Mati aku! Benar kata Mbak Lelly! Aku hamil! Dua garis biru terlihat nyata di alat test pack. Pantas saja aku mual terus menerus. Lemas sudah tubuh ini. Kepala tertunduk lesu. Meratapi kenyataan.
Hamil? Punya anak? Dengan kondisi Mas Ricky masih menebar pesona ke segala penjuru mata angin? Mampukah aku melewatinya?
“Cha? Lama amat di kamar mandi? Ngapain?” Suara Mas Ricky berteriak dari luar. Ia menggedor-gedor kanar mandi.
“Sakit perut! Sabar dikit, lah!” omelku masih mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangan.
“Iya, aku sabar! Masalahnya aku juga kebelet pipis!” protesnya kembali.
“Huuuh! Ngeganggu aja!”
Kutekan tombol siram di kloset. Selesai membersihkan diri, kupakai kembali daster seksi berwarna merah muda pemberian Mas Ricky. Oleh-oleh dari Bali tiga minggu lalu saat ia rekreasi dengan teman kantornya.
“Cha! Buruan!” teriak suamiku lagi.
“Masih cuci mukaaaaa!” jawabku ikut berteriak saking kesalnya.
Selesai semua, aku membuka pintu. Kudapati dia di depan kamar mandi, menyeringai. Selalu menampilkan wajah tanpa dosa.
Cepat ia menarik tanganku agar bergeser dari pintu lalu masuk kamar mandi. Entah lupa atau bagaimana, Mas Ricky tidak menutup pintu sama sekali. Aku bisa melihat ia buang air kecil dengan santai. Bahkan, sesekali ia menoleh padaku lalu tersenyum.
Huh! Suamiku sudah tidak waras. Sama sekali tidak malu! Aku yang merasa risih dan malu melihatnya buang air kecil, sampai akhirnya cepat-cepat aku berlari ke kamar tidur.
Test pack aku letakkan di atas meja rias. Biarlah sudah, Mas Ricky harus tahu kalau aku hamil. Sudah kepalang basah.
“Mas, lihat itu,” ucapku begitu Mas Ricky kembali dari kamar mandi. Pandangan mata kuarahkan ke meja rias agar ia mengikutinya.
“Apaan tuh?” tanyanya memicingkan mata.
“Pura-pura nggak tahu?” tukasku sebal. Entah kenapa pagi ini aku kesal sekali dengannya.
Mas Ricky berjalan, menuju meja rias.
“Eh? Ini test pack?” gumamnya melirikku.
“Bukan! Itu nasi goreng!” jawabku makin jengkel membuatnya tertawa lepas.
“Allahu Akbar, Cha!” teriak Mas Ricky begitu melihat dua garis biru pada sebatang tes pack.
Ia berlari, melompat ke atas kasur, memelukku dengan erat. Bibirnya langsung menghujaniku dengan ciuman. Mulai kening, hidung, pipi, sampai bibir. Semua ia ciumi.
“Kamu hamil, Sayang?” pekiknya begitu bahagia mengelus-elus perutku.
“Hmm,” jawabku biasa saja.
“Eh? Kamu kenapa? Kok malah cemberut? Ini kan anugerah, Cha! Kita akan punya anak!” protes Mas Ricky dengan wajah keheranan.
Aku terdiam. Mau bilang apa? Apa bisa aku bilang untuk menghapus semua foto dan video jorok di ponselnya? Nanti ketahuan, dong, kalau aku selalu mengecek ponselnya.
Kalau sudah ketahuan, pertama, Mas Ricky pasti akan marah. Kedua, dia pasti akan mengganti password. Ketiga, kalau memang ia berselingkuh, pasti akan lebih berhati-hati lagi.
“Hey, malah ngelamun?” tegurnya mencolek daguku. “Kamu kenapa?”
“Kamu itu yang kenapa?” balasku ketus.
“Apanya aku kenapa?” Kalimat kami rasanya semakin mbulet.
“Kenapa masih suka tebar pesona sama cewek-cewek?”
“Sama siapa? Kamu tahu dari mana aku tebar pesona?” sanggah Mas Ricky santai. Bukannya takut malah tersenyum dan mendekatkan diri lagi kepadaku.
“Medsosmu itu isinya cewek semua! Setiap kamu posting, selalu ada aja cewek-cewek yang komen! Banyakan cewek yang komen daripada temen cowokmu, tau nggak?” jawabku sekenanya, karena tidak mungkin mempermasalahkan penyimpanan media miliknya.
Tawa suamiku meledak. Ia terbahak sambil menggelengkan kepala. Lesung pipitnya terlihat jelas saat ia sedang terbahak begini. Ah, memang dia sangat tampan! Cewek-cewek gatel di luar sana selalu mengintai, menunggu kesempatan untuk bisa menggodanya.
“Anissa, Anissa! Gara-gara itu kamu takut punya anak denganku?” tanya Mas Ricky di sela tawanya.
Aku diam saja, melengos. Ya kali, hanya gara-gara itu saja? Memangnya aku anak SMA?
“Tauk ah!” jawabku gusar.
“Eits! Mau ke mana?” Mas Ricky mencegahku turun dari kasur. Ia menarik tanganku.
“Mau mandi! Mau ke pasar, belanja!” jawabku setengah berteriak.
“Nggak usah masak. Kita rayain kehamilanmu dengan makan di luar aja,” sergahnya menatapku lembut.
Alamak! Tatapan ini yang selalu membuatku menggelepar tak berdaya. Rasanya ada sesuatu yang magic di bola mata Mas Ricky, membuatku sulit untuk bernapas. Hanya bisa larut dan hanyut.
“Icha, Sayang. Aku menikahi kamu karena cinta. Kamu sadar itu, ‘kan?” gumamnya begitu tenang.
“Aku nggak pede, Mas. Cewekmu cantik semua. Sementara aku kayak ondel-ondel begini!” Kuakui rasa insecure yang terus menggelayuti batin tiap hari.
“Kamu tahu nggak, Cha? Kalau aku cuma lihat cantik, aku bisa kawin dari bertahun-tahun lalu.” Suara Mas Ricky semakin mendayu. “Tapi, aku memilih kamu bukan semata karena kamu cantik. Ada kebaikan, kesabaran, ketulusan, dan keikhlasan dalam diri kamu yang membuat aku tenang.”
Tuh kan, jago sekali ia bermain kata-kata. Memang benar, aku sabar. Kalau tidak sabar, sudah aku banting dan injak-injak ponselnya pada saat kumelihat foto telanjang Tanti di medianya.
Namun, kalimatnya menghadirkan getaran. Menyeruak masuk ke dalam kalbu terdalam. Aku terharu, sampai mataku berkaca-kaca.
“Apa lagi, sih? Yang bikin kamu takut menjalani masa depan sama aku?” lanjutnya menarikku semakin masuk ke dalam pelukannya.
“Tanti.” Jawaban itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Kupandang wajah Mas Ricky. Aku ingin tahu, apakah ada perubahan saat kusebut nama itu? Ya, ternyata memang ada. Dia tertegun. Keningnya sedikit berkerut, tanda ia sedang berpikir.
“Aku nggak suka kamu masih berhubungan sama mantanmu itu. Dia udah kawin, ‘kan? Kamu juga udah kawin sama aku. Buat apa terus berhubungan?” protesku tajam.
“Kami cuma bersahabat aja, kok,” jelasnya berusaha meyakinkan.
“Nggak ada namanya mantan bersahabat, Mas. Aku sakit hati lihat kamu deketan sama dia. Apa lagi dia ganjen begitu!”
“Iya, iya, aku paham. Okelah, nanti aku usahakan menjauh dari Tanti.”
“Janji?” tegasku kembali.
“Iya, janji!” jawab Mas Ricky menganggukkan kepala.
Aku menghela napas. Tentu saja belum lega sepenuhnya. Selama gambar-gambar seronok itu masih ada di ponselnya, sampai kapan pun juga, aku masih akan ketakutan dan sakit hati.
“Kita keluar kota sama Mama dan Desy, yuk? Udah lama kita nggak jalan sama mereka, ‘kan?” Mas Ricky menyebut nama ibu dan adiknya.
Aku kembali terdiam. Jujur saja, aku belum bisa dekat dengan keluarganya. Sedikit risih, karena mamanya selalu saja bicara harta. Membanggakan si ini dan si itu yang punya banyak uang. Sementara adiknya, gadis centil yang juga materialistis.
Ayah kandung Mas Ricky ada di kota lain. Kedua orang tuanya bercerai saat ia SMP. Ibunya kemudian menikah lagi, dan lahirlah Dessy. Entah kenapa, ibunya bercerai lagi sekitar sepuluh tahun lalu, dan tidak menikah lagi sampai sekarang.
Sebelum pacaran denganku, Mas Ricky pacaran dengan perempuan bernama Linda. Anak seorang dokter bedah top di Surabaya. Kemana-mana, tunggangannya Mercy. Setiap datang ke rumah, ada saja oleh-oleh mahal yang diberikan untuk keluarga Mas Ricky.
Sementara aku? Aku mau apa dengan orang tua yang sudah pensiun dan gaji seorang sales counter? Sekedar informasi, bayaranku UMR lebih sedikit. Gajiku hanya lima juta setiap bulan. Kalau ada bonus dari penjualan mobil juga selalu aku tabung, untuk masa depan. Mana bisa aku membawakan barang mewah untuk mereka?
Untuk menikah saja, aku harus memecah tabungan karena orang tuaku tidak ada uang untuk membiayai secara full. Kemana-mana, aku cukup naik Honda Vario saja. Satu-satunya hadiah yang pernah aku belikan untuk mama mertuaku adalah sebuah baju gamis seharga tiga ratus ribu. Menurutku, itu sudah wow! Entah menurut mereka.
Ketika Mas Ricky putus dengan Linda, kemudian berpacaran denganku, diri ini seperti itik buruk rupa. Aku adalah wanita yang paling “biasa” di antara pacar-pacarnya. Biasa dari segi wajah, dan biasa dari segi harta.
Pernah aku mendengar mertuaku berbisik dengan adiknya, mengatakan, "Sayang sekali Ricky putus sama Linda. Padahal aku seneng banget naik mercy-nya!"
Gusti! Kenapa aku terjebak dalam dunia ini? Apakah sudah terlambat untuk pergi? Aku yang selalu ragu dalam mengambil keputusan!
“Ayolah, Cha. Kita rayakan kabar baik ini dengan mereka!” rayu Mas Ricky mencium pipiku, membuyarkan lamunan dan berbagai pemikiran mengenai keluarganya.
“Ya, udah. Kamu telepon Mama, ya? Aku mau mandi,” ucapku akhirnya setuju, tetapi lesu.
“Kita telepon bareng. Terus, kita … mandi bareng,” sahut Mas Ricky mulai menunjukkan wajah mesumnya. “Aku mau mandi sama ondel-ondel kesayanganku!”
Aku tertawa. Hati wanita memang begitu dalam. Ia bisa tertawa di luar, meski menangis di dalam. Sabar? Iya, aku memang sabar.
***
Mobil Avanza second kami sudah tiba di rumah mertua. Kuhirup napas panjang. Semoga hari ini menjadi hari yang baik untukku.
Mas Ricky langsung masuk, mencari ibunya dan memberi kabar baik mengenai kehamilanku.
“Alhamdulillah, Anissa! Kamu ternyata subur juga, ya! Padahal, badan kamu kurus kering begitu!” Mama Enik memeluk dan mencium pipiku.
Hmm, badanku kurus kering, katanya. Dengan tinggi 167cm, berat badanku hanya 50kg. Orang bilang justru itu seksi. Namun, buat mama mertua, itu kurus kering. Yah, biarkanlah.
“Hah? Mbak Anissa hamil? Hore! Aku akan punya keponakan!” teriak Desy berlari keluar dari dalam kamarnya. Ia memeluk dan mencium pipiku.
“Kita rayakan dengan jalan-jalan keluar kota, yuk!” ucapku sumringah.
“Eh? Kamu ada duit lebih buat traktir mama, Ric?” sela Mama Enik membuatku tertegun.
“Tenang, Ma! Aku kan udah jadi area manager! Gajiku naik, dong!” jawab Mas Ricky menepuk dadanya, berbangga hati.
“Oh, ya? Kok nggak bilang dari kemarin-kemarin? Bulanan mama juga dinaikin, dong?”
Mas Ricky tersenyum kaku. Ia melirik ke arahku, meminta persetujuan. Aku langsung menundukkan kepala dan pura-pura melihat ke arah lain. Jangan sampai mertuaku tahu kalau semua gaji Mas Ricky diserahkan kepadaku, dan aku yang mengatur semua pengeluaran.
“Ngapain lihat Anissa? Itu kan gajimu, bukan gaji dia!” Mama Enik kembali membuat kami kelimpungan.
Duh, panasnya hatiku! Akan tetapi, hormat pada orang tua adalah nomor satu.
“Udah, beres, Ma. Nanti pasti Mas Ricky kasih bulanan lebih buat mama,” sahutku ingin masalah ini cepat berakhir.
“Gitu dong! Itu namanya berbakti sama orang tua!” tandas Mama Enik bahagia.
Tiba-tiba ada sepeda motor berhenti di depan rumah, dan pengemudinya berteriak. “Paket!”
Desy segera berlari keluar kemudian kembali masuk membawa tiga buah kotak berlapis kertas cokelat.
“Buat siapa, Nduk?” tanya Mama Enik penasaran.
“Mama Enik, Desy, Mas Ricky,” jawab Dessy sambil mencari nama pengirimnya.
“Hah? Siapa kirim paket buat kita semua?” Mas Ricky keheranan.
“Dari Mbak Tanti, Ma!” seru Dessy dengan mata berbinar.
“Cepat buka! Siapa tahu kita dapat tas Guess lagi seperti dua bulan lalu!” Mama Enik memekik girang.
Kakiku seketika lemas. Rasanya darah sudah tidak lagi mengalir di tubuh.
BERSAMBUNG
Sepanjang hari aku gelisah. Sejak sore sudah berkali-kali memilih baju yang berbeda untuk dipakai bertemu Ardio dan Tanti di Tunjungan Plaza.Jelas, aku tidak mau terlihat kampungan atau jelek di hadapan wanita yang sudah merasakan tubuh suamiku. Jangan sampai dia mentertawakan aku yang tidak bisa dandan maksimal saat ke mall besar.Memoles make up minimalis dengan warna bibir agak cerah. Menampilkan manisnya wajah khas Jawa Timur. Mas Ricky selesai mandi dan menatapku tak berkedip ketika memasuki kamar. “Cantik banget kamu malam ini,” pujinya terdengar tulus. Dari sorot mata, aku tahu kalau dia merindukan kehangatanku.Salah sendiri membuang semua yang dia miliki bersamaku demi mengincipi aneka wanita di luar sana.“Hmm, iya, dong. Meskipun udah emak-emak, tetap harus cantik, kan?” Sekenanya aku menyahut.Obrolan yang kurasa aneh. Tidak ingin ada kedekatan seperti ini sebelumnya. Akan tetapi, harus berpura-pura supaya terlaksana pertemuan berempat.Mas Ricky mendekat. Berdiri di bel
Masih berdua dengan Ardio di café yang dingin. Ditemani musik sepoi-sepoi. Setiap dia berbicara, ekspresi wajahnya selalu menarik untuk dilihat.Gilalah aku yang terpesona dengan lelaki ini. Usianya mungkin berbeda sepuluh tahun lebih denganku. Dia terlihat begitu dewasa dan matang. “Cha! Ngelamun?” protes Ardio memanggil namaku.Sontak aku terbelalak. Terkejut dengan panggilan darinya. Aduh, apa dia tahu kalau aku baru saja memperhatikan wajahnya tanpa jeda?“Ngelamunin apaan, sih?” selidiknya lagi menundukkan kepala sedikit dan melirik padaku. “Ehm, enggak, kok. Sampai mana tadi?” kilahku tersenyum salah tingkah.“Sampai kita mau makan malam berdua, tapi kamu belum jawab mau apa enggak?” jawab Ardio menatapku lekat.“Hah? Apaan? Makan malam berdua?” pekikku makin terkejut. Apa segitu hilangnya aku tadi sampai tidak tahu kalau dia mengajak makan malam?Namun, Ardio terbahak. Dari nada tawanya aku tahu dia sedang mentertawakan aku. Ternyata,
Sudah hampir tengah malam dan aku masih tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku terpaku dengan bagaimana kalau nanti kami berempat bertemu. Apakah akan ada masalah atau justru aku akan menikmati wajah Mas Ricky yang serba salah tingkah? Kalau dia bisa berlagak marah-marah di depan Pak Andre tadi, apa dia juga akan begitu di depan Ardio?Aku ingat, Mas Ricky takut sekali waktu dulu tahu aku buka-buka medsosnya Ardio. Kalau besok kami bertemu, setakut apa dia?Masih tidak bisa tidur dan mendengar suara gerbang dibuka. Mas Ricky memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku pura-pura meram saja. Akan tetapi, mata ini tidak mau diajak kompromi.Aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Membular dan membuka lebar. Sial! Makiku dalam hati. Mau apa terusan kalau sudah begini? Kunyalakan televisi saja. Pura-pura belum tidur karena menonton film.Mas Ricky membuka kamar dan langsung menatapku lirih. “Belum tidur?” sapanya hambar.Aku hanya mengangguk. Terlalu malas untuk
Aku tidak tahu kenapa semua jadi seperti ini. Berkumpul di rumah kemudian saling meneriaki satu sama lain. Kehadiran Mama Enik merubah ketenangan di rumah ini.“Istri kamu itu ajarin sopan santun, Ricky!” sembur Mama Enik mendelik kepadaku.“Jangan tuduh aku selingkuh sama Pak Andre. Mama kan nggak tahu apa-apa! Ngapain nuduh yang bukan-bukan?” Membela diri. Menolak untuk direndahkan begini.“Sudah, diam!” Mas Ricky terus saja membentakku.“Kamu yang diam! Kamu juga bikin malu di restoran tadi! Apa kamu lupa dia bosku? Aku sampai harus minta maaf langsung ke kantornya tadi siang!” “Iiih! Udah, Ric! Ceraikan saja Anissa yang udah berani banget marah-marah dan bentak-bentak kamu kayak gini!”Wanita tua itu terus saja memprovokasi. Namun, aku senang sajalah kalau memang semua harus berakhir malam ini. Paling tidak bukan aku yang membuat keputusannya. “Apa-apaan ini? Kok malah anak-anaknya disuruh cerai? Saya nggak terima!” Papa mulai unjuk suara.
Kenapa bisa ada tanaman diberi nama Lidah Mertua? Apakah mengacu pada mertua sejenis Mama Enik? Begitu tajam lidahnya menyayat hati kami. Wajah Papa langsung merah padam. Menahan malu dan marah. “Mbakyu, bicaranya kok ngawur? Saya sakit! Mau menginap semalam di sini supaya besok bisa ke rumah sakit dengan Anissa!” hardik Papa. Napasnya terlihat berat sampai tersengal.Mama mengelus-elus dada Papa. “Sabar, Pak. Sabar.” “Ma, ini rumah saya dan Mas Ricky. Tolong Mama jangan menghina Papa seperti itu. Tiap bulan Mas Ricky kirim uang ke mama juga saya nggak pernah protes!” sambungku emosi.“Heh! Ricky mau kasih saya itu suka-suka dia. Seorang ibu lebih berhak harta anaknya daripada istri! Ngerti nggak kamu? Saya cuman nggak mau uang Ricky habis karena harus menghidupi kalian para benalu!”“Ya Allah, Mbak! Istighfar! Saya di sini juga bantu Anissa ngejagain Rafi, cucu Mbak! Anaknya Ricky!” tangkis Mama setengah menangis. Dadaku bergemuruh kencang. Aku haru
Sepertinya hari ini akan jadi hari tersial dalam hidupku. Kalau tadi ribut dengan Mas Ricky, maka sekarang aku punya feeling kuat, bahwa aku akan diomeli Beverly.Wanita high class dengan kecantikan sempurna. Menatap tajam padaku. Bukan hanya tajam, tetapi juga merendahkan. Bibirnya berdecak. Meremehkan kehadiranku di ruangan tunangannya.“Saya permisi dul, Pak. Terima kasih untuk bantuannya,” ucapku pamit hendak meninggalkan ruangan.“Heh! Diam di situ. Bantuan apa? Dapat apa kamu dari calon suami aku?” hardik Beverly menghalangi langkahku keluar. Ia berdiri di belakang kursiku, dan mendorong pundak ini agar tidak terus bergerak keluar. “Maaf, saya hanya dibantu urusan pekerjaan dengan Pak Andre.” Aku menjawab dengan senyum miris. Berusaha terlihat natural, padahal jelas tidak mungkin.“Iya apa? Bantuan pekerjaan apa?” desak Beverly makin meninggikan suara.“Bev, what is wrong with you? Let her go!” perintah Pak Andre keberatan aku diperlakukan