Daniel masih diam. Tatapannya lurus ke depan, tepat ke arah jendela kamar yang tirainya masih terbuka sebagian.
“Aku nggak bisa menyetujuinya,” ucapnya pelan. Daniel berusaha menahan rasa kecewanya pada Elena yang tiba-tiba meminta pembatalan pernikahan. “Proyek ini milik untukmu. Bukannya bagus?” “Tetap saja, Elena. Kamu tahu kan seberapa antusiasnya keluargaku saat tahu kita akan menikah?” “Ya udah, bilang saja kalau pernikahannya ditunda. Gampang, kan?” Daniel mendengus kesal. Mulutnya nyaris bicara, tapi tertahan. Ia menatap Elena yang duduk di atas tempat tidur. “Kamu sendiri yang bikin rencana ini,” katanya dingin. Elena mengalihkan pandangannya ke samping. Ia tahu dirinya sedang egois, tapi saat ini, dia memang tak punya pilihan lain. “Aku tidur di luar. Kamu tidurlah. Besok kita harus ke taman kota buat lihat hasil kompetisi.” Daniel keluar kamar. Ekspresinya datar, sulit ditebak. Elena menatap punggung pria itu sampai menghilang di balik pintu. Ia sempat mendengar suara seseorang di luar kamar saat Daniel keluar Paginya, Elena sarapan bersama keluarga Daniel. Tapi beberapa pasang mata justru fokus pada wajahnya—terutama matanya yang sembab. “Kamu kenapa, Elena?” tanya Nenek Rose, menyentuh lembut sudut matanya yang bengkak. Tatapan nenek lalu beralih ke Daniel yang tampak santai menikmati sarapan. “Kalian habis bertengkar, ya?” Daniel hanya mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Semalaman aku tidur di luar.” Elena buru-buru menyela, berbohong kecil. “Tadi malam aku nonton film yang sedih banget. Jadi kebawa perasaan.” Ibu Daniel sempat melirik curiga ke arah putranya yang tampak acuh. “Hari ini ajak Elena ke taman kota. Desain kalian sepertinya menarik banyak perhatian,” ucap Nenek Rose, mencoba mencairkan suasana. Ia menyodorkan segelas susu hangat ke Elena. “Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke Nenek, ya.” Elena tersenyum tipis. Setelah sarapan, ia pergi bersama Daniel ke taman kota. Sambutan dari warga cukup hangat. Desain mereka jadi perhatian utama dalam kompetisi kali ini. Tapi di balik keramaian itu, Ms. Callahan tampak mengamati gelagat mereka berdua. Wajahnya menunjukkan rasa curiga saat melihat Daniel dan Elena yang tak bicara satu sama lain. “Apa kekasihmu marah karena rahasiamu terbongkar?” tanya Ms. Callahan, mendekat dengan senyum yang menyiratkan kemenangan. Elena menatapnya dingin. “Anda suka sekali ikut campur urusan orang, ya? Lagipula, rahasia apa yang Anda maksud?” Daniel segera maju, berdiri di antara mereka. Ia mencoba mencegah percakapan itu berkembang menjadi sesuatu yang buruk. “Kita lihat dulu desain yang di sebelah sana,” katanya cepat. Itu jelas alasan yang dibuat-buat. Elena tahu, tapi ia mengikuti langkah Daniel menjauh dari Ms. Callahan. Baru beberapa langkah, terdengar suara lantang dari arah kerumunan. “Bukankah ini desain milik Elena? Katanya dia hampir ditahan imigrasi karena visanya kadaluarsa.” Elena spontan menoleh. Ia mengenali suara itu. Caseline—rekan sekantornya. Tapi bagaimana dia tahu tempat ini? “Dan katanya juga, dia sengaja menikah supaya bisa perpanjang visa. Biar tetap kerja di Molgrad. Ck, memalukan.” Setelah berkata begitu, Caseline melirik tajam ke arah Elena. Elena melangkah maju, tapi Daniel langsung menahan tangannya. “Kamu mau aku diam saja sementara penyihir itu bicara sembarangan?” bisik Elena dengan nada tajam. Daniel memberi isyarat agar menahan diri. Beberapa orang mulai memperhatikan mereka. Ms. Callahan ikut mendekat. “Benarkah?” tanyanya, menatap Elena yang berdiri dengan tangan mengepal di ujung bajunya. “Sampai kapan Anda akan tinggal di sini? Anda disewa untuk memata-matai orang, ya?” “Sayangnya, pihak kantor menyetujui hal itu,” jawab Ms. Callahan santai, dengan senyum menyebalkan. Daniel menarik tangan Elena, mengajaknya menjauh dari kerumunan. Mereka berhenti di tempat yang agak sepi. “Kamu masih mau membatalkan pernikahan setelah semua yang kamu lihat tadi?” Langsung saja Daniel mengungkapkannya. Baginya, inilah saat yang tepat untuk menyadarkan Elena. “Aku mau bicara langsung dengan Caseline.” “Tunggu!” Daniel menarik napas. “Kita harus selesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Bukan menambah masalah baru.” Elena menaikkan kedua alisnya. Ia menyilangkan tangan di dada—gaya khasnya saat ingin menegur orang. “Aku ingin tahu, apa idemu?” Daniel justru maju lebih dekat. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kadang, kucing punya cara sendiri untuk menangkap mangsa... tanpa harus jadi singa.” Tanpa berkata lagi, Daniel menggenggam tangan Elena dan membawanya kembali ke tengah kerumunan. Mereka mencari celah, mendekati posisi Caseline yang masih berdiri di sana. Ms. Callahan tampak sibuk dengan ponselnya. “Siapa bilang pernikahan kami palsu? Nih, lihat!” Daniel tiba-tiba menarik tengkuk Elena.Beberapa menit terasa begitu lama. Lily duduk diapit Elena dan Daniel, kedua tangannya terus bergetar. Ketika akhirnya pintu IGD terbuka, seorang dokter keluar sambil melepas masker. “Siapa keluarga pasien?” tanyanya. Spontan Lily berdiri, suaranya terbata, “Saya… eh, teman dekatnya, Dok. Bagaimana keadaan Arvin?” Dokter itu menatap mereka bertiga, lalu menjelaskan dengan tenang, “Syukurlah, luka yang dialami tidak terlalu parah. Ada patah ringan di lengan kirinya akibat benturan, serta beberapa memar di tubuh. Tapi tidak ada pendarahan dalam. Untuk sementara, dia harus dirawat inap beberapa hari agar kondisi stabil.” Lily menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis lega. Daniel merangkul bahu adiknya, “Dengar, kan? Dia selamat.” Elena ikut menghela napas lega, lalu menambahkan, “Kita tetap harus menjaga dia. Kalau bukan karena dia, kamu yang mungkin dalam kondisi itu, Lily.” Tak lama kemudian, perawat memanggil mereka untuk melihat Arvin yang sudah dipindahkan ke ruang
Dari balik tiang dekat taman kampus, Clara berdiri dengan tangan mengepal. Matanya tak lepas dari pemandangan Lily dan Arvin yang keluar gedung bersama, terlihat akrab meski Lily berusaha menjaga jarak. Clara menggigit bibir bawahnya keras-keras. “Kenapa semua orang selalu memihak dia…” gumamnya, suaranya penuh kejengkelan. Salah satu temannya yang kebetulan ikut keluar menghampiri. “Clara, kamu kenapa? Dari tadi murung terus.” Clara tersenyum tipis, mencoba menutupi emosinya. “Nggak, aku baik-baik saja. Cuma agak capek.” Namun, begitu temannya pergi, senyumnya langsung lenyap. Tatapannya kembali jatuh pada Lily yang kini berjalan lebih dekat dengan Arvin. “Kalau cara halus nggak mempan… berarti aku harus cari cara lain,” ucapnya lirih, nyaris seperti berjanji pada dirinya sendiri. Angin sore berhembus melewati halaman kampus, tapi hati Clara semakin panas, dipenuhi rasa iri dan keinginan untuk menyingkirkan Lily dari sekitarnya. Langit sore terlihat teduh ketika Lil
Aroma roti panggang dan sup hangat memenuhi ruang makan. Semua duduk di meja: Daniel, Elena, Lily, juga Ayah dan Ibu Daniel. Mereka sarapan seperti biasa, berusaha menutup rasa lelah setelah malam panjang. Daniel sesekali melirik adiknya yang tampak berusaha tersenyum normal. Elena mencoba mencairkan suasana dengan menambah makanan ke piring Lily. “Makan yang banyak, biar semangat kuliahnya,” katanya lembut. Lily mengangguk kecil. “Iya, Kak…” suaranya lirih, tapi jelas dipaksakan. Setelah sarapan selesai, Lily berdiri sambil meraih tasnya. “Kalau begitu aku berangkat dulu,” katanya sambil melangkah ke pintu. Namun sebelum sempat keluar, suara berat Nenek Rose terdengar dari ruang tamu. “Lily.” Semua menoleh. Nenek Rose berjalan pelan dengan tongkatnya, tatapannya tajam tapi penuh kasih. “Sebentar. Duduk dulu, Nak.” Lily menahan langkah, lalu menoleh canggung. “Ada apa, Nek?” Nenek Rose mendekat, lalu memegang tangan Lily. “Kalau kamu terus sembunyi, orang-orang
Makan siang itu akhirnya selesai juga. Mereka bertiga keluar dari restoran, disusul Clara dan Arvin yang baru saja selesai membayar di kasir. Lily terlihat lebih ceria, senyum kecilnya kembali muncul. Elena berjalan di sisinya sambil sesekali melirik, memastikan adik Daniel itu baik-baik saja. Di parkiran, Clara berdiri agak dekat dengan Lily. “Lily, hati-hati ya di jalan. Kalau butuh apa-apa, langsung hubungi aku aja.” Suaranya terdengar manis, tapi Elena bisa menangkap sesuatu yang dibuat-buat. Lily menunduk sedikit. “Iya, Clara. Makasih.” Arvin yang ikut keluar hanya mengangguk singkat. “Aku pulang duluan, Lily. Sampai ketemu besok di kampus.” Ia lalu melangkah ke arah motornya, melambaikan tangan sekilas sebelum akhirnya pergi. Daniel memperhatikan Clara yang masih menempel. “Perhatian itu bagus,” katanya tenang, tapi ada penekanan halus dalam suaranya. “Tapi jangan sampai bikin orang lain nggak nyaman.” Clara sempat kaku sepersekian detik, lalu terkekeh pelan. “Ah, te
Daniel dan Elena turun dari mobil, menyusuri halaman kampus dengan alasan ingin menjemput Lily pulang kuliah. Namun sesungguhnya, mereka berdua ingin memastikan wajah Clara—sosok yang Lily sebut semalam. Dari kejauhan, mereka melihat Lily tertawa kecil sambil berjalan dengan seorang gadis. Clara. Senyum Clara tampak hangat, bahkan sesekali ia merangkul lengan Lily seolah mereka sahabat dekat. Daniel menyipitkan mata. “Itu Clara?” bisiknya pada Elena. Elena mengangguk, matanya penuh rasa ingin tahu. “Mungkin. Padahal Lily bilang seminggu lalu Clara sempat marah karena Arvin. Sekarang… lihat aja, dia terlihat biasa aja dengan Lily.” Tak lama Lily menghampiri mereka dengan gembira. “Kak Elena!” serunya sambil melambaikan tangan. Clara pun ikut tersenyum sopan. “Oh, ini kakak kamu, ya?” Daniel tersenyum tipis. “Iya, Ah kami kebetulan mau ajak Lily makan siang, sekalian berbincang. Kamu bisa ikut.” Clara tampak terkejut sejenak, lalu cepat mengangguk. “Baiklah, kemana Lily ak
Matahari mulai turun, cahaya jingga menyelimuti halaman. Daniel dan Elena duduk di teras ketika sebuah motor berhenti di depan pagar. Seorang pemuda turun, melepas helmnya, lalu melangkah mendekat dengan raut cemas. “Permisi,” ucapnya sopan. “Saya Arvin, teman kuliah Lily. Saya dengar dia sakit, jadi… saya datang mau melihat keadaannya.” Daniel berdiri, menahan nada suaranya tetap ramah meski ada ketegangan. “Lily sedang beristirahat di kamar. Dia memang belum bisa kuliah beberapa hari ini.” Elena tersenyum kecil. “Terima kasih sudah peduli. Tapi sebaiknya Lily jangan diganggu dulu, dia butuh tenang.” Arvin mengangguk, lalu menatap Daniel seakan ragu ingin bicara lebih jauh. “Saya hanya khawatir. Kemarin saya jemput dia ke kampus, setelah itu tiba-tiba hilang kabar. Teman-teman bilang Lily sakit, tapi saya ingin pastikan sendiri.” Daniel menatapnya tajam, tapi menahan diri. “Arvin, boleh saya tanya, ngga? Apa di kampus ada yang tidak suka sama Lily? Atau seseorang yang mungk