Share

Empat

Penulis: Bonamija(Mondi)
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-30 14:46:05

Gina tidak mengatakan apa pun pada sang suami. Danu kini sibuk menidurkan Putri hingga kedua orang Gina datang. Wajah Pak Syamsuri dan sang istri tampak masam. Gina memang meminta mereka untuk datang agar bisa bergantian jaga.

"Kamu tahu 'kan, kami ini sudah tua, tidak seharusnya disuruh gantian jaga anak kamu. Baru anak satu udah merepotkan orang tua," kata Tuti--ibunda dari Gina yang merasa tidak suka ketika datang menjenguk cucu mereka.

Dari empat anaknya, hanya Gina saja yang nasibnya tidak baik karena menikah dengan Danu. Ketiga kakak Gina sudah sukses semua. Lihat saja Gina, hidup jauh dari kata pas-pasan atau bahkan sangat kekurangan. Dulu Syamsuri menolak pernikahan mereka.

"Saya hanya minta tolong, Pak, Bu." Gina menahan air matanya yang akan jatuh ke pipi.

"Minta tolong? Lalu suami kamu sibuk apa? Kalian bisa bergantian jaga. Ibu itu anaknya empat, nggak pernah sekali pun merepotkan kakek dan nenekmu dulu." Tuti tampak sangat kesal karena harus jauh-jauh datang dari Bekasi ke Jakarta.

Perdebatan anak dan kedua orang tuanya itu menarik perhatian beberapa orang tua pasien. Mereka berkasak-kusuk dan merasa kasihan pada Gina. Tampak jelas dua orang paruh baya itu tidak menyukai cucu mereka. Benar, saat habis melahirkan Putri, kedua orang tua Gina tidak datang menjenguk sama sekali.

"Ya, sudahlah, Pak, Bu. Jika kalian keberatan untuk membantu, kalian boleh pulang. Maaf, kalo aku hanya bisa membuat susah kalian." Gina tidak mau berdebat lagi yang pada akhirnya akan malu setelah ini.

"Harusnya dari tadi pagi kamu bilang nggak usah datang. Jangan saat kami sudah sampai sini baru ngomong seperti itu!" Tuti menarik tangan sang suami agar segera meninggalkan ruang rawat cucu mereka.

Kedua orang tua Gina sama sekali tidak menyapa Danu yang duduk tak jauh dari mereka. Syamsuri tidak pernah menganggap keberadaan Danu sebagai menantu mereka. Gina yang bodoh, buta karena cinta.

"Kamu harusnya nggak usah minta mereka datang jika pada akhirnya harus sakit hati. Kalo hanya masalah gantian jaga, besok sepulang jualan aku usahakan datang ke sini," kata Danu justru menyalahkan Gina.

Lagi dan lagi, Gina tidak mau menjawab ucapan sang suami. Ia memilih diam karena tidak ada gunanya menjawab ucapan sang suami. Gina berharap, Putri segera sembuh. Tidak perlu lagi ada di rumah sakit ini.

Enam hari berlalu, Putri akhirnya diizinkan pulang ke rumah dengan catatan minggu depan harus kontrol. Gina menyanggupinya dan segera menebus obat di apotek rumah sakit. Kali ini, Danu sedikit kalang kabut karena memikirkan biaya rumah sakit untuk Putri. Danu takut kehabisan modal jualan.

"Kamu ada uang buat bayar rumah sakit?" tanya Danu setengah berbisik pada sang istri.

"Aku punya uang? Uang dari mana emangnya? Kamu ngasih aku uang selama ini berapa?" Gina menjawab dengan ketus ucapan sang suami.

Danu mengembuskan napas kasar saat melihat sorot mata penuh amarah dari Gina. Danu memang sangat perhitungan jika masalah uang. Danu pasti akan banyak bertanya ini dan itu setelah memberikan uang pada sang istri. Entahlah, bagaimana dulu kedua orang tuanya mendidiknya.

"Lha terus bayar pakai apa?" tanya Danu sambil terus mengekori sang istri dari belakang.

Gina tidak menjawab dan langsung menuju ruang perawat untuk melaporkan jika sudah mengurus semua administrasi. Perawat itu pun menggunting gelang tanda pasien masuk yang ada pada tangan Putri. Gina sedikit bersyukur, Putri sudah sembuh saat ini. Jangan lagi sakit seperti kemarin, jujur, Gina sangat sedih.

"Kamu dapat uang dari mana bisa bayar uang rumah sakit ini?" Danu mulai curiga pada sang istri.

"Aku buat asuransi pemerintah," jawab Gina dengan ketus dan tidak bersahabat.

"Asuransi pemerintah? Bayar tiap bulan dong nanti kita!" Danu kini merasa sangat kesal pada sang istri.

"Bayar? Ini semua gratis! Kamu kalo bicara itu otaknya selalu ketinggalan. Baca dulu tagihan dari rumah sakit," ketus Gina merasa tidak suka dengan sang suami.

Napas Danu kembang kempis menahan amarah. Entahlah, sejak Gina tidak pulang malam itu, emosi Danu seperti tidak terkendali. Ia selalu ingin marah pada sang istri meski Gina hanya diam. Kali ini mereka pulang ke rumah kontrakan.

"Kamu nggak kepengen masak buat kita makan?" tanya Danu seolah memerintah sang istri.

"Masak?" Gina menatap tajam pada Danu yang sama sekali tak peka dengan keadaan. "Kamu nggak liat, Mas, aku baru loh sampai di rumah. Aku capek!" ketus Gina sambil melengos karena lelah berdebat dengan sang suami.

Danu mengembuskan napas panjang mendengar jawaban sang istri. Ia juga capai karena tadi berjualan dan banyak dagangan buah-buahannya yang belum laku. Rasanya malu jika kembali datang ke pabrik tempat Salma bekerja. Tetangga kontrakannya itu pasti akan meminta semua teman kerjanya untuk membeli dagangannya.

"Assalamualaikum." Ketukan pintu dari luar disertai ucapan salam itu menjeda pertengkaran pasangan suami dan istri itu.

"Waalaikumussalam," balas Danu sambil menoleh ke arah luar rumahnya.

Ada Salma dan beberapa tetangga lain yang datang sore ini. Salma tersenyum lebar saat melihat Gina menggendong Putri. Meski belum kembali ceria, Putri tetap tersenyum. Ada beberapa ibu-ibu tetangga yang juga datang.

"Maaf, kami semua belum sempat jenguk Putri di rumah sakit." Salma mengatakannya untuk mewakili mereka semua.

"Oh, ya, nggak apa, Bu Salma," jawab Gina sambil menggendong Putri lalu mempersilakan semua tamunya duduk di atas tikar yang dipasang di lantai rumahnya.

Salma menyerahkan dua kantung kresek besar berisi makanan. Ada nasi dan lauk pauk juga jajanan untuk Putri. Ia tahu, Gina pasti tidak sempat memasak karena baru saja pulang dari rumah sakit. Gina merasa tidak enak hati terlebih beberapa waktu lalu meminjam uang kepada Salma.

"Bu Salma kok repot-repot? Bu Salma datang saja saya sudah sangat bahagia." Gina tak kuasa menahan rasa haru. "Terima kasih atas perhatian ibu-ibu semua dengan menjenguk anak saya," lanjut Gina yang saat ini mengusap air mata.

"Ya, Mbak Gina, kita tetangga jadi harus saling peduli. Kami sengaja datang jenguk pas Putri sudah pulang saja. Sebab, kami juga punya anak balita yang nggak mungkin bisa diajak masuk ke rumah sakit," kata Bu Rt sambil tersenyum ramah.

"Ya, Bu, saya paham." Gina kembali tersenyum pada semua tetangganya.

Sebenarnya, Salma tidak sengaja datang bersama dengan semua ibu-ibu yang ada di sini. Ia bertemu mereka saat motornya masuk gang dan parkir tak jauh dari rumah Danu. Niat Salma hanya datang sendiri saja. Tidak tahunya justru ada mereka semua.

"Mbak Gina, kita pamit, ya, sebentar lagi malam. Anak saya banyak PR dari rumah," kata salah satu dari mereka.

"Oh, ya, terima kasih atas kedatanganya. Mohon maaf, malah tidak menyuguhkan air minum," kata Gina merasa tidak enak hati.

"Nggak apa-apa, toh, baru saja pulang dari rumah sakit. Semoga Putri segera pulih, ya. Jaga makanan dan kesehatan Putri, Mbak. Kasihan kalo sampai sakit lagi," pesan dari Bu Rt sambil menyerahkan amplop berisi uang sumbangan warga sekitar.

Mereka pun segera pulang ke rumah masing-masing. Hanya ada Salma saja yang belum berniat pulang. Gina meminta izin untuk masuk ke dalam dan mengganti baju Putri. Anak perempuan itu merasa gerah dan tidak nyaman.

Saat di dalam kamar, samar-samar Gina mendengar obrolan Salma. Nada bicara Salma dan Danu setengah berbisik. Gina menajamkan pendengaran agar bisa mendengar semua. Sayang, Putri merengek meminta makan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   63

    Hujan turun deras malam itu, menampar atap kamar kontrakan tempat Gina tinggal. Suasana sunyi dan gelap, hanya disinari lampu temaram dari pojok ruangan. Gina duduk di pojok ranjang, memeluk lutut, tubuhnya terbungkus sweater lusuh warna abu. Raut wajahnya terlihat sendu, matanya sembab, bekas air mata masih tampak di pipinya.'Ternyata otak dan hati nggak sinkron. Mas Danu sama sekali tidak berubah.' Gina mengatakan dalam hati dengan sangat pilu. Gina masih sempat berpikir jika Danu akan berubah saat ia berangkat kerja ke luar negeri. Akan tetapi, justru Danu semakin parah. Entahlah apa yang ada di otak Danu saat ini. Cinta dalam hati Gina kini berubah menjadi sebuah kebencian mendalam. Sudah satu minggu berlalu sejak ia terakhir kali melihat wajah Danu. Satu minggu penuh dengan pergolakan batin, antara rindu, dan benci, antara luka dan keinginan untuk melupakan. Seharusnya ia bisa hidup tenang setelah lepas dari pernikahan pura-pura itu. Namun, kenangan tentang Danu terus berputa

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   62

    Malam telah jatuh dengan sempurna saat Gina melangkah keluar dari gedung restoran tempatnya bekerja. Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah akibat hujan sore tadi. Langkahnya pelan, lelah menguasai setiap inci tubuhnya. Mata wanita itu sayu, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Hampir dua bulan sudah ia hidup terpisah dari sang anak, Putri. Rindu itu tak pernah surut, malah semakin hari semakin menyesakkan.Gina selalu menaiki bus umum untuk mengantarnya sampai ke flat tempatnya mengontrak. Di dalam bus, ia merindukan sang anak--Putri. Ia butuh semangat, butuh kehangatan yang hanya bisa didapat dari suara dan wajah kecil yang sangat dirindukan. Putri adalah alasan Gina mau bekerja keras saat ini. “Assalamualaikum, Bunda!” sapa ceria Putri dari layar.Wajah mungil itu muncul dengan senyum lebar. Matanya berbinar, rambutnya ditata rapi dengan jepit warna merah muda. Di latar belakang, terlihat ruang tamu rumah Reza—kakaknya, tempat Putri sementara tinggal. Putri

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   61

    Malam itu, suasana di kantor polisi sangat berbeda dari biasanya. Lampu-lampu neon yang terpasang di langit-langit memantulkan cahaya terang yang terasa dingin, hampir seolah-olah menguatkan nuansa suram yang menyelimuti ruangan itu. Di sudut ruangan, Guntara duduk di kursi kayu keras, tangan terborgol, wajahnya tampak lelah dan kosong. Tidak ada sedikit pun ekspresi penyesalan yang terlukis di wajahnya, hanya kelelahan yang tampak menghantui setiap gerak-geriknya.Salma sudah tidak ada di sana. Ia menolak memberikan kesaksian atau bertemu dengan Guntara. Setelah kejadian tadi malam, Salma memilih untuk meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah salah satu warga. Meski di dalam dirinya masih ada rasa sakit yang mendalam, ia merasa lebih tenang di tempat yang jauh dari Guntara. Ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus mengakhiri semua ini—kehadirannya di rumah itu, pertemuan mereka yang penuh amarah, dan hubungan yang sudah lama mati.Sementara itu, di kantor polisi, kegaduhan akibat p

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   60

    "Kamu benar-benar gila, Mas!" Salma berteriak dengan sangat kencang saat mereka berada di dalam rumah."Ya, aku memang gila!" bentak Guntara tak kalah keras dari Salma.Angin malam menyusup dari celah jendela kayu rumah bergaya minimalis yang berdiri di pinggiran kota. Rumah itu sunyi, hanya diisi oleh kenangan masa lalu yang tak pernah benar-benar mati. Dinding-dindingnya masih menyimpan gema tawa dan tangis, jejak-jejak cinta yang dulu pernah menyala, lalu padam tanpa aba-aba.Salma berdiri di ruang tengah, tubuhnya kaku, matanya menatap Guntara penuh kecurigaan. Ia masih mengenakan setelan santai, jaket krem menutupi gaun tidurnya. Rambutnya digerai, sebagian menutupi pipinya yang kini mulai memerah karena emosi yang tertahan. Laki-laki itu memang tidak bisa ditebak dan membuat Salma kehabisan kesabaran.“Kenapa kau bawa aku ke sini?” tanyanya, suaranya dingin, nyaris tanpa intonasi. “Kenapa bukan ke hotel atau tempat lain saja?”Guntara berdiri beberapa langkah darinya, tubuh tega

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Sembilan

    "Ibu dan yang lainnya sama saja. Mereka tidak akan membantu setiap masalahku, tapi sebaliknya, hanya menambah masalah!" Guntara sangat marah saat ini.Pekerjaan di kantor hari ini sangatlah banyak. Guntara bahkan melupakan jam istirahatnya. Ia tidak keluar untuk makan siang. Meski sudah bekerja dari pagi, tetap saja, pekerjaan itu belum selesai. Senja mulai menyelimuti langit dengan semburat jingga yang perlahan memudar. Udara di sekitar pabrik terasa penuh dengan debu dan bau besi yang khas. Para pekerja satu per satu keluar dari pintu produksi, wajah mereka tampak lelah setelah seharian bergulat dengan mesin dan pekerjaan berat. Lelah setelah bekerja seharian tampak pada wajah para pekerja itu. Di antara kerumunan itu, seorang pria tegap berdiri bersandar pada kap mobil hitamnya. Sorot matanya tajam, menelusuri wajah-wajah yang keluar dari dalam pabrik. Guntara menunggu dengan sabar, meski dadanya berdegup kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini tidak akan mudah, tetap

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Delapan

    "Ibu bukan nggak tahu kegilaanmu, Gun. Hanya saja, selama ini, Ibu diam dan sengaja menunggu kamu berubah. Tapi, ternyata tidak. Kamu justru semakin gila! Salma dan laki-laki itu sudah menikah!" Yulianti berbicara dengan nada penuh amarah pada sang anak. "Apa yang kamu harapkan dari wanita pelakor itu? Dia sengaja membuat istri laki-laki itu pergi!" bentak Yulianti dengan kasar dan keras."Ibu tahu dari mana mereka sudah menikah?" tanya Guntara yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Yulianti menoleh lalu tersenyum sinis. Ia menertawakan sang anak yang tampak bodoh itu. Yulianti lantas mengatakan kalimat pedas yang membuat Guntara terdiam seketika. Fakta itu memang menyakitkan."Sejak lama Ibu sudah tahu. Kamu saja yang menutup mata dan telinga. Sudah benar membuang batu kali dan mendapatkan berlian, kamu malah memilih mengambil batu kali. Di mana otak kamu?" Yulianti mengatakan dengan nada keras. Ruangan rumah mewah itu terasa begitu tegang. Yulianti berdiri di tengah ruang

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Tujuh

    Udara malam menyelimuti rumah kontrakan Danu dengan keheningan yang mencekam. Cahaya lampu jalan yang temaram menyoroti halaman sempit di depan rumah. Angin berembus pelan, mengayun tirai jendela yang dibiarkan terbuka sedikit, memberikan celah bagi cahaya bulan untuk masuk. Aroma tanah basah sisa hujan sore tadi masih tercium samar-samar.'Aku dan Salma sama-sama saling menguntungkan. Aku jelas tidak salah. Gina jauh!' Danu masih membayangkan aktivitas mereka saat di hotel beberapa waktu yang lalu.Danu duduk di kursi kayu tua di sudut ruangan, tangan kirinya memegang gelas berisi kopi hitam yang masih mengepul. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya yang masih basah sedikit berantakan, meneteskan air ke kaus oblong yang dikenakannya. Pandangannya kosong, menatap ke luar jendela dengan mata sedikit sayu. Di dalam pikirannya, ada banyak hal yang berkecamuk—tentang Salma, tentang Gina, dan tentang kehidupannya yang semakin rumit.Ada Salma di rumah ini. Setelah kejadian itu, baru sekara

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Enam

    Sepanjang perjalanan menuju rumah, Salma selalu tersenyum. Ia masih mengingat bagaimana permainan Danu semalam. Sangat memuaskan dan Salma hampir kewalahan. Mendadak Salma membandingkan permainan ranjang Guntara dan Danu, lantas senyumnya langsung memudar. Salma baru saja tiba di rumahnya, sebuah rumah minimalis dengan pagar putih sederhana. Malam sudah larut, udara dingin menyelimuti lingkungan sekitar. Langit tampak gelap tanpa bintang, hanya rembulan yang bersinar redup di balik awan tipis. Rasa lelah masih menggelayut di tubuhnya, setelah seharian berada di luar rumah. Namun, belum sempat ia menghela napas lega, langkahnya terhenti.Di teras rumahnya, seorang pria berdiri tegap dengan tatapan tajam yang menusuk ke arah Salma. Guntara.'Ngapain dia di sana!' Salma menggerutu di dalam hati saat melihat Guntara duduk di salah satu kursi yang ada di terasnya.Salma kesal saat melihat sang mantan suami. Entah sejak kapan pria itu berada di sana. Salma tidak melihat mobilnya terparkir

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Lima

    Danu duduk di karpet rumah kontrakan dengan wajah kusut. Asap rokok yang mengepul di ujung jarinya perlahan membaur dengan udara dingin yang masuk dari jendela. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan kilauan lampu kota di malam hari. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak basah di trotoar dan jalan raya yang memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas. Ternyata tidak semudah itu!Di depannya, Salma berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh dengan ketegangan. Perempuan itu baru saja mentransfer sejumlah besar uang ke rekening Danu, dan kini menuntut kepastian. Ya, Danu meminta kompensasi atas apa yang diminta oleh Salma. Mereka baru saja beradu argumen dengan Guntara."Apa tidak ada pilihan lain?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Danu tanpa basa-basi sama sekali. "Kita sudah sepakat, Danu," ucapnya dingin. "Aku sudah melunasi hutang-hutangmu. Sekarang giliranmu melakukan bagianmu."Danu menghela napas panjang, membuang sisa rokoknya ke asb

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status