Share

BAB 3 "SUAMIKU PEBINOR"

“Jangan becanda, Mbak! Aku lagi bad mood, loh!” tukasku cemberut.

“Siapa juga yang becanda? Serius ini! Kamu udah dua bulan nggak haid, 'kan? Nggak KB juga, 'kan?” Mbak Lelly malah semakin tersenyum dengan mata berbinar.

Aku terdiam. Jantungku seperti dipompa. Berdegup kencang sekali. Apa iya aku hamil secepat ini?

“Tapi, aku masih nggak mau hamil dulu, Mbak,” jujurku menundukkan kepala.

“Hah? Kenapa?” Mbak Lelly terkejut sampai tidak jadi menyesap white coffee kesukaannya.

Aku diam sejenak. Masih ragu untuk mengatakannya. Apakah aku akan jadi orang yang bejat kalau kukatakan aku masih belum mau punya anak?

“Kenapa, Cha? Ayo, cerita!” desak Mbak Lelly mencolek lenganku.

Kuhela napas panjang. Sebenarnya masih enggak untuk bercerita. Akan tetapi, ah, sudahlah!

“Aku … sempat punya pikiran mau cerai dari Mas Ricky. Kalau punya anak, nanti semakin susah cerainya, ‘kan?”

Benar saja. Ucapanku membuat Mbak Lelly sangat terkejut sampai ia menyembur kopi yang sedang diminum. Muncratan air dari mulut dan gelas kopinya mengotori meja.

Sahabatku itu kemudian segera mengambil tissue, mengelap meja sambil menggelengkan kepala. “Baru juga nikah tiga bulan, udah mikir cerai?” gumannya tak percaya.

“Lah suamiku kayak gitu, Mbak. Banyak cewek yang ngeganggu! Aku sebal, tau nggak? Cemburu terus tiap hari itu nggak enak!” jelasku membela diri. Aku yakin, aku tidak bersalah.

“Kalau lagi emosi, jangan buat keputusan apa pun, Cha! Ingat pesanku ini baik-baik!” tandas Mbak Lelly menatapku serius.

Aku tidak punya saudara sama sekali. Menjadi anak tunggal membuatku merasa Mbak Lelly adalah kakak yang selama ini aku idam-idamkan.

“Cha, si Tanti itu udah punya suami, belom?” tanya Mbak Lelly bernada menyelidik.

“Udah. Namanya Dio.”

“Kapan mereka menikah?”

“Nggak tau. Kenapa, sih?” Aku tidak mengerti arah pembicaraan Mbak Lelly.

“Foto itu diambil tiga tahun lalu, benar? Kalau waktu itu Tanti sudah menikah, berarti …?”

Mbak Lelly tidak meneruskan kalimatnya. Ia memintaku untuk berpikir sendiri.

“Berarti Mas Ricky adalah … pebinor?” tanyaku tak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan. Mataku melebar, mulut menganga, dada kembang kempis.

“Nah, itu dia!” sahut Mbak Lelly. “Suami kamu memang luar biasa!”

“Aku harus gimana nih?” pekikku meremas tangan Mbak Lelly.

Aku panik! Kalau Mas Ricky berani tidur dengan istri orang, berarti dia tidak pernah memandang pernikahan sebagai sesuatu yang suci.

“Cari di media sosialnya, Cha! Ayo, cepat! Siapa nama lengkapnya Tanti?” Mbak Lelly semangat, membuka ponsel dan menekan aplikasi berlogo F dan berwarna biru.

“Kalau nggak salah, Tanti Wardhani. Cepet, Mbak! Search!” pintaku semakin berdebar.

Detik-detik Mbak Lelly scrolling layar ponsel terlihat seperti gerakan slow motion. Aku sangat tidak sabar menanti hasilnya.

“Ini orangnya?” Ponsel Mbak Lelly dihadapkan padaku. Seorang wanita cantik, berkulit putih dengan rambut diwarna cokelat tua terlihat di sana.

Aku berusaha mengingat kembali wajah Tanti yang ada di ponsel suamiku. “Iya! Ini orangnya!” seruku setelah yakin memang itulah Tanti, mantan Mas Ricky.

Mbak Lelly lanjut menyelidiki. Ia buka profile Tanti dan membaca dengan seksama bagian yang ada tulisan “menikah dengan.”

“Cha, si Tanti sudah menikah dengan Ardio Hendratmo sejak ….” Mbak Lelly terdiam. Matanya melirik padaku kemudian kembali menatap gawainya.

“Sejak apa, Mbak?” Aku semakin penasaran.

Mbak Lelly tidak menjawab. Bisa kulihat dari wajahnya bahwa ia sedang kebingungan.

“Mbak! Sejak kapan?” Aku mengguncang tubuhnya.

“Ini lihat sendiri. Mereka merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke berapa?” Mbak Lelly menyerahkan ponselnya padaku.

Terlhat di layarnya. Dua bulan lalu, Tanti dan Dio sedang merayakan ulang tahun pernikahan yang ke … sepuluh? Hah? Aku semakin tidak paham!

“Mas Ricky cerita kalau Tanti baru menikah tahun lalu, Mbak. Berarti ….” Aku tergagu, tidak mampu meneruskan kalimatku.

“Berarti suami kamu penuh misteri, Cha,” lanjut Mbak Lelly menyelesaikan kalimatku. "Sabar dulu, mungkin ada penjelasan lain yang kita belum tau."

“Pembohong, Mbak. Berarti suamiku pembohong!” timpalku terengah.

Kami berdua terdiam. Mbak Lelly menatapku lirih. Ia memang sudah menganggap aku sebagai adiknya sendiri. Aku rasa, dia sedang sedih melihatku masuk dalam situasi seperti sekarang.

Napasku masih belum bisa teratur. Rasa sesak menusuk di ulu hati. Bagaimana bisa Mas Ricky meniduri istri orang tiga tahun lalu? Dia sudah gila atau bagaimana?

Jujur saja, aku sebelum ini bangga menjadi wanita yang akan dinikahi oleh seorang Ricky Hardiansyah. Lelaki yang banyak dikejar oleh wanita segala usia. Namun, ia memilihku untuk menjadi istrinya.

Usianya tiga puluh dua tahun saat menikah denganku yang baru berusia dua puluh empat tahun. Sampai usianya yang kepala tiga belum menikah, kata orang-orang karena terlalu banyak berpindah hati ke sana ke mari.

Namun, akhirnya ia melabuhkan pencarian di diriku. Sungguh, aku bangga sekali pada waktu itu. 

Kini, aku mulai meragukan perasaan tersebut. Kebanggaan itu mulai luntur. Menemukan berbagai hal yang mengejutkan, membuat shock.

“Tanti juga udah punya anak, loh, Cha. Yang laki kayak papanya. Ganteng, sumpah!” celetuk Mbak Lelly masih mengubek-ubek media sosial Tanti.

“Hah? Suaminya ganteng? Mana?” Aku penasaran. Kuambil kembali ponsel Mbak Lelly dan melihat Ardio atau yang biasa dipanggil Dio.

“Eh, iya, ya. Ganteng juga suaminya Tanti. Udah punya suami ganteng gitu, ngapain dia masih mbulet aja sama Mas Ricky?” pikirku berusaha membuat semua ini masuk logika.

“Nggak puas kali dia sama suaminya, Cha?” kekeh Mbak Lelly.

“Terus puasnya sama laki aku gitu? Enak aja, woy!” teriakku menanggapi teori kepuasan Mbak Lelly.

Duh, memori kembali mengulik tentang media Mas Ricky. Masih ada folder video yang belum aku buka. 

Tiba-tiba rasa mual kembali melanda. Aku berlari ke kamar mandi. Sudah aneka erangan aku keluarkan. Mulut sudah mengeluarkan bunyi “Hoek”, tapi tidak ada apa-apa yang keluar dari mulut. Sama seperti kondisi sejak tadi pagi.

Sayup kudengar suara Mbak Lelly meneriaki agar aku segera membeli test pack di depan.

***

Pagi telah tiba. Mentari bersinar cukup redup di musim hujan ini. Aku terbangun dan ingin ke kamar mandi. Aku ambil jubah tidur di sebelah ranjang.

“Mau ke mana?” Mas Ricky tiba-tiba menahan pinggangku.

“Kamar mandi, Mas,” jawabku pelan.

“Nggak usah pake jubah tidur. Telanjang aja keluar masuk kamar. Toh, nggak ada yang lihat?” perintahnya menarik jubah tidur lalu memasukkan ke bawah bantal, menyembunyikannya.

“Udah jam tujuh pagi ini, Mas! Malu ah telanjang kemana-mana!” protesku berusaha merebut jubah tidur dari bawah bantal.

Bukannya jubah tidur yang aku dapat, tetapi malah Mas Ricky mulai menggerayangi tubuh telanjangku. Ia menyentuh tengah tubuhku dengan sangat cekatan.

“Emmh, aduuuh, Mas Ricky! Aku kebelet pipis ini! Jangan malah digituin!” teriakku berusaha menarik tangannya dari mempermainkan kewanitaanku.

“Aku pengen dengar kamu mendesah, Cha!” sahutnya tiba-tiba memasukkan tangan ke dalam tubuhku lewat sebuah lubang kenikmatan di bawah pusar.

“Iiiih! Aku mau ke kamar mandi!” Aku mendorong Mas Ricky sampai akhirnya bisa bebas dari cengkeramannya.

“Cepat balik, Cha! Aku udah horny!” teriak Mas Ricky mengiringi kepergianku ke kamar mandi.

Aku duduk di atas toilet dengan sejuta rasa. Kutarik napas panjang sebanyak tiga kali sebelum akhirnya menyobek test pack dan mengeluarkan isinya.

Membaca dua kali cara penggunaan test pack. Harus disentuhkan ke air seni. Baiklah, akan kulakukan semuanya. Jujur saja, aku berdoa agar tidak muncul dua garia biru. Aku masih belum siap terjebak bersama Mas Ricky.

Sudah lima menit aku terus menatap garis tersebut. Mataku jadi jarang berkedip, sampai pedas karena terus menatap.

‘Tuhan, jangan hamil, please!’ doaku mengiba pada Sang Pencipta.

Kuangkat wajah, mata langsung berfokus pada test pack yang menunjukkan ….

“Ya, Tuhan!”

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status