"Salam, apa kabar adikku?" sapa Ran Xieya sambil merentangkan kedua tangannya.Ran Hua Zhen menghampiri Ran Xieya dengan cepat kemudian meleburkan pelukan hangatnya. Keluarga Ran hanya tersisa kedua Wanita Ran ini. Mereka yang tersisa untuk kembali memperebutkan kerajaan mereka. "Jie ... kita harus kembali merebut rumah kita, rakyat kita dan tanah kita," ucap Ran Hua Zhen.Ran Xieya mengangguk. "Kita akan merebutnya lagi," ucap Ran Xieya. Mereka saling berpelukan dalam kebahagiaan yang tak terucapkan. Meskipun banyak waktu telah terlewati dan banyak hal yang telah berubah, ikatan darah antara mereka tetap kuat. Meskipun mereka telah bertemu kembali, tantangan baru menunggu mereka. Kerajaan mereka hancur, dan rakyat mereka tersebar di berbagai tempat. Ran Xieya dan Ran Hua Zhen bersumpah untuk memulihkan kejayaan kerajaan mereka, demi menghormati warisan keluarga mereka dan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua yang mereka cintai."Kita harus menyingkirkan Baosheng, a
"Xia Tian! Kau kah itu?" Ran Xieya tiba-tiba saja muncul. Wanita Muda itu berlari-lari kecil, gaun biru tua dengan jubah senadanya menyapu permukaan lantai kayu yang basah sehabis hujan. Ia tak perduli namun terus berlari mendekati Pria itu."Xieya, oh astaga, cantikku!" Lian Xia Tian dengan konyolnya hendak memeluk Ran Xieya. Tentu saja tidak bisa karena kini ia hanyalah hantu."Kau benar-benar bodoh!" bentak Ran Xieya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Kau mengorbankan dirimu lagi, untuk kami!" isak Ran Xieya."Xieya ... bukankah sejak dulu aku sudah katakan, meski pemenangnya adikku tapi aku tetap mencintaimu." Perkataan dari Lian Xia Tian menyadarkan Ran Hua Zhen, ia melihat gelagat dari Penguasa Iblis itu seolah menaruh hati pada kakaknya. "Kini kau bertemu dengan kakakku jadi apa yang mau kau katakan?" celetuknya menginterupsi keduanya. Ran Xieya mengangguk. "Xia Tian, apa yang sedang kau coba katakan?" tanyanya.Lian Xia Tian menyadari sikap ketus dari Ran Hua Zhen, ia jad
Ran Xieya berlari terhuyung-huyung dengan isak tangis yang semakin menggelegar. Ia sempat tak sengaja bertabrakan dengan para murid klan Han yang mulai berlarian ke aula utama. Ran Xieya mematung kala menyadari ucapan dari Lian Xia Tian memang benar. "Tidak, tidak, apa yang kalian lakukan?" Kedua mata magenta Ran Xieya membelalak. Para murid terdiri atas para pemuda yang mengemban ilmu bela diri, kultivator dan dididik jadi calon ksatria. Ran Xieya menatap anak-anak muda yang berlarian membara menuju aula karena lonceng utama sudah berbunyi, menandakan bahaya mengancam dan sebuah perang akan terjadi.Kini Ran Xieya menggeleng, ingatan masa lalunya muncul saat peperangan diperbatasan wilayah dunia bawah terjadi. Ran Xieya merasakan deru napasnya cepat, debaran dan sesak. Ran Xieya menepi ke salah satu dinding untuk berpengangan di sana sementara itu air matanya masih keluar dengan perlahan. "Mama, Mama!" teriak Tian-Tian yang berlari ke arah ibunya kemudian menggengam tangannya. Tia
"Kau sudah jauh lebih baik," sahutnya mengomentari kondisi mental Sang Istri yang lebih menerima keadaan dan tak lagi bergerak mengorbankan diri. "Jika hanya kau mengatasi para pemberontak, aku tak akan khawatir." Han Xue Tian mengarahkan tangan kanannya untuk membelai kepala Ran Xieya. Ini Istrinya, Dewi dan wadah penahan sosok iblis paling legendaris. Ran Xieya sebenarnya kuat hanya kalah oleh rasa ibanya yang membuatnya mengalah tapi kali ini berbeda karena kedua mata magenta Ran Xieya tak lagi pasrah. "Percayakan padaku garis depan, dan aku percayakan punggungku padamu," ucap Ran Xieya sembari meninggalkan He Hua.Ketika Ran Xieya baru keluar dari gerbang He Hua. Ia mendapati Ra Byusha berdiri di depan gerbang, Gurunya itu mendekati Ran Xieya kemudian memeluknya. Gurunya itu tersenyum haru sembari membelai wajah dari Ran Xieya. Ini pertama kalinya mereka bertemu setelah sekian lama. "Xieya, Murid Bodoh, kali ini yang kau hadapi bukan lagi seperti masa lalumu melainkan Guan Yuu y
“Kau punya mata tidak sih? ini sudah dua kalinya kamu memecahkan piring, restoran ini bisa rugi jika begini,” omel seorang Wanita pemilik Rumah Makan ini.“Maafkan aku Boss, aku akan lebih berhati-hati,” ucap Gadis berambut hitam gelap itu.“Gajimu bulan ini akan dipotong akibat keteledoranmu,” sahut Wanita itu.“Jangan, aku butuh uang gaji bulan ini untuk biaya berobat nenekku,” pinta Gadis berambut hitam. Ia memohon pada pemilik Rumah Makan tempatnya bekerja paruh waktu. “Aku minta maaf Boss, aku kurang tidur karena pagi harus berkuliah jadi kumohon ... aku akan lembur tapi jangan potong gajiku.” Gadis itu memelas.“Masa bodoh! Itu salahmu sendiri pokoknya gajimu dipotong.” Wanita itu berucap sambil meninggalkan sang gadis yang duduk merunduk. “Kemaskan pecahan piring itu, dasar pegawai tak berguna,” cibirnya.Sang gadis bermata kenari menatap pecahan piring. Ini sudah jadi piring ketiga yang ia pecahkan. “Kenapa tanganku gampang sekali merusak sesuatu,” ucapnya. Gadis itu berbohong
Seberkas cahaya mentari pagi yang silau lolos dari celah dinding kayu. Sungguh menyilaukan bagi anak gadis manis yang masih terlelap dengan tidurnya itu. Sembari mengeliat dia pun membuka sepasang kelopak matanya. Membiarkan iris langit magenta nan bening itu terbias oleh cahaya mentari. Buru-buru diarahkan telapak tangannya menutup berkas cahaya itu. Ketika si Gadis hendak beranjak berdiri. Pergerakannya jadi terbatas karena sepasang rantai menjerat kedua kakinya sehingga memaksa bokongnya kembali terjatuh menghantam kerasnya lantai kayu ini. Senna bangun mendapati dirinya dipasung dalam ruangan yang aneh. “Aw, aw, sakit!” jerit Senna. Dia merintih sembari memengangi bokongnya itu. Sepasang iris magentanya membulat dengan sempurna. Seluruh pandangannya menelisik ruangan yang sangat asing untuknya. “Di mana aku?” tanyanya seorang diri. Tatapannya juga tak lepas melihat kedua tangannya yang turut diikat dengan rantai karat yang sudah meninggalkan bekas luka dikedua pergelangan tang
“Tuan Puteri Ran Xieya saya membawa makanan untuk Anda,” Ran Xieya mengulum senyuman yang manis. “Terima kasih,” sahut Ran Xieya sambil menyaksikan gadis itu menunduk dengan sopan sembari pamit untuk meninggalkan kamarnya. “Eh, sebentar, sebentar, temani aku di sini ... aku butuh teman bicara,” ucap Ran Xieya yang terkekeh dengan canggung. “Baiklah Yang Mulia," sahut Gadis itu. Dia berbicara dengan patuh. Gadis Pelayan ini mengenakan gaun panjang berwarna hijau tosca muda itu duduk bersila di sebelah Ran Xieya. Ran Xieya menyeruput teh hangat itu. Dia pun tersenyum jahil. “Hei, ceritakan padaku apa menurutmu aku segila itu?” tanya Ran Xieya. Gadis itu tampak mendehem ragu-ragu, posisi duduknya mulai gelisah. “Ergh ... sebelumnya Yang Mulia tak akan bersikap seperti itu," jawab Gadis itu. Kedua mata Ran Xieya membelalak sempurna. “Eh serius!” jerit Ran Xieya. Ran Xieya mendeham sejenak kemudian mencoba bersikap dengan tenang. "Lalu apa lagi?" tanya Ran Xieya. “Cara bicara anda ju
"Kalau begitu aku harus berhati-hati juga," ucap Ran Xieya. Raut wajahnya serius sembari mencerna situasinya saat ini. "Yang Mulia lebih baik sekarang Anda membersihkan diri karena Lin May akan menyiapkan air hangat untukmu, jangan lupa pertemuan malam ini yang mulia." Lin May berucap sembari membungkuk hormat pada Ran Xieya. Gadis itu menggeser pintu kemudian keluar dari kamar Ran Xieya dengan pelan. Ran Xieya seorang diri masih memikirkan dirinya saat ini. "Ah, jujur saja aku jadi pusing, bagaimana aku bisa masuk ke dunia ini kemudian ada di tubuh Putri Malang seperti ini!" jerit Ran Xieya. Dia pun menarik napas agar bisa membuat dirinya dengan tenang. "Baiklah, tenang ... Ran Xieya, Ran Xieya, serahkan semua masalahmu padaku." Ran Xieya beranjak berdiri kemudian keluar dari kamarnya. Ran Xieya baru selesai mandi. Tubuhnya sudah terasa segar kembali. "Ah, mandi air hangat memang paling terbaik," ucap Ran Xieya. Dia tengah duduk menikmati citrus senja di gazebo istana. Ran Xieya