Langit Eldoria terlihat cerah dari balik jendela kaca besar kafe hotel. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Musik instrumental jazz mengalun pelan, menambah suasana santai sebelum hari sibuk dimulai. Daniel datang lebih dulu, duduk di dekat jendela, dengan kemeja putih rapi yang lengannya belum digulung seperti biasa. Ia sedang membaca beberapa catatan di tablet, namun pandangannya sesekali melirik ke arah pintu. Tak lama, Elena muncul—dengan blouse putih dan blazer tipis abu muda, rambutnya dikuncir setengah. Wajahnya masih segar walau sorot matanya sudah siap tempur. “Kamu bangun duluan?” tanya Elena, mengambil tempat duduk di seberang Daniel. “Jelas. Aku yang terakhir mandi semalam, jadi harus duluan bangun biar nggak rebutan,” sahut Daniel ringan. Elena menatapnya datar. “Aku nggak rebutan, kamu yang lama di kamar mandi.” Daniel terkekeh. “Aku meditasi sambil cuci muka.” Pelayan datang dan mereka memesan sarapan—croissant isi, omelet sayur, dan kopi hitam untuk Ele
Lampu-lampu gantung kristal menyala temaram, memantulkan kilau cahaya hangat ke meja-meja bundar dengan taplak putih. Musik lembut mengalun di latar belakang. Para investor duduk dengan elegan, sebagian besar mengenakan jas dan gaun malam formal. Elena tiba lebih dulu dengan mengenakan blazer biru navy dan rok pensil hitam yang mempertegas kesan profesional sekaligus anggun. Di belakangnya, Daniel melangkah sedikit pelan—dengan setelan rapi, namun rambut yang sedikit berantakan, seolah tadi sempat buru-buru. CEO mereka, Mr. Grant, menoleh dari kursinya saat melihat dua sosok itu datang. “Miss Santoso,” sapa sang CEO sambil bangkit dan menjabat tangan Elena. “Senang akhirnya kita bisa duduk bersama dengan para investor ini.” Namun, mata sang CEO mengarah ke samping, menatap Daniel dengan bingung. “And... Daniel, bukan?” ujarnya agak ragu. Daniel tersenyum dan mengangguk. “Betul, Pak.” Mr. Grant menoleh kembali ke Elena, ekspresi bertanya tak disembunyikan. “Oh,” Elena l
Elena meliriknya. “Kamu baik-baik aja?” Daniel tidak menjawab langsung. Begitu mereka sampai di ruang kerja Elena, barulah dia membuka suara sambil menjatuhkan dirinya ke sofa kecil. “Bandung, ya? Lumayan jauh.” “Bukan pertama kali aku ke luar kota,” jawab Elena santai. “Tapi sekarang kamu ke luar kota... sama CEO,” gumam Daniel pelan. Elena menatapnya curiga. “Kamu mulai lagi.” “Aku cuma bilang,” Daniel langsung duduk tegak. “Kamu tuh gampang masuk angin. Nggak bisa tidur kalau tempatnya dingin. Terus kalau makanannya beda dikit aja, kamu langsung sakit perut. Siapa yang bakal jaga kamu?” Elena menahan tawa. “Aku pergi rapat, bukan camping.” “Ya tetap aja. Kamu juga kan nggak terbiasa pakai heels lebih dari tiga jam. Nanti kamu ngeluh, terus siapa yang mijitin kaki kamu?” Elena mengangkat alis. “Kamu?” Daniel buru-buru berdiri. “Enggak! Maksudku, ya... ya bukan CEO kan.” Elena tertawa kecil. “Kamu cemburu?” “Siapa? Aku? Enggak.” Daniel melangkah ke meja kerjanya dengan w
Beberapa menit kemudian, suara pintu kamar mandi terbuka perlahan. Daniel muncul dengan rambut basah, memakai kaus longgar dan celana santai. Wajahnya terlihat jauh lebih tenang, meski tatapannya masih waspada saat melihat Elena duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.“Udah selesai, Pak Cemburuan?” goda Elena tanpa menoleh.Daniel berhenti di ambang pintu, memiringkan kepalanya dengan bingung. “Siapa yang cemburuan? Aku? Enggak ah, kamu halu.”Elena menoleh dengan senyum setengah mengejek. “Oh ya? Tapi kamu tadi nyindir-nyindir soal makan siangku sama CEO. Dan sekarang... kamu ngomel, terus kabur ke kamar mandi.”“Aku cuma... menyampaikan opini,” bela Daniel sambil menuju dapur untuk mengambil air minum. “Lagipula, aku juga tadi makan siang kok. Tempatnya... eh... ya, dekat-dekat situ juga.”“Dekat-dekat situ?” Elena menyipitkan mata, mencurigai.Daniel buru-buru meneguk air putihnya lalu menyeringai konyol. “Iya. Alam semesta memang lucu, ya. Seakan-akan aku... eh... diarahkan ke t
Restoran itu tak terlalu ramai, tapi cukup nyaman untuk sebuah makan siang santai. Interiornya minimalis, musik instrumental lembut mengisi ruangan, dan aroma grilled chicken bercampur aroma kopi yang khas menyambut setiap pengunjung.Elena duduk di meja dekat jendela, tepat menghadap jalan utama. CEO mereka, pria muda dengan penampilan rapi dan senyum yang hangat, sudah duduk lebih dulu sambil memainkan sendoknya pelan."Aku sempat lihat berita soal masalah visamu. Itu cukup... mengejutkan," ucap CEO itu sambil tersenyum kecil.Elena tertawa ringan, mengaduk minumannya sebelum menjawab, "Ah, itu hanya rumor yang melebar ke mana-mana. Banyak yang suka menarik kesimpulan sendiri tanpa tahu faktanya.""Begitu ya? Tapi kamu terlihat tenang menanggapinya. Aku salut," kata pria itu sambil mengambil air mineral di depannya.Di sudut ruangan, duduk seorang pria dengan hoodie gelap dan topi baseball—Daniel. Ia menyamar setengah hati, hanya duduk sendirian di meja pojok dengan menu tak tersent
Di sebuah ruang kerja sederhana namun tertata rapi, Adi duduk menyandar di kursinya. Lampu meja menyinari wajahnya yang tampak lelah—bukan karena pekerjaan, tapi karena beban yang tak kunjung reda. Di depannya, layar komputer menyala samar. Wallpaper-nya masih sama sejak beberapa tahun lalu: foto dirinya dan Elena saat kuliah. Waktu itu mereka duduk berdampingan di taman kampus. Elena mengenakan kemeja biru langit, rambutnya dikepang setengah, dan wajahnya cerah seperti mentari sore. Di sebelahnya, Adi tersenyum lebar. Tangan mereka saling menggenggam. Masa depan terasa begitu sederhana saat itu. Janji sudah diucap. Elena akan ke Molgrad untuk melanjutkan karier. Adi akan menyelesaikan program dokter spesialisnya. Setelah semua tuntas, mereka akan menikah. Begitu katanya—begitu harapannya. Namun kini, yang tertinggal hanya gambar diam di layar. Dan satu nama yang perlahan menjauh... Elena. Adi menunduk. Matanya terpejam sejenak. Saat membukanya kembali, ada sesuatu yang munc