Dalam sekejap, pipi Anatasya memerah. Ia terlalu malu untuk menatap Ainsley.“Kalau begitu, izinkan aku meminta maaf dengan tulus pada Istriku. Aku pasti membuatmu takut saat itu, bukan? Aku benar-benar salah.”Anatasya menggigit bibir dan berkata pelan, “Tidak… tidak perlu minta maaf. Itu bukan salahmu.”“Tidak, itu kesalahan suamimu. Aku tidak berhasil membuatmu jatuh cinta padaku untuk kedua kalinya. Itu kesalahanku, dan aku akan terus memperbaikinya.”Pipi Anatasya makin panas mendengarnya. Ia menunduk sedalam mungkin, nyaris menyembunyikan wajahnya.Segera ia mengulurkan tangan, menutup mulut Ainsley dengan panik. “Sudah, jangan bicara lagi!”Ainsley justru menarik tangannya perlahan, lalu mengecup pipi merahnya dengan lembut. Sudut bibirnya terangkat senang.“Tenang saja, istriku. Serahkan semuanya padaku. Aku akan bertanggung jawab untuk menyembuhkan trauma psikologismu di masa depan.”Anatasya mendadak ingin menghilang dari dunia. Rasanya dia tidak ingin bertemu siapa pun.Ia
Ainsley menatap Anatasya lekat-lekat, ekspresinya sulit ditebak—entah sedang marah atau senang. “Ada yang ingin kamu katakan padaku?”Anatasya menggenggam cangkir susu dengan gugup, lalu menyesapnya cepat-cepat. “Bukankah Keitlyn sudah memberitahumu semua yang perlu kamu ketahui?”“Tidak.” Suara Ainsley terdengar tenang, nyaris tanpa emosi, tapi justru karena itulah terdengar dalam dan tulus. “Aku ingin mendengarnya darimu langsung. Aku tak ingin mengenalmu dari cerita orang lain.”Dia menatap Anatasya dengan lembut. “Kalau kamu yang mengatakannya, aku akan percaya. Tapi kalau kanu belum siap, aku akan menunggu. Sampai kamu benar-benar percaya padaku sepenuhnya.”Jantung Anatasya bergetar. Jemarinya mencengkeram cangkir susu begitu erat hingga nyaris retak.Beberapa detik kemudian, sebuah pikiran muncul di benaknya. Ia meletakkan cangkirnya dan menatap Ainsley dengan sungguh-sungguh. “Kudengar kamu tidak suka orang lain menyentuh barang-barangmu. Apakah itu benar?”“Ya,” jawab Ainsley
"Ahh!"Jenderal menggigitnya dengan keras, lalu mengeram dan menggigit lagi."Ahh!"Berulang kali."Jangan bergerak. Kalau kau bergerak, Jenderal akan menggigit tulangmu sampai remuk."Suara tenang seseorang menggema dari arah pintu.Dia adalah Kai, pria berwajah tampan dengan rambut dicat kuning menyala. Ia berjalan santai, memegang cerutu di antara jari-jarinya yang pucat. Dengan tenang, ia mengendus cerutu itu seolah tengah menikmati aroma hidangan mewah.Dengan satu klik, lampu ruangan menyala terang.Tanpa banyak bicara, Kai mematikan tiga kamera pengintai di sudut ruangan. Ia mencabut memori dari masing-masing kamera, memasukkannya ke dalam sakunya, lalu menatap Keitlyn yang tengah menangis tersedu-sedu di sudut ruangan. Senyum tipis terukir di wajahnya."Ah, gadis kecil yang malang... Kamu menangis sangat menyedihkan. Kakak akan memanggil polisi untukmu," ucapnya lembut.Keitlyn menggigil ketakutan, memeluk selimut erat-erat untuk menutupi tubuhnya. Meski gemetar, dia sempat me
"Itu aku." Anatasya menatap tajam wanita di hadapannya yang membalas dengan tatapan sinis. Perasaan jijik langsung merayap di dadanya.Dengan kasar, wanita itu melemparkan kunci mobil berlogo BMW ke atas meja, disusul tas LV-nya yang jatuh dengan bunyi Buk. Ia lalu duduk dengan angkuh di hadapan Anatasya, menyilangkan kaki dan memandangnya penuh kesombongan."Aku memang tidak secantik kamu secara alami," ucapnya dengan nada mengejek. "Tapi aku punya aura manis, seperti wanita idaman pria."Ia melirik segelas limun di meja dengan ekspresi jijik, lalu mengangkat tangannya, memamerkan kuku barunya. "Bagus tidak? Baru dipasang. Aku perlu semprotin pelembap dulu."Sambil berbicara, ia mengeluarkan botol kecil dari tas dan mulai menyemprotkan cairan ke kukunya.Ck-ck-ck.Beberapa suara desisan terdengar, lalu aroma tajam memenuhi udara, menusuk hidung Anatasya. Ia refleks menahan napas. Alisnya mengernyit, bingung sekaligus waspada terhadap kelakuan aneh wanita itu."Permisi, Anda ke sini u
Anatasya tenggelam dalam pikirannya sepanjang perjalanan.'Seharusnya aku tidak takut. Bukan aku yang bersalah.'Ia harus cukup berani menghadapi ketakutannya sendiri. Terlebih lagi, kini ia memiliki Ainsley sebagai pendukung kuat di sisinya.Begitu memikirkan Ainsley, bibir anatad6 terangkat membentuk senyuman tipis.Setibanya di lokasi kompetisi, ia melangkah ke ruang ujian dengan mantap.-----Dua jam kemudian, Ainsley tiba di hotel tempat Anatasya menginap. Ia langsung menuju meja resepsionis sambil membawa kartu identitas dan surat nikah.“Saya suami dari Anatasya. Ini identitas saya. Istri saya pergi terburu-buru pagi ini dan membawa dokumen penting saya. Tolong berikan saya kartu duplikat kamar, saya harus masuk sekarang.”Resepsionis memeriksa dokumen dengan hati-hati, lalu menjawab sopan, “Maaf, Tuan, kami tetap perlu menghubungi istri Anda terlebih dahulu.”“Dia sedang mengikuti ujian dan ponselnya tidak bisa dihubungi.”Resepsionis tampak ragu. Namun tiba-tiba, seorang pria
Ainsley dan Bima refleks terkejut.Anatasya tampak linglung, seolah tidak mendengar ucapan mereka sebelumnya. Ia memaksakan senyum, menyapa seadanya, lalu berjalan menuju meja makan.Melihat kondisi Anatasya, Ainsley mengernyit dan segera mendorong kursi rodanya untuk membantunya menyiapkan sarapan.Namun saat sikunya menyentuh tubuh Anatasya secara tidak sengaja, Anatasya tersentak hebat. Ia spontan menjauh, tubuhnya gemetar.Kening Ainsley mengernyit lebih dalam."Maaf... aku tidak tahu kamu ada di belakangku," ujar Anatasya cepat-cepat, menyadari reaksinya berlebihan.Setelah itu, ia menunduk dan mulai makan sarapan dalam diam.Malam tadi, ia bermimpi buruk tentang kejadian setahun silam—dan dampaknya masih terasa. Kepalanya pusing, perutnya mual.Ainsley menatapnya cemas, lalu bertanya pelan, "Apa kamu mau aku panggilkan dokter?""Tidak perlu. Aku sudah kenyang. Aku harus pergi bekerja." Anatasya buru-buru berdiri, meraih tas, dan meninggalkan apartemen dengan tergesa-gesa.Begitu