PoV Abang
“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.
“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.
“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”
Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.
&
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
Menikah Dengan AbangLagi, dan lagi Abangku berulah. Hanya karena tidak mau aku nikah terlebih dahulu, dia kerap kali mengaku-ngaku jadi suamiku. Cih, Abang macam apa itu? Sudah empat kali, pacarku kabur karena ulahnya."Bang, sampe kapan sih kayak gini?""Sampe abang nikahlah," sahutnya dengan enteng sambil memantik korek api di sebatang rokok."Ya kalo gitu cepetan nikah!" Jawabku ketus seraya mengambil rokok yang terselip dibibirnya, lalu mematikan rokok tersebut ke atas asbak."Songong! Lagian lo aneh, pacaran ama cowok F*. Eh, gimana kalo cowok itu tua bangka, mau emang lo?""Idiiihh sok tau! Pokoknya Abang harus jelasin ke Raka kalo Abang --""Ogah!" Sahutnya berlalu.Dasar Abang Bewoookkk ... Awas aja, kalau ketauan dia punya pacar. Aku kerjain balik!***Seharian cek F******k, berharap Raka mau buka blokir akun aku. Tapi nyatanya nihil. Aku masih tak bisa menghubunginya lewat messenger. Bukan cuma F******k, media sosial lainnya pun diblokir oleh Raka. Ah, semua ini gara-gara Ba
Kedua mata Abang mendelik ke arah buku yang aku jatuhkan di atas kasurnya.Sesaat, aku sempat salah tingkah.Meremas jari jemari. Menggigit bibir bawah. Khawatir kalau Abang marah. “Ngapain lo masuk kamar ini?” tanya Abang kesal. Aku gelagapan. “Eu ... Eu ... Hm ... Ya terserah akulah. Salah sendiri kenapa pintu kamar gak dikunci!” Jawabku sewot, menghilangkan rasa panik. Abang melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu, tangan kiri Abang mengacak rambutnya. “Lo udah baca buku itu?” tanya Abang berjalan masuk kamar, meraih buku agenda, lalu mengangkatnya. Kulihat wajahnya memerah. Aku tak mengerti, memerah pertanda Abang marah atau pertanda menahan malu. “Idiiih ... Ngapain baca buku bulukan itu? Bau lagi kayak orangnya! Dah ah, aku mau keluar!” Dengan langkah cepat, aku keluar dari kamarnya. Brukkh!! Sengaja, aku membanting pintu kamar Abang dengan keras. “Pokoknya Abang gak boleh
Usai acara syukuran, Bunda mengenalkanku pada laki-laki yang bernama Firman. “Ayu sekarang udah besar ya, cantik lagi!” ucap Tante Ratih saat aku mencium punggung tangannya. “Tante bisa aja.” Aku tersipu malu mendapat pujian dari Maminya Firman. “Ayu ini dari kecil emang sudah cantik, Jeng.” Timpal Bunda membuatku semakin bersemu merah. Aku celingak celinguk, rasanya lega si Abang gak ada di sekitarku. Kalau ada dia, pasti pujian ini dibantahnya. “Firman, sini, Nak!” Tante Ratih memanggil laki-laki yang sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Orang yang dipanggil Firman menghampiri. Wajahnya sih lumayan ganteng, pakaiannya juga rapi, dan rambutnya klimis. Sampai terlihat mengkilat. Kelihatannya Firman tipikal cowok yang suka memerhatikan penampilan. Beda sekali sama si Abang, yang tampangnya urak-urakkan. Ngomong-ngomong Abang kemana ya? “Iya, Mi?” sahut Firman menurunkan habdphone, aku melirik sekilas ke benda android miliknya, oh r
“Bunda setuju?” tanya Abang melirik dari kaca spion depan. “Tadinya setuju, tapi lihat tingkah dia kayak gitu, Bunda jadi mikir lagi.” “Jangan pake mikir, Bun. Lagian Bunda main jodoh-jodohin aja. Udah bukan zaman Siti Nurbaya, Bun.” Nada bicara Abang terdengar kesal. “Dendy, kok jadi kamu yang sewot?” “Sewot? Dendy biasa aja! Eh, Ayu, emang lo mau dinikahin ama banci itu?” tanya Abang memicingkan kedua matanya lewat kaca spion.Aku pura-pura berpikir. “Hmm ... mau gak mau sih! Tapi menurut Ayu ya Bun, Kak Firman gak banci kok. Orang badannya kekar gitu. Kalau banci kan kemayu, melambai.” “Ya elah! Tadi kan lo lihat sendiri dia nangis-nangis.” “Wajar, Bang ... dia nangis. Orang dikatain banci,” sahutku menatap luar jendela. Padahal dalam hati amit-amit punya laki kayak si Firman. “Geser otak si Ayu. Udah gak bisa bedain laki-laki sejati ama laki-laki banci.” Abang masih gak mau kalah. “Emang laki-la
Masuk ke dalam rumah, aku senyam-senyum sendiri. Bersyukur banget sikap Abang tidak berubah. “Ayu, kenapa senyum-senyum gitu, Nak? Hmmm ... dianterin pacarnya ya?” Bunda menggodaku saat berpapasan di ruang tamu. “Pacar apaan? Gak ada cowok yang mau sama si Ayu, Bun. Cewek jelek begitu!” timpal Abang duduk di sofa ruang tamu. “Dih, sembarangan! Gini-gini banyak tau, cowok yang suka sama aku!” balasku memajukan bibir beberapa centi. “Masa? Gak caya! Pacaran aja ama cowok pesbuk! Cowok maya! Soalnya, cowok nyata gak pada mau ama lo kan? Hahahha.” Masih saja diledekin. Asem banget dah! “Sembarangan!” kutimpuk Abang dengan bantal sofa. “Dendy ....” panggil Bunda lembut. Mencoba melerai pertikaian diantara kami. “Bunda ....” “Minta maaf sama Ayu. Bilang kalau Ayu cantik. Cepetan, Nak ....” Abang menghela napas. Menatapku dengan memelas. Berdiri mendekatiku. “Maafin gue ya. Iya lo cantik. Cantik banget.” Aku tersenyum
Sesampainya di kedai bakso, aku langsung melepaskan helm. Abang mengajak duduk di bangku paling pojok.Suasana kedai ini lumayan ramai. Ditambah letaknya dekat sebuah taman. Tempatnya juga rapi, bikin nyaman. Beberapa pasang muda-mudi terlihat menikmati salah satu makanan favorit orang Indonesia itu.“Mang!” panggil Abang pada laki-laki berumur sekitar 30 tahunan. Yang dipanggil langsung menghampiri.“Wah tumben Mas Dendy bareng cewek. Pacarnya ya, Mas?”“Halah si Amang kepo.” Kilah Abang cuek.“Hehe ... Biasanya kan sendiri.”“Bakso dua, satu mie putih doang jangan pake kecap. Satunya biasa ... campur!” seru Abang diiringi anggukan si Amang.“Siap!” Laki-laki yang dipanggil Amang langsung membuatkan bakso.“Abang sering ke sini?” tanyaku menatapnya.“Napa emang?”“Idih, ditanya balik tanya
“Malah ngetawain,” ucap Abang membuang muka. Aku menutup mulut, menahan gelak tawa. “Sayang banget kalau Abang jadi suaminya Kambing. Kayak gak ada cewek yang mau aja.” Aku bergumam, menahan tawa yang mau meledak lagi. “Emang gak ada cewek yang mau.” Celetuk Abang cuek. “Masa? Itu sih tiap hari Valentine, banyak paket cokelat ama bunga! Cieee ... so insecure.” tukasku sembari mendorong pelan bahu Abang. “Tau dah!” jawabnya mengedikkan bahu. “Abang?” “Hm.” “Cewek idaman Abang emang kayak gimana sih?” Aku menguji kejujuran Abang. Laki-laki berwajah brewok tipis itu membuang napas. “Cewek idaman Abang?”Hm kebiasaan! Ditanya balik nanya. Gitu aja terus. “Iya, cewek idaman Abang. Bukan Kambing idaman Abang!” “Ngejek teruuuuusss....!” Hidungku dipencet ibu jari dan telunjuk Abang. “Lepasin dih! Sakit tau!” Aku bersungut, mengusap-usap hidung. “Mulai jail nih anak. Belajar dari s