“Kapan boleh pulangnya, Dok?” tanya Abang usai dokter memeriksa kesehatanku.
“Besok juga udah boleh pulang. Ayu, Kepalanya masih pusing gak?” Aku menggeleng. Tersenyum manis. Dokter bernama Faris membalas senyumku. Sejenak, kami saling memandang. Abang berdehem. Mengalihkan pandanganku pada dokter tampan itu.
“Periksanya udah kan, dok?” tanya Abang sambil bersidekap, aku memutar bola mata malas. Gak bisa bikin orang seneng dikit.
“Sudah selesai. Ayu, jangan banyak pikiran ya. Istirahat yang cukup. Biar lekas sembuh.” Saran dokter Faris kusambut dengan wajah berbinar. Senyum pun tak lupa aku tampilkan.
“Iya-iya. Nanti biar saya yang nasehatin,” seloroh Abang. Intonasi suaranya sangat menyebalkan.
Tuh orang maen jawab-jawab aja. Yang ditanya siapa, yang jawab siapa.
“Dokter lagi banyak pasien kan
Sudah dua puluh menit, Abang tak juga datang. Kemana belinya tuh orang? Lama bener? Tadi sore aja waktu beli biskuit, cepet banget.Aku memiringkan punggung, mengecek belakang bokong, memastikan darah menstruasi tembus apa tidak. Ish, gak enak banget sih?!Pintu terbuka, wajah Abang menyembul, terlihat kusut.“Nih!” Tanpa basa-basi Abang menyerahkan plastik minimarket padaku.“Abang kenapa?” Laki-laki berambut di atas pundak itu berjongkok di depanku. Menarik napas panjang. Abang tak juga menjawab. Jangan-jangan dia nyesel udah beliin aku pembalut.“Abang malu ya gara-gara ditanya sama mbak kasirnya?” Langsung kutebak apa yang terjadi padanya.“Bukan. Bukan Mbak kasir yang tanya. Dahlah, nanti ceritanya. Kamu pake dulu gih!” Berdiri, Abang berjalan ke bangku sofa, lalu duduk. Lengan kanannya menutup
“Assalamu’alaikum.” Tawa Abang seketika berhenti saat seseorang menguruk salam. Kuturunkan selimut dari wajah, memastikan siapa yang datang. “Waalaikumsalam.” Serempak kami menjawab salam. Rupanya Bunda sudah datang. Aku mengulas senyum menyambut kedatangan Bunda. Wanita bergaya sosialita muslimah itu dengan anggun melenggang masuk, menghampiri kursi yang diduduki Abang, tanpa disuruh lelaki berkumis tipis berdiri. “Ngetawain apa kamu, Den?” tanya Bunda, begitu duduk di atas bangku dekat ranjang. Abang gelagapan, menggaruk belakang kepala. Aku tahu sebenarnya tidak gatal, hanya menghalau kegugupannya saja. “Hm ... a-anu, Bun ....” ucap Abang terbata-bata. Bunda menoleh, keningnya berkerut. Tampak sekali penasaran dari raut wajah cantiknya. “Hush! Bicara kamu anu-anu. Gak sopan!” Tegas Bunda menegur. Lantas pandangan wanita berkerudung merah muda beralih menatapku. “Sayang, gimana keadaanmu, udah baikan?” Lembut, tangan wanita berusia enam puluh tahunan itu membelai kepalaku yan
Esok harinya, dokter Faris sudah mengijinkanku pulang. Bunda membantuku berkemas. Sejak semalam hingga sore ini Abang belum datang lagi ke rumah sakit. Entah sedang sibuk kerja atau memang dilarang Bunda. Hubunganku dengan Abang pasti akan sulit dijalani jika Bunda tidak memberi restu. Tiba-tiba pintu terbuka.“Dira?” gumamku saat tubuh laki-laki itu menyembul dari balik pintu.“Hei, Dir, masuk sini!” Panggil Bunda, Dira tersenyum, berjalan masuk ruangan.“Apa kabar, Tante?” Laki-laki yang mengenakan kaos warna hitam itu menyalami Bunda.“Alhamdulillah baik,” sahut Bunda. Wajahnya sangat berbinar. Sepertinya Bunda ingin menjodohkanku dengan Sudira.“Sori, Yu. Aku baru sempet ke sini. Kamu udah baikan?”“Gak apa-apa. Makasih ya udah nyempetin ke sini.” Kataku sedikit sungkan.
“Masuk rumah dulu!” titah Abang. Aku Mengikutinya dari belakang. Laki-laki itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Menatapku. Kami saling pandang.“Abang minta maaf. Kemarin beneran gak tau kalau pulangnya sore. Di kantor juga emang lagi banyak kerjaan,” ucap Abang. Nada suaranya seperti menyesal. Namun aku tak menanggapi, memilih diam membisu. Membuang muka ke arah lain.“Udah, jangan cemberut gitu. Tunggu bentar, Abang yang anterin ke kampus.” Hanya mengangguk sebagai jawaban.Abang masuk kamar, aku berdiri di ambang pintu, tubuh bersandar pada kusen pintu.Sebenarnya aku bingung bersikap pada Abang. Kalau seperti biasa, takut perasaanku padanya semakin menjadi-jadi sedangkan Bunda tidak menyetujui hubungan kami. Kalau menghindar, rasanya tak nyaman. Aku sudah terbiasa apa-apa dengan Abang.Beberapa menit kemudian. Lelaki berperawakan atl
Selesai kelas, menuju kantin untuk menemui Dira. Entah apa yang ingin dibicarakan oleh laki-laki berlesung Pipit itu. Tidak biasanya dia ingin berbicara empat mata. Yang sudah-sudah ada Silvi pun tak masalah.“Lo mau kemana?” tanya Silvi saat aku berbelok ke arah kiri, tidak langsung menuju area parkir.“Kantin dulu. Mau ketemu Dira. Katanya ada yang mau dia omongin,” jawabku.“Mau gue temenin?”“Gak usah deh.”“Ya udah, kalau gitu gue pulang duluan ya?”“Iya. Aku pun melanjutkan langkah. Berpisah arah dengan Silvi.Setibanya di kantin, kulihat Sudira duduk di kursi paling pojok kiri. Ia sedang memainkan gadget. Suasana di sini tidak seramai biasanya. Mungkin karena sebagian Mahasiswa sudah pulang.“Sori lama nunggu,” ucapku. Menarik kursi, duduk. Laki-la
Sungguh! Satu sisi aku malu mengakui Abang di depan Dira. Tapi sisi lain aku merasa bahagia. Sebab Abang memang bersungguh-sungguh ingin menjadikanku istrinya.Aku mensejajari langkah Abang. Kami berjalan beriringan.“Makasih udah ngakuin Abang di depan Dira,” ucap Abang saat jarak area parkir tinggal beberapa meter. Aku mengangguk.“Kenapa Dira harus tau sih, Bang?” Aku tak tahu, alasan apa yang membuat Abang menyuruhku berkata demikian pada Dira. Padahal mantan ketua BEM itu hanya temanku saja. Bukan saudara atau pun sahabat. Apalagi tadi Dira bilang lagi suka sama seseorang. Aku yakin lelaki itu sedang jatuh cinta pada cewek. Apa mungkin cewek itu Silvi ya? Ah gara-gara Abang, Dira gak jadi ngasih tahu cewek yang ditaksirnya.“Ya emang harus tau. Soalnya dia juga suka sama Ayu.” Jawaban Abang membuatku menghentikkan langkah, tak percaya dengan ucapan yang barusan aku dengar. Abang pun meng
Saat ini, berhubung masih menstruasi, aku menunggu Abang shalat Maghrib di Masjid dekat taman. Suasana senja kali ini terasa syahdu. Suara Imam Masjid terdengar mengalun syahdu membaca lantunan Ayat suci Al-Quran.Setengah jam kemudian, laki-laki yang ditunggu sudah keluar, sedang mengenakan sepatu, lalu berjalan menghampiriku duduk di bangku yang terletak di depan tempat wudhu khusus wanita.Tanpa berkata, kami langsung menuju mobil. Sesekali melirik Abang. Rambut bagian depannya basah, mungkin bekas air wudhu. Masih ada juga tetesan air di leher. Wajah Abang nampak lebih bersih.Masuk ke dalam mobil, aku melihat Abang sekilas. Dari samping, ternyata dia lebih tampan.“Napa lihatin?” Aku tergagap. Ternyata lelaki di sampingku sadar sedang aku perhatikan. Kirain dia gak sadar kalau dari tadi dilihatin.“Gak napa-napa.” Sahutku cuek.
Tiba di rumah, Bunda sedang duduk di bangku teras. Aku turun mobil lebih dulu. “Assalamu’alaikum,” ucapku. Berjalan menghampiri Bunda, meraih telapak tangannya. “Wa’alaikumsalam,” sahut Bunda. Raut wajah wanita yang telah melahirkan Abang tidak ceria seperti biasanya. “Bunda pulang jam berapa?” tanyaku basa-basi. “Jam lima sore. Kamu istirahat dulu sana. Kalau belum makan, makan dulu sebelum tidur.” Aku mengangguk. Raut wajah Bunda masih datar. “Iya, Bun.” Melangkahkan kaki ke dalam rumah tanpa menunggu Abang turun dari mobil. Dari dalam, samar kudengar percakapan Bunda dan Abang. “Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” Dari nada suaranya, terdengar ketus. “Dari kantor jemput Ayu, abis itu jalan bentar.” Jelas Abang. “Sampai semalam ini?” “Ini belum malam, Bun. Baru aja habis Magrib. Dah ya, Dendy mau mandi dulu.” Mendengar derap langkah kaki Abang semakin mendekat, aku pun bergegas masuk kamar. Takut ketahuan curi dengar. Usai beres-beres, membuka kotak cincin pember