Sepulang dari pasar aku lihat Bulek uring-uringan. Beberapa kali dia ngedumel tidak jelas. Aku menghampirinya seraya membantu mengupas sayuran.“Bulek kenapa, sih?” tanyaku iseng.“Bulek sebel, Fit. Itu si Shinta temen sekolahmu, baru aja dapet calon orang Jakarta gayanya selangit. Ngomong kesana-kesini macam-macam, sampe bilang kamu di Jakarta cuma jadi pembantu dan balik lagi ke sini tetep aja miskin. Nggak bisa dapet suami kaya. Sebel Bulek dengernya,” celoteh Bulek sambil memotong kentang.“Bulek nggak bilangkan tentang Mas Brian?”“Nggaklah. Bulek mah nggak norak kaya dia.”Aku menghela nafas tenang, untung saja Bulek nggak cerita tentang Mas Brian. Takutnya aku pisah sama Mas Brian malah jadi bahan omongan satu kampung. Dasar Shinta nggak pernah berubah.“Aku mau datang ke tempat reuni Bulek nanti jam 10.00. Bulek masak, kok banyak banget?” tanyaku heran.“Buat persediaan, aja. Kan, kamu bentar-bentar makan,” ucap Bulek tersenyum lebar.Setelah merapihkan sayuran, aku bergegas b
Selesai makan aku dan Mas Brian berjalan-jalan, mumpung di pekalongan anggap aja honeymoon. Kami sampai di musium batik, Mas brian takjub dengan koleksi batik di tempat ini, mulai dari batik yang tua sampai batik modern baik dari daerah pesisiran dan berbagai daerah lainnya.Di sana juga tak hanya tempat untuk memamerkan batik saja, tapi juga sebagai tempat pelatihan membatik. “Mas mau coba membatik?” tawarku."Nggak ah, mau lihat-lihat aja. Mau beli coupelan juga buat kita sama orang rumah,” ungkapnya.“Buat karyawan jadi?”“Jadi, tapi mau lihat motif saja dulu. Nanti kalo sudah oke di kondisikan sama ukuran baju mereka. Biar by phone saja ordernya,” kata Mas Brian menjelaskan.“Aku mau buat Murni, Coky dan Selina, ya?” “ Boleh, sekalian permintaan maaf aku sama Coky.”“Asik.”“Fit, kamu mau mengadakan resepsi pernikahan apa nggak?”“Nggak usah, Mas, pengajian aja di rumah, ngundang anak yatim ya Mas, biar berkah pernikahan kita,” ucapku disambut gembira Mas Brian.“Siap Nyonya B
Aku mematut diriku di depan cermin. Kulihat perut ini sudah membuncit, tubuh terlihat membesar, dan pipi juga terlihat chubby. Mas Brian memelukku dari belakang, hembusan napasnya sangat terasa dan membuat leherku menggeli. Mas Brian mencium leher jenjangku yang sekarang terlihat banyak lipatan lemak. “Tetap sexy kok Mom,” bisiknya halus.“Aku jelek, ya Dad?” tanyaku lagi.“Tetep cantik kok.”Berada dipelukannya setiap pagi membuat aku merasa penuh semangat melalui hari-hari kehamilanku. Mas Brian benar-benar menjaga dan membuat diri ini nyaman dengan perlakuan manisnya.“Hari ini jadwal control jam berapa Mom?” tanyanya lagi.“Jam 14.00 siang, Dad, jangan lupa ya.” Aku mengingatkan Mas Brian dengan jadwal kontrol bulananku.“Mom duluan aja, aku ada meeting dengan klien dulu, jadi Mommy ke dokternya duluan minta antar Mama atau Bulek ,ya,” ucap Mas Brian seraya menicum pipiku.Aku mengangguk setuju usulan Mas Brian. Masih dengan posisi memelukku, dia tak mau melepaskannya. Padahal s
“Tuh, kan Coky bilang mirip sama aku,” goda Coky pad Mas Brian.“Dih! Lihat tuh hidungnya mancung, jelas-jelas mirip Dadynya. Ngarang, lo, Ky.” Senggol Mas Brian.Mama, Papa, Bulek dan Selina hanya tertawa melihat kakak adik tak sekandung itu meributkan wajah anakku. Anakku terlihat menjiplak sekali Dadynya, curang banget sama sekali nggak ada miripnya sama aku.“Ayo kalian keluar, Fitri mau menyusui anaknya.” Mama terlihat mengusir Mas Brian dan Coky.“Coky aja yang keluar, aku, kan Dadynya,” tolak Mas Brian.“Sudah kalian jangan ribut.”Rasanya sempurna menjadi seorang Ibu, aku mulai memberikan asi kepada anak pertamaku. Mulut kecilnya mulai menghisap ASI. “Cucu Mama gantengnya, mau kamu kasih nama siapa?”“Terserah Mas Brian aja, Ma.” Aku sih terserah aja mau di kasih nama apa aja yang penting anakku jangan di kasiih nama aneh-aneh deh sama Dadynya. ***Perkembangan Abiyan Angkasa Pratama sangat baik, sampai saat ini usianya memasuki usia lima bulan. Dimana dia sangat gesit me
"Kamu yakin majikan kamu suka sama perempuan?" tanya Murni padaku. Aku berpikir sejenak, benar juga kata Murni. Semenjak bekerja di rumah mas Brian, aku sama sekali tidak pernah melihat dia bersama wanita. Wajah tampan, tapi tidak punya pacar itu mustahil. Kecuali kalau mas Brian ... ah, masa iya dia menyukai sesama jenis."Oi, Fit." Murni mengguncangkan tubuhku."Eh, apa Mur?""Itu kayanya mobil majikan kamu udah pulang."Aku melongok ke luar jendela rumah majikan Murni. Hah, iya, bener itu mas Brian sudah pulang. Tumben dia pulang cepat, biasanya sore atau malam. Aku bergegas pamit, lalu mempercepat langkah untuk cepat sampai di rumah mas Brian.Napas ini masih tersengal-sengal saat memasuki halaman besar rumah majikanku. Astaga, pasti dia mengomel lagi seperti kemarin sore. "Mas," ujarku."Dari mana kamu?" tanyanya sambil melempar jas dan dasinya padaku."Rumah Murni, Mas." Aku menjawab sekenanya karena sibuk mengambil jas dan dasi yang dia lempar tadi.Sejujurnya suka kesel deng
"Fitriiii!" Mas Brian berteriak lantang, kemudian mengusap wajahnya yang tersembur air olehku."Maaf, maaf Mas. Aku nggak sengaja. Khilaf Mas." Aku memberikan tisu dan membantu mengusapnya. Namun, dia menepis tanganku."Jorok!" Mas Brian marah, dia mengembuskan napas kasar. Duh, kesalahan fatal ini, tapi bukan tidak salah kalau merespon seperti itu. Ini murni ketidaksengajaan saat mendengar dia menjadikan aku calonnya."Aku nggak sengaja, Mas. Kaget waktu dengar Mas bilang calonnya Mas itu aku," jawab ku. "Calon pacar Mas?" tanyaku lagi memastikan."Nggak usah kepedean. Itu bukan berarti aku suka sama kamu. Hanya saja, aku mau kamu pura-pura jadi calonnya aku. Supaya aku nggak dijodohin." Mas Brian menatap kembali ke arahku."Pura-pura gitu?" tanyaku lagi. "Cuma pura-pura nih?" Yah, cuma pura-pura, kenapa nggak beneran suka sama aku. Udah seneng aja duluan. Taunya cuma ngajakin pura-pura. Tapi nggak apa-apa kali, pucuk di cinta ulam pun tiba. Kali aja dia bisa naksir beneran sama a
Mas Brian mengajak aku pulang setelah dari taman. Di halaman rumah terlihat mobil ibu dan bapak mas Brian.Keduanya datang secara tiba-tiba. Aku menghampiri dan mencium punggung tangan mereka. Sudah terbiasa saat mereka datang, pelan-pelan belajar menjadi menantu yang baik. Aroma parfum Ibu Arumi sangat harum. Calon Ibu mertuaku terlihat masih cantik di usia yang terbilang tidak muda lagi. Pantas saja Bapak semakin mencintai sang istri. Mas Brian duduk bersama kedua orang tuanya. duduk di ruang tamu. Hari ini mereka tiba-tiba saja datang, kulihat Mas Brian terlihat santai dengan wejangan dari Ibunya. Sesekali dia melirik ke arah aku berdiri. "Papa mau mengenalkan kamu sama anak temen Papa." "Aku sudah punya calon sendiri," ucapnya tegas. Aku mendengar saat aku menyajikan minuman. "Apa benar, yang kamu bilang?" tanya Bapak Mas Brian. "Jangan bercanda kamu. Umur kamu sudah kepala tiga, Mama nggak mau kamu jadi perjaka tua." Aku terkekeh mendengar Ibu Arum bicara. Bukan takut lagi
"Fitri khilaf, Bu."Hanya itu yang bisa aku katakan. Sejujurnya sangat malu mengucapkannya. Kulirik Mas Brian yang tenang di sana. Semua gara-gara ulah dia kenapa harus aku yang ikutan malu dengan apa yang dilakukannya.Aku tidak percaya kalau akan mengalami nasib ini. Seperti pembantu tidak tahu diri, hamil dengan majikan sendiri. Bagaimana kata orang, harga diri ini di pertaruhkan.Ini di luar kesepakatan. Kenapa Mas Brian bilang aku sedang hamil? Dasar, mau untung sendiri tanpa memikirkan aku."Pak, cepat nikahkan mereka. Sebelum perut fitri besar. Haduh, lega, sih, lega. Tahu kalau Brian masih suka perempuan, tapi nggak gini juga," keluh Mama Mas Brian.Nikah secepatnya? Astaga, kenapa jadi nikah beneran, karena hamil pula. Jadi, terkesan aku wanita tidak baik. Aku kembali menoleh ke atas si sumber masalah. Lagi-lagi pria itu seperti tak merasa bersalah.Mas Brian harus tanggung jawab semuanya. Enak saja dia lepas dari perjodohan dan aku terbelenggu pernikahan dengannya. "Besok j