Kalila menatap langit-langit kamarnya. Dia merasa sudah gila hanya dengan menghadapi Johan. Selama ini dia berusaha untuk bersikap tenang dan tidak melakukan hal-hal yang gila karena sadar umurnya sudah tidak muda lagi tapi mengahadapi Johan ternyata memang menghilangkan kewarasannya.“Sudahlah, Kal. Berhenti untuk melakukan hal-hal kayak gini. Yang normal-normal aja kalau mau deketin gue.” Ucapan itu masih terngiang-ngiang di kepalanya.Dia malu dan kecewa dengan dirinya sendiri. Jika tahu pacaran akan membuatnya bisa dekat dengan pria, sudah dipastikan dia akan melakukannya. Sayangnya Kalila dari dulu tumbuh dengan buku dan gadget. Tidak pernah memikirkan pacaran, menikah, dan apalagi melakukan hal-hal yang aneh. Dekat dengan laki-laki berjarak sepuluh sentimeter saja hampir tidak pernah.“Halo?” sapa Kalila. Johan meneleponnya di tengah-tengah gundahnya. Pria itu sama sekali tidak suka mengirim pesan. Alhasil langsung meneleponnya begitu saja.“Sayang, kamu mau dibawain sate nggak?
Kalila rasanya ingin menampar Johan saat ini. Dia bosan mendengar pria itu mengatakan ingin membuatnya jatuh cinta. Padahal di sini seharusnya Kalila yang mengatakan itu. Apa Johan berpikir dia adalah pusat tata surya?“Kita mau bahas ini berapa kali sih, Jo?”Johan mendekat dan menarik tangan Kalila. “Sampai lo suka sama gue.”Bugh …Kalila tidak bisa menahan lagi sukapnya. Dia sudah bertahan dari kemarin untuk tidak melakukan kekerasan. Dia masih ingat siapa orang di depannya ini tapi untuk saat ini dan setelah melihat apa yang dilakukan pria itu tadi siang, tidak ada kata sabar lagi.“Lo pikir gue apaan? Enak banget lo mau bikin gue suka sama lo.” Kalila mendekat ke arah Johan yang masih memegang pipinya. Pria itu meringis kesakitan. “Gimana kalau gue yang bikin lo suka sama gue?”Pria itu tertawa kecil. Kalila terlihat lebih seksi jika sedang marah. “Lo cakep juga kalau marah.
Selama berada di Semarang, tidak banyak yang Kalila lakukan selain hanya berdiam diri di apartemen dan menghabiskan waktunya untuk mengurus pekerjaannya seperti biasa. Kali ini untungnya Raina datang ke Semarang untuk membeli beberapa kebutuhan pernikahan. Mereka sudah berjanji untuk bertemu di mall.“KALILA!!!” Wanita yang memakai dress panjang itu berlari untuk memeluknya. Sahabatnya yang sedang mempersiapkan pernikahan itu terlihat sangat menawan.“Achieh. Calon pengantin ini cantik banget. Boleh dong ya bagi resepnya.” Kalila menyenggol lengan Raina untuk menggoda.“Harusnya gue yang minta tips buat pernikahan. Gimana sih. Haha. Eh kita makan dulu yuk. Laper. Makan ramen yak.” Kalila menurut saja.“Udah siap sama pernikahan lo?” tanya Kalila setelah memesan.“Deg-degan sih. Tapi siap-siap aja. Nggak sabar bisa satu rumah sama mas pacar. Hehe. Kalau capek nanti ada yang ngepuk-puk. Kalau sedih nanti ada yang nenangin. Ih nggak sabar. Lucu banget ya pernikahan itu?” Raina membayangk
Sejujurnya Kalila sekarang tidak mengetahui bagaimana perasaannya untuk Johan. Jika biasanya sendirian sangat menyenangkan untuknya, kali ini mungkin akan berbeda karena pada akhirnya dia memiliki seseorang yang terikat dengannya. Hanya saja ikatan itu bukan ikatan yang akan terjadi selamanya meskipun Johan mengatakan ingin selamanya bersama.Kalila menutup laptopnya. Dia keluar dari kamarnya dan masuk ke kamar Johan. Tepat pukul dua belas malam, lampu utama di kamar itu sudah mati. Maka dari itu Kalila berani untuk masuk. Dia ingin melihat wajah Johan secara jelas. Selama ini dia hanya bisa mengamatinya dari foto yang pernah dia screenshots.“Jo!” lirih Kalila. Dia berdiri dan menatap wajah Johan yang terlihat damai dalam tidurnya. Tangannya terulur untuk menyentuh wajah Johan tapi hanya berhenti di atasnya. Kalila mengurungkan niatnya. “I loved you.”Kalila berbalik dan keluar dari kamar. Dia seperti orang yang linglung. Mungkin perasaan yang selama ini dia simpan dalam-dalam kembal
Kalila terbangun tepat pukul delapan pagi. Suasana apartemen kecil itu tiba-tiba hening. Tidak biasanya ibu mertua dan ayahnya tidak bersuara. Dia lalu bangkit dari tidurnya secara kilat. Dia membuka pintu kamar, tidak ada orang. Senyumnya mengembang seketika. Matanya melirik dapur. Ada Johan di sana, sedang makan dengan pakaian kerjanya. Dia dengan sumringah berlari ke arah pria itu.“Mama sama papa lo udah pergi?” tanyanya dengan cerah ceria. Johan yang masih merasa bersalah atas kejadian semalam hanya tersenyum tipis.“Udah. Danila udah telepon dari semalam. Udah nungguin soalnya.”“Heemm bagus deh.” Kalila menarik kursi dan mengambil sop yang ada di meja. Dia makan dengan senang. Berbeda dengan Johan yang terlihat tidak bernafsu. “Lo kenapa?” tanya Kalila.“Gue minta maaf buat semalam.” Pria itu mengaduk-aduk supnya.“Hemm … harusnya gue yang minta maaf karena gue yang salah. Sebenarnya gue nggak pernah deket sama cowok, apalagi seintens itu. Jadi … gue juga nggak berani ngadepin
Sesampainya di apartemen. Kalila langsung ditodong dengan berbagai macam pekerjaan oleh mama Johan. Kalila diajari memasak, menggoreng, mencincang daging, dan mencuci baju. Sementara Johan langsung didorong ke kamar mandi dan beristirahat. Tubuhnya sudah lelah seharian beraktivitas ini tapi dia harus tetap bertahan demi orang tuanya. Johan akhirnya keluar dair kamar dan menarik lengan Kalila karena sudah pukul sembilan malam. Sudah saatnya mereka tidur.“Ma, nggak seharusnya Kalila diperlakukan seperti pembantu kayak gini. Dia ini istri aku. Aku yang berhak nyuruh-nyuruh dia.” Johan memegang bahu Kalila yang lemas. Wanita itu sudah tidak memiliki tenaga.“Kamu itu harus ngasih tahu pekerjaan rumah dia. Sebagai ibu rumah tangga yang baik, dia itu harus bisa masak, ngepel, nyuci, ngasih anak, dan dandan buat kamu. Lihat, dia nggak ada cantik-cantik loh.” Saraswati mengacungkan kemoceng ke arah Kalila. Wanita itu langsung bersin.“Nggak harus dia mah. Aku bisa ngelakuin itu semua.”“Haru