Daniel menarik tengkuk Elena, dan wanita itu segera menempelkan telapak tangannya di bibirnya. Sekilas, mereka memang tampak seperti berciuman, tapi Elena dengan cepat menghalangi. Itu karena sebelumnya Daniel sudah memberikan kode.
“Lihat! Rumor itu bohong!” “Benar! Kalian lihat sendiri betapa romantisnya pasangan itu!” Bisik-bisik warga yang berkumpul perlahan mulai mereda. Mereka percaya dengan kemesraan yang ditampilkan Daniel dan Elena. Rumor yang sempat mengguncang kota Maple Hollow kini hancur. Merasa aman, keduanya berpura-pura bergandengan tangan. “Untuk merayakan kemenangan mereka, mari kita adakan pesta malam ini!” Salah satu warga berseru lantang, dan sorakan langsung terdengar dari yang lain. Mereka senang karena desain lanskap buatan Elena dan Daniel berhasil memikat hati mereka. Sementara itu, Ms. Callahan hanya bisa mendengus kecewa. Tak ada celah sedikit pun untuk membongkar bahwa pernikahan Daniel dan Elena hanyalah sandiwara. Setelah dari sana, mereka mampir sebentar ke sebuah toko pakaian. Elena yang sudah lama tidak berbelanja terlihat sangat menikmati waktunya, seolah lupa pada tekanan dan masalah yang ia hadapi. “Kau bisa ambil apa pun yang kau suka, biar aku yang bayar,” ujar Daniel santai. “Ck, kau kira aku tidak punya uang?” sahut Elena sambil mengambil pakaian pilihannya. Tawaran Daniel, meski terdengar seperti pria sejati, tidak membuat Elena terkesan. Ia terbiasa mandiri dan menggunakan uangnya sendiri. “Ini cocok untukmu.” Daniel menyodorkan sebuah gaun merah bermotif polkadot putih, dengan pita besar di bagian leher. “Selera fesyenmu buruk. Pantas saja kau masih jomblo.” “Mereka saja yang buta. Wajah seperti ini cukup terkenal di Maple Hollow.” Daniel menyapu rambutnya dengan bangga, sementara Elena memilih untuk tidak meladeni. Ia lebih tertarik memilih pakaian yang benar-benar cocok. Setelah selesai berbelanja, mereka pulang. Nenek Rose langsung menghampiri dengan wajah khawatir. “Nenek dengar tentang rumor itu. Kalian baik-baik saja, kan?” “Tidak apa-apa, lagipula—” Daniel hendak menjawab, tapi Nenek langsung menyela. “Syukurlah kalau begitu. Nenek hampir saja percaya dengan semua omongan itu.” Elena hanya tersenyum tipis, lalu membawa baju-baju barunya ke kamar. Namun, Lily menghadangnya di depan pintu sambil melipat tangan di dada. “Belum juga pesta dimulai, kau sudah menguras uang kakakku.” “Kenapa kau pikir itu uang kakakmu? Lily, lain kali berbicaralah lebih sopan kalau sedang bicara dengan orang yang lebih tua.” Elena menepis pelan tubuh Lily dan masuk ke kamar. Lily kecewa karena belum bisa memancing reaksi Elena. Dalam pikirannya, semua perempuan yang mendekati kakaknya pasti hanya ingin memanfaatkannya. Setelah beristirahat, malamnya keluarga Harper diundang ke pesta kemenangan Elena dan Daniel. Api unggun menyala di tengah lapangan. Aroma daging panggang menyebar menggoda, suasana hangat menyelimuti malam itu. “Elena,” panggil Daniel, datang dengan dua tusuk daging. Elena menoleh dan menunggu ucapannya. “Pesta pernikahan kita sebentar lagi akan digelar. Apa kau tidak mau menjelaskan alasanmu membatalkannya?” Elena terdiam. Meski ia merasa senang hari ini, hatinya tetap gelisah. Adi—tunangan aslinya—belum juga memberi kabar. “Kalau kau belum siap bercerita, tak apa. Aku punya alasan sendiri kenapa menyetujuinya.” Belum sempat Elena menjawab, Maura—ibu Daniel—memanggilnya. “Ada apa, Bu?” tanyanya pelan. “Sepupuku ingin kau ikut menari seperti yang lain. Ini tarian khas Maple Hollow.” “Tapi... aku tidak pandai menari.” Maura tak menerima penolakan manis itu. Ia menarik lengan Elena lembut menuju kerumunan. “Lihat, dia melambai padamu.” Elena melihat seorang wanita muda tersenyum dan melambai dari dekat api unggun. Warga lainnya ikut menatap, seolah menunggu Elena ikut bergabung. Awalnya ia enggan, namun akhirnya luluh. “Tapi aku benar-benar buruk dalam menari.” “Aku akan ikut,” sahut Daniel dari belakang. Elena menoleh, sedikit lega. “Benarkah? Wah, ini akan jadi sejarah baru di Maple Hollow! Sepasang pengantin baru menari di depan semua orang,” seru Ms. Callahan. Entah mendukung atau menyindir. “Kau akan menyesal menari denganku,” bisik Elena, menerima uluran tangan Daniel. Daniel hanya tersenyum miring. Musik tradisional khas mulai dimainkan. “Ikuti saja langkah kakiku.” “Tapi aku benar-benar buruk dalam hal ini, Daniel.” “Ikuti saja.” Elena menurut. Langkah demi langkah diiringi musik lembut, bola mata mereka beberapa kali bertemu. Dan di sana... di tengah tarian itu... ada getaran aneh yang mulai tumbuh dalam hati Elena. Musik berhenti. “Kau nggak apa-apa?” tanya Daniel saat Elena terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Beberapa warga tertawa kecil melihatnya. Di balik senyumnya, Elena menggerutu—karena Daniel baru saja menginjak kakinya. “Kau!” bisik Elena, hanya Daniel yang bisa mendengarnya. Namun saat Daniel menyambut tangannya lagi, ada sorot berbeda di matanya. Ia tidak berkata apa pun... tapi Elena bisa merasakannya. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuatnya ingin menggenggam tangan itu lebih erat. “Bagaimana kalau satu lagu lagi?” tawar Daniel. Elena mengangguk pelan. Dari ujung matanya, ia melihat tatapan tidak suka dari Ms. Callahan. “Apa wanita itu menyukaimu?” bisik Elena, melirik ke arah Ms. Callahan. Daniel mengerutkan dahi. “Ha?” “Aku lihat dia tak suka kalau aku memainkan peran sebagai istrimu dengan baik.” “Mungkin... kantor imigrasi sengaja membiarkannya di sini karena tak ada pekerjaan lagi di sana.” Elena terkekeh kecil. Suasana hangat, tarian pelan, dan senyum warga membuat semuanya terasa lebih ringan... hingga Daniel mendekat. “Elena,” bisiknya.Beberapa menit terasa begitu lama. Lily duduk diapit Elena dan Daniel, kedua tangannya terus bergetar. Ketika akhirnya pintu IGD terbuka, seorang dokter keluar sambil melepas masker. “Siapa keluarga pasien?” tanyanya. Spontan Lily berdiri, suaranya terbata, “Saya… eh, teman dekatnya, Dok. Bagaimana keadaan Arvin?” Dokter itu menatap mereka bertiga, lalu menjelaskan dengan tenang, “Syukurlah, luka yang dialami tidak terlalu parah. Ada patah ringan di lengan kirinya akibat benturan, serta beberapa memar di tubuh. Tapi tidak ada pendarahan dalam. Untuk sementara, dia harus dirawat inap beberapa hari agar kondisi stabil.” Lily menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis lega. Daniel merangkul bahu adiknya, “Dengar, kan? Dia selamat.” Elena ikut menghela napas lega, lalu menambahkan, “Kita tetap harus menjaga dia. Kalau bukan karena dia, kamu yang mungkin dalam kondisi itu, Lily.” Tak lama kemudian, perawat memanggil mereka untuk melihat Arvin yang sudah dipindahkan ke ruang
Dari balik tiang dekat taman kampus, Clara berdiri dengan tangan mengepal. Matanya tak lepas dari pemandangan Lily dan Arvin yang keluar gedung bersama, terlihat akrab meski Lily berusaha menjaga jarak. Clara menggigit bibir bawahnya keras-keras. “Kenapa semua orang selalu memihak dia…” gumamnya, suaranya penuh kejengkelan. Salah satu temannya yang kebetulan ikut keluar menghampiri. “Clara, kamu kenapa? Dari tadi murung terus.” Clara tersenyum tipis, mencoba menutupi emosinya. “Nggak, aku baik-baik saja. Cuma agak capek.” Namun, begitu temannya pergi, senyumnya langsung lenyap. Tatapannya kembali jatuh pada Lily yang kini berjalan lebih dekat dengan Arvin. “Kalau cara halus nggak mempan… berarti aku harus cari cara lain,” ucapnya lirih, nyaris seperti berjanji pada dirinya sendiri. Angin sore berhembus melewati halaman kampus, tapi hati Clara semakin panas, dipenuhi rasa iri dan keinginan untuk menyingkirkan Lily dari sekitarnya. Langit sore terlihat teduh ketika Lil
Aroma roti panggang dan sup hangat memenuhi ruang makan. Semua duduk di meja: Daniel, Elena, Lily, juga Ayah dan Ibu Daniel. Mereka sarapan seperti biasa, berusaha menutup rasa lelah setelah malam panjang. Daniel sesekali melirik adiknya yang tampak berusaha tersenyum normal. Elena mencoba mencairkan suasana dengan menambah makanan ke piring Lily. “Makan yang banyak, biar semangat kuliahnya,” katanya lembut. Lily mengangguk kecil. “Iya, Kak…” suaranya lirih, tapi jelas dipaksakan. Setelah sarapan selesai, Lily berdiri sambil meraih tasnya. “Kalau begitu aku berangkat dulu,” katanya sambil melangkah ke pintu. Namun sebelum sempat keluar, suara berat Nenek Rose terdengar dari ruang tamu. “Lily.” Semua menoleh. Nenek Rose berjalan pelan dengan tongkatnya, tatapannya tajam tapi penuh kasih. “Sebentar. Duduk dulu, Nak.” Lily menahan langkah, lalu menoleh canggung. “Ada apa, Nek?” Nenek Rose mendekat, lalu memegang tangan Lily. “Kalau kamu terus sembunyi, orang-orang
Makan siang itu akhirnya selesai juga. Mereka bertiga keluar dari restoran, disusul Clara dan Arvin yang baru saja selesai membayar di kasir. Lily terlihat lebih ceria, senyum kecilnya kembali muncul. Elena berjalan di sisinya sambil sesekali melirik, memastikan adik Daniel itu baik-baik saja. Di parkiran, Clara berdiri agak dekat dengan Lily. “Lily, hati-hati ya di jalan. Kalau butuh apa-apa, langsung hubungi aku aja.” Suaranya terdengar manis, tapi Elena bisa menangkap sesuatu yang dibuat-buat. Lily menunduk sedikit. “Iya, Clara. Makasih.” Arvin yang ikut keluar hanya mengangguk singkat. “Aku pulang duluan, Lily. Sampai ketemu besok di kampus.” Ia lalu melangkah ke arah motornya, melambaikan tangan sekilas sebelum akhirnya pergi. Daniel memperhatikan Clara yang masih menempel. “Perhatian itu bagus,” katanya tenang, tapi ada penekanan halus dalam suaranya. “Tapi jangan sampai bikin orang lain nggak nyaman.” Clara sempat kaku sepersekian detik, lalu terkekeh pelan. “Ah, te
Daniel dan Elena turun dari mobil, menyusuri halaman kampus dengan alasan ingin menjemput Lily pulang kuliah. Namun sesungguhnya, mereka berdua ingin memastikan wajah Clara—sosok yang Lily sebut semalam. Dari kejauhan, mereka melihat Lily tertawa kecil sambil berjalan dengan seorang gadis. Clara. Senyum Clara tampak hangat, bahkan sesekali ia merangkul lengan Lily seolah mereka sahabat dekat. Daniel menyipitkan mata. “Itu Clara?” bisiknya pada Elena. Elena mengangguk, matanya penuh rasa ingin tahu. “Mungkin. Padahal Lily bilang seminggu lalu Clara sempat marah karena Arvin. Sekarang… lihat aja, dia terlihat biasa aja dengan Lily.” Tak lama Lily menghampiri mereka dengan gembira. “Kak Elena!” serunya sambil melambaikan tangan. Clara pun ikut tersenyum sopan. “Oh, ini kakak kamu, ya?” Daniel tersenyum tipis. “Iya, Ah kami kebetulan mau ajak Lily makan siang, sekalian berbincang. Kamu bisa ikut.” Clara tampak terkejut sejenak, lalu cepat mengangguk. “Baiklah, kemana Lily ak
Matahari mulai turun, cahaya jingga menyelimuti halaman. Daniel dan Elena duduk di teras ketika sebuah motor berhenti di depan pagar. Seorang pemuda turun, melepas helmnya, lalu melangkah mendekat dengan raut cemas. “Permisi,” ucapnya sopan. “Saya Arvin, teman kuliah Lily. Saya dengar dia sakit, jadi… saya datang mau melihat keadaannya.” Daniel berdiri, menahan nada suaranya tetap ramah meski ada ketegangan. “Lily sedang beristirahat di kamar. Dia memang belum bisa kuliah beberapa hari ini.” Elena tersenyum kecil. “Terima kasih sudah peduli. Tapi sebaiknya Lily jangan diganggu dulu, dia butuh tenang.” Arvin mengangguk, lalu menatap Daniel seakan ragu ingin bicara lebih jauh. “Saya hanya khawatir. Kemarin saya jemput dia ke kampus, setelah itu tiba-tiba hilang kabar. Teman-teman bilang Lily sakit, tapi saya ingin pastikan sendiri.” Daniel menatapnya tajam, tapi menahan diri. “Arvin, boleh saya tanya, ngga? Apa di kampus ada yang tidak suka sama Lily? Atau seseorang yang mungk