Share

BAB 8 "ENAK, NGGAK?"

“Ngapain direbut gitu HP-nya? Ayo, jawab! Siapa Iin?” tanyaku memakai nada tinggi. Beberapa orang di sekitar sampai melirik ke arah kami kemudian berghibah.

Mas Ricky langsung mematikan layar ponsel dan berjalan menuju kasir, membayar semua makan malam dan kembali kepadaku. “Ayo, pulang! Malu-maluin aja kamu teriak-teriak!” desisnya menatapku kesal.

Aku pun memberinya tatapan kesal dan marah. Apa dia pikir hanya dia yang bisa marah? Enak saja! Aku juga bisa marah! Kuhentakkan kaki menuju mobil. Pintu mobil kututup dengan cara membantingnya sekencang mungkin.

“Woy! Copot itu pintu!” tegur Mas Ricky jengah denganku.

“Biarin! Emang gue pikirin?” sahutku dengan judes yang semakin menjadi.

Sambil menggelengkan kepala, Mas Ricky menyalakan mesin mobil dan segera meninggalkan warung bebek di belakang kami.

“Siapa Iin?” tanyaku lagi semakin marah.

“Teman kantor dulu, sebelum aku pindah ke Bank Dana yang sekarang,” jawabnya sok santai. Padahal, aku bisa melihat wajahnya tegang.

“Kenapa chat sebelumnya nggak ada? Ngaku! Kamu hapus ‘kan?” tuduhku langsung to the point.

“Sok tau! Kamu tuh asal aja kalau ngomong!”

“Terus mana chatnya?”

“Emang nggak ada, kok! Itu dia paling salah chat aja ke aku!”

“Mana mungkin? Dia panggil kamu Say gitu, kok! Salah sambung apanya?”

“Terserah mau percaya apa nggak! Kamu itu selalu tuduh aku selingkuh! Sekali-sekali percaya sama aku kenapa, sih?” bentaknya mulai emosi.

Aku mendelik. Percaya sama dia? Gimana mau percaya kalau isi ponselnya aja seperti itu! Perempuan cantik mulai dari yang pakai baju sampai telanjang bulat. Gila apa?

Kuatur napas sebelum menumpahkan rasa jengkel. “Mas! Aku ini disuruh percaya gimana? Kamu baik banget sama Tanti, mantanmu! Terus sekarang, kamu di w* si Iin, dibilang Say? Aku harus mikir apa?”

“Ya, mikir positif apaan, kek? Aku ini suamimu! Jangan dituduh terus!”

“Hey, aku ini sudah positif! Saking positifnya sampai udah sebulan usia anak kita! Kurang positif apa coba?” amukku malah semakin tidak karuan bicaranya.

“Aku capek banget tau nggak sama kamu! Sejak nikah, malam pertama isinya marah dan cemburu terus! Maumu apa, sih, Cha?” Suara Mas Ricky semakin meninggi, berbarengan dengan matanya yang menatapku kesal.

“Mauku kamu berhenti terima cewek-cewek yang gatel pengen ambil kamu dariku! Aku juga capek, tau nggak? Sejak nikah, malam pertama udah dapat gangguan dari dayang-dayangmu!” balasku mengamuk tak kalah sengit.

Mas Ricky terdiam. Hanya napasnya saja terdengar memburu. Pundaknya kembang kempis menahan luapan emosi dalam dirinya. Apa-apaan coba? Dia yang simpan foto Tanti, dia yang dipanggil “Say” oleh perempuan lain, dia juga yang marah-marah?

Aku membuang pandang ke luar jendela. Sepasang kekasih menaiki sepeda motor melintas di sebelah mobil. Lagi-lagi aku iri melihat mereka sangat bahagia. Perempuannya memeluk dari belakang, semntara si lelaki menggenggam erat tangan kekasihnya di pinggang.

“Terus kita harus gimana kalau begini, Cha? Kamu cemburu terus pa—”

“Padahal kamu nggak berbuat apa-apa? Huh, yang benar aja?” potongku malas mendengar sisa omongannya.

“Mana buktinya kalau aku selingkuh?”

“Ya, kamu udah hapusin semua. Mana bisa aku buktiin?” ocehku asal bicara.

“Apa yang aku hapus?”

“Chat, gambar, call log, entah apa lagi, Mas. Males mikir aku!” desisku sudah sangat lelah.

"Gambar apaan?" Mas Ricky mendelik.

Aduh! Hampir saja keceplosan lagi. Aku diam saja. Kalau diteruskan, nanti bisa-bisa aku jujur mengatakan kalau aku obrak-abrik ponselnya tiap malam. 

Mas Ricky kembali menatap jalanan. Ia terlihat sangat emosi sampai beberapa kali memukuli setir mobil. Meski pukulannya pelan, aku tetap saja kaget. Baru kali ini kulihat dia semarah itu.

Akhirnya sepanjang jalan sampai ke rumah kami tidak saling tegur sapa. Semua karena seorang wanita bernama Iin yang katanya salah kirim chat. Memangnya aku anak TK yang bisa percaya begitu saja?

***

“Minggir!” omelku masih terus berlanjut mendorong tubuh Mas Ricky dari sisi ranjang sebelah kiri, tempatku tidur.

Suamiku hanya berdehem panjang dan kembali menggelengkan kepala. Seolah dia benar-benar tak percaya aku bersikap seperti ini.

Padahal, aku juga tidak percaya dia bersikap seperti itu. Jelas-jelas ada yang panggil mesra dengan chat terhapus, masih saja tidak mau mengakui.

“Cha, aku besok ke luar kota tiga hari. Mau ke Malang, Madiun, Magetan,” ucapnya di antara helaan napas panjang.

Ya Allah, dia mau ke luar kota? Pasti dia akan bebas dariku! Mas Ricky akan merdeka berhubungan dengan para dayang-dayang pemujanya. Lalu, bagaimana denganku?

Seketika, aku merasa seperti seonggok kardus bekas yang ditaruh di pojok rumah. Berdebu dan usang. Hanyalah seorang wanita hamil yang pencemburu.

“Sama siapa aja?” tanyaku pura-pura tenang.

“Ya sama orang kantor, lah. Masak sama selingkuhanku?” sindirnya ketus.

Aku lempar bantal persis kena wajahnya. Sukurin, dia kaget sekali.

“Apa-apaan, Cha?” teriaknya melempar bantal itu kembali padaku dan mengenai wajahku. “Sukurin!” celetuknya terkekeh.

Ih, kenapa bisa sama kalimatnya dengan suara batinku?

Aku diam saja. Malas menanggapi. Badanku terasa lemas sekali dengan kaki yang nyeri. Perubahan mood dan fisik ini kata dokter Ratna wajar karena aku sedang hamil. Ah, dokter itu tidak tahu aku bad mood karena suamiku tidak jelas kesetiannya.

“Cha, Sayangku. Sini, dong,” rayu Mas Ricky merayap, mendekatiku.

“Males! Sana deket-deket sama Tanti apa sama si Iin aja!” tolakku cemberut.

“Nggak mau, ah. Nggak halal. Sama kamu aja yang udah pasti halal dan bawa rejeki,” bisiknya menangkup tubuhku ke dalam pelukan hangat tangannya.

“Udah tau aku halal, ngapain masih nanggepin yang nggak halal? Mbok ya uwes, anteng sama aku, gitu loh!” sahutku dengan logat khas Suroboyoan.

“I love you, Cha,” desahnya langsung melahap bibirku.

Ia menaiki tubuhku perlahan. Tangannya bergerilya ke balik daster batik, menyentuh titik-titik sensitif. “Mmmh … sssh ….” Aku mulai meracau tidak karuan karena area sensitif kewanitaan disentuh oleh jari-jari tebalnya.

“Nanti aku pergi tiga hari, jaga diri, ya. Jangan naik gojek, naik go car aja,” pesan Mas Ricky masih menciumi wajah dan leherku.

“Aku minta anter Dadang aja!” Kusebut nama rekan kerja yang sepertinya ada hati denganku karena sering membawakan jajan makanan. “Paling nanti diajak makan ke Solaria,” lanjutku sengaja membuat ia cemburu.

“Terusin!”sahutnya kesal. Namun, semakin ia kesal, semakin ia bernafsu. “Buka dastermu, Sayang,” pinta Mas Ricky menatap sayu.

“Bukain,” rajukku manja.

“Siap!” sambutnya langsung melucuti.

Mata tertutup dan membiarkan ia bermain di antara wahana tubuh lelahku. Bisa kurasakan ada sesuatu yang mengeras di bawah sana. Disentuhkan kepada bagian terintim. Membuatku menggelinjang dan berharap lebih.

“Sssh, Mas … aduuuuuuh!” Lenguhan panjang dari mulutku membahana.

“Enak, kan?” godanya berhenti melakukan apa pun itu yang sedang ia lakukan.

Aku membuka mata, menatapnya protes. Berhenti di saat birahiku sedang naik adalah menyebalkan.

“Enak, nggak?” tanyanya lagi dengan wajah mesum dan nakal. “Jawab dulu, baru aku lanjutin,” syaratnya menyentuhkan telunjuk di bibirku.

“Ya, enak, Mas. Lanjutin, dong!” Aku memelas.

Mas Ricky terkekeh bangga. Ia langsung menerkamku, menindih, dan memeluk erat. “Love you, Mamanya anak-anak!” bisiknya membuat jantungku berdetak kencang.

Mamanya anak-anak? Kenapa terdengar indah sekali di telingaku. Aku dan dia, menjadi orang tua.

Aaaarrggghhh! Aku kalah lagi dengan perasaanku sendiri. Merasakan sentuhan Mas Ricky selalu membuatku enak dan nyaman, entah kenapa. Sedemikian dalamkah aku mencintainya?

***

Mesin pendingin udara di belakangku terasa sangat dingin pagi ini. Sepertinya kehamilan membuatku semakin ringkih. Aku sampai menggigil padahal sudah kubuat 27°. Suhu yang paling tinggi.

Seandainya Mbak Lelly ada di sini mungkin aku sudah meminjam jaket yang biasa ia sampirkan di kursi kerjanya. Namun, sahabatku itu sedang sakit flu berat sehingga ia ijin tidak masuk kantor.

Pikiran masih melayang kepada dua nama. Tanti dan Iin. Jujur saja, aku mulai galau. Termakan ucapan Mas Ricky bahwa aku selalu mencurigai dia. Terpengaruh ucapan Mbak Lelly bahwa mungkin saja suamiku sudah tobat sehingga foto dan video itu dia hapus selamanya.

Pikiran cerai masih sesekali melintas, meski durasinya semakin jarang. Kini, setiap ingatan pose syur Tanti kembali, dan keinginan cerai menguat, aku mengelus perutku. Ada anak Mas Ricky di dalam situ. Benarkah cerai menjadi solusi?

Kalau memang itu yang terjadi, bahwa semua baik-baik saja, berarti benarlah aku hanya seorang istri pencemburu, bukan? Kupandangi nanar ponsel di genggaman. Melihat posisi suamiku sedang online saja telah membuatku tidak tenang. Apakah ia sedang berhubungan dengan dua nama tadi, atau dia sedang kerja betulan?

Suara bariton berat tiba-tiba menyapaku. “Kamu sendirian, Anissa?”

Aku menoleh. Buset! Pak Andre sudah duduk di sebelahku, di kursinya Mbak Lelly.

“I-iya, Pak,” jawabku tergagap. Jaraknya denganku hanya sekitar setengah meter. Bau parfum mahalnya saja sudah masuk ke dalam hidungku. So maskulin!

“Where’s Lelly?” tanya Pak Andre.

“She is sick, Sir,” jawabku menerangkan bahwa Mbak Lelly sedang sakit.

“Ooo,” gumamnya menganggukkan kepala.

Kami terdiam. Aduh, Mak! Kenapa jadi canggung begini sih perasaanku? Buat apa juga lelaki ngganteng ini tiba-tiba turun dan duduk di sampingku? Kalau aku GR, bagaimana?

Pak Andre menoleh padaku, kemudian tersenyum. “Sudah sarapan?”

Aku melongo. Pertanyaan yang … entah yang apa. Ada, ya? Bos menanyakan apakah bawahannya sudah sarapan atau belum?

Anggukan dan senyuman kuberikan sebagai jawaban. “Bapak sendiri?”

“Nope! Tidak sempat.”

Kasihan amat, dia tidak sempat sarapan. Belum punya istri apa ya? Sehingga tidak ada yang menyiapkan segala kebutuhan. Kalau aku, semua kebutuhan Mas Ricky sudah selalu ready setiap pagi.

“Makanan apa yang enak buat sarapan?” tanya Pak Andre menghadapkan tubuhnya padaku.

Dear God, tolong jangan buat wajahku terlihat salah tingkah. Please? Dia menatap dan membuat mataku silau dengan ketampanannya.

“Pecel, soto, rawon, bubur ayam, banyak sih, Pak,” jawabku menahan perasaan kikuk.

“Saya dulu suka soto. Waktu masih SMP, sebelum ikut nenek ke Amerika,” kenangnya tersenyum.

Duh, lah! Kenapa jadi seperti slow motion begitu senyumannya? Aku sudah gila atau bagaimana ini?

“Eh, i-iya, P-Pak,” sahutku makin gugup.

“Temani saya sarapan, mau?”

Apa??????

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status