Beberapa hari setelahnya.
Govan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia memperbanyak jam kerja, memperpanjang rapat, dan bahkan mulai meluangkan lebih banyak waktu untuk bersama Laras. Malam itu, mereka baru saja selesai makan malam di sebuah restoran tepi kota tempat yang tenang dengan lampu temaram dan alunan musik jazz lembut.
Suasana di mobil saat perjalanan pulang begitu berbeda. Tidak lagi penuh canggung seperti pertemuan pertama mereka. Laras tampak lebih santai, bahkan beberapa kali tertawa kecil dengan candaan Govan. Tapi entah kenapa, malam itu ada ketegangan yang aneh mengalir di antara mereka.
Mobil berhenti perlahan di depan rumah Laras. Govan mematikan mesin.
“Terima kasih sudah traktir makan malamnya,” ucap Laras sambil menoleh, senyumnya hangat.
“Sama-sama. Aku senang bisa ajak kamu keluar,” balas Govan.
Sinar matahari siang menyelinap masuk melalui celah tirai kantor Wisnu. Ruangannya yang biasanya tenang kini terasa seperti ruang pengadilan. Di hadapannya, tergeletak selembar foto hasil cetakan digital yang memuat adegan yang tak seharusnya terjadi, setidaknya menurut pandangannya sebagai kakak.Foto itu menangkap Govan dan Laras sedang berciuman. Sudut pengambilan yang jelas, pencahayaan yang cukup terang, dan wajah keduanya yang terpampang jelas.Wisnu mengepalkan tangan.“Apa-apaan ini…” gumamnya, nyaris seperti geraman binatang buas yang terluka.Matanya menyipit menatap wajah Govan dalam foto itu. Lelaki itu memang terlihat ragu, tapi jelas tak menolak. Sementara Laras… terlihat tersipu, tapi bahagia. Dan itu yang membuat Wisnu semakin membara."Dasar curut sudah berani menyentuh adikku." Wisnu menghentak meja, me
Keesokan harinya, di kantor...Govan menatap layar laptopnya dengan mata sembab. Semalaman ia tidak bisa tidur. Ciuman itu terus terbayang. Senyum Laras, mata Laras, tangan Laras yang hangat semuanya membuat pikirannya kabur.“Pak Govan,” suara lembut menyapa dari pintu.Govan menoleh. Laras berdiri di sana, mengenakan blouse hijau tua dan rok pensil hitam yang membingkai tubuhnya dengan elegan.“Istirahat yuk, makan siang bareng,” ajak Laras sambil tersenyum.Govan menggeleng pelan. “Aku nggak bisa. Masih banyak kerjaan. Deadline laporan evaluasi harus kelar sebelum jam tiga.”Laras melangkah masuk, mendekat ke meja. “Tapi Pak… eh, Govan, dari tadi belum makan apa-apa. Nanti sakit, lho.”“Aku baik-baik aja. Nanti juga makan.” Govan tersenyum lelah.
Beberapa hari setelahnya.Govan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia memperbanyak jam kerja, memperpanjang rapat, dan bahkan mulai meluangkan lebih banyak waktu untuk bersama Laras. Malam itu, mereka baru saja selesai makan malam di sebuah restoran tepi kota tempat yang tenang dengan lampu temaram dan alunan musik jazz lembut.Suasana di mobil saat perjalanan pulang begitu berbeda. Tidak lagi penuh canggung seperti pertemuan pertama mereka. Laras tampak lebih santai, bahkan beberapa kali tertawa kecil dengan candaan Govan. Tapi entah kenapa, malam itu ada ketegangan yang aneh mengalir di antara mereka.Mobil berhenti perlahan di depan rumah Laras. Govan mematikan mesin.“Terima kasih sudah traktir makan malamnya,” ucap Laras sambil menoleh, senyumnya hangat.“Sama-sama. Aku senang bisa ajak kamu keluar,” balas Govan.
Mall sore itu cukup ramai. Suasana gerai pakaian penuh pengunjung. Laras berjalan percaya diri memasuki butik branded, disambut pegawai dengan senyum ramah."Van, kamu temenin aku ya. Biar aku nggak salah pilih," katanya sambil menggandeng lengan Govan.Nabila hanya berjalan di belakang mereka, seperti bayangan. Ia menggigit bibir, melihat tangan Laras bergelayut manja di lengan pamannya. Perasaan tidak nyaman berkecamuk di dadanya."Yang ini kayaknya bagus deh," Laras mengambil satu kemeja biru pastel. "Gimana menurutmu, Van?""Cocok. Warna itu bikin kamu kelihatan lebih dewasa." Govan mengangguk kecil ia lupa kalau dia sedang bersama Laras bukan Nabila."Dewasa? Kamu bilang aku kekanak-kanakan dong selama ini?" Laras terkekeh."Bukan gitu maksudnya. Maksudnya... lebih profesional." Govan salah tingkah.Nabila m
Siang itu, untuk pertama kalinya Laras melangkahkan kaki ke rumah Govan.Mobil berwarna putih berhenti rapi di depan gerbang. Laras turun sambil membawa sebuah kotak kecil berisi oleh-oleh. Senyumnya manis saat melihat rumah tempat atasannya tinggal.“Ini rumahnya, kelihatan asri sekali ya,” kata Laras antusias, matanya menelusuri halaman depan yang penuh pot bunga.Laras berjalan menuju pintu, tangannya yang lentik memencet bel.Ting tong...Tak lama pintu depan terbuka dari dalam, menampilkan sosok Nabila yang berdiri diam di ambang pintu.Gadis itu sempat menegang saat melihat siapa tamu pamannya. Namun, ia cepat-cepat menarik napas, memperbaiki raut wajahnya, dan memaksa senyum ramah.“Selamat pagi,” sapa Laras sopan."Pagi." Nabila tersenyum ramah. “Silakan masuk, Mbak laras.&rdq
Govan terdiam. Jawaban itu menyayat. Ia memang menjaga jarak dengan nabila akhir-akhir ini, apalagi dirinya sudah punya pacar.“Om juga bisa kasih itu. Tapi bukan... Bukan begitu caranya, Bil.” Tapi ia tetap mencoba mengendalikan dirinya.“Caranya gimana?” bisik Nabila, menggoda. “Om peluk aku tiap malam?”“NABILAA!!” Govan berseru setengah panik, lalu bangkit dari sofa, menjauh dengan ekspresi frustasi. Ia berjalan mondar-mandir sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. “Astaga... ini anak kenapa makin hari makin gila?”Nabila tertawa puas melihat pamannya kalang kabut. Ia berdiri, melangkah pelan ke arahnya, lalu berdiri di belakang punggung Govan. Suaranya menurun lembut. “Om cemburu, ya?”Govan memutar badan cepat. “Cemburu? Enggak. Ini bukan tentang cemburu. In