~Jonah~
“Jason belum pulang, Raihan?” tanya Bunda kepada kepala pelayan rumah kami.
“Belum, Nyonya,” jawab pria itu dengan sopan. Bunda melihat ke arah Ayah.
Setahuku, Jason berencana mengurus perjanjian dengan rekan bisnis Ayah untuk satu hari saja. Namun yang ada di ruang makan pada pagi harinya hanya Ayah dan Bunda. Itu artinya dia telah membatalkan kepulangannya semalam. Kali ini dia akan tinggal lebih lama untuk berapa hari?
Aku tahu apa yang dia lakukan di luar sana setiap kali menunda kepulangannya saat melakukan perjalanan bisnis. Dia menghabiskan malam bersama seorang perempuan yang telah menarik perhatiannya di kota tersebut. Semakin lama dia tinggal di sana, maka semakin memuaskan wanita itu dalam melayaninya di tempat tidur.
Jason sangat pintar menutupi hobi buruknya. Dia akan menggunakan waktunya pada siang dan sore hari dengan bermain golf, makan siang, atau minum kopi bersama dengan rekan bisnis yang ditemuinya sehingga Ayah tidak mencurigai motif utamanya tinggal lebih lama di luar kota.
“Apakah dia memberi tahu mengapa dia membatalkan kepulangannya semalam?” tanya Bunda ingin tahu. “Aku berharap bisa pergi bersamanya saat membeli keperluan Celeste.”
“Tidak. Dia sudah besar, aku tidak mungkin terus menanyakan alasannya setiap kali dia mengubah rencananya,” jawab Ayah.
Bila sebelumnya kegiatan kesukaannya itu bukan masalah untukku, tidak kali ini. Dia akan segera bertunangan dengan seorang wanita, dan dia masih menggunakan sisa waktu lajangnya dengan bersenang-senang bersama wanita lain. Mengapa dia tidak pulang dan mulai saling mengenal dengan calon istrinya saja?
Celeste adalah gadis yang baik. Ayah dan Bunda tidak akan menjadikan pernikahan sebagai syarat untuk menolong Om Bisma, jika wanita muda itu bukan calon istri yang tepat untuk putra sulung mereka. Namun Jason bukanlah calon suami yang cocok untuk gadis itu. Kasihan dia bila mereka menikah nanti dan suaminya masih suka tidur dengan perempuan lain. Kebiasaan yang buruk tidak akan berubah dalam satu malam saja.
“Kamu hanya cemburu karena aku lebih perhatian kepada putra kita daripada kepadamu.” Bunda menyentuh tangan Ayah yang ada di atas meja sambil meletakkan ponselnya ke telinganya.
“Sudah. Biarkan dia melakukan apa yang dia mau, jangan meneleponnya,” larang Ayah. Bunda segera meminta Ayah untuk diam sejenak.
“Hai, Nak. Sampai kapan kamu akan tinggal di sana? Kamu ingat dengan acara besar kita pada hari Sabtu, ‘kan?” kata Bunda kepada orang di seberang telepon. “Apakah kamu tidak bisa pulang lebih cepat dari itu? Baiklah. Jaga dirimu baik-baik.” Bunda menatap ponselnya dengan dahi berkerut.
“Dia akan pulang pada hari Sabtu pagi. Bukankah itu terlalu berisiko?” Bunda meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. “Tetapi dari alasan yang dia sampaikan, sepertinya mereka memang sangat menyukainya sehingga mengajaknya untuk menikmati beberapa lokasi wisata di sana.”
“Sabtu pagi juga tidak apa-apa. Itu hanya acara antara dua keluarga,” kata Ayah menenangkannya. Bunda mengangguk pelan.
“Jonah, aku sudah memesan setelan baru untukmu dan Jason. Tolong kamu ambil siang ini dari penjahit, ya. Berikan kepada Ihsan supaya dia bawa ke rumah. Setelan itu harus dicuci sebelum kalian kenakan pada hari Sabtu nanti,” perintah Bunda kepadaku.
“Itu bukan acaraku, mengapa jadi aku yang direpotkan?” protesku tidak terima. “Aku punya banyak pekerjaan hari ini dan jadwalku sangat padat, Bunda. Tidak bisakah Ihsan saja yang menjemputnya langsung dari penjahit?”
“Tidak bisa. Lokasi toko penjahit itu terlalu jauh dari kantor. Aku ada janji makan siang di restoran dekat kantor, jadi Ihsan bisa mampir sebentar,” jawab Bunda. “Jangan membantah lagi. Lakukan saja apa yang aku minta.” Bunda menambahkan sebelum aku sempat menyampaikan keberatanku lagi.
Aku melihat ke arah Ayah yang hanya diresponsnya dengan mengangkat kedua bahunya. Batal sudah rencanaku untuk melakukan pengawasan langsung ke stan kami yang ada di beberapa mal pada saat istirahat makan siang. Sebaiknya tugas itu aku serahkan kepada Fabian saja.
Begitu tiba di ruanganku, aku sama sekali tidak punya waktu untuk bersantai. Aku menghubungi setiap supervisor untuk memastikan mereka tahu target mereka untuk hari ini. Aku membenci aplikasi komunikasi secara grup, jadi aku tidak pernah menggunakannya.
“Pak, saya mau mengingatkan tentang setelan Anda,” kata Fabian lewat interkom. Aku menarik napas panjang dan menggeleng pelan melihat pekerjaanku yang menumpuk.
“Terima kasih, Fabian. Kamu pergilah lebih dahulu.” Aku mematikan komputer, lalu bersiap untuk keluar dari ruang kerjaku.
Setelah mengambil setelan dari penjahit langganan Bunda, aku kembali ke kantor. Aku sengaja mampir ke salah satu restoran dan membeli makan siang untuk aku nikmati di ruang kerjaku. Ihsan datang tidak lama kemudian dan aku mempersilakannya untuk mengambil kedua setelan itu dari atas sofa. Dia pamit dan aku pun bisa melakukan tugasku dengan tenang.
Meskipun jalan sedang macet, aku tidak terganggu dengan lambatnya laju kendaraan di depanku. Musik metal kesukaanku menemani sepanjang perjalanan hingga aku tiba di mal tujuanku. Setelah memarkirkan kendaraan, aku merapikan penampilanku dan keluar dari mobil.
Tidak seperti Jason yang menyukai perhatian yang diberikan para wanita kepadanya setiap kali berpapasan di keramaian, aku sangat membencinya. Kami tidak saling mengenal, lalu untuk apa mereka menatap aku lekat-lekat berharap aku akan membalas tatapannya?
“Ganteng-ganteng sombong,” kata seorang wanita yang sapaannya tidak aku gubris.
“Apa kamu tidak tahu? Zaman sekarang, yang ganteng itu biasanya gay,” ejek teman di sisinya. Mereka berdua tertawa geli. Benar-benar perempuan tidak punya harga diri.
Hal baiknya, tidak ada satu pun dari pegawai wanita di divisiku yang tertarik kepadaku. Hanya pada awal perkenalan, mereka menunjukkan tanda-tanda suka karena fisikku. Begitu mereka mengenal kepribadianku, mereka perlahan-lahan mundur dan berhenti berharap.
Mereka semua lebih menyukai pria seperti Jason. Aku tidak akan heran jika dia sudah meniduri mereka semua. Karena sepertinya para wanita ini adalah tipe yang mau saja menghabiskan satu malam dalam hidup mereka dengan laki-laki seperti kakakku.
Mustahil? Tidak. Tidak ada yang mustahil bagi Jason. Dia bukan laki-laki sombong yang penuh dengan omong kosong. Ketika dia memamerkan sesuatu, maka itu adalah sebuah kebenaran, bukan cerita yang dia karang sesukanya.
Aku baru saja larut dengan pekerjaanku, ketika merasakan seseorang menyentuh punggungku. Itu bukan jenis sentuhan yang akan berani dilakukan oleh salah satu pegawai di tempat ini. Aku menoleh dan melihat wajah cantik yang selalu suka membuat aku susah.
“Bunda? Ada apa Bunda berada di sini?” tanyaku bingung. Begitu melihat Celeste berdiri tidak jauh di belakangnya, aku mengumpat pelan. Seharusnya aku mencari tahu dahulu ke mal mana Bunda membawa gadis itu untuk berbelanja.
“Sudah saatnya untuk makan malam. Kamu pasti belum makan.” Bunda tersenyum manis yang justru membuat aku curiga kepadanya. Benar saja. Bunda menarik tanganku dengan paksa untuk mengikutinya.
Bukannya membantu aku untuk lepas dari cengkeraman Bunda, Fabian malah tunduk saja pada semua yang Bunda katakan. Aku terpaksa ikut makan malam bersamanya, juga Celeste dan Ihsan. Kalau saja Jason ada di sini, aku tidak akan menjadi tumbal begini. Pekerjaanku hari ini rusak total karena ulah bundaku sendiri.
Tingkah Bunda malam ini sangat mencurigakan. Pertama, memaksa aku untuk makan malam bersamanya dan Celeste. Kedua, mengatur supaya aku dan gadis itu duduk bersebelahan. Itu bukan sifat Bunda yang aku kenal. Biasanya kalau ada perempuan lain yang makan bersama kami, Bunda yang akan duduk bersebelahan dengannya.
Aku tidak mengeluh. Duduk di samping Celeste, anehnya, tidak membuat aku merasa tidak nyaman. Aku bahkan bisa dengan santai meletakkan tanganku pada sandaran kursinya. Kebiasaanku bila orang yang duduk di sebelahku sudah bukan lagi orang asing bagiku.
Mungkin karena sesaat lagi dia akan menjadi bagian dari keluarga kami, maka aku mulai terbiasa menganggapnya sebagai kakak iparku. Pernikahan mereka pasti akan sangat menarik nanti. Celeste masih muda dan sekalipun dia tersenyum mendengar cerita Bunda mengenai kegiatannya, aku tahu bahwa dia tidak ingin melakukan aktivitas semacam itu untuk mengisi waktunya.
Lalu keanehan ketiga pun terjadi saat kami akan pulang. Sudah tidak salah lagi, Bunda sedang merencanakan sesuatu yang tidak aku ketahui.
~Celeste~ Makanan pesanan kami datang, Tante Inggrid yang mendominasi pembicaraan. Dia menceritakan kegiatan sehari-harinya sebagai seorang istri. Aktivitasnya lumayan padat dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Aku berharap bahwa aku tidak perlu melakukan semua itu. Aku belum tahu apa yang menjadi tugasku nanti sebagai istri Jason. Dari cara Tante Inggrid memilih momen ini untuk menceritakan mengenai kegiatannya, sepertinya apa yang menjadi tanggung jawabku tidak akan jauh berbeda dengan itu. “Yang kamu dengar itu belum seberapa. Masih ada banyak lagi aktivitas lain yang Bunda kerjakan di luar sana,” timpal Jonah. Tante Inggrid yang baru menerima kartu kreditnya kembali dari pelayan hanya tersenyum. “Kamu akan terkejut bagaimana Bunda masih bisa mengomeli aku pada malam hari setelah mengerjakan semua hal yang melelahkan itu.” “Kira-kira seperti inilah percakapan kami di rumah nanti. Jadi kamu tidak akan terkejut lagi.” Tante tersenyum penuh arti. Melihat layar ponselnya menyala
Satu tim penata rias dan rambut datang ke rumah pada sore itu. Tante Inggrid yang mengirim mereka. Aku mempersilakan mereka untuk menunggu di ruang duduk dan aku menuju lantai atas untuk mengambil pakaian yang akan aku kenakan. Mereka menyampaikan warna apa saja yang akan mereka pilih untuk riasan pada wajahku dan model rambut yang cocok dengan tema acara yang akan aku hadiri. Aku setuju saja dengan semua pendapat mereka. Yang penting, Tante Inggrid tidak akan kecewa melihat hasilnya nanti. Wajahku dirias secara minimalis sehingga aku tidak terlihat lebih tua dari usiaku yang sebenarnya. Mereka menggunakan warna-warna lembut yang disesuaikan dengan warna gaunku. Rambutku dibiarkan tergerai dengan membentuk spiral pada ujungnya. Aku tersenyum pada bayanganku di cermin. Aku hampir tidak bisa mengenali diriku sendiri. Setelah membantu aku memakai gaunku, mereka meminta aku untuk berpose agar mereka bisa memotret hasil karya mereka tersebut. Mereka memotret aku cukup lama sampai bibirk
~Jonah~ Ada ruang kebugaran di rumah, tetapi aku lebih nyaman joging mengelilingi pekarangan setiap pagi. Aku bisa menghirup udara yang segar sekaligus mendapatkan sinar matahari yang menyehatkan. Aku juga bisa berkeringat daripada joging menggunakan treadmill di ruangan berpendingin. Terdengar deru halus mesin sebuah mobil saat aku menuju pintu depan rumah. Aku menoleh ke arah jalan masuk dari pintu gerbang rumah kami. Mobil Jason mendekat. Aku menghentikan langkah dan melihat dia keluar dari mobilnya. “Selamat pagi, adikku. Masih berusaha untuk membentuk tubuhmu supaya bisa seperti aku?” tanyanya setengah menggoda. “Kamu tahu bahwa itu sia-sia saja, ‘kan?” “Suatu hari nanti kesombonganmu itu akan merugikan dirimu sendiri,” kataku mengingatkan. “Tubuhku lebih bagus darimu. Itu adalah kenyataan.” Dia mengangkat kedua tangannya di sisi tubuhnya. Aku memutar bola mataku. “Aku membahas mengenai kepulanganmu yang sangat mendadak. Aku tidak peduli mengenai tubuh.” “Aku tidak terlamba
~Celeste~ Posisi duduk kami kini berbeda. Aku, Papa, dan Kak Nevan duduk di sofa yang sama, Om Jarvis, Tante Inggrid, dan Jonah duduk bersama di seberang kami, Jason dan wanita bernama Jovita itu duduk bersebelahan di kepala meja, sedangkan Om Gunawan dan istrinya duduk bersebelahan di seberang mereka. Meja yang berada di tengah-tengah kami telah penuh dengan cangkir, teko, dan piring. Wanita itu menceritakan mengenai hubungannya yang putus-sambung dengan Jason. Mereka tidak memberi tahu siapa pun mengenai hubungan mereka, karena Jason belum siap untuk berkomitmen. Mereka sepakat bahwa mereka hanya menjalin hubungan atas dasar suka sama suka tanpa berharap akan menjalani masa depan bersama. Jason memutuskan hubungan karena dia akan bertunangan dengan seorang gadis pilihan ayahnya. Jovita berkata bahwa dia hamil, tetapi pria itu tidak percaya. Jadi, dia pergi menemui dokter dan memilih datang pada hari ini agar Jason tidak bisa berkelit lagi di depan keluarganya. “Kamu tidak bisa me
Papa mengajak kami semua ke ruang makan untuk makan malam. Kami dipersilakan untuk duduk di mana saja yang kami mau. Papa duduk di salah satu kursi di kepala meja, aku duduk di samping kanannya, sedangkan Kak Nevan di samping kirinya. Tentu saja Jonah memilih untuk duduk di sisiku. Di sebelahnya ada Tante Inggrid diikuti oleh Om Jarvis. Jason duduk di samping Kak Nevan, tunangannya di sebelahnya. Ibu Jovita duduk di sisi putrinya, kemudian Om Gunawan yang duduk di kepala meja di seberang Papa. Setelah Papa memimpin doa makan bersama, bunyi sendok beradu dengan piring pun terdengar. Kami tidak perlu saling mengoper makanan karena setiap menu makanan disajikan di atas meja tidak jauh dari hadapan kami masing-masing. “Karena Jovita sedang hamil, kita tidak perlu menunda pernikahan mereka. Bagaimana menurutmu, Gunawan?” tanya Om Jarvis. “Aku setuju, kapan paling cepat kita bisa melangsungkan pernikahan mereka?” tanya Om Gunawan. “Apakah kalian keberatan jika pernikahan kalian diadakan
Rasanya sangat aneh. Aku yang semula datang sebagai seorang pria yang bebas, yang akan menghadiri pertunangan antara kakakku dan wanita muda yang sudah dipilihkan untuknya, malah pulang dalam keadaan sudah terikat dengan janji akan menikahi wanita muda tersebut. Aku kini adalah tunangan Celeste Renjana.Entah apa yang mendorongku untuk melakukan hal itu tetapi aku tidak tega melihatnya dan keluarganya dipermalukan. Jovita telah melakukan hal yang sangat keterlaluan, namun itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Jason. Wanita itu sudah mengatakan kepadanya bahwa dia hamil. Jason malah tidak percaya dan tetap melanjutkan niatnya untuk menikahi Celeste?Untung saja wanita itu datang sebelum Jason dan Celeste resmi bertunangan. Aku tidak bisa membayangkan andai saja perempuan itu terus bungkam hingga mereka berdua resmi menjadi suami istri, lalu dia datang merusak acara sakral tersebut.Iya. Bagiku pernikahan adalah acara yang sakral. Ikatan antara suami dan is
~Celeste~ Dengan malas-malasan, aku merias wajah dan menata rambutku. Aku membiarkan rambutku tergerai, tanpa memberi jepitan atau memakai bando. Karena semalam dia menyarankan agar aku memakai baju yang nyaman, aku memakai blus putih dan celana jins panjang. Supaya tinggi badan kami tidak terlalu kontras, aku mengenakan sandal berhak tinggi. Mendengar deru halus mesin mobil di depan rumah, aku mendesah keras. Papa dan Kak Nevan hanya tersenyum penuh arti. Setelah pamit kepada mereka berdua, aku keluar dari ruang keluarga. Papa memanggil dan mengingatkan aku sekali lagi agar bersikap baik. Huff. Bu Liana sudah membukakan pintu depan. Aku berjalan menuju pintu bersamaan dengan Jonah berjalan mendekati aku. Dia terlihat berbeda tanpa setelan kerja dan tuksedonya. Dia memakai kaus berlengan panjang berleher huruf V dan celana panjang santai. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dia seperti tidak senang akan kencan denganku siang ini. Terlalu fokus melihat penampilan dan wajah tampannya, aku
“Hal yang paling penting yang perlu kamu ketahui adalah kamu tidak perlu khawatir bahwa aku akan mengubahmu. Bersamaku, kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Aku tidak akan menentukan pekerjaan atau kegiatan yang ingin kamu lakukan. Selama kamu menjaga nama baikmu. Jadi, kamu tidak perlu takut aku akan memintamu tinggal di rumah saja dan menghalangimu bekerja,” katanya yang cukup menenangkanku.“Kamu serius dengan itu? Aku boleh bekerja dan meniti karir?” tanyaku penuh harap.“Tentu saja. Aku juga akan tetap bekerja setelah kita menikah. Lalu untuk apa kamu hanya diam saja di rumah? Ada kepala pelayan yang mengurus segalanya. Bunda juga masih menjadi nyonya rumah di rumah kita,” ucapnya menjelaskan. Rumah kita, bukan rumah kami. Dia sedang membiasakan aku untuk menyebut miliknya sebagai milikku juga. Dia benar-benar serius dengan hubungan kami.“Tetapi saat kita punya anak nanti, kamu harus bisa mengatur wa