Share

BAB 7 "SIAPA LAGI IIN?"

Lelaki yang bernama Pak Andre itu duduk di depan meja penerima tamu, persis di depanku. Ia memanggil namaku dengan lantang dan jelas.

“Duduk,” pintanya. Heran melihatku masih berdiri.

Aku melirik ke Mbak Lelly. Ya ampun! Dia sudah duduk juga ternyata. Kenapa aku terpaku, berdiri sendirian seperti orang bodoh? Gerutuku dalam hati.

“Sudah jual berapa unit bulan ini?” tanya Pak Andre begitu aku duduk.

“Lima, Pak.” Aku menjawab dengan bangga. Lumayan banyak jumlah itu untuk tipe mobil seperti yang kujual.

“Saya dengar kamu top seller di sini. Bagus! Pertahankan, ya!” pesannya mengacungkan jempol.

“Eh, iya. Makasih, Pak,” jawabku salah tingkah. Kenapa orang ini terlihat charming sekali? Sampai aku masih silau dan salah tingkah.

“Ya, sudah. Saya ke atas dulu. Oh, ya. Kalau ada teman mau jadi sekretaris, boleh melamar. Saya cari sekretaris.”

“Syaratnya apa, Pak?” tanya Mbak Lelly.

“Bisa bahasa Inggris dan computer. Bahasa Indonesia saya belum terlalu lancar,” jawab Pak Andre.

“Baik, Pak. Nanti saya sebarkan informasinya.” Aku ikut bersuara, membantu.

“Oke. Thanks a lot. I will be in my room,” lanjutnya.

“Yes, Sir. Thank you for coming here and talk to us. It means a lot.” Aku mengucap terima kasih karena sudah mampir dan memberi semangat kepada kami berdua.

“You can speak English?” Pak Andre berbinar menatapku.

“Yes. Why?” tanyaku bingung.

“Temani saya kalau sometimes butuh teman for lunch with client.” Bahasa Pak Andre campur-campur. Intinya dia minta ditemani makan siang dengan klien, kapan-kapan.

Sekolah sepuluh tahun di luar negeri membuatnya hampir lupa bahasa Indonesia.

“Baik, Pak.” Aku mengiyakan. Jelas saja, mana mungkin aku menolak?

Tubuh gagah, tegap, dan tinggi itu menaiki tangga ke lantai dua. Tempat di mana kantornya berada.

“Kok aku bisa nggak tau soal Pak Andre sih, Mbak?” tanyaku heran sendiri.

“Lah, mana aku tau?” kekeh Mbak Lelly. “Kembali ke masalah video yang hilang. Gimana jadinya?”

“Nggak tau, Mbak. Pokoknya udah nggak ada itu video. Aku makin penasaran tau nggak sih?” gerutuku kesal.

“Mungkin emang udah dihapusin, Cha. Kan udah mau punya anak? Ricky tobat kali? Aminin aja udah!”

“Iya, amiiiiiin!” sahutku setengah hati.

***

Aku dan Mas Ricky sedang ke dokter kandungan untuk pertama kalinya. Memeriksakan kandunganku. Di sana, semua wanita didampingi suami masing-masing. Aku penasaran, apakah kisah perkawinan mereka warna warni seperti diriku? Apakah suami mereka juga dikelilingi wanita-wanita cantik?

Apakah mantan-mantan suaminya masih sering mengganggu? Masih berhubungan baik dengan keluarga suaminya? Kalau iya, apa yang kemudian akan dilakukan? Apakah mereka juga akan merasa terjebak seperti aku sekarang? Tidak ada tempat untuk lari, hanya bisa menjalani terus sampai selesai.

Giliran kami tiba. Sengaja aku memilih dokter kandungan wanita. Aku tidak mau daerah paling pribadiku dilihat lelaki lain, meski ia seorang dokter. Malu rasanya.

Usia kandungan sudah menginjak empat minggu atau satu bulan. Wajah Mas Ricky terlihat sangat bahagia. Berkali-kali tangannya meremas lembut jemariku saat dokter berbicara cara menjaga dan menyehatkan janin di dalam rahimku.

“Hindari stres, ya, Bu. Karena kalau ibunya stres, bayi ikut stres. Detak jantung bayi mengikuti ibunya,” pesan Dokter Ratna.

Aku melirik Mas Ricky. Tidak boleh stres. Tolong katakan itu pada ibu dan adikmu. Jangan membuatku stres karena mereka masih berhubungan baik dengan Tanti.

“Akan saya jaga istriku ini supaya tidak stres, Dokter,” ucap suamiku sumringah.

“Harus itu, Pak. Wanita hamil yang bahagia akan melahirkan anak yang bahagia pula!” sahut Dokter Ratna mengacungkan jempol.

Aku tersenyum pahit. Sebagian otakku masih kepikiran soal video yang hilang itu. Ditaruh mana sebenarnya oleh Mas Ricky? Kalau memang dihapus, rasanya tidak masuk akal. Begini dia bilang mau menjagaku supaya tidak stres? Menjaga dari Hongkong? Cuih!

***

Aku menunggu Mas Ricky yang sedang mengambil mobil di parkiran. Sudah hampir sepuluh menit suamiku tidak muncul juga. Aku telepon ponselnya memakai aplikasi chat juga tidak diangkat. Kemana orang ini?

Akhirnya aku telepon melalui nomor GSM. Tidak diangkat juga! Buset, deh! Ketiduran apa bagaimana suamiku ini?

Tiba-tiba ia muncul dan menepi di depanku.

“Kok lama?” tanyaku judes. "Dichat nggak dibaca. Ditelepon nggak diangkat. Ngapain, sih?”

“Ketemu sama Agus, teman kerja waktu dulu. Kantor dia ternyata di sebelahnya Dokter Ratna. Ngobrol sebentar aja, Sayang. Maaf, ya,” jelasnya terkekeh dan mencolek daguku. “Jangan ngambekan, nanti cantiknya hilang, loh.”

“Biarin!” tukasku semakin cemberut. Kaki ini pegal disuruh berdiri sepuluh menit sementara dia ngobrol dengan temannya.

Selesai periksa, kami segera menuju warung nasi bebek langganan dekat rumah. Aku tidak sempat masak karena sudah jam sembilan malam dan badanku rasanya lelah sekali.

“Kamu kok diam saja, Cha? Mikirin apaan?” tegur Mas Ricky.

“Mikirin kamu, Mas,” jawabku asal. Ingin ku-blow up sekarang saja rasanya perkara gambar vulgar kemarin. Akan tetapi, bibirku masih terkunci rapat, menimbang baik buruknya.

“Ngapain mikirin aku? Emang ada apa sama aku?” tanyanya keheranan.

“Tanti!” ketusku cemberut.

“Ya ampuuuuun, dia lagi?” Mas Ricky menggelengkan kepala, menatapku jengah.

“Iya emang dia lagi, dia lagi. Aku nggak percaya kamu sama dia cuman bersahabat. Kamu juga belum jawab, Ardio marah nggak kalau tau kalian masih berhubungan? Ayo, jawab,” tukasku gusar.

“Iya jelas dia marah. Karena dia lelaki. Emosinya berbeda. Meski dijelaskan kami hanya bersahabat, dia nggak akan mau terima.”

“Dih! Mana ada perbedaan emosi laki-laki dan perempuan? Aku juga marah! Apalagi kamu masih inget-inget dia terus!”

“Inget-inget gimana? Apanya yang aku inget, Cha?”

DEG!

Kan, hampir saja aku keceplosan bicara soal foto. Kalau Mas Ricky tahu aku bergerilya tiap malam di ponselnya, pasti dia marah besar.

Duh, kondisi hamil ini membuatku merasa tak berdaya. Masak iya, aku harus pisah dalam kondisi hamil begini? Apa kata orang tuaku? Apa kata dunia? Akan tetapi, setiap melihat Mas Ricky aku selalu teringat foto seronok dan jorok Tanti yang kemungkinan besar diambil oleh dia.

“Ya, kamu kayaknya masih kebayang dia terus. Masih baik-baik terus sama dia. Itu kan namanya belum move on?” kilahku sekenanya.

“Capek aku bahas Tanti melulu!” Suara Mas Ricky agak meninggi. Tatapnya juga mulai tajam memandangku. Hmm, dia marah.

“Iya, aku juga capek. Kapan sih kamu terakhir hubungan sama dia?”

“Minggu lalu,” jawabnya singkat.

“Ngapain itu?”

“Chatting. Bilang terima kasih udah ngirim hadiah buat mama dan Dessy.”

“Lihat chat-nya,” pintaku cepat, meski aku sudah melihat chat-nya sejak minggu lalu. Hanya mau mengetes saja apakah ponselnya akan diberikan atau tidak.

“Mulai, deh, ngecek-ngecek. Ponsel itu privacy. Ponselmu boleh aku cek gitu, nggak?” tanggap Mas Ricky keberatan.

Kuambil tas dan kuraih ponselku. “Nih, cek sesukamu. Aku tidak ada yang disembunyikan.”

“Ya, udah. Nih, HP-ku. Cek aja sesukamu.” Ganti Mas Ricky menyerahkan ponselnya padaku yang langsung kuterima dengan cekatan.

Posisi ponsel sudah dalam keadaan tidak terkunci. Huh, padahal aku mau tanya passwordnya, untuk mengecek apakah dia mau memberikan passwordnya padaku atau tidak.

Aku buka aplikasi chat berwarna hijau. Kucari nama Tanti. Hmm, tidak ada perubahan chat sejak terakhir aku lihat. Hanya mengucapkan terima kasih dan dijawab sama-sama oleh Tanti. Ini saja sebenarnya aku yakin sudah banyak yang dihapus chatnya.

Mataku terus menatap layar chat. Ada foto profil seorang perempuan cantik, menuliskan “Oke, Say.”

Siapa ini? Namanya Iin. Aku buka chatnya. Kosong melompong. Tidak ada chat sebelumnya. Waktu dia mengirim chat adalah saat aku tadi menunggu Mas Ricky di depan tempat praktek Dokter Ratna.

Sepuluh menit dia tidak muncul-muncul apakah karena sedang chatting dengan wanita ini? Kurang ajar! Hatiku langsung panas dan menderu.

“Ini Iin siapa lagi? Ngapain dia panggil kamu Say?” tanyaku marah. “Mana lagi chat sebelumnya?”

“Hah? Mana?” Mas Ricky langsung merebut ponselnya dari tanganku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status