“Jangan becanda, Mbak! Aku lagi bad mood, loh!” tukasku cemberut.
“Siapa juga yang becanda? Serius ini! Kamu udah dua bulan nggak haid, 'kan? Nggak KB juga, 'kan?” Mbak Lelly malah semakin tersenyum dengan mata berbinar.
Aku terdiam. Jantungku seperti dipompa. Berdegup kencang sekali. Apa iya aku hamil secepat ini?
“Tapi, aku masih nggak mau hamil dulu, Mbak,” jujurku menundukkan kepala.
“Hah? Kenapa?” Mbak Lelly terkejut sampai tidak jadi menyesap white coffee kesukaannya.
Aku diam sejenak. Masih ragu untuk mengatakannya. Apakah aku akan jadi orang yang bejat kalau kukatakan aku masih belum mau punya anak?
“Kenapa, Cha? Ayo, cerita!” desak Mbak Lelly mencolek lenganku.
Kuhela napas panjang. Sebenarnya masih enggak untuk bercerita. Akan tetapi, ah, sudahlah!
“Aku … sempat punya pikiran mau cerai dari Mas Ricky. Kalau punya anak, nanti semakin susah cerainya, ‘kan?”
Benar saja. Ucapanku membuat Mbak Lelly sangat terkejut sampai ia menyembur kopi yang sedang diminum. Muncratan air dari mulut dan gelas kopinya mengotori meja.
Sahabatku itu kemudian segera mengambil tissue, mengelap meja sambil menggelengkan kepala. “Baru juga nikah tiga bulan, udah mikir cerai?” gumannya tak percaya.
“Lah suamiku kayak gitu, Mbak. Banyak cewek yang ngeganggu! Aku sebal, tau nggak? Cemburu terus tiap hari itu nggak enak!” jelasku membela diri. Aku yakin, aku tidak bersalah.
“Kalau lagi emosi, jangan buat keputusan apa pun, Cha! Ingat pesanku ini baik-baik!” tandas Mbak Lelly menatapku serius.
Aku tidak punya saudara sama sekali. Menjadi anak tunggal membuatku merasa Mbak Lelly adalah kakak yang selama ini aku idam-idamkan.
“Cha, si Tanti itu udah punya suami, belom?” tanya Mbak Lelly bernada menyelidik.
“Udah. Namanya Dio.”
“Kapan mereka menikah?”
“Nggak tau. Kenapa, sih?” Aku tidak mengerti arah pembicaraan Mbak Lelly.
“Foto itu diambil tiga tahun lalu, benar? Kalau waktu itu Tanti sudah menikah, berarti …?”
Mbak Lelly tidak meneruskan kalimatnya. Ia memintaku untuk berpikir sendiri.
“Berarti Mas Ricky adalah … pebinor?” tanyaku tak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan. Mataku melebar, mulut menganga, dada kembang kempis.
“Nah, itu dia!” sahut Mbak Lelly. “Suami kamu memang luar biasa!”
“Aku harus gimana nih?” pekikku meremas tangan Mbak Lelly.
Aku panik! Kalau Mas Ricky berani tidur dengan istri orang, berarti dia tidak pernah memandang pernikahan sebagai sesuatu yang suci.
“Cari di media sosialnya, Cha! Ayo, cepat! Siapa nama lengkapnya Tanti?” Mbak Lelly semangat, membuka ponsel dan menekan aplikasi berlogo F dan berwarna biru.
“Kalau nggak salah, Tanti Wardhani. Cepet, Mbak! Search!” pintaku semakin berdebar.
Detik-detik Mbak Lelly scrolling layar ponsel terlihat seperti gerakan slow motion. Aku sangat tidak sabar menanti hasilnya.
“Ini orangnya?” Ponsel Mbak Lelly dihadapkan padaku. Seorang wanita cantik, berkulit putih dengan rambut diwarna cokelat tua terlihat di sana.
Aku berusaha mengingat kembali wajah Tanti yang ada di ponsel suamiku. “Iya! Ini orangnya!” seruku setelah yakin memang itulah Tanti, mantan Mas Ricky.
Mbak Lelly lanjut menyelidiki. Ia buka profile Tanti dan membaca dengan seksama bagian yang ada tulisan “menikah dengan.”
“Cha, si Tanti sudah menikah dengan Ardio Hendratmo sejak ….” Mbak Lelly terdiam. Matanya melirik padaku kemudian kembali menatap gawainya.
“Sejak apa, Mbak?” Aku semakin penasaran.
Mbak Lelly tidak menjawab. Bisa kulihat dari wajahnya bahwa ia sedang kebingungan.
“Mbak! Sejak kapan?” Aku mengguncang tubuhnya.
“Ini lihat sendiri. Mereka merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke berapa?” Mbak Lelly menyerahkan ponselnya padaku.
Terlhat di layarnya. Dua bulan lalu, Tanti dan Dio sedang merayakan ulang tahun pernikahan yang ke … sepuluh? Hah? Aku semakin tidak paham!
“Mas Ricky cerita kalau Tanti baru menikah tahun lalu, Mbak. Berarti ….” Aku tergagu, tidak mampu meneruskan kalimatku.
“Berarti suami kamu penuh misteri, Cha,” lanjut Mbak Lelly menyelesaikan kalimatku. "Sabar dulu, mungkin ada penjelasan lain yang kita belum tau."
“Pembohong, Mbak. Berarti suamiku pembohong!” timpalku terengah.
Kami berdua terdiam. Mbak Lelly menatapku lirih. Ia memang sudah menganggap aku sebagai adiknya sendiri. Aku rasa, dia sedang sedih melihatku masuk dalam situasi seperti sekarang.
Napasku masih belum bisa teratur. Rasa sesak menusuk di ulu hati. Bagaimana bisa Mas Ricky meniduri istri orang tiga tahun lalu? Dia sudah gila atau bagaimana?
Jujur saja, aku sebelum ini bangga menjadi wanita yang akan dinikahi oleh seorang Ricky Hardiansyah. Lelaki yang banyak dikejar oleh wanita segala usia. Namun, ia memilihku untuk menjadi istrinya.
Usianya tiga puluh dua tahun saat menikah denganku yang baru berusia dua puluh empat tahun. Sampai usianya yang kepala tiga belum menikah, kata orang-orang karena terlalu banyak berpindah hati ke sana ke mari.
Namun, akhirnya ia melabuhkan pencarian di diriku. Sungguh, aku bangga sekali pada waktu itu.
Kini, aku mulai meragukan perasaan tersebut. Kebanggaan itu mulai luntur. Menemukan berbagai hal yang mengejutkan, membuat shock.
“Tanti juga udah punya anak, loh, Cha. Yang laki kayak papanya. Ganteng, sumpah!” celetuk Mbak Lelly masih mengubek-ubek media sosial Tanti.
“Hah? Suaminya ganteng? Mana?” Aku penasaran. Kuambil kembali ponsel Mbak Lelly dan melihat Ardio atau yang biasa dipanggil Dio.
“Eh, iya, ya. Ganteng juga suaminya Tanti. Udah punya suami ganteng gitu, ngapain dia masih mbulet aja sama Mas Ricky?” pikirku berusaha membuat semua ini masuk logika.
“Nggak puas kali dia sama suaminya, Cha?” kekeh Mbak Lelly.
“Terus puasnya sama laki aku gitu? Enak aja, woy!” teriakku menanggapi teori kepuasan Mbak Lelly.
Duh, memori kembali mengulik tentang media Mas Ricky. Masih ada folder video yang belum aku buka.
Tiba-tiba rasa mual kembali melanda. Aku berlari ke kamar mandi. Sudah aneka erangan aku keluarkan. Mulut sudah mengeluarkan bunyi “Hoek”, tapi tidak ada apa-apa yang keluar dari mulut. Sama seperti kondisi sejak tadi pagi.
Sayup kudengar suara Mbak Lelly meneriaki agar aku segera membeli test pack di depan.
***
Pagi telah tiba. Mentari bersinar cukup redup di musim hujan ini. Aku terbangun dan ingin ke kamar mandi. Aku ambil jubah tidur di sebelah ranjang.
“Mau ke mana?” Mas Ricky tiba-tiba menahan pinggangku.
“Kamar mandi, Mas,” jawabku pelan.
“Nggak usah pake jubah tidur. Telanjang aja keluar masuk kamar. Toh, nggak ada yang lihat?” perintahnya menarik jubah tidur lalu memasukkan ke bawah bantal, menyembunyikannya.
“Udah jam tujuh pagi ini, Mas! Malu ah telanjang kemana-mana!” protesku berusaha merebut jubah tidur dari bawah bantal.
Bukannya jubah tidur yang aku dapat, tetapi malah Mas Ricky mulai menggerayangi tubuh telanjangku. Ia menyentuh tengah tubuhku dengan sangat cekatan.
“Emmh, aduuuh, Mas Ricky! Aku kebelet pipis ini! Jangan malah digituin!” teriakku berusaha menarik tangannya dari mempermainkan kewanitaanku.
“Aku pengen dengar kamu mendesah, Cha!” sahutnya tiba-tiba memasukkan tangan ke dalam tubuhku lewat sebuah lubang kenikmatan di bawah pusar.
“Iiiih! Aku mau ke kamar mandi!” Aku mendorong Mas Ricky sampai akhirnya bisa bebas dari cengkeramannya.
“Cepat balik, Cha! Aku udah horny!” teriak Mas Ricky mengiringi kepergianku ke kamar mandi.
Aku duduk di atas toilet dengan sejuta rasa. Kutarik napas panjang sebanyak tiga kali sebelum akhirnya menyobek test pack dan mengeluarkan isinya.
Membaca dua kali cara penggunaan test pack. Harus disentuhkan ke air seni. Baiklah, akan kulakukan semuanya. Jujur saja, aku berdoa agar tidak muncul dua garia biru. Aku masih belum siap terjebak bersama Mas Ricky.
Sudah lima menit aku terus menatap garis tersebut. Mataku jadi jarang berkedip, sampai pedas karena terus menatap.
‘Tuhan, jangan hamil, please!’ doaku mengiba pada Sang Pencipta.
Kuangkat wajah, mata langsung berfokus pada test pack yang menunjukkan ….
“Ya, Tuhan!”
BERSAMBUNG
Mati aku! Benar kata Mbak Lelly! Aku hamil! Dua garis biru terlihat nyata di alat test pack. Pantas saja aku mual terus menerus. Lemas sudah tubuh ini. Kepala tertunduk lesu. Meratapi kenyataan.Hamil? Punya anak? Dengan kondisi Mas Ricky masih menebar pesona ke segala penjuru mata angin? Mampukah aku melewatinya?“Cha? Lama amat di kamar mandi? Ngapain?” Suara Mas Ricky berteriak dari luar. Ia menggedor-gedor kanar mandi.“Sakit perut! Sabar dikit, lah!” omelku masih mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangan.“Iya, aku sabar! Masalahnya aku juga kebelet pipis!” protesnya kembali.“Huuuh! Ngeganggu aja!”Kutekan tombol siram di kloset. Selesai membersihkan diri, kupakai kembali daster seksi berwarna merah muda pemberian Mas Ricky. Oleh-oleh dari Bali tiga minggu lalu saat ia rekreasi dengan teman kantornya.“Cha! Buruan!” teriak suamiku lagi.“Masih cuci mu
Mama Enik dan Dessy terlihat sangat sumringah mendapat paket tersebut. Aku cuma bisa melirik pada Mas Ricky. Protes dengan sikap ibu dan adiknya yang sangat tidak menghargai keberadaanku.Okelah mereka tidak suka padaku, tetapi apa iya harus seperti ini juga? Apa mereka tidak sadar aku tersinggung? Harusnya mereka lebih pro denganku, keluarga baru mereka. Bukan dengan Tanti, yang hanya sekedar mantan.Aku tidak tahan, aku harus bersuara meski sedikit. Kalau diam saja, nanti aku semakin dianggap tidak ada.“Oh, jadi Tanti masih suka kirim barang buat Mas Ricky ke alamat sini, ya, Ma?” tanyaku datar. Kupandang mereka dengan mata memicing. Kupastikan mereka tahu aku tersinggung.“Nggak, kok, Sayang. Tanti nggak pernah kirim apa-apa. Baru kali ini aja. Iya, kan, Ma?” jawab Mas Ricky mengamit tanganku. Ia tahu aku cemburu.“Buka dulu aja paketnya, Des!” perintah Mama Enik tidak menghiraukan pertanyaan maupun perasaank
“Cha? Kamu liat di mana nama Ardio Hendratmo?” desak Mas Ricky terus menerus.Aku melengos, berusaha cuek saja. “Tauk, lupa, Mas!” jawabku ketus. “Jawab dulu, Mas. Suaminya si Tanti bakal marah nggak kalau tahu kalian masih deketan?”“Kamu nggak hubungin Dio, kan?” tanya suamiku dengan wajah khawatir. "Kamu apa liat media sosialnya Tanti? Kamu stalking, ya?"Mas Ricky semakin terlihat khawatir. Aku juga semakin berpikir, kenapa dia takut sekali? Katanya cuma berteman? Bersahabat? Sampai kemarin bilang ke Tanti, "Salam untuk Dio."Aku kira, Mas Ricky kenal dengan Ardio, sampai titip salam begitu. Kenapa sekarang jadi panik begini? Sebenarnya bagaimana kisah mereka di waktu lalu? Aku semakin penasaran.“Dih, ngapain aku hubungan sama suami orang? Emangnya aku Tanti? Sorry, ya!” jawabku sinis. Kupastikan wajahku terlihat sinis supaya dia paham istrinya ini sedang cemburu lua
Lelaki yang bernama Pak Andre itu duduk di depan meja penerima tamu, persis di depanku. Ia memanggil namaku dengan lantang dan jelas.“Duduk,” pintanya. Heran melihatku masih berdiri.Aku melirik ke Mbak Lelly. Ya ampun! Dia sudah duduk juga ternyata. Kenapa aku terpaku, berdiri sendirian seperti orang bodoh? Gerutuku dalam hati.“Sudah jual berapa unit bulan ini?” tanya Pak Andre begitu aku duduk.“Lima, Pak.” Aku menjawab dengan bangga. Lumayan banyak jumlah itu untuk tipe mobil seperti yang kujual.“Saya dengar kamu top seller di sini. Bagus! Pertahankan, ya!” pesannya mengacungkan jempol.“Eh, iya. Makasih, Pak,” jawabku salah tingkah. Kenapa orang ini terlihat charming sekali? Sampai aku masih silau dan salah tingkah.“Ya, sudah. Saya ke atas dulu. Oh, ya. Kalau ada teman mau jadi sekretaris, boleh melamar. Saya cari sekretaris.”“Syaratnya apa,
“Ngapain direbut gitu HP-nya? Ayo, jawab! Siapa Iin?” tanyaku memakai nada tinggi. Beberapa orang di sekitar sampai melirik ke arah kami kemudian berghibah.Mas Ricky langsung mematikan layar ponsel dan berjalan menuju kasir, membayar semua makan malam dan kembali kepadaku. “Ayo, pulang! Malu-maluin aja kamu teriak-teriak!” desisnya menatapku kesal.Aku pun memberinya tatapan kesal dan marah. Apa dia pikir hanya dia yang bisa marah? Enak saja! Aku juga bisa marah! Kuhentakkan kaki menuju mobil. Pintu mobil kututup dengan cara membantingnya sekencang mungkin.“Woy! Copot itu pintu!” tegur Mas Ricky jengah denganku.“Biarin! Emang gue pikirin?” sahutku dengan judes yang semakin menjadi.Sambil menggelengkan kepala, Mas Ricky menyalakan mesin mobil dan segera meninggalkan warung bebek di belakang kami.“Siapa Iin?” tanyaku lagi semakin marah.“Teman kantor dulu, sebelum ak
Temani Pak Andre sarapan? Memangnya dia tidak ada teman lain selain aku? Eh, kenapa jadi GR begini akunya? Detik demi detik berlalu dengan aku masih membeku. Tidak tahu harus menjawab apa. Jadi gosip atau tidak kalau aku pergi dengannya?Sebuah mobil jaguar berwarna silver memasuki pelataran parkir. Pak Andre melihatnya dengan jengah. “Tidak jadi sarapan. Kalau ada yang cari, saya di ruang kerja, ya,” ucapnya datar kemudian kembali menaiki tangga dan menghilang ke lantai dua.Seorang wanita turun setelah supir membukakakan pintu. Wajahnya bagai artis korea. Sangat bening, sangat cantik. Tubuh tinggi semampai dan sangat seksi. Kedatangan memakai hem ketat press body berwarna hijau muda dengan rok span kain berwarna senada, sepanjang lutut. High heels sembilan sentimeter semakin memperjelas betapa elegan wanita ini.Sudah bisa jelas terlihat, dia orang kaya raya. Datang ke sini berarti hendak membeli mobil. Customer untukku! Dengan cepat, kurapikan pak
Sepasang manusia tanpa memakai sehelai kain pun sedang bermesraan di atas ranjang. Keduanya saling membelai tubuh satu sama lain. Sang lelaki sudah memakai cincin pernikahan di jemari manis, sementara sang wanita tidak memakai cincin serupa. Mereka baru saja selesai memadu kasih dua jam yang lalu. Setelah bercinta dengan panas, Ricky memesan makanan melalui room service. Keduanya makan, bahkan saling suap. Ciri khas seorang Ricky. Ia tidak memperbolehkan wanitanya memakai pakaian saat mereka berduaan. Sama seperti saat ia dengan Anissa di rumah. Ricky memangku Iin saat mereka melahap makan malam. Tubuh mereka berhadapan dengan posisi dada Iin tepat berada di depan wajah Ricky. Saat wanita itu menyuapi Ricky, sesekali tangan nakal si lelaki bergerilya ke dada montok kemudian meremasnya. Membuat Iin melenguh nikmat. Ingin membuat malam ini semakin liar, ia menggoda pacar gelapnya itu. Iin diminta untuk terus menyuapi sementara jari tengah Ricky bermain di sebua
“Iya, buka bajumu! Aku kangen banget!” ulangnya memintaku untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada di dalam pikiran. Aku menggelengkan kepala. “Apa-apaan? Malu, ah!” tolakku. “Ngapain malu? Kita kan udah nikah, Beb? Justru kayak begini ini semakin mempererat cinta kita,” rayunya begitu maut. “Ayoooo, please? Aku mau liat buah dada montok istriku!” pintanya terus memasang wajah melas. “Nggak mau! Kalau mau liat ya entar aja waktu pulang! Dah, sana tidur!” Aku tetap menolak. Risih sekali rasanya kalau aku harus melakukan apa yang dia minta. “Yah, kamu itu. Nyenengin suami pahalanya besar, loh!” gerutunya cemberut. “Banyak cara bikin kamu senang. Nih! Yang ada di perut aku emangnya nggak bikin kamu senang?” tukasku membalas omongannya. “He he he, seneng banget kalau itu. Jadi makin kangen! Tunggu, ya, besok lusa aku pulang, Beb.” “Hmm. Udah sana tidur! Besok kan harus pagi?” “Iya, Mama,” Mas Ricky bercanda dengan