Nabila mahasiswa gendut yang menyukai pamannya sendiri, Govan. Dia rela diet demi sang paman. Govan tidak bisa menerima cinta Nabila, namun karena keponakannya itu berubah semakin hot dan terus menggodanya Govan jadi semakin gila mencintai Nabila dalam diam. Bagaimana hubungan mereka selanjutnya.
Lihat lebih banyakHosh...
Seorang gadis berlari memasuki halaman rumah dengan napas tersengal. Keringat menetes di pelipisnya, membasahi anak rambut yang terlepas dari ikatan asalnya.
Tubuhnya yang berisi bergerak cepat, meski setiap langkah terasa berat. Rambut bergelombang tergerai, sebagian menempel di pipinya yang bulat karena keringat. Kacamata yang bertengger di hidungnya sedikit melorot akibat hentakan langkah tergesa-gesanya.
Gadis itu bernama Nabila, ia dalam masalah besar karena pulang larut malam.
“Astaga…” gumamnya, menepuk dadanya yang masih berdetak kencang. Dada naik turun, menahan rasa panik yang masih menguasai dirinya.
Ia berdiri di depan pintu, mencoba mengatur napas. Lampu teras rumah menyinari wajahnya yang kemerahan karena kelelahan. Nabila menggigit bibir, khawatir membuka pintu rumah.
Jam di ponselnya menunjukkan pukul 11.10 malam.
“Duh, kenapa sih nggak lihat jam tadi? Paman pasti marah...” gumamnya pelan sambil memutar kunci pintu dengan sangat hati-hati, berusaha membuat suara sekecil mungkin.
Pintu depan berderit pelan, saat pintu terbuka kegelapan menyambutnya. Nabila mengendap-endap seperti pencuri.
Nabila mencoba menutup pintu tanpa suara. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Semoga Om Govan sudah tidur, pikirnya. Ia tahu betul bagaimana pamannya bisa berubah menjadi seperti singa kelaparan jika dirinya melanggar aturan.
Namun, harapannya sirna ketika.
klik...
Lampu ruang tamu tiba-tiba menyala terang.
“Dari mana saja kamu, hah?! Jam segini baru pulang?” Suara berat dan dingin itu membekukan langkah Nabila.
Nabila menoleh perlahan dan mendapati pamannya yang bernama Govan, berdiri di sudut ruangan dengan tatapan penuh amarah.
Tubuh kekarnya yang hanya berbalut celana santai membuatnya tampak seperti patung pahlawan hidup. Matanya sipit menatap tajam Nabila seperti elang yang mengintai mangsanya. Rahang kokohnya mengeras, tanda ia sedang menahan amarah.
"Jawab!” bentak Govan menghampiri nabila, langkahnya menghentak tegas di lantai.
“A-anu, Om…” Nabila menelan ludah, mencengkeram tasnya lebih erat lalu cengengesan, menggaruk kepala yang jelas tidak gatal. Kakinya seolah tertancap di lantai, tak berani bergerak.
“Tadi bilangnya keluar sebentar, tapi pulang jam segini. Ditelepon nggak angkat. Kemana aja kamu, hah?!” tanya Govan penuh tekanan
Nabila hanya menunduk, tidak berani menatap pamannya. Tubuh chubby-nya bergetar kecil, matanya yang bulat di balik kacamata mulai berkaca-kaca. Ia tahu ia salah. Dalam hati, ia mengutuk dirinya yang lupa waktu saat nongkrong dengan temannya.
"Kamu tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi kalau kamu keluyuran malam-malam begini? Kamu masih anak-anak, Nabila! Perempuan pula!” Govan mendesis, suaranya seperti cambuk yang melayang-layang di telinga Nabila.
"Tapi aku bukan anak kecil lagi," cicit Nabila menciut.
"Ha, melawan!" bantak govan Nabila semakin menciut. Ini pertama kalinya dia dimarahin pamannya begini.
“Maaf, Om… Aku nggak bakal ulangi lagi…” gumam Nabila, suaranya hampir seperti isakan. Air mata mulai menggenang di sudut mata nabila, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Ia mencuri pandang ke arah pamannya, memasang wajah memelas berharap pria itu melunak.
"Is... Anak ini." Govan mendesis memijat keningnya, frustasi, napasnya berat, bukan karena lelah, tetapi karena amarah yang belum sepenuhnya reda.
Pikirannya melayang ke masa-masa beberapa tahun yang lalu, saat ia menggendong tubuh kecil Nabila yang menangis tanpa henti di pemakaman kedua orang tuanya.
Sejak hari itu, hidupnya berubah drastis. Ia bukan lagi pria bebas yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Ia harus menjadi segalanya bagi Nabila mengantikan peran ayah, ibu, kakak, bahkan pelindung.
"Om?" Melihat Nabila dengan wajah memelas seperti itu membuat amarahnya perlahan mereda.
Bagaimanapun juga Nabila adalah satu-satunya keluarga yang ia punya, dan dia tidak tega memarahinya sampai membuatnya takut seperti ini.
“Om bukan marah karena kamu pulang malam, Nabila. Om marah karena Om takut… Takut kehilangan kamu.” Govan melihat wajah Nabila yang seolah menyesali perbuatannya.
Govan mengusap wajahnya kasar, mencoba menenangkan diri, suaranya mulai melembut.
“Maaf, Om… Aku nggak bermaksud bikin Om khawatir.” Nabila mendongak perlahan, air matanya akhirnya jatuh membasahi pipinya.
“Walaupun kamu udah dewasa, Om cuma ingin kamu lebih berhati-hati. Dunia ini nggak seaman yang kamu kira. Kalau ada apa-apa terjadi sama kamu, Om nggak tahu apa Om bisa memaafkan diri Om sendiri.” Govan memeluk nabila, menepuk kepalanya dengan lembut.
Nabila terisak pelan dipelukan govan, Govan menghela napas panjang, ia tahu Nabila bukan anak kecil lagi, tetapi bagi dirinya, Nabila akan selalu menjadi gadis kecil yang ia lindungi dengan segenap jiwa.
“Dengar baik-baik,” kata Govan akhirnya, suaranya lebih lembut. “Ini terakhir kalinya kamu begini, jangan pernah pulang larut malam lagi. Kalau ada apa-apa di luar sana, Om yang repot, tahu?”
“Iya, Om.” Nabila mengangkat kepalanya cepat lalu mengangguk seperti burung pelatuk.
“Sekarang tidur, udah larut,” perintah Govan menunjuk ke arah kamar Nabila.
Wajah Nabila langsung cerah. Ia mengangguk penuh semangat, lalu berlari ke arah kamarnya.
“Meski om galak, om itu pria paling tampan dan baik hati yang pernah aku kenal!” candanya sambil tertawa kecil.
“Dasar bocah, ” gumamnya, merasa tersanjung sekaligus geli.
Meski Nabila sering membuatnya kesal, gadis itu adalah alasan terbesar ia tetap bertahan hidup sampai detik ini. Jika ia tidak ada siapa lagi yang mengurus Nabila?
Sanak saudara semuanya melepas tangan, gak mau urus Nabila sejak orang tua Nabila meninggal. Govan satu-satunya yang bersedia mengurus Nabila, meski usianya sangat muda kala itu.
"Hadeh." Govan memijit keningnya.
Di balik pintu kamar.
"Berhasil!" sorak Nabila tersenyum kecil, merasa puas.
Seperti biasa, air matanya menjadi senjata ampuh untuk meluluhkan hati Govan. Ia tahu pamannya keras, tetapi juga punya sisi lembut yang mudah tersentuh jika melihatnya menangis.
“Dasar Om gampang luluh,” gumamnya sambil terkikik pelan.
Namun, senyum di wajahnya segera pudar saat ia melihat pantulan dirinya di cermin. Rambutnya berantakan, wajahnya masih ada bekas keringat, dan kaos yang ia pakai agak kusut karena terburu-buru tadi.
“Astaga, mirip zombie!” desisnya.
Tanpa pikir panjang, Nabila mengambil handuk dan menuju kamar mandi di dalam kamarnya, membersihkan dirinya lalu mengenakan piyama yang lebih nyaman.
Tub...
"Aduh capeknya." Nabila merebahkan dirinya ke kasur, menarik seimut bersiap untuk tidur.
Tuk...
Nabila mendongak melihat ke arah jendela, ia yakin suara tadi berasal dari luar jendela miliknya.
Tuk...
Suara itu terdengar lagi, Nabila semakin parno. Jantung Nabila berdebar cepat, dan seketika rasa takut menyelimuti dirinya.
'Gak mungkin mbak kunti ngikutin dia gara-gara pulang malam, kan?' pikirnya
Nabila mencoba mendekat ke arah jendela, baru beberapa langkah tubuhnya membeku, kakinya gemetar melihat ke arah jendela. ada sebuah bayangan putih bergerak.
“Tu..tunggu... Apa itu?” gumamnya, terlonjak mundur, tubuhnya merinding.
Tiba-tiba, ada ketukan keras di kaca jendela.
“KYAAAA!!!" teriak Nabila nyaring terkejut, wajahnya pucat, tubuhnya kaku, hampir tak bisa bergerak.
Sinar matahari siang menyelinap masuk melalui celah tirai kantor Wisnu. Ruangannya yang biasanya tenang kini terasa seperti ruang pengadilan. Di hadapannya, tergeletak selembar foto hasil cetakan digital yang memuat adegan yang tak seharusnya terjadi, setidaknya menurut pandangannya sebagai kakak.Foto itu menangkap Govan dan Laras sedang berciuman. Sudut pengambilan yang jelas, pencahayaan yang cukup terang, dan wajah keduanya yang terpampang jelas.Wisnu mengepalkan tangan.“Apa-apaan ini…” gumamnya, nyaris seperti geraman binatang buas yang terluka.Matanya menyipit menatap wajah Govan dalam foto itu. Lelaki itu memang terlihat ragu, tapi jelas tak menolak. Sementara Laras… terlihat tersipu, tapi bahagia. Dan itu yang membuat Wisnu semakin membara."Dasar curut sudah berani menyentuh adikku." Wisnu menghentak meja, me
Keesokan harinya, di kantor...Govan menatap layar laptopnya dengan mata sembab. Semalaman ia tidak bisa tidur. Ciuman itu terus terbayang. Senyum Laras, mata Laras, tangan Laras yang hangat semuanya membuat pikirannya kabur.“Pak Govan,” suara lembut menyapa dari pintu.Govan menoleh. Laras berdiri di sana, mengenakan blouse hijau tua dan rok pensil hitam yang membingkai tubuhnya dengan elegan.“Istirahat yuk, makan siang bareng,” ajak Laras sambil tersenyum.Govan menggeleng pelan. “Aku nggak bisa. Masih banyak kerjaan. Deadline laporan evaluasi harus kelar sebelum jam tiga.”Laras melangkah masuk, mendekat ke meja. “Tapi Pak… eh, Govan, dari tadi belum makan apa-apa. Nanti sakit, lho.”“Aku baik-baik aja. Nanti juga makan.” Govan tersenyum lelah.
Beberapa hari setelahnya.Govan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia memperbanyak jam kerja, memperpanjang rapat, dan bahkan mulai meluangkan lebih banyak waktu untuk bersama Laras. Malam itu, mereka baru saja selesai makan malam di sebuah restoran tepi kota tempat yang tenang dengan lampu temaram dan alunan musik jazz lembut.Suasana di mobil saat perjalanan pulang begitu berbeda. Tidak lagi penuh canggung seperti pertemuan pertama mereka. Laras tampak lebih santai, bahkan beberapa kali tertawa kecil dengan candaan Govan. Tapi entah kenapa, malam itu ada ketegangan yang aneh mengalir di antara mereka.Mobil berhenti perlahan di depan rumah Laras. Govan mematikan mesin.“Terima kasih sudah traktir makan malamnya,” ucap Laras sambil menoleh, senyumnya hangat.“Sama-sama. Aku senang bisa ajak kamu keluar,” balas Govan.
Mall sore itu cukup ramai. Suasana gerai pakaian penuh pengunjung. Laras berjalan percaya diri memasuki butik branded, disambut pegawai dengan senyum ramah."Van, kamu temenin aku ya. Biar aku nggak salah pilih," katanya sambil menggandeng lengan Govan.Nabila hanya berjalan di belakang mereka, seperti bayangan. Ia menggigit bibir, melihat tangan Laras bergelayut manja di lengan pamannya. Perasaan tidak nyaman berkecamuk di dadanya."Yang ini kayaknya bagus deh," Laras mengambil satu kemeja biru pastel. "Gimana menurutmu, Van?""Cocok. Warna itu bikin kamu kelihatan lebih dewasa." Govan mengangguk kecil ia lupa kalau dia sedang bersama Laras bukan Nabila."Dewasa? Kamu bilang aku kekanak-kanakan dong selama ini?" Laras terkekeh."Bukan gitu maksudnya. Maksudnya... lebih profesional." Govan salah tingkah.Nabila m
Siang itu, untuk pertama kalinya Laras melangkahkan kaki ke rumah Govan.Mobil berwarna putih berhenti rapi di depan gerbang. Laras turun sambil membawa sebuah kotak kecil berisi oleh-oleh. Senyumnya manis saat melihat rumah tempat atasannya tinggal.“Ini rumahnya, kelihatan asri sekali ya,” kata Laras antusias, matanya menelusuri halaman depan yang penuh pot bunga.Laras berjalan menuju pintu, tangannya yang lentik memencet bel.Ting tong...Tak lama pintu depan terbuka dari dalam, menampilkan sosok Nabila yang berdiri diam di ambang pintu.Gadis itu sempat menegang saat melihat siapa tamu pamannya. Namun, ia cepat-cepat menarik napas, memperbaiki raut wajahnya, dan memaksa senyum ramah.“Selamat pagi,” sapa Laras sopan."Pagi." Nabila tersenyum ramah. “Silakan masuk, Mbak laras.&rdq
Govan terdiam. Jawaban itu menyayat. Ia memang menjaga jarak dengan nabila akhir-akhir ini, apalagi dirinya sudah punya pacar.“Om juga bisa kasih itu. Tapi bukan... Bukan begitu caranya, Bil.” Tapi ia tetap mencoba mengendalikan dirinya.“Caranya gimana?” bisik Nabila, menggoda. “Om peluk aku tiap malam?”“NABILAA!!” Govan berseru setengah panik, lalu bangkit dari sofa, menjauh dengan ekspresi frustasi. Ia berjalan mondar-mandir sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. “Astaga... ini anak kenapa makin hari makin gila?”Nabila tertawa puas melihat pamannya kalang kabut. Ia berdiri, melangkah pelan ke arahnya, lalu berdiri di belakang punggung Govan. Suaranya menurun lembut. “Om cemburu, ya?”Govan memutar badan cepat. “Cemburu? Enggak. Ini bukan tentang cemburu. In
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen