Share

Tiga

Penulis: Bonamija(Mondi)
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-30 14:45:42

Gina kini sudah berdiri sambil memeganggi pipinya. Emosi Danu sama sekali tidak bisa dikendalikan. Hampir saja Danu menendang perut Gina. Beruntung, ada tetangga yang menarik tubuh mungil Gina.

"Saya akan melaporkan pada pihak berwajib jika ada hal buruk terjadi pada Gina. Masalah rumah tangga itu bisa dibicarakan baik-baik. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah." Tetangga Danu mengatakan dengan tegas.

"Cukup! Lepaskan istri saya!" Danu menarik kuat lengan Gina lalu menutup pintu dengan keras. "Kamu pergi sesuka hati hanya karena aku tidak punya uang? Kamu memang wanita sialan!" teriak Danu tepat di depan wajah Gina.

Tubuh Gina gemetar hebat pagi ini. Ia pulang karena harus mengambil pakaian bersih untuk Putri. Gina juga harus mandi dan berganti pakaian saat ini. Tubuhnya sangat lengket karena keringat. Putri di rumah sakit dititipkan pada perawat.

"Aku memang pergi, tapi bukan sesuka hati. Putri masuk rumah sakit." Jawaban Gina membuat Danu terkejut. "Aku tidak bisa mengabarimu karena ponselku tertinggal juga tidak ada pulsa," lanjut Gina lalu segera meninggalkan sang suami.

Gegas, Gina langsung mandi dan menyiapkan semua keperluan Putri. Botol air minum kesayangan Putri dibawa serta benda lain kesukaan sang anak. Danu masih bengong di tempatnya. Ia merasa tertampar dengan jawaban sang istri.

"Gin, biar aku antar," kata Danu seolah tidak terjadi apa pun.

"Bukankah aku wanita sialan? Jangan dekat dengan wanita sialan ini, nanti hidupmu akan sial." Gina melengos lalu segera meninggalkan Danu seorang diri.

Gina bahkan lupa membeli sarapan untuk dirinya. Pertengkaran dengan sang suami membuat pikirannya kacau. Tidak hanya masalah uang ujian dalam rumah tangganya, masalah ke-posesifan Danu juga kadang membuat Gina meradang. Tak jarang, Danu cemburu tanpa sebab.

Dua jam berlalu dan Danu masih berada di rumah. Ketukan pintu dari luar membuat ayah satu anak itu terkejut. Danu kembali membuka pintu. Ia berharap jika Gina kembali pulang.

"Gina-nya ada?" Salma berdiri di depan pintu rumah kontrakan Danu dengan menggunakan seragam kantornya.

Mata Danu membola saat tahu siapa yang datang. Salma--wanita matang yang kemarin memborong semua dagangannya kini datang ke rumahnya. Danu mengembuskan napas panjang sebelum menjawab. Sejujurnya, ia tidak tahu ke mana Gina pergi tadi.

"Gina ke rumah sakit. Anak kami dirawat." Danu menjawab dengan cepat.

"Oh, jadi, kemarin pagi dari puskesmas langsung dirujuk ke rumah sakit untuk dirawat?" Pertanyaan Salma semakin membuat Danu sakit kepala. "Kamu kenapa masih di rumah? Emang mau tetap jualan pas anak sakit?" tanya Salma sambil melambaikan tangan di depan wajah Danu.

"Oh, a-anu, saya mau ke rumah sakit ini," kata Danu menahan rasa malu karena tidak peduli dengan anak dan istrinya.

"Ini, aku tadinya mau bawakan makanan buat Putri. Aku kira cuma masuk angin biasa, Dan. Nggak tahunya harus rawat inap di rumah sakit. Mungkin dari puskesmas langsung dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat," kata Salma asal karena tidak tahu juga di mana keberadaan Putri saat ini.

Danu mendadak bodoh, bukankah bisa menghubungi sang istri. Gina sudah membawa ponselnya tadi. Entahlah, ketika sudah emosi, Danu seperti kesetanan. Banyak tetangga yang menyayangkan sikap Danu jika sudah emosi.

"Mbak Salma, saya tinggal dulu, ya." Danu akhirnya menutup pintu rumah kontrakannya lalu menguncinya dengan cepat.

Salma hanya melongo saat ditinggalkan oleh Danu. Ia bahkan belum menyerahkan bungkusan plastik berisi banyak kue dan makanan untuk Gina dan Putri. Mendadak ada kasak-kusuk tidak mengenakkan dari ibu-ibu tetangga kontrakan Danu. Mereka menggunjing Salma.

"Sal, jangan rusak rumah tangga Danu dan Gina. Mereka orang baik." Salah satu ibu-ibu itu tanpa basa-basi mengeluarkan kalimat keramat karena tahu siapa Salma yang sebenarnya.

"Saya ini mau jenguk Putri. Ternyata dia masih opname di rumah sakit. Siapa juga yang mau merusak rumah tangga mereka. Saya sudah menganggap Gina sebagai adik saya sendiri," jawab Salma dengan ketus.

"Awalnya Gina dianggap adik, tapi nggak menutup kemungkinan kamu merebut Danu." Ibu-ibu itu masih saja menghina Salma.

Salma mengembuskan napas kasar dan tidak mau berdebat lagi. Ia pun akhirnya meletakkan kantung plastik hitam itu di depan teras rumah kontrakan Danu. Tidak ada waktu untuk menjawab ucapan manusia tidak berguna itu karena Salma harus segera ke pabrik. Ia pun melajukan motornya menuju ke pabrik.

Sementara itu, Danu kebingungan karena tidak tahu di mana keberadaan anak dan istrinya itu. Otak di kepalanya tidak bisa berpikir sama sekali. Lagi dan lagi, emosi sudah menguasai otak dan hati Danu. Danu saat ini justru berada di puskesmas.

"Mbak, kemarin ada pasien anak usia dua tahun namanya Putri Sukma, nggak?" tanya Danu pada petugas puskesmas.

"Sebentar, ya, Pak. Biar saya cek, karena kemarin bukan saya yang tugas di sini." Petugas itu mengetikkan nama pasien yang disebutkan oleh Danu. "Pasien atas nama Putri Sukma dirujuk ke Rumah Sakit Unum Pusat, Pak. Pasien harus dirawat," kata petugas itu dengan ramah.

Danu lantas mengucapkan terima kasih dan meninggalkan puskesmas. Ia mengembuskan napas panjang dan meremas rambutnya dengan kasar. Danu merasa bodoh karena justru marah pada Gina, wanita yang telah mendampinginya selama tiga tahun ini. Danu pun segera mencari angkutan umum untuk menuju ke rumah sakit itu.

Sementara itu, Gina saat ini sedang mengganti pakaian sang anak. Putri sudah jauh lebih baik keadaannya daripada kemarin. Anak perempuan usia dua tahun itu sudah tidak muntah lagi meski hanya makan sedikit. Putri bahkan patuh saat minum obat.

"Bu, Apak, kok tidak ke cini temani puteli?" tanya Putri dengan nada khas anak kecil.

"Bapak mungkin sebentar lagi. Putri cepat sembuh, ya. Biar bisa ketemu Bapak lagi. Biasanya Bapak pulang jualan sore," kata Gina berusaha tampak baik-baik saja meski ada bekas tangan di wajahnya.

Tamparan Danu sangatlah keras bagi perempuan sekecil Gina. Entahlah, apa yang ada dalam otak Danu hingga tega menampar sang istri. Danu kalap karena tidak mandapati anak dan istrinya di rumah hingga pagi menjelang. Akan tetapi, haruskah bersikap kasar pada perempuan?

"Ini, Pak ruangan atas nama Putri." Suara itu membuat Gina menoleh ke arah pintu.

Danu datang ditemani oleh salah petugas kebersihan. Wajah Putri sangat sumringah ketika melihat kedatangan sang bapak. Lain halnya dengan Gina yang langsung memasang wajah masam. Sebelum Danu datang, Gina sudah mengabari kedua orang tuanya jika Putri masuk dan harus dirawat dirumah sakit.

"Itu Bapak, Bu." Putri menunjuk ke arah laki-laki yang menggunakan kemeja warna merah yang sudah pudar.

"Iya." Gina hanya menjawab singkat ucapan sang anak tanpa menatap ke arah Putri.

"Seharusnya kamu bilang kalo anak kita sakit. Aku salah paham karena berpikir yang tidak-tidak." Bukan permintaan maaf yang keluar dari mulut Danu melainkan menyalahkan Gina yang dianggap tidak memberi kabar. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   63

    Hujan turun deras malam itu, menampar atap kamar kontrakan tempat Gina tinggal. Suasana sunyi dan gelap, hanya disinari lampu temaram dari pojok ruangan. Gina duduk di pojok ranjang, memeluk lutut, tubuhnya terbungkus sweater lusuh warna abu. Raut wajahnya terlihat sendu, matanya sembab, bekas air mata masih tampak di pipinya.'Ternyata otak dan hati nggak sinkron. Mas Danu sama sekali tidak berubah.' Gina mengatakan dalam hati dengan sangat pilu. Gina masih sempat berpikir jika Danu akan berubah saat ia berangkat kerja ke luar negeri. Akan tetapi, justru Danu semakin parah. Entahlah apa yang ada di otak Danu saat ini. Cinta dalam hati Gina kini berubah menjadi sebuah kebencian mendalam. Sudah satu minggu berlalu sejak ia terakhir kali melihat wajah Danu. Satu minggu penuh dengan pergolakan batin, antara rindu, dan benci, antara luka dan keinginan untuk melupakan. Seharusnya ia bisa hidup tenang setelah lepas dari pernikahan pura-pura itu. Namun, kenangan tentang Danu terus berputa

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   62

    Malam telah jatuh dengan sempurna saat Gina melangkah keluar dari gedung restoran tempatnya bekerja. Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah akibat hujan sore tadi. Langkahnya pelan, lelah menguasai setiap inci tubuhnya. Mata wanita itu sayu, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Hampir dua bulan sudah ia hidup terpisah dari sang anak, Putri. Rindu itu tak pernah surut, malah semakin hari semakin menyesakkan.Gina selalu menaiki bus umum untuk mengantarnya sampai ke flat tempatnya mengontrak. Di dalam bus, ia merindukan sang anak--Putri. Ia butuh semangat, butuh kehangatan yang hanya bisa didapat dari suara dan wajah kecil yang sangat dirindukan. Putri adalah alasan Gina mau bekerja keras saat ini. “Assalamualaikum, Bunda!” sapa ceria Putri dari layar.Wajah mungil itu muncul dengan senyum lebar. Matanya berbinar, rambutnya ditata rapi dengan jepit warna merah muda. Di latar belakang, terlihat ruang tamu rumah Reza—kakaknya, tempat Putri sementara tinggal. Putri

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   61

    Malam itu, suasana di kantor polisi sangat berbeda dari biasanya. Lampu-lampu neon yang terpasang di langit-langit memantulkan cahaya terang yang terasa dingin, hampir seolah-olah menguatkan nuansa suram yang menyelimuti ruangan itu. Di sudut ruangan, Guntara duduk di kursi kayu keras, tangan terborgol, wajahnya tampak lelah dan kosong. Tidak ada sedikit pun ekspresi penyesalan yang terlukis di wajahnya, hanya kelelahan yang tampak menghantui setiap gerak-geriknya.Salma sudah tidak ada di sana. Ia menolak memberikan kesaksian atau bertemu dengan Guntara. Setelah kejadian tadi malam, Salma memilih untuk meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah salah satu warga. Meski di dalam dirinya masih ada rasa sakit yang mendalam, ia merasa lebih tenang di tempat yang jauh dari Guntara. Ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus mengakhiri semua ini—kehadirannya di rumah itu, pertemuan mereka yang penuh amarah, dan hubungan yang sudah lama mati.Sementara itu, di kantor polisi, kegaduhan akibat p

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   60

    "Kamu benar-benar gila, Mas!" Salma berteriak dengan sangat kencang saat mereka berada di dalam rumah."Ya, aku memang gila!" bentak Guntara tak kalah keras dari Salma.Angin malam menyusup dari celah jendela kayu rumah bergaya minimalis yang berdiri di pinggiran kota. Rumah itu sunyi, hanya diisi oleh kenangan masa lalu yang tak pernah benar-benar mati. Dinding-dindingnya masih menyimpan gema tawa dan tangis, jejak-jejak cinta yang dulu pernah menyala, lalu padam tanpa aba-aba.Salma berdiri di ruang tengah, tubuhnya kaku, matanya menatap Guntara penuh kecurigaan. Ia masih mengenakan setelan santai, jaket krem menutupi gaun tidurnya. Rambutnya digerai, sebagian menutupi pipinya yang kini mulai memerah karena emosi yang tertahan. Laki-laki itu memang tidak bisa ditebak dan membuat Salma kehabisan kesabaran.“Kenapa kau bawa aku ke sini?” tanyanya, suaranya dingin, nyaris tanpa intonasi. “Kenapa bukan ke hotel atau tempat lain saja?”Guntara berdiri beberapa langkah darinya, tubuh tega

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Sembilan

    "Ibu dan yang lainnya sama saja. Mereka tidak akan membantu setiap masalahku, tapi sebaliknya, hanya menambah masalah!" Guntara sangat marah saat ini.Pekerjaan di kantor hari ini sangatlah banyak. Guntara bahkan melupakan jam istirahatnya. Ia tidak keluar untuk makan siang. Meski sudah bekerja dari pagi, tetap saja, pekerjaan itu belum selesai. Senja mulai menyelimuti langit dengan semburat jingga yang perlahan memudar. Udara di sekitar pabrik terasa penuh dengan debu dan bau besi yang khas. Para pekerja satu per satu keluar dari pintu produksi, wajah mereka tampak lelah setelah seharian bergulat dengan mesin dan pekerjaan berat. Lelah setelah bekerja seharian tampak pada wajah para pekerja itu. Di antara kerumunan itu, seorang pria tegap berdiri bersandar pada kap mobil hitamnya. Sorot matanya tajam, menelusuri wajah-wajah yang keluar dari dalam pabrik. Guntara menunggu dengan sabar, meski dadanya berdegup kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini tidak akan mudah, tetap

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Delapan

    "Ibu bukan nggak tahu kegilaanmu, Gun. Hanya saja, selama ini, Ibu diam dan sengaja menunggu kamu berubah. Tapi, ternyata tidak. Kamu justru semakin gila! Salma dan laki-laki itu sudah menikah!" Yulianti berbicara dengan nada penuh amarah pada sang anak. "Apa yang kamu harapkan dari wanita pelakor itu? Dia sengaja membuat istri laki-laki itu pergi!" bentak Yulianti dengan kasar dan keras."Ibu tahu dari mana mereka sudah menikah?" tanya Guntara yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Yulianti menoleh lalu tersenyum sinis. Ia menertawakan sang anak yang tampak bodoh itu. Yulianti lantas mengatakan kalimat pedas yang membuat Guntara terdiam seketika. Fakta itu memang menyakitkan."Sejak lama Ibu sudah tahu. Kamu saja yang menutup mata dan telinga. Sudah benar membuang batu kali dan mendapatkan berlian, kamu malah memilih mengambil batu kali. Di mana otak kamu?" Yulianti mengatakan dengan nada keras. Ruangan rumah mewah itu terasa begitu tegang. Yulianti berdiri di tengah ruang

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Tujuh

    Udara malam menyelimuti rumah kontrakan Danu dengan keheningan yang mencekam. Cahaya lampu jalan yang temaram menyoroti halaman sempit di depan rumah. Angin berembus pelan, mengayun tirai jendela yang dibiarkan terbuka sedikit, memberikan celah bagi cahaya bulan untuk masuk. Aroma tanah basah sisa hujan sore tadi masih tercium samar-samar.'Aku dan Salma sama-sama saling menguntungkan. Aku jelas tidak salah. Gina jauh!' Danu masih membayangkan aktivitas mereka saat di hotel beberapa waktu yang lalu.Danu duduk di kursi kayu tua di sudut ruangan, tangan kirinya memegang gelas berisi kopi hitam yang masih mengepul. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya yang masih basah sedikit berantakan, meneteskan air ke kaus oblong yang dikenakannya. Pandangannya kosong, menatap ke luar jendela dengan mata sedikit sayu. Di dalam pikirannya, ada banyak hal yang berkecamuk—tentang Salma, tentang Gina, dan tentang kehidupannya yang semakin rumit.Ada Salma di rumah ini. Setelah kejadian itu, baru sekara

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Enam

    Sepanjang perjalanan menuju rumah, Salma selalu tersenyum. Ia masih mengingat bagaimana permainan Danu semalam. Sangat memuaskan dan Salma hampir kewalahan. Mendadak Salma membandingkan permainan ranjang Guntara dan Danu, lantas senyumnya langsung memudar. Salma baru saja tiba di rumahnya, sebuah rumah minimalis dengan pagar putih sederhana. Malam sudah larut, udara dingin menyelimuti lingkungan sekitar. Langit tampak gelap tanpa bintang, hanya rembulan yang bersinar redup di balik awan tipis. Rasa lelah masih menggelayut di tubuhnya, setelah seharian berada di luar rumah. Namun, belum sempat ia menghela napas lega, langkahnya terhenti.Di teras rumahnya, seorang pria berdiri tegap dengan tatapan tajam yang menusuk ke arah Salma. Guntara.'Ngapain dia di sana!' Salma menggerutu di dalam hati saat melihat Guntara duduk di salah satu kursi yang ada di terasnya.Salma kesal saat melihat sang mantan suami. Entah sejak kapan pria itu berada di sana. Salma tidak melihat mobilnya terparkir

  • Menikah Lagi untuk Membalas Sakit Hati   Lima Puluh Lima

    Danu duduk di karpet rumah kontrakan dengan wajah kusut. Asap rokok yang mengepul di ujung jarinya perlahan membaur dengan udara dingin yang masuk dari jendela. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan kilauan lampu kota di malam hari. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak basah di trotoar dan jalan raya yang memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas. Ternyata tidak semudah itu!Di depannya, Salma berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh dengan ketegangan. Perempuan itu baru saja mentransfer sejumlah besar uang ke rekening Danu, dan kini menuntut kepastian. Ya, Danu meminta kompensasi atas apa yang diminta oleh Salma. Mereka baru saja beradu argumen dengan Guntara."Apa tidak ada pilihan lain?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Danu tanpa basa-basi sama sekali. "Kita sudah sepakat, Danu," ucapnya dingin. "Aku sudah melunasi hutang-hutangmu. Sekarang giliranmu melakukan bagianmu."Danu menghela napas panjang, membuang sisa rokoknya ke asb

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status