Share

Bab 9 - Calon Istri yang Tepat

~Jonah~

“Jason belum pulang, Raihan?” tanya Bunda kepada kepala pelayan rumah kami.

“Belum, Nyonya,” jawab pria itu dengan sopan. Bunda melihat ke arah Ayah.

Setahuku, Jason berencana mengurus perjanjian dengan rekan bisnis Ayah untuk satu hari saja. Namun yang ada di ruang makan pada pagi harinya hanya Ayah dan Bunda. Itu artinya dia telah membatalkan kepulangannya semalam. Kali ini dia akan tinggal lebih lama untuk berapa hari?

Aku tahu apa yang dia lakukan di luar sana setiap kali menunda kepulangannya saat melakukan perjalanan bisnis. Dia menghabiskan malam bersama seorang perempuan yang telah menarik perhatiannya di kota tersebut. Semakin lama dia tinggal di sana, maka semakin memuaskan wanita itu dalam melayaninya di tempat tidur.

Jason sangat pintar menutupi hobi buruknya. Dia akan menggunakan waktunya pada siang dan sore hari dengan bermain golf, makan siang, atau minum kopi bersama dengan rekan bisnis yang ditemuinya sehingga Ayah tidak mencurigai motif utamanya tinggal lebih lama di luar kota.

“Apakah dia memberi tahu mengapa dia membatalkan kepulangannya semalam?” tanya Bunda ingin tahu. “Aku berharap bisa pergi bersamanya saat membeli keperluan Celeste.”

“Tidak. Dia sudah besar, aku tidak mungkin terus menanyakan alasannya setiap kali dia mengubah rencananya,” jawab Ayah.

Bila sebelumnya kegiatan kesukaannya itu bukan masalah untukku, tidak kali ini. Dia akan segera bertunangan dengan seorang wanita, dan dia masih menggunakan sisa waktu lajangnya dengan bersenang-senang bersama wanita lain. Mengapa dia tidak pulang dan mulai saling mengenal dengan calon istrinya saja?

Celeste adalah gadis yang baik. Ayah dan Bunda tidak akan menjadikan pernikahan sebagai syarat untuk menolong Om Bisma, jika wanita muda itu bukan calon istri yang tepat untuk putra sulung mereka. Namun Jason bukanlah calon suami yang cocok untuk gadis itu. Kasihan dia bila mereka menikah nanti dan suaminya masih suka tidur dengan perempuan lain. Kebiasaan yang buruk tidak akan berubah dalam satu malam saja.

“Kamu hanya cemburu karena aku lebih perhatian kepada putra kita daripada kepadamu.” Bunda menyentuh tangan Ayah yang ada di atas meja sambil meletakkan ponselnya ke telinganya.

“Sudah. Biarkan dia melakukan apa yang dia mau, jangan meneleponnya,” larang Ayah. Bunda segera meminta Ayah untuk diam sejenak.

“Hai, Nak. Sampai kapan kamu akan tinggal di sana? Kamu ingat dengan acara besar kita pada hari Sabtu, ‘kan?” kata Bunda kepada orang di seberang telepon. “Apakah kamu tidak bisa pulang lebih cepat dari itu? Baiklah. Jaga dirimu baik-baik.” Bunda menatap ponselnya dengan dahi berkerut.

“Dia akan pulang pada hari Sabtu pagi. Bukankah itu terlalu berisiko?” Bunda meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. “Tetapi dari alasan yang dia sampaikan, sepertinya mereka memang sangat menyukainya sehingga mengajaknya untuk menikmati beberapa lokasi wisata di sana.”

“Sabtu pagi juga tidak apa-apa. Itu hanya acara antara dua keluarga,” kata Ayah menenangkannya. Bunda mengangguk pelan.

“Jonah, aku sudah memesan setelan baru untukmu dan Jason. Tolong kamu ambil siang ini dari penjahit, ya. Berikan kepada Ihsan supaya dia bawa ke rumah. Setelan itu harus dicuci sebelum kalian kenakan pada hari Sabtu nanti,” perintah Bunda kepadaku.

“Itu bukan acaraku, mengapa jadi aku yang direpotkan?” protesku tidak terima. “Aku punya banyak pekerjaan hari ini dan jadwalku sangat padat, Bunda. Tidak bisakah Ihsan saja yang menjemputnya langsung dari penjahit?”

“Tidak bisa. Lokasi toko penjahit itu terlalu jauh dari kantor. Aku ada janji makan siang di restoran dekat kantor, jadi Ihsan bisa mampir sebentar,” jawab Bunda. “Jangan membantah lagi. Lakukan saja apa yang aku minta.” Bunda menambahkan sebelum aku sempat menyampaikan keberatanku lagi.

Aku melihat ke arah Ayah yang hanya diresponsnya dengan mengangkat kedua bahunya. Batal sudah rencanaku untuk melakukan pengawasan langsung ke stan kami yang ada di beberapa mal pada saat istirahat makan siang. Sebaiknya tugas itu aku serahkan kepada Fabian saja.

Begitu tiba di ruanganku, aku sama sekali tidak punya waktu untuk bersantai. Aku menghubungi setiap supervisor untuk memastikan mereka tahu target mereka untuk hari ini. Aku membenci aplikasi komunikasi secara grup, jadi aku tidak pernah menggunakannya.

“Pak, saya mau mengingatkan tentang setelan Anda,” kata Fabian lewat interkom. Aku menarik napas panjang dan menggeleng pelan melihat pekerjaanku yang menumpuk.

“Terima kasih, Fabian. Kamu pergilah lebih dahulu.” Aku mematikan komputer, lalu bersiap untuk keluar dari ruang kerjaku.

Setelah mengambil setelan dari penjahit langganan Bunda, aku kembali ke kantor. Aku sengaja mampir ke salah satu restoran dan membeli makan siang untuk aku nikmati di ruang kerjaku. Ihsan datang tidak lama kemudian dan aku mempersilakannya untuk mengambil kedua setelan itu dari atas sofa. Dia pamit dan aku pun bisa melakukan tugasku dengan tenang.

Meskipun jalan sedang macet, aku tidak terganggu dengan lambatnya laju kendaraan di depanku. Musik metal kesukaanku menemani sepanjang perjalanan hingga aku tiba di mal tujuanku. Setelah memarkirkan kendaraan, aku merapikan penampilanku dan keluar dari mobil.

Tidak seperti Jason yang menyukai perhatian yang diberikan para wanita kepadanya setiap kali berpapasan di keramaian, aku sangat membencinya. Kami tidak saling mengenal, lalu untuk apa mereka menatap aku lekat-lekat berharap aku akan membalas tatapannya?

“Ganteng-ganteng sombong,” kata seorang wanita yang sapaannya tidak aku gubris.

“Apa kamu tidak tahu? Zaman sekarang, yang ganteng itu biasanya gay,” ejek teman di sisinya. Mereka berdua tertawa geli. Benar-benar perempuan tidak punya harga diri.

Hal baiknya, tidak ada satu pun dari pegawai wanita di divisiku yang tertarik kepadaku. Hanya pada awal perkenalan, mereka menunjukkan tanda-tanda suka karena fisikku. Begitu mereka mengenal kepribadianku, mereka perlahan-lahan mundur dan berhenti berharap.

Mereka semua lebih menyukai pria seperti Jason. Aku tidak akan heran jika dia sudah meniduri mereka semua. Karena sepertinya para wanita ini adalah tipe yang mau saja menghabiskan satu malam dalam hidup mereka dengan laki-laki seperti kakakku.

Mustahil? Tidak. Tidak ada yang mustahil bagi Jason. Dia bukan laki-laki sombong yang penuh dengan omong kosong. Ketika dia memamerkan sesuatu, maka itu adalah sebuah kebenaran, bukan cerita yang dia karang sesukanya.

Aku baru saja larut dengan pekerjaanku, ketika merasakan seseorang menyentuh punggungku. Itu bukan jenis sentuhan yang akan berani dilakukan oleh salah satu pegawai di tempat ini. Aku menoleh dan melihat wajah cantik yang selalu suka membuat aku susah.

“Bunda? Ada apa Bunda berada di sini?” tanyaku bingung. Begitu melihat Celeste berdiri tidak jauh di belakangnya, aku mengumpat pelan. Seharusnya aku mencari tahu dahulu ke mal mana Bunda membawa gadis itu untuk berbelanja.

“Sudah saatnya untuk makan malam. Kamu pasti belum makan.” Bunda tersenyum manis yang justru membuat aku curiga kepadanya. Benar saja. Bunda menarik tanganku dengan paksa untuk mengikutinya.

Bukannya membantu aku untuk lepas dari cengkeraman Bunda, Fabian malah tunduk saja pada semua yang Bunda katakan. Aku terpaksa ikut makan malam bersamanya, juga Celeste dan Ihsan. Kalau saja Jason ada di sini, aku tidak akan menjadi tumbal begini. Pekerjaanku hari ini rusak total karena ulah bundaku sendiri.

Tingkah Bunda malam ini sangat mencurigakan. Pertama, memaksa aku untuk makan malam bersamanya dan Celeste. Kedua, mengatur supaya aku dan gadis itu duduk bersebelahan. Itu bukan sifat Bunda yang aku kenal. Biasanya kalau ada perempuan lain yang makan bersama kami, Bunda yang akan duduk bersebelahan dengannya.

Aku tidak mengeluh. Duduk di samping Celeste, anehnya, tidak membuat aku merasa tidak nyaman. Aku bahkan bisa dengan santai meletakkan tanganku pada sandaran kursinya. Kebiasaanku bila orang yang duduk di sebelahku sudah bukan lagi orang asing bagiku.

Mungkin karena sesaat lagi dia akan menjadi bagian dari keluarga kami, maka aku mulai terbiasa menganggapnya sebagai kakak iparku. Pernikahan mereka pasti akan sangat menarik nanti. Celeste masih muda dan sekalipun dia tersenyum mendengar cerita Bunda mengenai kegiatannya, aku tahu bahwa dia tidak ingin melakukan aktivitas semacam itu untuk mengisi waktunya.

Lalu keanehan ketiga pun terjadi saat kami akan pulang. Sudah tidak salah lagi, Bunda sedang merencanakan sesuatu yang tidak aku ketahui.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status