Share

3

Ini hari pertama Clara magang. Matahari sudah menyembul menampakkan wujudnya sejak beberapa jam yang lalu. Tapi ada sedikit keraguan di hati Clara antara harus mendatangi agensi model itu atau batal saja. Jika ditanya apa alasannya meragu maka Clara akan menjawab tidak tahu. Perasaan itu muncul secara tiba-tiba.

“Datang, tidak, datang, tidak, datang ….” Clara mendesah dengan wajah bingungnya. Disesapnya lagi kopi panasnya. Rasa pahitnya mendominasi. “Ayolah, Cla. Stop menjadi pengecut. Ini hanya magang dan semua akan baik-baik saja.”

Clara tandaskan kopinya. Meletakkan gelasnya asal dan menyambar tasnya. Clara bersiap untuk hari ini.

“Toh orang-orang di sana tidak ada yang mengenalinya.”

Clara meyakinkan dirinya sendiri. Hidup sendiri bukan sebuah pilihan yang mudah. Di dunia ini siapa yang mau menjadi yatim piatu atau tidak pernah melihat bagaimana rupa kedua orang tuanya. Untuk itu Clara tetap menjalani kehidupannya sesulit apa pun itu.

Karena keraguan masih menggelayuti, kedua kaki Clara melangkah dengan berat. Dalam hatinya terus meyakinkan jika pilihannya adalah yang terbaik. Sambil menunggu bus yang akan membawanya menuju tempat tujuan, Clara putar lagu kesukaannya. Berharap dengan ini Clara bisa sedikit terhibur.

***

Riuh, sesak. Itu kesan pertama yang Clara lemparkan melihat bagaimana bisingnya studio yang berukuran luas tapi terasa sesak. Clara tiba di kantor agensi tepat waktu. Dan pemandangan pertama yang Clara dapati adalah sebuah tubuh dengan pakaian kurang bahan.

Model-model berpakaian minim memadati setiap sudut membuat deru napasnya memburu. Dadanya naik turun tak beraturan begitu semerbak parfum menyengat menyentuh hidungnya. Clara ingin muntah saat itu juga. Namun otaknya mengirim sinyal untuk berpikir waras; akan sangat kacau jika hal itu terjadi.

Ujung tenggorokannya menahan umpatan serapah untuk agensi tempatnya magang. Perusahaan kondang seperti ini, menangani model-model profesional, mencetak pakaian ternama dan bekerja sama dengan majalah dunia pesohor Amerika pelit untuk sebuah ruang tunggu. Setidaknya beri tempat di beberapa sudut agar orang baru seperti dirinya bisa menempelkan bokong di saat menunggu. Bukan di ijinkan berdiri bak prajurit menunggu atasannya.

“Oh, memangnya aku siapa?”

Begitu batin suci Clara menggaung. Demi Neptunus, Clara ingin segera menerjang kerumunan yang layak disebut pasar.

"Kau akan terbiasa dengan ini. Dua atau tiga hari ke depan semuanya akan membaik." Suara selembut beludru, mata abu-abu yang cerah, bibir tebal dilapisi lipstik nude membuat Clara tersenyum. Mau tak mau senyum yang wanita itu luruskan tersalur begitu saja pada dirinya. Seperti aliran positif pada listrik, wanita itu terlihat anggun dan kalem.

Hal yang sangat jarang Clara lakukan selain menjadi diam dan bisu adalah tersenyum.

"Bos akan datang sebentar lagi. Ya, dia sedikit—kamu harus menyiapkan telinga untuk mendengar kata kasarnya." Nasehatnya.

Clara bergumam terima kasih dan menenggak soda kalengnya. Merasa senang untuk sebuah kesan perkenalan yang bersahabat.

"Ladies, tak seharusnya aku—Ya Tuhan kenapa dia cantik sekali. Dan Allinson, kamu begitu jahat tak membawanya padaku."

Wanita bernama Allinson itu memutar matanya. "Aku tak suka menonton drama, Chaz. Berhentilah!" hardiknya keras. Mata abu-abunya menyipit tajam. "Dan Clara, jangan tersinggung, tapi jangan dengarkan dia. Dia pria sinting di sini."

"Oh sialan. Aku merasa tersinggung sekarang."

Clara kembali tersenyum—tipis meski wajah datarnya kentara terlihat. Clara tidak tahu caranya berekspresi.

***

William membidik satu per satu pose model dengan satu jepretan. Sesekali memastikan jika hasil bidikannya yang tersambung ke komputer di sebelahnya juga memuaskan dan siap cetak.

Untuk hal sepele seperti ini, tak seharusnya William turun tangan dan menanganinya sendiri. Perusahaannya memiliki hampir sepuluh fotografer handal yang di pekerjakannya tapi entah mengapa hobi sepele ini membuat William ketagihan.

Bukan karena memandangi tubuh-tubuh molek dalam balutan dress minim atau apa pun. Tapi rasa frustrasi yang tiba-tiba menyerangnya mengharuskan ia mempunyai pengalihan. Dan inilah akhirnya, berdiri tegak di ruang serba putih dengan model di depannya. Berpose sesuai arahan Chaz dan Ryan lalu sesekali mendengar gerutuan keduanya.

Sejenak William menarik napas. Menghirup udara dalam-dalam seolah-olah pasokan udara di paru-parunya menipis.

Meski sorot matanya yang tajam tak teralih untuk memilih hasil jepretan yang sesuai tapi ekor matanya tak sedikit pun berhenti untuk melirik ke sudut ruangan di mana wanita yang menjadi asisten barunya berada.

Di liriknya terus, aktivitas wanita itu juga tak berganti—sejak awal William memasuki ruangan ini. Beberapa pasang mata terlihat sungkan tiap kali William memasuki ruangan namun wanita itu berbeda. Dia terkesan acuh dan fokus pada pekerjaannya yang di arahkan Allinson.

Dan di menit ini pun sama.

Wanita itu hanya berdiri, memegang alas papan cokelat dengan lembaran kertas di atasnya, pulpen di jarinya dan tanda pengenal yang menggantung di lehernya: Clara Palmer.

"Oh, Sayang apa itu terlihat bagus? Apa itu layak untuk kamu muat di majalah barumu. Lihatlah, sepatu ini menyiksaku hingga hasil jepretan kakiku seperti membengkak."

William mendengkus. Wanita sialan ini terus saja menempelinya.

"Tidak biasanya Allinson memberiku sepatu seperti ini. Aku tahu ini memang terlihat cocok dengan gaun yang aku kenakan. Tapi bocah tengik itu terus saja memaksaku walaupun aku menolaknya."

Gerutuan itu menghentikan jari-jari William yang sedang menggeser cursor. Melihat sekali lagi wanita bernama Clara itu dan memandang wanita di sampingnya.

"Siapa yang kamu maksud bocah tengik?" tanyanya.

Di sadari atau tidak, nada suaranya naik satu oktaf membuat orang-orang menghentikan aktivitasnya dan melihat adegan kalau-kalau bos mereka akan mengamuk.

"Mahasiswa magang itu. Siapa namanya?" Wanita itu bertanya tanpa berniat menjawab pertanyaan William. Tanpa beban, tanpa menggunakan otaknya atau memasang alarm.

William meradang. Itu terlihat dari rahangnya yang mengetat dan raut wajahnya memanas lantaran api menjalari seluruh sisinya. Wanita di sampingnya belum menyadarinya. Bibirnya cemberut seakan-akan apa yang disampaikannya hal biasa.

"Dia asisten baruku dan apa yang dia lakukan sesuai perintah Allinson. Tugasmu hanya menuruti apa yang sudah mereka siapkan. Kecuali, jika kamu ingin angkat kaki dari agensiku."

Demi Dewa manapun, Ryan ingin pingsan saat ini juga. Bos sialannya kembali berucap hal itu yang artinya pekerjaan baru untuknya menyeleksi.

Sedangkan Clara yang menyadari keributan tak jauh dari dirinya hanya bisa menyaksikan tanpa berniat bertanya. Allinson masih menjelaskan pekerjaan apa saja yang akan dirinya tangani dan Clara sudah mendesah panjang agar paru-parunya menghirup udara di tempat yang sesak ini.

“William memang memiliki Riwayat tempramen yang tinggi tapi dia baik. Kamu akan mendapat banyak pengalaman darinya. Jadi aku harap kamu bisa bersabar saat berada di dekatnya. Dia tidak kelihatan seperti aslinya."

Clara tahu, Allinson sedang mencoba merayunya. Meski tanpa membeberkan kebenarannya pun Clara akan tetap menjalani ini. Karena ini pilihannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status