MasukUsai pembicaraan semalam dengan ayah Daniel, Elena langsung mengajak Daniel ke kamar untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja, dia tidak setuju dengan keputusan ayah Daniel yang ingin mereka berdua tinggal di kota ini—apalagi jika itu berarti harus meninggalkan pekerjaan impian Elena.
“Kau tahu kenapa aku melakukan ini, kan?!” “Tentu saja, tapi—” “Tidak bisa, Daniel. Aku tidak mau tinggal di sini.” “Aku tahu, tapi saat kau menunjukkan penolakan secara terang-terangan, itu bisa memancing kecurigaan dari ayahku.” Elena tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia mengambil ponselnya, melihat jangka waktu yang sudah ia tandai agar tidak lupa tujuan awal melakukan semua ini. Malam semakin larut. Lebih baik ia beristirahat untuk menjernihkan pikirannya yang masih pusing memikirkan keputusan ayah Daniel. “Tiga hari lagi ada kompetisi desain taman. Mungkin saja itu bisa menghiburmu,” ujar Daniel. Elena pura-pura tidak mendengar. Tubuhnya sudah tertutup selimut. Mereka memang ditempatkan dalam satu kamar oleh Nenek Rose, tapi karena takut menimbulkan kecurigaan, mereka akhirnya setuju. Daniel tidur di lantai, sementara Elena—yang masih bertingkah seperti bos—meminta kasur sebagai tempat tidurnya. Perjalanan Elena selama di Tenebris baik-baik saja, meski kadang Ms. Callahan memantau mereka seperti seorang detektif. “Apa Anda tak punya pekerjaan selain ini? Anda tidak merindukan Molgrad?” tanya Elena saat tak sengaja bertemu Ms. Callahan di taman depan rumah Daniel. Taman di rumah itu cukup luas. Elena masih ingat betapa penuhnya rumah ini saat kedatangan keluarga Daniel tiga hari yang lalu. “Ini memang pekerjaanku. Aku tidak suka bekerja setengah-setengah. Maka dari itu, aku harus menuntaskannya hingga akhir,” jawab Ms. Callahan dengan bangga. Setelahnya, ia pergi ke kolam kecil di taman. Ia tampak berbicara seperti orang gila dengan ikan-ikan yang baru saja ditambahkan oleh Nenek Rose karena percaya bisa membawa keberuntungan. Beberapa keluarga Daniel memang masih percaya hal-hal yang berbau mistis. “Bagaimana, Elena? Apa kau mau ikut kontes yang aku katakan itu?” tanya Daniel lagi. “Tentu saja. Aku bosan hanya berdiam diri di rumah—apalagi dengan wanita itu,” jawab Elena. Ms. Callahan sempat melirik karena merasa dibicarakan, tapi Elena cepat-cepat menarik Daniel pergi ke acara kontes yang disebut Daniel beberapa hari lalu. Sesampainya di sana, Elena tampak antusias. Banyak peserta yang ikut ambil bagian, dan desain-desain mereka tak kalah hebat dari desain-desain yang pernah Elena kenal. “Kemarilah,” kata Daniel sambil mengajak Elena ke tempat pendaftaran peserta. Namun, Elena tidak percaya ketika melihat bahwa Ms. Callahan ada di sana—dan lebih mengejutkan lagi, wanita itu menjadi salah satu juri yang akan memberikan pertanyaan kepada peserta. “Apa dia tidak punya pekerjaan lain?” bisik Elena. Daniel tertawa kecil. Elena menoleh ke arahnya dan berkata, “Kita punya pikiran yang sama tentang wanita itu.” Desain milik mereka berdua mendapat sambutan yang cukup hangat dari warga Maple Hollow. Berbagai ide tercurah, dan Elena mulai melihat bakat Daniel yang perlahan mulai diperlihatkan ke semua orang. Sempat ia terkagum, tapi segera menyadarkan dirinya. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Daniel yang sedari tadi memperhatikan Elena. “Aku tidak menatapmu. A-aku hanya lihat ada penjual balon di sana. Heran saja, setua itu masih berjualan,” elaknya. Daniel menoleh ke arah yang ditunjuk Elena, namun tak melihat apa-apa. Setelah itu, mereka mendapatkan posisi paling depan saat penilaian kontes. Tibalah giliran mereka mendapat pertanyaan dari para juri—dan tentu saja, Ms. Callahan tidak menyerah. “Bagaimana masa depan kalian setelah menikah?” tanyanya tajam. “Apa hubungannya dengan ini?” balas Elena. Elena tak mau kalah dengan pertanyaan menjebak itu. Ia tidak ingin pertanyaan itu membuatnya terlihat mencurigakan. “Tentu saja,” lanjut Ms. Callahan. “Sepasang kekasih dengan bakat desain yang bagus, bukankah akan memiliki masa depan yang cerah?” “Kami memang memiliki masa depan seperti yang Anda katakan. Namun, ada banyak hal yang kami siapkan tanpa perlu saya jelaskan pada Anda,” jawab Elena tenang. “Kenapa? Apa masa depan itu bukan bersama kekasihmu yang sekarang?” Elena hanya diam, malas meladeni wanita itu. Daniel akhirnya angkat suara. “Apa peraturan kontes ini mewajibkan peserta menjawab pertanyaan pribadi seperti yang Anda ajukan?” katanya. Ms. Callahan terdiam. Ia selalu kalah jika Daniel membantu Elena. Namun, tiba-tiba ponsel Elena berdering. Sudah lama ia tidak mendapat panggilan dari Adi. Ia hanya berpikir bahwa pria itu mungkin sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang dokter. Elena menyambut panggilan itu. Namun, tak lama setelah mengangkatnya, wajahnya berubah. “Ada apa, Elena?” tanya Daniel melihat perubahan ekspresinya. “Lebih baik kau kembali saja, Adi. Aku khawatir kau tertular, dan aku tidak bisa membayangkannya,” kata Elena dengan suara bergetar. Daniel tidak paham apa yang dibicarakan Elena karena wanita itu menggunakan bahasa yang tidak dimengertinya. “T-tidak bisa, kau harus pulang,” kata Elena lagi. Beberapa detik kemudian, ponsel Elena mati. Sepertinya Adi sengaja memutuskan panggilan itu. Elena langsung menangis, tertunduk, dan Daniel melihat semuanya. “Sebaiknya kita pulang dulu,” ucap Daniel pelan, menyadari bahwa Elena membutuhkan waktu untuk sendiri—meskipun ia tidak tahu bahwa Adi, tunangan Elena, adalah orang yang tadi menelepon. Satu rahasia yang belum bisa Elena ceritakan. Sesampainya di rumah, Elena langsung masuk ke kamar. Ia tak bicara dengan siapa pun, termasuk ibu Daniel yang sedang memetik bunga di taman. “Ada apa, Daniel? Apa ada masalah?” tanya ibu Daniel. “Aku juga tidak tahu. Tadi dia baik-baik saja sebelum menelpon, lalu menangis setelahnya.” “Kau tidak dengar apa yang dia bicarakan?” “Dia menggunakan bahasa negara asalnya,” jawab Daniel. Daniel kemudian menyusul Elena masuk ke kamar. Awalnya wanita itu menolak, namun Daniel bersikeras. Di dalam kamar, Daniel tidak banyak bicara. Ia hanya duduk, menatap Elena yang masih terisak di balik selimut. “Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi coba ceritakan sedikit, mungkin aku bisa membantu.” “Tak ada yang bisa kau lakukan,” jawab Elena dengan suara parau. Perlahan tangisnya mereda. Ia keluar dari balik selimut. “Tapi ada satu hal yang bisa kau lakukan.” Daniel menoleh, menunggu dengan penuh harap akan apa yang akan dikatakan wanita yang sebenarnya masih berstatus sebagai bosnya itu. “Kita tunda pernikahan ini. Atau kalau perlu... kita batalkan!” “A-apa?!” Daniel tercekat. Ia menatap Elena heran. Bagaimana bisa ia semudah itu membatalkan pernikahan mereka yang sudah hampir diketahui oleh seluruh kota Maple Hollow? Apa yang harus ia katakan pada keluarganya? Namun, Elena malah terlihat antusias. Ia lebih memilih menyerahkan proyek ini daripada melihat Adi dalam krisis karena wabah. “Bagaimana, Daniel? Kau setuju?” tanya Elena sambil menatapnya lurus. Elena tidak menyerah, tetap menunggu persetujuan dari asistennya yang kini menatapnya penuh kebingungan.Cahaya matahari menembus tirai kamar dengan lembut, menghangatkan udara pagi yang segar. Burung-burung di luar jendela berkicau riang, dan dari dapur terdengar samar suara panci serta aroma kopi yang baru diseduh. Elena masih terlelap di pelukan Daniel ketika pintu kamar tiba-tiba diketuk keras. “Bangun! Hei, pengantin baru! Sudah jam delapan, kalian mau tidur sampai siang?” suara ceria itu jelas milik Lily, adik Daniel. Daniel bergumam pelan, separuh sadar. “Mmhh… Lily… lima menit lagi…” Pintu terbuka sedikit, dan kepala Lily menyembul masuk. “Lima menit? Lima menitmu bisa jadi satu jam, Kak. Mama nyuruh turun sarapan, semua orang udah nunggu.” Elena langsung membuka mata, panik kecil. Ia menyadari posisi mereka masih berpelukan, rambutnya berantakan dan selimut agak melorot. “Lily! Kau nggak bisa asal masuk begini—” Lily tertawa kecil, menutup pintu lagi tapi masih sempat menyelipkan kalimat, “Kau sekarang bagian dari keluarga, kak Elena. Nggak usah malu-malu!” Pintu te
Setahun kemudian Musim semi membawa keharuman manis ke seluruh taman pusaka yang kini dipenuhi bunga liar. Tempat yang dulu hanyalah proyek kini berubah menjadi lokasi paling indah di Maple Hollow — dan di sinilah, di bawah langit biru muda, Elena dan Daniel akhirnya mengucapkan janji suci mereka. Tamu-tamu dari berbagai kalangan berbeda berkumpul: rekan kerja dari Molgrad yang sibuk mengambil foto, keluarga besar Daniel Harper yang duduk di barisan depan bersama ibu dan nenek Rose, hingga keluarga Elena yang datang dari Cakrawana dengan pakaian tradisional lembut berwarna biru dan emas. Suasana terasa hangat, seolah budaya dua tempat itu menyatu dalam satu napas cinta. Daniel berdiri di altar sederhana yang dihiasi daun maple dan kain tenun khas Cakrawana. Ketika Elena berjalan perlahan menghampirinya dengan gaun putih gading dan buket bunga liar di tangan, Daniel sampai kehilangan kata. Ia tersenyum gugup tapi matanya tak lepas dari Elena. “Kalau aku pingsan, tolong tangk
Tiga bulan berlalu sejak Daniel mulai mengerjakan proyek besarnya. Kini, rancangan itu akhirnya rampung sepenuhnya. Hanya tinggal menunggu tahap pembangunan fisik selama dua bulan ke depan. Saat Daniel menatap hasil desain yang terbentang di layar komputernya, ia tak bisa menahan senyum kecil — rasa puas sekaligus lega bercampur jadi satu. Proyek ini bukan sembarang taman. Ia dan Elena menamainya “Taman Lintas Budaya”, sebuah ruang hijau yang memadukan keindahan khas Cakrawana — tempat asal Elena — dengan nuansa hangat dan arsitektur khas Molgrad. Setiap detailnya seolah bercerita tentang perjalanan mereka; tentang dua dunia yang berbeda namun akhirnya berpadu menjadi satu kesatuan yang harmonis. Sejak Daniel menyatakan perasaannya tiga bulan lalu, hubungan mereka berubah menjadi sesuatu yang nyata. Tidak lagi sekadar rekan kerja atau pasangan pura-pura demi visa. Kini mereka benar-benar hidup bersama, berbagi ruang, waktu, bahkan rutinitas kecil sehari-hari yang dulu terasa sepel
Sore itu, langit Molgrad mulai berwarna jingga saat para karyawan beranjak pulang dari kantor. Elena sempat menoleh ke arah meja Daniel yang kosong.“Kamu nggak pulang bareng?” tanyanya sebelum berpisah. Daniel tersenyum tipis, menatap layar laptopnya. "Aku ada urusan sedikit, kamu duluan aja. Jangan lupa makan, ya.” Elena mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan pulang kelamaan.” “Janji,” jawab Daniel dengan senyum kecil. Namun janji itu ternyata membuat Elena menunggu hingga malam. Waktu terus berjalan. Pukul delapan malam, Daniel belum juga pulang. Telepon yang Elena lakukan hanya berakhir di nada sambung tanpa jawaban. Hatinya mulai tak tenang.“Dia jarang begini…” gumamnya cemas sambil menatap layar ponsel. Pukul sepuluh lewat, baru sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal."Halo?” Suara di seberang terdengar tergesa, distorsi samar di antara deru angin. “Anda Elena, istri Daniel Harper?” “Iya, benar. Ada apa ini?” “Mohon maaf, kami butuh Anda segera datang ke a
Keesokan paginya, udara Molgrad terasa sejuk dengan langit yang cerah. Elena dan Daniel berjalan berdampingan di trotoar bandara sambil membawa koper besar milik ayah Daniel. Lelaki paruh baya itu tampak santai, tapi senyumnya menyimpan sedikit berat hati. “Kalian nggak usah repot-repot nganter, Ayah bisa naik taksi sendiri,” katanya sambil tertawa kecil. “Nggak bisa begitu, Yah,” sahut Daniel cepat. “Nanti Nenek kirim surat marah kalau tahu kita nggak nganterin Ayah.” “Benar, Yah,” tambah Elena tersenyum. “Nanti beliau pikir kita anak durhaka.” Mereka bertiga tertawa bersama. Begitu sampai di area keberangkatan, suasananya mulai terasa sendu. Suara pengumuman penerbangan bergema dari pengeras suara, dan aroma kopi dari kafe bandara mengiringi keheningan kecil di antara mereka. Ayah Daniel menatap keduanya dengan lembut.“Daniel, jaga dirimu baik-baik, Nak. Ayah tahu kamu keras kepala… tapi kali ini keras kepalamu mengarah ke hal yang benar.” Daniel menunduk sedikit, tersen
Daniel menatap ayahnya cukup lama, mencoba mencerna kabar itu. Pindah ke Maple Hollow? Kota tempat semuanya dimulai — dan juga tempat semua kenangan masa lalu tertinggal. Elena menunduk, memikirkan banyak hal yang akan berubah jika mereka benar-benar menerima tawaran itu. Namun, sebelum suasana menjadi terlalu berat, Daniel akhirnya tersenyum kecil. "Yah… kalau itu memang yang terbaik untuk pengembangan taman kota dan proyek baru, aku akan pikirkan,” katanya tenang. “Tapi kali ini aku nggak mau meninggalkan Molgrad sepenuhnya. Aku masih punya mimpi yang belum selesai di sini.” Ayahnya menatap anaknya dengan tatapan bangga."Ayah sudah tebaik kamu akan jawab apa"Elena menoleh ke Daniel, "Kamu beneran mau milih tinggal di Molgrad?" “Iya. Aku bisa mengelola usaha pembibitan keluarga dari jarak jauh. Lagipula, sekarang semua bisa dilakukan online. Ada manajer di sana, aku bisa kontrol dari sini,” jelas Daniel dengan mantap. Elena menatapnya, tersenyum lebar.“Itu artinya kamu bi







