiran mau makan apa.” Nabila nyengir kuda, perutnya udah kerongkongan dari tadi.“Aku tahu satu tempat enak. Gak jauh dari sini. Ada ayam bakar, bumbunya enak. Kamu mau?”“Ayam bakar? Boleh tuh. Apalagi kalau bumbunya nendang.” Nabila mengangguk kecil.“Oke, kalau gitu, Princess. Mari ikut aku ke tempat paling sakral untuk pecinta ayam bakar.” Berlian tersenyum senang. Ia langsung berdiri dan meraih handuk kecil dari lehernya.Nabila tersenyum girang mendengar ajakan berlian. Mereka pergi bersihkan badan terlebih dahulu sebelum pergi ke tempat ayam bakar.Tak sampai lima belas menit, mereka sudah duduk berdua di sebuah warung sederhana yang cukup nyaman. Tempatnya tidak besar, tapi cukup bersih dan punya ar
Sore itu langit tampak mendung, tapi di dalam ruang gym yang terang benderang dan dipenuhi semangat, suasananya hangat. Musik upbeat mengiringi deru mesin dan napas terengah para pengunjung. Di sudut dekat rak dumbbell, Nabila sedang melakukan gerakan stretching dengan serius. Sementara Riska sibuk menyesuaikan tali sepatunya.“Eh, kamu yakin kita mulai dari treadmill dulu?” tanya Riska.“Yakin. Biar pemanasan dulu,” jawab Nabila, masih fokus membungkuk dan merentangkan tubuhnya.Baru saja mereka bersiap menuju treadmill, pintu gym terbuka, dan masuklah seorang cowok dengan rambut agak awut-awutan dan tas ransel selempang.“Hei!” Pemuda itu melambai kecil, senyumnya tak bisa ditahan.Nabila menoleh. Seketika matanya membesar. “Berlian?”“Astaga, kamu kok kamu bisa disini? Mau olahraga j
Langkah Govan terdengar mantap menyusuri lobi kantor. Setelan jasnya rapi, rambut disisir ke belakang dengan gaya yang sederhana tapi elegan.Tatapannya fokus, meski ada sedikit bayang kelelahan yang tersisa dari semalam. Tapi ada pula sesuatu yang berbeda, seberkas cahaya tenang di balik ekspresinya. Mungkin karena pagi ini dimulai dengan seseorang yang membuatnya tersenyum, meski hanya lewat kecupan singkat.“Selamat pagi, Pak Govan.”Laras sudah berdiri di depan ruangannya, menyambutnya dengan senyum yang lembut tapi penuh harap. Rambutnya digelung rapi, dan ia mengenakan blouse biru muda yang membuatnya tampak profesional dan segar.“Pagi, Laras,” jawab Govan singkat, mengangguk.“Saya sudah print laporan meeting kemarin. Juga jadwal hari ini, ada rapat internal pukul sepuluh, lalu makan siang dengan Pak Haris dari klien T Group.” Lar
Cahaya pagi menyelinap malu-malu di balik tirai jendela. Burung-burung berkicau pelan, seolah ikut membangunkan dunia yang masih terlelap. Di dapur, aroma roti panggang dan telur mulai menyebar, tanda bahwa Nabila sudah bangun lebih dulu.Gadis itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.15. Ia menoleh ke arah tangga dengan dahi mengernyit.“Lho, biasanya jam segini Om Govan udah rapi,” gumamnya.Ia melepas apron, mencuci tangan cepat, lalu naik ke lantai atas. Langkah kakinya ringan, tapi wajahnya menunjukkan sedikit cemas. Ia berdiri di depan kamar Govan, mengetuk pelan.Tok... Tok... Tok...“Om? Udah pagi… harusnya udah siap-siap ke kantor, lho,” panggilnya.Tidak ada jawaban.Tok... Tok... Tok...“Om, bangun! Udah Jam tujuh lewat!” Nabila mengetuk lagi, kali ini agak keras.Masih hening.Nabila akhirnya mendorong pintu perlahan. Suara derit hal
Setelah makan siang singkat itu, Govan kembali tenggelam dalam tumpukan pekerjaannya. Sekilas ia tampak seperti pria yang tak pernah kenal lelah, tegap, fokus, dengan jemari yang lincah menari di atas keyboard, sunyi mulai berbisik.Sementara itu, Laras terus memperhatikannya dari kejauhan. Ia tak mengganggu, hanya membantu mengirimkan dokumen, memeriksa surel, dan menyiapkan teh hangat saat kopi di meja Govan habis. Perhatian kecil yang tak pernah diminta, tapi tak pernah luput.Menjelang jam pulang, langit luar jendela mulai berubah warna. Cahaya sore menjingga pelan, membasuh gedung-gedung kota dengan rona lembut. Kantor mulai sepi. Beberapa staf sudah pulang lebih dulu, menyisakan hanya segelintir lampu yang masih menyala.Laras berdiri di depan ruangan Govan, mengetuk pintu pelan sebelum masuk.“Pak…”Govan mengangkat wajah dari layar.“Sudah jam enam lewat. Tugas utama hari ini selesai semua. Saya pikir... mungkin Bapak bisa pulang.”Govan mengangguk kecil, kemudian menatap jam
Siang mulai turun dengan cahaya yang menyelinap malu-malu di antara tirai jendela kaca. Di luar, langit sedikit mendung, menambah nuansa sendu yang lembut menghiasi hari.Di dalam ruang kerjanya yang sunyi, Govan duduk dengan tubuh condong ke depan, lengan kemeja birunya digulung setengah, menunjukkan urat-urat tegang di lengannya yang sibuk membolak-balik berkas proyek. Suara ketikan keyboard dan derit kursi menjadi satu-satunya irama yang mengisi ruangan sejak pagi.Jam sudah menunjukkan pukul dua siang.Govan belum makan apapun.Bahkan secangkir kopi pagi yang disajikan Laras tadi pagi pun belum disentuh. Wajahnya serius, fokus, dan tanpa senyum. Tapi di balik ketegasan itu, matanya terlihat lelah. Ia benar-benar sedang menyelam terlalu dalam ke dalam pekerjaan. Tok... Tok... Tok... Laras mengetuk pintu pelan, lalu masuk tanpa suara saat Govan mengangguk tanpa berpaling.“Pak…” suaranya lirih, membawa nada khawatir. “Bapak belum makan, ya?”“Belum, nanti saja. Masih banyak yang h
Udara pagi menyusup lembut ke sela-sela kain tenda, membawa aroma embun dan tanah basah. Nabila membuka matanya perlahan, menggeliat kecil dalam sleeping bag sebelum mengintip ke luar dari celah pintu tenda.Langit perlahan memancar warna jingga. Cahaya matahari belum benar-benar muncul, tapi langit timur sudah bersemu kemerahan. Di luar, kabut tipis menyelimuti pepohonan pinus dan rerumputan, menciptakan suasana magis yang hanya bisa didapat di alam terbuka.“Riska…” bisik Nabila sambil menyenggol temannya.“Masih pagi banget…” Riska mengerang pelan. “Ayo liat sunrise. Sekali-kali bangun pagi beneran.”Butuh beberapa detik, tapi akhirnya Riska bangkit juga. Dengan jaket tebal dan sarung tangan, mereka berdua keluar dari tenda. Di luar, Berlian sudah duduk memeluk lutut, matanya menatap ke arah cakrawala. Di sebelahnya Govan berdiri, memegang dua gelas berisi coklat panas.“Pagi-pagi udah romantis aja nih,” goda Riska, duduk di samping Berlian.Govan menoleh. “Coklat panas dulu sebel