~Celeste~
Makanan pesanan kami datang, Tante Inggrid yang mendominasi pembicaraan. Dia menceritakan kegiatan sehari-harinya sebagai seorang istri. Aktivitasnya lumayan padat dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Aku berharap bahwa aku tidak perlu melakukan semua itu.
Aku belum tahu apa yang menjadi tugasku nanti sebagai istri Jason. Dari cara Tante Inggrid memilih momen ini untuk menceritakan mengenai kegiatannya, sepertinya apa yang menjadi tanggung jawabku tidak akan jauh berbeda dengan itu.
“Yang kamu dengar itu belum seberapa. Masih ada banyak lagi aktivitas lain yang Bunda kerjakan di luar sana,” timpal Jonah. Tante Inggrid yang baru menerima kartu kreditnya kembali dari pelayan hanya tersenyum. “Kamu akan terkejut bagaimana Bunda masih bisa mengomeli aku pada malam hari setelah mengerjakan semua hal yang melelahkan itu.”
“Kira-kira seperti inilah percakapan kami di rumah nanti. Jadi kamu tidak akan terkejut lagi.” Tante tersenyum penuh arti. Melihat layar ponselnya menyala diikuti dengan bunyi getaran, Tante melihat ke arah alat komunikasi tersebut.
“Iya, Yah.” sapa Tante Inggrid dengan suara sedikit manja. Aku tersenyum. “Iya. Kami sudah selesai berbelanja dan baru saja selesai makan. Oke.”
Aku meminum air dalam gelas, kemudian membersihkan bibirku dengan serbet yang tersedia. Perutku kenyang dan daging yang dimasak di restoran ini sangat empuk dan bumbunya yang lezat meresap sampai ke bagian dalam. Aku akan membawa Papa dan Kak Nevan untuk mencobanya juga suatu hari nanti.
“Celeste, aku harus menjemput suamiku dan arahnya berlawanan dengan rumahmu. Jonah akan mengantar kamu pulang, apakah kamu keberatan?” tanya Tante Inggrid.
“Aku yang keberatan, Bunda,” ucap Jonah sebelum aku sempat menjawab.
“Ng, aku tidak keberatan, Tante. Tetapi bila Jonah masih punya pekerjaan, aku bisa pulang dengan taksi,” ucapku menengahi.
“Tidak. Fabian akan mengurus semuanya, pameran itu akan baik-baik saja tanpa putra kesayanganku. Beri tahu aku jika dia bersikap tidak sopan kepadamu.” Tante Inggrid tersenyum. Dia melihat ke arah Ihsan. Pemuda itu berdiri dan membantu mendorong kursi yang Tante duduki.
“Jika Bunda tidak percaya kepadaku, mengapa tidak Ihsan saja yang mengantarnya pulang dan aku bersama Bunda menjemput Ayah?” Jonah memberi ide yang lain. Kami ikut berdiri dari kursi kami.
“Kamu memarkirkan mobilmu di mana?” tanya Tante Inggrid tanpa menggubris protes putranya.
“Di atas,” jawab Jonah singkat.
“Berarti kita berpisah sampai di sini.” Tante melihat ke arah Ihsan. Jonah mendesah pelan dan menerima tas belanjaanku dari tangan sopir mamanya. “Kami akan ke elevator di sebelah sana. Sampai jumpa pada acara pertunanganmu, sayang. Jaga dirimu baik-baik.”
“Terima kasih untuk hari ini, Tante.” Aku membalas pelukannya dan menerima ciumannya pada kedua pipiku. Dia menatap Jonah penuh peringatan.
“Ayo, kita lewat sini,” ajak Jonah. Aku menurutinya.
“Apakah tidak apa-apa kamu yang membawa tas itu?” tanyaku agak segan.
“Aku laki-laki, sudah seharusnya aku yang membawanya.” Dia mendengus pelan. “Jangan segan denganku. Sebentar lagi kita akan menjadi keluarga dan kamu akan menjadi kakak iparku.”
“Terima kasih.” kataku pelan.
Kami hanya diam saja saat menunggu elevator yang ada tepat di bagian tengah gedung mal. Begitu pintu elevator terbuka, Jonah mempersilakan aku untuk masuk lebih dahulu dan dia menyusul. Setelah dia menekan salah satu tombol, dia berdiri di sisiku.
Ada beberapa orang ikut bersama kami keluar di lantai atas. Jonah tidak berjalan di depanku untuk menunjukkan jalan, tetapi tetap berada di sisiku. Lampu sebuah mobil berkedip dua kali tanpa mengeluarkan bunyi. Kami mendekati mobil tersebut.
Jonah membukakan pintu depan dan mempersilakan aku masuk. Dia kemudian membuka pintu belakang untuk meletakkan barang belanjaanku di jok belakang. Lalu dia memutari mobil lewat belakang dan masuk ke sisi di sebelahku.
Dia menyalakan mesin mobil dan meminta aku untuk menyebutkan alamat lengkapku. Dia mengetik sesuatu pada ponselnya, lalu sebuah peta tampil pada layar kecil di tengah dasbor. Melihat titik yang ditunjuk oleh pin berwarna merah, aku tahu itu adalah lokasi rumahku.
“Posisinya sudah tepat?” tanyanya. Aku mengangguk.
Mobil bergerak dan tidak ada antrian di dekat gerbang keluar parkir mal. Setelah membayar dengan kartu, palang di depan mobil terangkat ke atas. Jonah menginjak pedal gas dan melihat ke kanan kiri sebelum memasuki jalan utama.
Karena dia diam saja, aku juga tidak punya hal yang ingin aku tanyakan kepadanya. Hm. Sebenarnya aku ingin menanyakan banyak hal mengenai Jason, tetapi aku merasa tidak enak membicarakannya dengan adiknya sendiri. Lebih nyaman bila membahasnya dengan Tante Inggrid. Namun kami tidak punya banyak waktu untuk berbincang tadi.
“Aku hanya akan bicara jika ada orang yang bicara di dekatku. Tidak perlu memikirkan topik apa pun karena aku tidak keberatan bila kamu tidak ingin mengatakan apa pun hingga kita tiba di rumahmu,” ucap Jonah seolah-olah bisa membaca pikiranku.
“Apakah kamu terganggu jika menyetir sambil mendengarkan musik?” Aku melihat ke arah tempat memasukkan CD yang ada di atas layar kecil tersebut.
“Tidak. Di depanmu ada berbagai pilihan CD, silakan pilih saja dan pasang musiknya.” Dia mempersilakan. Aku membuka laci dasbor yang dia maksud dan terkejut melihat gambar sampul pada kumpulan CD di dalamnya.
“Linkin Park, P.O.D., Evanescence, Limp Bizkit, Korn, System of A Down.” Aku membacanya dengan tatapan tidak percaya. “Kamu sebenarnya hidup pada zaman apa?”
“Jangan bilang kamu penggemar Justin Bieber,” ejeknya. Aku mendengus pelan. “Musik pada tahun sembilan puluhan dan awal dua ribuan adalah yang terbaik. Silakan pilih salah satu dan pasanglah.”
“Aku sering mendengar semua lagu band ini saat masih kecil. Papa penggemar mereka. Lagu-lagu yang dipasang di restoran masih didominasi oleh mereka. Waktu seolah-olah berhenti di restoran kami.” Aku memilih salah satu CD dan memasangnya.
“Dan aku bukan penggemar Justin Bieber,” kataku menanggapi ejekannya tadi. Dia hanya menarik salah satu sudut bibirnya. “Hentikan itu.” Aku berpura-pura marah kepadanya.
Bunyi musik metal segera memenuhi mobil dan aku tidak terganggu dengan itu. Aku malah lebih menyukai musik sejenis ini daripada yang mendayu-dayu. Jonah tidak menunjukkan ekspresi apa pun saat musik itu membuat kepalaku bergoyang dan tanganku bergerak di atas pahaku mengikuti irama. Ini benar-benar musik kesukaannya atau bukan?
Satu album belum habis, kami sudah tiba di depan pagar rumahku. Aku menyalakan lampu yang ada di atas spion depan agar petugas keamanan yang berjaga melihat wajahku. Pagar kemudian dibuka. Aku memadamkan lampu itu kembali.
Jonah mengendarai mobilnya memasuki halaman rumahku dan berhenti di depan pintu masuk. Dia mematikan mesin dan musik tadi pun berhenti seketika. Aku menoleh ke arahnya dengan heran. Mengapa dia mematikan mesin? Apakah dia ingin mampir sebentar?
“Aku mengatakan hal ini karena aku mengenal siapa kakakku dan aku tidak ingin kamu menyesal di kemudian hari,” katanya memecahkan keheningan. Oh, dia ingin bicara. “Jason tidak pernah betah bersama satu perempuan saja. Cari tahu siapa dia yang sebenarnya sebelum kalian menikah nanti.”
“Aku tidak pernah mendengar gosip atau berita tak sedap mengenai hubungannya dengan wanita mana pun,” kataku tidak percaya.
“Dia tahu bagaimana membuat mereka tutup mulut. Kalian hanya akan bertunangan lusa nanti. Kamu masih bisa memutuskan hubungan dengannya. Ketika kamu menikah dengannya, kamu tidak akan semudah itu bisa lepas darinya, karena Ayah pasti sudah menyiapkan surat perjanjian pranikah untuk kalian tanda tangani. Proses perceraian kalian akan sangat panjang dan menyakitkan.”
“Apakah kamu sedang menakut-nakuti aku?” Aku menyipitkan mataku, menatapnya curiga.
“Aku hanya bicara jujur. Berbohong bukanlah keahlianku.” Dia melihat ke arah belakangku. “Kakakmu sudah khawatir karena kamu terlalu lama berada di dalam mobil.” Aku menoleh dan melihat Kak Nevan berdiri di ambang pintu depan.
“Dengar. Aku tahu bahwa kadang-kadang tanpa kita sadari kita mempunyai rasa iri dengan apa yang dimiliki oleh saudara kandung kita. Aku juga merasakannya. Terima kasih kamu sudah mengatakan semua itu, tetapi aku tetap akan menikah dengan Jason,” kataku dengan serius.
“Karena kamu mencintainya?” tanyanya dengan nada yang sama.
“Karena aku sudah setuju untuk menikah dengannya,” jawabku dengan jujur. Pria itu kelihatannya tidak puas dengan jawabanku tersebut. “Jika kamu punya hubungan yang dekat dengan pegawaimu, kamu pasti bisa mengerti ini. Aku harus menikahi Jason karena pekerja di restoran tidak kehilangan mata pencaharian mereka berkat pertolongan Om Jarvis.”
“Baiklah.” Jonah keluar dari mobil. Dia menyapa Kak Nevan, memutar ke arah pintu di sisiku, lalu membukanya. Aku menerima uluran tangannya dan keluar dari mobil. Dia kemudian membuka pintu belakang dan mengeluarkan tas belanjaanku. “Selamat beristirahat. Sampai jumpa pada hari Sabtu.”
“Terima kasih sudah mengantar adikku, Jonah,” ucap Kakak sambil menerima tas darinya.
“Sama-sama.” Jonah membalasnya dengan sopan.
“Hati-hati,” kata Kak Nevan.
Pria itu tidak melihat aku lagi dan segera masuk ke mobilnya. Ketika mesin dinyalakan, aku bisa mendengar sayup-sayup bunyi musik metal tadi. Aku menatap kepergiannya sampai mobilnya keluar dari pekarangan rumah kami. Mengapa dia mengatakan semua hal tadi?
“Ada apa?” tanya Kak Nevan yang sudah berdiri di sampingku. “Apakah semuanya baik-baik saja?”
Aku menganggukkan kepalaku. “Semuanya baik-baik saja. Pria itu agak aneh. Tetapi tidak lebih aneh dari kakakku.” Aku menjulurkan lidahku kepadanya, lalu berlari masuk lebih dahulu ke dalam rumah.
“Papa sudah tidur, jangan berlari di koridor.” kata Kak Nevan mengingatkan. Aku mengabaikan peringatannya tersebut. “Kalau Papa sampai jatuh sakit lagi, kamu akan menyesal.”
Hai, aku penulis cerita ini. Semoga pembaca menyukainya. Jika ada kritik atau saran, jangan segan sampaikan di kolom komentar, ya. Sebagai pemberitahuan, aku tidak menentukan bab yang perlu dibuka menggunakan koin/bonus juga jumlahnya. Jika ini memberatkan, semoga kita bisa bertemu di karyaku yang lain. Bila kalian terus memberi dukungan, aku ucapkan banyak terima kasih. T.T Terima kasih sudah membaca karya pertamaku di GoodNovel, Good Readers. ^^ Salam sayang, Meina H.
Satu tim penata rias dan rambut datang ke rumah pada sore itu. Tante Inggrid yang mengirim mereka. Aku mempersilakan mereka untuk menunggu di ruang duduk dan aku menuju lantai atas untuk mengambil pakaian yang akan aku kenakan. Mereka menyampaikan warna apa saja yang akan mereka pilih untuk riasan pada wajahku dan model rambut yang cocok dengan tema acara yang akan aku hadiri. Aku setuju saja dengan semua pendapat mereka. Yang penting, Tante Inggrid tidak akan kecewa melihat hasilnya nanti. Wajahku dirias secara minimalis sehingga aku tidak terlihat lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Mereka menggunakan warna-warna lembut yang disesuaikan dengan warna gaunku. Rambutku dibiarkan tergerai dengan membentuk spiral pada ujungnya. Aku tersenyum pada bayanganku di cermin. Aku hampir tidak bisa mengenali diriku sendiri. Setelah membantu aku memakai gaunku, mereka meminta aku untuk berpose agar mereka bisa memotret hasil karya mereka tersebut. Mereka memotret aku cukup lama sampai bibirk
~Jonah~ Ada ruang kebugaran di rumah, tetapi aku lebih nyaman joging mengelilingi pekarangan setiap pagi. Aku bisa menghirup udara yang segar sekaligus mendapatkan sinar matahari yang menyehatkan. Aku juga bisa berkeringat daripada joging menggunakan treadmill di ruangan berpendingin. Terdengar deru halus mesin sebuah mobil saat aku menuju pintu depan rumah. Aku menoleh ke arah jalan masuk dari pintu gerbang rumah kami. Mobil Jason mendekat. Aku menghentikan langkah dan melihat dia keluar dari mobilnya. “Selamat pagi, adikku. Masih berusaha untuk membentuk tubuhmu supaya bisa seperti aku?” tanyanya setengah menggoda. “Kamu tahu bahwa itu sia-sia saja, ‘kan?” “Suatu hari nanti kesombonganmu itu akan merugikan dirimu sendiri,” kataku mengingatkan. “Tubuhku lebih bagus darimu. Itu adalah kenyataan.” Dia mengangkat kedua tangannya di sisi tubuhnya. Aku memutar bola mataku. “Aku membahas mengenai kepulanganmu yang sangat mendadak. Aku tidak peduli mengenai tubuh.” “Aku tidak terlamba
~Celeste~ Posisi duduk kami kini berbeda. Aku, Papa, dan Kak Nevan duduk di sofa yang sama, Om Jarvis, Tante Inggrid, dan Jonah duduk bersama di seberang kami, Jason dan wanita bernama Jovita itu duduk bersebelahan di kepala meja, sedangkan Om Gunawan dan istrinya duduk bersebelahan di seberang mereka. Meja yang berada di tengah-tengah kami telah penuh dengan cangkir, teko, dan piring. Wanita itu menceritakan mengenai hubungannya yang putus-sambung dengan Jason. Mereka tidak memberi tahu siapa pun mengenai hubungan mereka, karena Jason belum siap untuk berkomitmen. Mereka sepakat bahwa mereka hanya menjalin hubungan atas dasar suka sama suka tanpa berharap akan menjalani masa depan bersama. Jason memutuskan hubungan karena dia akan bertunangan dengan seorang gadis pilihan ayahnya. Jovita berkata bahwa dia hamil, tetapi pria itu tidak percaya. Jadi, dia pergi menemui dokter dan memilih datang pada hari ini agar Jason tidak bisa berkelit lagi di depan keluarganya. “Kamu tidak bisa me
Papa mengajak kami semua ke ruang makan untuk makan malam. Kami dipersilakan untuk duduk di mana saja yang kami mau. Papa duduk di salah satu kursi di kepala meja, aku duduk di samping kanannya, sedangkan Kak Nevan di samping kirinya. Tentu saja Jonah memilih untuk duduk di sisiku. Di sebelahnya ada Tante Inggrid diikuti oleh Om Jarvis. Jason duduk di samping Kak Nevan, tunangannya di sebelahnya. Ibu Jovita duduk di sisi putrinya, kemudian Om Gunawan yang duduk di kepala meja di seberang Papa. Setelah Papa memimpin doa makan bersama, bunyi sendok beradu dengan piring pun terdengar. Kami tidak perlu saling mengoper makanan karena setiap menu makanan disajikan di atas meja tidak jauh dari hadapan kami masing-masing. “Karena Jovita sedang hamil, kita tidak perlu menunda pernikahan mereka. Bagaimana menurutmu, Gunawan?” tanya Om Jarvis. “Aku setuju, kapan paling cepat kita bisa melangsungkan pernikahan mereka?” tanya Om Gunawan. “Apakah kalian keberatan jika pernikahan kalian diadakan
Rasanya sangat aneh. Aku yang semula datang sebagai seorang pria yang bebas, yang akan menghadiri pertunangan antara kakakku dan wanita muda yang sudah dipilihkan untuknya, malah pulang dalam keadaan sudah terikat dengan janji akan menikahi wanita muda tersebut. Aku kini adalah tunangan Celeste Renjana.Entah apa yang mendorongku untuk melakukan hal itu tetapi aku tidak tega melihatnya dan keluarganya dipermalukan. Jovita telah melakukan hal yang sangat keterlaluan, namun itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Jason. Wanita itu sudah mengatakan kepadanya bahwa dia hamil. Jason malah tidak percaya dan tetap melanjutkan niatnya untuk menikahi Celeste?Untung saja wanita itu datang sebelum Jason dan Celeste resmi bertunangan. Aku tidak bisa membayangkan andai saja perempuan itu terus bungkam hingga mereka berdua resmi menjadi suami istri, lalu dia datang merusak acara sakral tersebut.Iya. Bagiku pernikahan adalah acara yang sakral. Ikatan antara suami dan is
~Celeste~ Dengan malas-malasan, aku merias wajah dan menata rambutku. Aku membiarkan rambutku tergerai, tanpa memberi jepitan atau memakai bando. Karena semalam dia menyarankan agar aku memakai baju yang nyaman, aku memakai blus putih dan celana jins panjang. Supaya tinggi badan kami tidak terlalu kontras, aku mengenakan sandal berhak tinggi. Mendengar deru halus mesin mobil di depan rumah, aku mendesah keras. Papa dan Kak Nevan hanya tersenyum penuh arti. Setelah pamit kepada mereka berdua, aku keluar dari ruang keluarga. Papa memanggil dan mengingatkan aku sekali lagi agar bersikap baik. Huff. Bu Liana sudah membukakan pintu depan. Aku berjalan menuju pintu bersamaan dengan Jonah berjalan mendekati aku. Dia terlihat berbeda tanpa setelan kerja dan tuksedonya. Dia memakai kaus berlengan panjang berleher huruf V dan celana panjang santai. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dia seperti tidak senang akan kencan denganku siang ini. Terlalu fokus melihat penampilan dan wajah tampannya, aku
“Hal yang paling penting yang perlu kamu ketahui adalah kamu tidak perlu khawatir bahwa aku akan mengubahmu. Bersamaku, kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Aku tidak akan menentukan pekerjaan atau kegiatan yang ingin kamu lakukan. Selama kamu menjaga nama baikmu. Jadi, kamu tidak perlu takut aku akan memintamu tinggal di rumah saja dan menghalangimu bekerja,” katanya yang cukup menenangkanku.“Kamu serius dengan itu? Aku boleh bekerja dan meniti karir?” tanyaku penuh harap.“Tentu saja. Aku juga akan tetap bekerja setelah kita menikah. Lalu untuk apa kamu hanya diam saja di rumah? Ada kepala pelayan yang mengurus segalanya. Bunda juga masih menjadi nyonya rumah di rumah kita,” ucapnya menjelaskan. Rumah kita, bukan rumah kami. Dia sedang membiasakan aku untuk menyebut miliknya sebagai milikku juga. Dia benar-benar serius dengan hubungan kami.“Tetapi saat kita punya anak nanti, kamu harus bisa mengatur wa
Tidak suka menonton film, tetapi dia tertawa dari awal film dimulai karena kekonyolan para pemainnya. Aku tidak tertarik menonton film romantis karena ceritanya membosankan dan aku tidak mau berpikir yang tidak-tidak saat berada di sisi wanita ini. Film romantis umumnya menampilkan adegan ranjang yang berlebihan.Film komedi adalah pilihan yang terbaik. Membuat wanita muda ini bahagia ternyata tidak sulit. Membuatnya kesal justru lebih mudah lagi. Aku suka melihatnya tidak ragu sedikit pun untuk menyampaikan pendapatnya. Bunda benar. Wanita muda ini pandai membawa dirinya. Dia tahu kapan saat yang tepat untuk marah dan kapan saat yang tepat untuk menahan dirinya.“Apakah ada yang ingin kamu beli di mal ini?” tanyaku saat kami berjalan keluar dari ruang bioskop. Dia menggelengkan kepalanya. “Kamu sudah lapar?”“Sedikit. Tetapi aku tidak mau makan di sini.” Dia melihat keramaian di sekeliling kami. Hari ini hari Minggu, wajar sa