"Nasib anak bungsu: dianggap masih kecil dan dipanggil Adek meskipun sudah kepala tiga." —Binar, berdasarkan pengalaman pribadi.
"Kita sama-sama tahu lah, ya, kalau kamu orang paling enggak waras di antara kita bertiga, tapi aku enggak pernah tahu kalau kamu bisa segila ini," ujar Raka menggeleng-geleng kepala, membuka pembicaraan.
Selepas acara perjodohan yang tidak berjalan sesuai rencana—setidaknya, bagi orang tua Banyu dan Binar—Raka, Nila, Binar, dan, tentu saja, Aksa, memutuskan langsung cabut ke rumah kontrakan Binar, tempat yang jaraknya cukup dekat dari rumah orang tua Binar.
"Ya, mau bagaimana lagi?" balas Binar seraya mengedikkan bahu.
"Ha ha ha, Binar emang the best! Keren banget kamu, Nar, aku sudah menyangka pasti bakal ada sesuatu di luar dugaan," timpal Nila sambil mengacungkan jempol ke arah Binar, memamerkan gigi putihnya. Lalu ia melanjutkan, "Eh, aku sudah pernah bilang belum, ya? Temenan sama kamu itu enggak pernah ngebosenin, deh, asli!"
Raka mengerutkan alis dan menatap istrinya dengan tatapan aneh.
"Heh, kalau ngomong jangan ngasal," balasnya sambil menjitak kening Nila pelan.
"Tapi benar, kok, beb! Temenan sama Binar emang enggak pernah ngebosenin, selalu ada kejutannya!" jawab Nila cengengesan.
Iya, sih. Tapi, kan, enggak sampai menimbulkan perselisihan antar keluarga juga. Raka tiba-tiba jadi tersadar kalau ia adalah orang paling normal di antara mereka bertiga.
Raka jadi heran sendiri, kok bisa-bisanya ia bersahabat dengan dua perempuan—bahkan sampai menikahi salah satunya—yang meskipun ia akui memang sangat cantik, tapi terkadang cara kerja otak mereka tidak seperti manusia yang sewajarnya.
Benar, ya, apa kata orang: Tuhan memang Maha Adil.
"Makasih, La! Keren, kan, aku?" kata Binar membanggakan diri.
"Oke, lalu abis ini bagaimana? Kamu bakal baik-baik saja, kan, sama Ibu kamu?" tanya Raka, menggiring pembicaraan ke jalan yang benar.
"Entahlah, aku juga masih ragu," jawab Binar, lalu ia terlihat berpikir sebelum bertanya, "Rak, kamu ada nomor Mas Banyu? Boleh minta?"
"Kenapa perasaanku menjadi enggak enak, ya? Tunggu, kamu mau ngapain Mas Banyu?" tanya Raka curiga.
"Cie, giliran udah bubar aja baru penasaran," goda Nila.
Emang, ya, Nila ini hobi banget menggoda orang. Ya, meskipun Binar akui Nila ini 'support system' paling baik bahkan untuk wacana-wacana gila sekalipun.
"Ada enggak, Rak? Bagi, dong," pinta Binar, mengabaikan pertanyaan Raka.
Raka meraih ponselnya dan menekan nama 'Mas Banyu' di kontaknya, lalu mengirimkan nomornya ke Binar melalui aplikasi pesan daring."Mau buat apa, sih?"
"Ada, deh," jawab Binar penuh rahasia. "Oh iya, Mas Banyu orangnya kayak gimana, ya?"
"Kamu udah lihat sendiri, kan? Mas Banyu orangnya ganteng banget!" kata Nila santai seakan-akan di sebelahnya tidak ada suaminya. "Makanya aku sempat heran, kok, kamu bisa-bisanya menolak seorang Mas Banyu yang serupawan itu?"
"Oh, gitu, ya?" sindir Raka.
Ya, tidak hanya menimbulkan perpecahan antar dua keluarga yang memiliki hubungan baik, kini Binar sebentar lagi berpotensi menjadi penyebab perpecahan rumah tangga sahabatnya sendiri. Bagus, dua 'strike' dalam sehari. Rekor baru untuk Binar, prestasi yang patut ia banggakan.
Tetapi, setidaknya, perpecahan yang satu ini tidak seserius yang ia alami beberapa jam yang lalu.
"Tenang, kamu tetap pria paling ganteng di hati aku, kok, beb," ujar Nila menenangkan Raka, yang hanya disambut Raka dengan memutar bola matanya. "Tapi kamu mengerti maksud aku, kan, Nar? Raka sama Mas Banyu itu istilahnya 'spitting image' dari Bunda dan Ayah. Dua-duanya ganteng banget, tapi dengan versi yang berbeda," lanjutnya.
Perkataan Nila memang ada benarnya, sih. Kalau diperhatikan, orang yang melihat Raka pasti akan bilang kalau ia adalah Tante Ratih versi cowok, ia mendapatkan ketampanan dengan pesona yang lembut dan ramah. Sedangkan Mas Banyu sudah seperti salinan Om Danu versi muda, tidak hanya sekadar tampan, namun juga memiliki pembawaan karismatik dan berwibawa.
Lah, kenapa jadi membahas tampang kakak beradik satu ini. Niat arah pertanyaan Binar, kan, bukan ke sini.
"Maksud dari ganteng versi berbeda itu apa, ya?" tanya Raka, dalam ucapannya tersirat bahwa ia tak begitu suka dibanding-bandingkan, apalagi dengan kakaknya sendiri.
"Hey, tolong ini pasutri jangan cemburu-cemburuan di properti pribadi milik orang lain, ya. Maaf, hanya sekadar mengingatkan," ujar Binar sembari menelungkupkan kedua tangan seperti sedang memberi salam, "Maksud pertanyaanku tadi, bukan tampangnya kayak gimana, tapi kepribadiannya itu, loh, seperti apa?"
"Oalah, kepribadian, toh. Hm ... normal-normal aja, sih. Tidak ada yang mencurigakan. Lumayan baik juga," jawab Nila mengingat-ingat.
"Lalu, ada lagi?"
"Enggak ada yang istimewa, sih, Nar."
"Selain itu?"
"Membosankan. Enggak begitu suka basa-basi. Lebih banyak diamnya daripada ngomongnya," tambah Raka. Ini kenapa Raka malah seperti sedang 'roasting' kakaknya sendiri?
"Oh, aku ingat! Gila kerja!" seru Nila yang dijawab dengan senyuman misterius di bibir Binar.
"Bagus, deh, kalau begitu," ujar Binar lebih kepada diri sendiri.
"Nar, serius, deh, kamu mau ngapain?" tanya Raka, perasaan curiga semakin mengganjal di benaknya.
"Enggak, kok, enggak ngapa-ngapain. Santai aja, kali, Rak."
***
Sepulangnya Raka, Nila, dan Aksa, Binar kembali disibukkan dengan cucian piring yang menumpuk dan pekerjaan rumah lainnya.
Sebelum melanjutkan pekerjaan menulisnya, ia tiba-tiba saja teringat untuk menghubungi seseorang. Baru saja Binar membuka aplikasi pesan daring, matanya sudah terpaku pada notifikasi dari sebuah grup bertuliskan 'B2JB Group'.
Itu merupakan grup khusus dengan singkatan nama empat bersaudara—Kak Bagas, Kak Janu, Kak Jakti, dan Binar—tanpa Ibu dan Bapak.
Sebelumnya grup tersebut hanya berfungsi sebagai obrolan seputar perencanaan kejutan ulang tahun Ibu dan Bapak dan ulang tahun pernikahan orang tuanya. Namun semakin ke sini fungsinya semakin meluas sebagai tempat obrolan isu terkini anti hoax, gosip, dan, tentu saja obrolan yang menurut mereka tidak perlu diketahui Ibu dan Bapak.
Bukannya mereka tidak akrab dengan Bapak dan Ibu, mereka semua sangat dekat satu sama lain. Namun, menurut mereka ada beberapa perkara yang hanya perlu didiskusikan di antara empat bersaudara ini.
Contohnya, kejadian pagi tadi.
Kak Janu: Dek, maaf, ya. Kakak enggak tahu kalau ternyata tadi itu kamu mau dijodohkan.
Kak Bagas: Maaf, ya, Dek. Kakak kira juga tadi pagi hanya kumpul keluarga biasa, Kakak enggak tahu kalau kejadiannya bakal kayak gini.
Kak Jakti: Yang sabar, ya, Dek. Ibu sama Bapak emang kadang suka ngide yang aneh-aneh. Kakak juga hampir kena, untung enggak jadi.
Kak Bagas: Mau Kakak yang ngomong sama Bapak Ibu? Tadi Kakak mau ngomong, tapi suasananya lagi enggak enak.
Kak Janu: Iya, coba Kak Bagas yang bujuk Ibu sama Bapak, mungkin bakal ngaruh kalau Kak Bagas yang ngomong.
Kak Bagas: Nanti, deh, ya. Tapi yang pasti Adek jangan merasa sendirian, ya. Kakak akan selalu dukung Adek, kok.
Kak Janu: Kak Janu juga.
Kak Jakti: Kok, anaknya malah enggak bales-bales, ya? Kamu enggak lagi nangis, kan, Dek?
Kak Bagas: Dek, enggak papa?
Kak Janu: Dek?
Kak Jakti: Dek?
Kak Jakti: Masih hidup?
Tanpa terasa air mata menetes melewati sudut bibir Binar yang tengah tersenyum. Memang di saat-saat seperti ini, abang-abangnya yang terbaik.
Binar semakin bersyukur memiliki abang-abang yang sangat dekat dan penuh perhatian, meskipun terkadang over-protektif-nya agak sedikit mengganggu, tapi Binar mengerti.
Binar: Huaaa makasih banyak Kak B2J yang ganteng-ganteng dan baik hati!! Tenang, Ayu masih hidup, kok! Ayu baik-baik aja. Ini Ayu baru balas karena barusan abis menjamu Raka dan Nila, hihi.
Kak Jakti: Wah, pasti makanannya enak, tuh! Nitip ayam rica-rica, dong, minggu depan!
Binar: @Kak Jakti Siiiip. Boleh, dong!
Kak Bagas: Dek, kamu beneran enggak papa, kan? Mau Kak Bagas yang ngomong sama Bapak Ibu?
Binar: @Kak Bagas Enggak usah, Kak. Santai, nanti Ayu aja yang ngomong sendiri. Hehe, makasih, Kak
Kak Bagas: Bagus, deh, kalau gitu. Kakak juga mau, dong, ayam rica-rica!
Kak Janu: Kalau ada apa-apa bilang, ya, Dek. Jangan dipendam sendiri. Kakak juga mau, ya, ayam rica-ricanya!
Binar: @Kak Bagas @Kak Janu Siappp! Gerak!
Ah, Binar jadi teringat tujuannya membuka aplikasi pesan daring. Ia mengetik nama kontak 'Mas Banyu' yang siang tadi dikirim oleh Raka, kemudian mengetik isinya.
Binar: Hai, ini Mas Banyu? Sebelumnya, aku dapat kontak Mas dari Raka, enggak papa, kan? Aku mau langsung aja, ya, Mas. Minggu depan kita bisa ketemu? Oh, iya, ini Binar.
"Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, ide gila dibalas ide gila." —Petuah yang sudah dimodifikasi oleh Binar sendiri. Banyu baru saja sampai apartemennya setelah mengantar Ayah dan Bunda pulang ke rumah dan menghabiskan waktunya di sana—atau lebih tepatnya dihabiskan dengan mendengarkan nasihat-nasihat yang bersangkutan dengan yang baru saja Banyu sampaikan ketika acara perjodohan. Meskipun ia sudah sering mendengar nasihat untuk-segera-menikah dari bertahun-tahun yang lalu, tidak serta-merta membuat Banyu nyaman dengan nasihat tersebut. Rasanya terlalu ... mengatur. Tetapi Banyu tidak ingin memikirkan itu, dipikirkan juga percuma, pada akhirnya ia tidak bisa mengontrol pikiran orang-orang terhadapnya. Setelah membersihkan diri, ia pergi ke ruang kerjanya untuk mengecek bahan meeting yang akan ia sampaikan esok hari. Sembari menunggu komputernya menyala, ia mengecek ponsel kalau-kalau ada e-mail penting yang masuk. Ket
"Dikira hati itu mesin, bisa dinyalakan dan dimatikan sesuka hati?" —Nasihat salah satu sahabat. "Kalau dipikir-pikir, menarik, sih" jawab Banyu setelah merenung cukup lama, "Kalau dicoba enggak ada salahnya, win-win solution juga." Eh? Binar sudah biasa disebut gila oleh sahabatnya sendiri, bahkan ia mengakui bahwa jangan-jangan ia memang gila? Karena kalau ia menyampaikan ini ke kedua sahabatnya, pasti mereka akan terperangah setengah mati. Tapi, kok, pria di depannya langsung setuju-setuju saja? Padahal Binar sudah memikirkan berbagai kalimat untuk meyakinkan Mas Banyu agar ia setuju. Ternyata semudah itu, ya? Apa karena—dengar-dengar dari Ibu—Mas Banyu bekerja di perusahaan start-up sehingga ia biasa dituntut untuk punya ide di luar kepala? Apa menurut Mas Banyu, ide Binar ini adalah sesuatu yang biasa-biasa saja? "Oh, iya, okay," Binar tidak tahu harus jawab apa, ini tidak seperti yang ia ekspektasikan sebelumnya.
"Selamat hari jomblo sedunia!" —Jatuh pada 11 November. Asli, beneran ada. Kalau Mas sendiri, Mas Banyu bisa janji untuk enggak akan suka sama aku? Banyu mengulang pertanyaan Binar dalam kepalanya berkali-kali. Apa Binar mengerti apa yang dikatakannya barusan? Banyu ragu Binar mengerti. Apa ia tidak tahu bahwa perasaan itu tidak bisa sepenuhnya berada di bawah kontrol diri sendiri? Apa Binar tidak mengerti bahwa selalu ada probabilitas untuk segala sesuatu, sekecil apa pun itu? "Hm ... kalau untuk itu, kamu urus perasaan kamu sendiri saja, biar saya yang urus perasaan saya sendiri," jawab Banyu, sedikit dingin. Dahi Binar berkerut. Jadi, ini maksudnya bisa atau enggak? Ini, kan, pertanyaan yang butuh jawaban pasti, bukan jawaban yang abu-abu seperti ini. "Maksudnya gimana, ya?" "Ya, kayak tadi. Kita urus perasaan masing-masing saja," jawab Banyu masih tidak benar-benar menjawab. Binar mengh
"Punya pacar sama jomblo itu beda tipis. Punya pacar itu taken, kalau jomblo itu taken-an batin." —Netizen yang budiman. "Ngomong-ngomong, makasih, ya, karena udah mau jauh-jauh ke sini untuk mengabarkan ini ke aku," kata Binar, kini bibirnya tak bisa berhenti mengulum senyum setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dan detil dari Angga. Sampai-sampai Binar tak menyadari ia telah menghabiskan dua potong kue yang ia pesan. "Iya, santai," jawab Angga, dirinya mengambil jeda sebelum melanjutkan, "Kamu habis ini mau ke mana, Nar?" Binar mengedikkan bahu, "Entahlah, kayaknya aku mau langsung pulang untuk merevisi tulisan." "Wow, rajin sekali," Angga menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Abis ini mau nonton, enggak?" Bagaimana Binar bisa bermalas-malasan kalau hampir setiap hari Angga mengingatkan Binar untuk menyelesaikan naskahnya?! Dibanding kata 'mengingatkan', sepertinya lebih pantas disebut sebagai 'mener
"Aturan nomor satu: orang tua selalu benar. Kalau suatu hari mereka salah, balik lagi ke aturan nomor satu." —Anak yang penuh kasih sayang pada orang tuanya. "Ibu maafin kamu. Tapi, bukan berarti Ibu dan Bapak setuju dengan yang kamu bilang Minggu lalu, ya," tambah Ibu. Oh. Ya, tentu saja. Binar sudah menduganya. Kenapa ia malah sempat-sempatnya berharap? Binar menghembuskan napas dan memutar bola matanya. "Iya, Bu. Bu ... Minggu depan aku bisa ketemu Bapak dan Ibu? Aku mau ngomong sesuatu ... dan ... enggak bisa aku omongin lewat telepon," tanya Binar. "Boleh, dong. Meskipun Ibu dan Bapak masih kesal, tapi kamu tetap anak Ibu dan Bapak, kok. Memangnya ingin membicarakan apa?" "Tentang kelanjutan perjodohan kemarin, Bu. Nanti lengkapnya biar aku jelasin Minggu depan." Binar bisa merasakan Ibu menghela napasnya dari balik telepon. "Iya, nanti Ibu bilang sama Bapak. Kamu kalau ke sini bilang, ya. Biar Ibu
"Awas, hati-hati sama hati orang, hati sendiri lebih lagi." —(Bukan) Pakar Cinta. Binar menaikkan alisnya, terkejut. Kenapa tiba-tiba Mas Banyu ikut ditanya? Binar mengalihkan pandangannya menuju Mas Banyu, lalu ia menangkap mata Mas Banyu yang sudah menatapnya lekat dari tadi. Binar mengedipkan matanya cepat, tiba-tiba merasa gugup karena dipandangi seperti itu. Banyu, yang tanpa sadar sudah memandangi wanita di depannya cukup lama dengan tatapan yang lebih terlihat seperti terpesona, tiba-tiba tersadar bahwa ia sedang ditanya oleh Bunda ketika mata Binar—dan juga mungkin mata seisi ruangan—mengarah padanya. Banyu mengaburkan pandangannya, menelan ludah, dan kembali fokus pada percakapan, "Hah? I–iya, Bun," jawab Banyu terbata-bata. "Ah, kamu ini. Melihat Binar begini saja sudah grogi. Gimana kalau kalian nanti malam pertama? Yang ada kejang-kejang kamu, Banyu," balas Bunda santai. Banyu membelalakkan mata, Binar
"Biasanya, jatuh dari mata, lalu turun ke hati. Dari yang sudah-sudah, sih, seperti itu. Nanti kamu juga begitu." —Teman sesama jomlo yang tiba-tiba jadi ahli percintaan. "I—iya, aku mau." Banyu hanya bisa bereaksi pada jawaban wanita di depannya dengan tersenyum kecil. Tersenyum? Kenapa Banyu sampai tersenyum? Astaga, setelah dipikir-pikir, sudah tidak terhitung berapa kali ia mencuri pandang ke arah Binar sambil kesengsem tidak jelas. Sial, kenapa dandanan Binar jadi terlihat sangat cantik hari ini? Tunggu, kenapa malah Binar yang disalahkan? Ia sadar keduanya hanya menikah kontrak demi menyenangkan hati kedua orang tuanya. Tetapi, kenapa ia bahkan tidak bisa menahan senyumnya setelah mendengar jawaban Binar? Banyu menelan ludahnya. Ia tidak yakin kegaduhan macam apa yang terjadi di hatinya saat ini. "Nah, begitu, dong! Akhirnya kamu menuruti apa kata Bunda untuk menikah. Bunda senang sekali mendengarnya
Harap bersabar. Ini ujian." —Frasa yang terkenal pada jamannya. "Maksud kamu bagaimana, Banyu?" geram Bunda. Lalu melanjutkan, "Jangan bilang, kamu menghamili Binar, ya? Karena itu tiba-tiba kalian ingin menikah?" Karena perkataan Bunda, sontak situasi menjadi lebih menegangkan. Banyu panik, Binar jauh lebih panik. Seketika, semua tatapan mata langsung menuju Banyu dan Binar secara bergantian. "Eh, enggak, Tan. Enggak mungkin Binar hamil sama Mas Banyu! Lagian, kapan juga ngelakuinnya?! Maksudnya ... jelas enggak, dong! Serius! Enggak seperti yang Tante pikirin," Binar gelagapan sembari mengibaskan tangannya cepat. Lalu ia langsung menatap Banyu tajam, "Mas Banyu, gimana, sih?" Kok, jadi Banyu yang disalahkan? Yang menuduh Binar hamil, kan, Bunda? Selain itu, yang mengusulkan untuk tidak adanya pesta pernikahan bukannya Binar sendiri? Banyu menarik napas dalam-dalam, ia sudah menduga orang tuanya akan menu