Calla mana tor? Ini lagi nongkrong di mal sama otor ya ♪~(´ε` )
Lokasi : Kamar Marissa di Mansion Asher Marissa duduk di pinggir ranjang mewah dengan tatapan gelisah. Jemarinya mengetuk-ngetuk sisi kasur, pikirannya dipenuhi satu hal, yaitu Calla. Putrinya itu harus tahu bagaimana sikap Dylan yang telah menyita ponsel dan mengurungnya di dalam kamar seperti tahanan. “Tidak mungkin aku hanya diam di sini saja,” gumannya lirih. Setiap kali pelayan datang membawakan makanan, Marissa selalu mencoba berbagai cara. Pernah ia pura-pura jatuh pingsan, berharap pintu kamar terbuka lebar sehingga ia bisa kabur. Pernah pula ia mencoba menahan pelayan untuk tetap di kamar dengan alasan ingin ditemani, namun semua berakhir dengan kegagalan. Penjaga yang ditempatkan tepat di depan pintu kamar selalu siaga, seolah tidak pernah berkedip sedetik saja. Hari itu ada sebuah ide nekat lagi yang muncul di dalam kepalanya. Begitu seorang pelayan muda berwajah polos masuk sambil membawa nampan berisi sup hangat, Marissa langsung bergerak mendekat. “
Lokasi : Mansion Keluarga Bianco Supir melajukan mobil mewah itu melewati gerbang besi tinggi yang dijaga ketat satpam berseragam hitam. Stella bersandar santai di kursi belakang, jari-jarinya yang ramping memainkan gagang kacamata hitamnya. Gaun elegan berwarna merah anggur menempel pas di tubuh semampainya, menegaskan keanggunan sekaligus aura seksi. Mobil berhenti perlahan di depan main entrance mansion megah yang menjulang dengan arsitektur klasik ala Eropa. Begitu supir turun dan membukakan pintu, Stella pun melangkah turun dengan penuh percaya diri. Heels-nya berderap ringan di lantai marmer, sementara kepala para pelayan menunduk memberi hormat. “Tuan Giuseppe telah menunggu di ruang tamu, Nona Stella,” ucap seorang pelayan wanita. Stella hanya mengangguk kecil sebelum melangkah masuk. Aroma mahal dari wewangian ruangan bercampur dengan cahaya lembut lampu gantung kristal, membuat suasana semakin berkelas. Di sofa utama, seorang pria paruh baya dengan jas rapi d
Kamar Dylan malam itu terasa hangat. Lampu gantung berwarna kuning redup menyinari ruangan luas dengan dinding marmer gelap yang kontras dengan sofa beludru tempat Calla bersandar. Gadis itu mengenakan piyama favoritnya bermotif tengkorak dan pisau, membuatnya merasa nyaman. Rambut merahnya digerai, sebagian jatuh menutupi bahu. Ia menatap layar televisi dengan serius, larut dalam adegan film drama yang tengah ia putar. Namun konsentrasinya pecah ketika suara getaran terdengar dari meja samping. Bzzz… Bzzz… Calla menoleh, melihat layar ponselnya yang menyala, serta sederet nomor asing yang kemudian muncul. Alisnya berkerut. Dengan ragu ia meraihnya, lalu membaca pesan itu. ~Bukan aku yang melakukannya, Cal. Percayalah. —KB Seketika Calla membeku. "KB…" bibirnya berbisik pelan dan jantungnya berdegup tak karuan. Knox Bennet? Hanya Knox yang selalu memanggilnya "Cal". Tidak ada orang lain. Tangan Calla sedikit bergetar. Tapi... Knox melakukan apa? Apakah ini soal
Gedung perkantoran mewah Luxterra berubah menjadi lautan bisik-bisik dan pandangan sinis. Di setiap sudut kantor, para karyawan memalingkan kepalanya ketika Calla melintas, seolah-olah gadis itu telah menodai seluruh reputasi perusahaan.Gosip santer yang beredar di dunia maya kini telah sampai di layar ponsel Calla, dan gadis itu pun hanya bisa membacanya dalam hati sambil termenung.“Skandal memalukan! Dylan Asher, CEO Luxterra, tertangkap kamera dalam hubungan intim dengan adik tirinya sendiri, Calla Asher.”Tak berhenti di situ. Komentar-komentar netizen di sosial media pun turut menghujani berita itu tanpa ampun.“Anak pelacur, ternyata menurun ibunya yang dulu juga menggoda Steven Asher!"“Dylan Asher yang sempurna pun bisa jatuh gara-gara perempuan murahan.”“Sekelas Luxterra ternyata punya CEO cabul. Hancur sudah citra dunia bisnis kita.”“Calla Asher harus disingkirkan! Dia racun!”Calla terus menggulir layar ponselnya dengan jari gemetar dan napas yang tersengal, menelan se
Lokasi : Studio megah Velour Agency, New York. Lokasi pemotretan itu memiliki latar belakang yang didominasi warna hitam pekat dengan kilau emas, membentuk atmosfer mewah yang sesuai untuk produk parfum pria kelas dunia. Vérité Noir. Knox berdiri di tengah set, tubuhnya yang ramping namun tegap diselimuti setelan jas hitam yang dirancang khusus, begitu pas menonjolkan lekuk ototnya. Tatapannya tajam ke arah kamera, bibirnya sedikit mengulas senyum yang terkontrol, karisma dingin yang membuat para staf menahan napas. “Perfect, Knox. Tahan, tahan…” seru fotografer, jemarinya cepat menekan tombol shutter. Keringat tipis di pelipis pria itu hanya menambah kesan maskulin yang liar. Ketika ia melepaskan jas dan membiarkan kemeja putihnya sedikit terbuka di bagian dada, beberapa kru wanita bahkan tanpa sadar menahan desah kagum. Sang klien, yaitu seorang eksekutif tinggi dari perusahaan parfum internasional, berdiri di sisi panggung dengan mata yang berbinar puas. “Dia adalah
Calla terbangun dengan perlahan. Kelopak matanya terasa berat, namun rasa yang asing di kulitnya membuat gadis itu segera tersadar. Ia mengerjapkan mata selama beberapa kali, lalu menoleh ke sisi belakangnya. Kehangatan yang berpadu dengan aroma khas yang menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar, seketika menyeruak ke dalam indera penciumannya. Dylan. Lengan kekar pria itu melingkari pinggangnya dengan erat, membuat tubuhnya seakan terkunci dalam kepungan yang hangat. Calla baru menyadari kalau dirinya sama sekali tak mengenakan pakaian apa pun, kecuali selimut tebal yang menutupi sekujur tubuh mungilnya. Pipi gadis itu seketika merona, menyadari Dylan yang memeluknya dengan erat bahkan di saat telah tertidur lelap. Rasanya nyaman dan tenang. Tapi sayangnya, rasa haus yang menyiksa tenggorokan membuat Calla terpaksa memberanikan diri untuk bergerak. Perlahan Calla menggeser tubuhnya, berusaha melepaskan diri dari pelukan itu. Gerakannya sangat hati-hati kar