Tanganku masih terus bergetar. Aku semakin panik! Ponsel terkutuk! Dia hang! Mati aku! Harus apa?
“Mas! Tolong ambilkan air minum, ya!” teriakku dari dalam kamar, agar Mas Ricky kembali ke dapur yang terletak di depan kamar mandi. Supaya aku ada waktu untuk me-restart ponselnya.
“Dingin apa biasa?” sahut Mas Ricky berbalik arah. Tidak jadi ke kamar.
“Buatin teh mau, nggak? Yang panas. Aku agak masuk angin, nih!” seruku sambil memencet tombol power. Kalau teh panas, dia harus memasak air dulu karena kami tidak punya water dispenser. Boros listrik!
“Buat kamu, apa yang enggak, Beb?” gombalnya dari dapur.
Halah! Gayamu, Mas! Makiku dalam hati. Apa yang enggak? Banyak! Salah satunya setia!
Ponsel sudah kembali menyala dengan normal setelah aku restart. Semua aplikasi yang tadi kubuka tertutup secara otomatis. Syukurlah! Sekarang, tinggal kutaruh lagi di atas meja rias dalam posisi layar terkunci.
“Mama Enik, maaf, ya, Ma! Mas Ricky sejak awal bilang kalau semua dia yang bayar. Ikhlas! Nggak ada utang piutang! Ini yang sakit bapakku, Ma! Besannya Mama!” sergahku sudah tidak tahan lagi.“Heh! Ini urusan orang tua! Kamu nggak usah ikut-ikut!” bentak Mama Enik kepadaku.“Nggak bisa, Ma. Karena ini menyangkut orang tuaku! Jadi, aku harus ikut ngomong!”“Disuruh diam nggak mau? Nggak nurut! Mbak Yuni, anaknya dikasih tau, dong! Sama mertua yang sopan!” cibir Mama Enik memonyongkan bibir sampai sekian sentimeter ke depan.“Cha, sabar!” Mamaku mulai tidak kuat dan kalah hawa oleh besannya.“Icha sabar, kok, Ma! Cuman Icha nggak mau kalau ada hutang piutang yang nggak jelas gitu. Icha panggil Mas Ricky aja!” Kubalikkan badan, bersiap memanggil suami ter— …. Aku tak tahu ter apa? Tercinta? Bah! Mana bisa aku cinta dia!Mama Enik tiba-tiba menarik tanganku lalu
Permintaan Mama Enik agar Mas Ricky menceraikan aku membuat napas jadi berjeda. Sedemikian bencinya mertuaku satu ini kepadaku. Padahal, sedang ada cucunya di dalam perutku. Semakin membuatku bertanya, apakah dia manusia atau bukan?“Mama! Apa-apaan? Jangan begitu, Ma! Kami baru menikah kok sudah disuruh cerai?” Mas Ricky sangat emosi.Aku diam saja. Meladeni lidah mertua yang tajam hanya akan semakin menyakitkan hati. Kalau memang cerai, paling tidak bukan aku yang meminta.Sebenarnya, sudah gatal sekali mulut ini untuk mengiyakan permintaan Mama Enik. Bahagia sekali aku kalau bisa berpisah dari suamiku yang tukang selingkuh ini!“Yah, Mas Ricky sih salah pilih istri. Dapatnya yang nggak sopan sama Mama,” celetuk Dessy sambil bermain dengan ponsel. Senyumnya culas melirikku.“Betul, itu, Rick! Dessy itu benar! Kamu sudah salah pilih!” timpal Mama Enik.Aku menatap Mama Enik dan Dessy dengan pandangan pali
Mendengar ucapan dokter itu sontak membuat kakiku lemas. Mas Ricky tidak akan selamat? Secepat ini? Anaknya saja belum lahir!“Segera tandatangani persetujuan operasi. Kami akan segera mempersiapkan semuanya.”“Biaya bagaimana?” tanyaku harap-harap cemas.“Asuransi kantor suaminya menanggung semua.”“Sukurlaj!” gumamku bernapas lega. Segera berkas-berkas yang berjumlah lima lembar kutandatangani.Sekarang sudah jam satu pagi. Operasi akan dilakukan besok jam tujuh pagi. Mas Ricky sudah sadar. Dia diberi obat anti nyeri dosis tinggi agar tidak kesakitan dan pingsan lagi seperti di rumah.Aku menemaninya di dalam kamar. Posisi sebagai manajer membuatnya mendapat kamar VIP. Sama seperti kamar papa kemarin. Kutatap wajah pucat yang sedang tertidur lelap. Suamiku, kenapa kita bisa jadi begini?Mungkin sadar sedang kulihat lekat, ia membuka mata.“Cha,” panggilnya lemah.
Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Ini sudah keterlaluan. Kenapa Mama Enik benci sekali kepadaku? Apa yang sudah aku lakukan hingga membuatnya menyakitiku seperti ini?Mas Ricky terlihat makin pucat karena wanita itu datang bersama ibunya, menemuiku di kamar ini. Setiap aku melihat dia, hanya adegan mesum mereka yang kemudian muncul di otak.“Cha, udah tahu belum ini siapa?” tanya Mama Enik terkekeh riang. Dia pasti bahagia melihat wajahku seperti habis kena gledek di siang bolong.Sang wanita tidak tahu malu justru mendekatiku dan tersenyum manis sekali. Sial! Kenapa dia sangat cantik? Runtukku sedih. Aku mungkin adalah wanita paling jelek dalam deretan bunga-bunga seorang Ricky Irawan.“Hai, Anissa. Aku Ta—”“Aku tahu siapa kamu, Tanti! Nggak usah sok baik! Ngapain ke sini?” potongku ketus. Kalau ditanya, mungkin level judes ini sudah sampai di angka sepuluh, maksimal.“Eh, jenguk Ricky, lah.
Iya, atau tidak? Maju atau mundur? Bermenit-menit kupandangi media sosial Ardio, suaminya Tanti. Kalau aku kirim pesan lewat chat di situ, apa reaksinya?Apakah dia akan langsung marah kepada Tanti? Atau dia marah kepadaku karena sudah menjelek-jelekkan istrinya? Atau … dia akan menghubungi Mas Ricky dan mereka berkelahi?Pertanyaan Mas Ricky kepada Tanti terngiang. Suamiku bertanya kenapa perempuan itu ada di Surabaya? Berarti aslinya Tanti tidak di sini?“Ooow, dia orang Jakarta,” gumamku sendiri.“Siapa, Cha?” Mama ternyata sudah masuk ke kamar. Kulihat bundaku itu membawa susu cokelat hangat. Ternyata beliau masih mengingat kesenanganku.“Buat aku, ya, Ma?” tanyaku sumringah. Mama mengangguk dan memberikan gelas cokelat itu kepadaku.“Cha,” panggil Mama pelan, dan lembut. Ia membelai rambutku. Pundak ini diusapnya perlahan. “Jadi istri itu harus sabar,” ucap Mama mulai me
Duh, kan? Jawab apa kalau begini? Kenapa pertanyaan langsung seperti itu? Sudah pengalaman atau bagaimana?Mumet! Ruwet! Benar Mbak Lelly aku terlalu berani melangkah. Ini dia mengirim chat lagi.Ardio[Lama nggak dijawab, berarti jawabannya iya.]Terpaksa aku jawab dan kami kembali saling chat.Aku[Bingung jawabnya. Aku cuman heran aja kenapa mereka berdua kayak lem. Susah banget dipisah.]Ardio[Itu sudah sejak dulu begitu. Tanti dulu janji sama aku nggak akan hubungan lagi. Ternyata dia bohong. Sejak kapan mereka berhubungan lagi?]Aku[Nggak tahu. Aku juga baru tau sejak awal menikah bahwa mereka masih hubungan.]Ardio[Ada nomor telepon? Saya mau telepon aja daripada capek nulis.]Kuberikan nomor telepon padanya. Tidak sampai sepuluh detik sudah bunyi ponselku. Wajah blasteran bulenya muncul di layar. Kenapa Tanti bisa sia-siakan makhluk setampan ini? Batinku keheranan.“Ha-
“Dorooooong! Dorong sedikit lagi, Bu!” Dokter Ratna memberi semangat.Perut ini sakit jangan ditanya. Ya, Tuhan, jadi begini rasanya melahirkan. Berat sekali perjuangan seorang ibu!“Aaaaaaaarrrgggghhhhh!” jeritku kencang. Keringat sudah membanjiri seluruh tubuh. Ingin rasanya aku menyerah saja karena tidak ada tenaga lagi.“Sedikit lagi, Beb! Sedikit lagi!” Mas Ricky meremas tanganku, memberikan lecutan semangat agar terus berjuang melahirkan anak kami.Aku tatap wajah pucat suamiku. Dia baru saja keluar dari rumah sakit ini beberapa jam lalu, dan sekarah sudah kembali lagi ke sini bersamaku. Apakah dia baik-baik saja? Bukankah orang yang baru dioperasi usus buntu seminggu lalu harusnya masih sakit, ya?Entahlah! Aku antara terenyuh melihat Mas Ricky, berbarengan dengan ingin mencakar wajahnya saat ini juga. Lelaki kurang ajar yang sudah tidur dengan wanita lain selain diriku!“Semangat, Cha!”
Mata Mas Ricky menatap tajam kepada Pak Andre. Dua lelaki ini saling tatap. Bosku tentu saja bersikap biasa. Berbeda dengan suamiku yang seperti orang kebakaran jenggot.“Saya Andre. Bosnya Anissa,” sapa Pak Andre memperkenalkan diri.“Ngapain siang-siang ke sini?” desis Mas Ricky sangat tidak ramah.“Tilik bayi, Mas.” Mbak Lelly sudah selesai dari kamar mandi dan ikut nimbrung. Mengatakan kehadiran mereka untuk menengok Rafi.Melihat Mbak Lelly juga ikut, wajah Mas Ricky sedikit berubah. “Oh, kamu ikut juga, Lel?”“Iya, Mas. Langsung dari kantor tadi ke sini. Nggak sabar mau gendong ponakan.”“Hmm, ya, udah. Ini sekarang mau pulang?”“Iya, kami akan pulang.” Pak Andre masih terlihat baik dan ramah.“Oh, iya, kenalin saya Ricky. Suaminya Anissa,” balas Mas Ricky menjabat tangan Pak Andre. Aku tahu dia berusaha ramah. Aslinya dia tida