Hujan turun deras malam itu, menampar atap kamar kontrakan tempat Gina tinggal. Suasana sunyi dan gelap, hanya disinari lampu temaram dari pojok ruangan. Gina duduk di pojok ranjang, memeluk lutut, tubuhnya terbungkus sweater lusuh warna abu. Raut wajahnya terlihat sendu, matanya sembab, bekas air mata masih tampak di pipinya.'Ternyata otak dan hati nggak sinkron. Mas Danu sama sekali tidak berubah.' Gina mengatakan dalam hati dengan sangat pilu. Gina masih sempat berpikir jika Danu akan berubah saat ia berangkat kerja ke luar negeri. Akan tetapi, justru Danu semakin parah. Entahlah apa yang ada di otak Danu saat ini. Cinta dalam hati Gina kini berubah menjadi sebuah kebencian mendalam. Sudah satu minggu berlalu sejak ia terakhir kali melihat wajah Danu. Satu minggu penuh dengan pergolakan batin, antara rindu, dan benci, antara luka dan keinginan untuk melupakan. Seharusnya ia bisa hidup tenang setelah lepas dari pernikahan pura-pura itu. Namun, kenangan tentang Danu terus berputa
Malam telah jatuh dengan sempurna saat Gina melangkah keluar dari gedung restoran tempatnya bekerja. Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah akibat hujan sore tadi. Langkahnya pelan, lelah menguasai setiap inci tubuhnya. Mata wanita itu sayu, wajahnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Hampir dua bulan sudah ia hidup terpisah dari sang anak, Putri. Rindu itu tak pernah surut, malah semakin hari semakin menyesakkan.Gina selalu menaiki bus umum untuk mengantarnya sampai ke flat tempatnya mengontrak. Di dalam bus, ia merindukan sang anak--Putri. Ia butuh semangat, butuh kehangatan yang hanya bisa didapat dari suara dan wajah kecil yang sangat dirindukan. Putri adalah alasan Gina mau bekerja keras saat ini. “Assalamualaikum, Bunda!” sapa ceria Putri dari layar.Wajah mungil itu muncul dengan senyum lebar. Matanya berbinar, rambutnya ditata rapi dengan jepit warna merah muda. Di latar belakang, terlihat ruang tamu rumah Reza—kakaknya, tempat Putri sementara tinggal. Putri
Malam itu, suasana di kantor polisi sangat berbeda dari biasanya. Lampu-lampu neon yang terpasang di langit-langit memantulkan cahaya terang yang terasa dingin, hampir seolah-olah menguatkan nuansa suram yang menyelimuti ruangan itu. Di sudut ruangan, Guntara duduk di kursi kayu keras, tangan terborgol, wajahnya tampak lelah dan kosong. Tidak ada sedikit pun ekspresi penyesalan yang terlukis di wajahnya, hanya kelelahan yang tampak menghantui setiap gerak-geriknya.Salma sudah tidak ada di sana. Ia menolak memberikan kesaksian atau bertemu dengan Guntara. Setelah kejadian tadi malam, Salma memilih untuk meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah salah satu warga. Meski di dalam dirinya masih ada rasa sakit yang mendalam, ia merasa lebih tenang di tempat yang jauh dari Guntara. Ia tahu, apapun yang terjadi, ia harus mengakhiri semua ini—kehadirannya di rumah itu, pertemuan mereka yang penuh amarah, dan hubungan yang sudah lama mati.Sementara itu, di kantor polisi, kegaduhan akibat p
"Kamu benar-benar gila, Mas!" Salma berteriak dengan sangat kencang saat mereka berada di dalam rumah."Ya, aku memang gila!" bentak Guntara tak kalah keras dari Salma.Angin malam menyusup dari celah jendela kayu rumah bergaya minimalis yang berdiri di pinggiran kota. Rumah itu sunyi, hanya diisi oleh kenangan masa lalu yang tak pernah benar-benar mati. Dinding-dindingnya masih menyimpan gema tawa dan tangis, jejak-jejak cinta yang dulu pernah menyala, lalu padam tanpa aba-aba.Salma berdiri di ruang tengah, tubuhnya kaku, matanya menatap Guntara penuh kecurigaan. Ia masih mengenakan setelan santai, jaket krem menutupi gaun tidurnya. Rambutnya digerai, sebagian menutupi pipinya yang kini mulai memerah karena emosi yang tertahan. Laki-laki itu memang tidak bisa ditebak dan membuat Salma kehabisan kesabaran.“Kenapa kau bawa aku ke sini?” tanyanya, suaranya dingin, nyaris tanpa intonasi. “Kenapa bukan ke hotel atau tempat lain saja?”Guntara berdiri beberapa langkah darinya, tubuh tega
"Ibu dan yang lainnya sama saja. Mereka tidak akan membantu setiap masalahku, tapi sebaliknya, hanya menambah masalah!" Guntara sangat marah saat ini.Pekerjaan di kantor hari ini sangatlah banyak. Guntara bahkan melupakan jam istirahatnya. Ia tidak keluar untuk makan siang. Meski sudah bekerja dari pagi, tetap saja, pekerjaan itu belum selesai. Senja mulai menyelimuti langit dengan semburat jingga yang perlahan memudar. Udara di sekitar pabrik terasa penuh dengan debu dan bau besi yang khas. Para pekerja satu per satu keluar dari pintu produksi, wajah mereka tampak lelah setelah seharian bergulat dengan mesin dan pekerjaan berat. Lelah setelah bekerja seharian tampak pada wajah para pekerja itu. Di antara kerumunan itu, seorang pria tegap berdiri bersandar pada kap mobil hitamnya. Sorot matanya tajam, menelusuri wajah-wajah yang keluar dari dalam pabrik. Guntara menunggu dengan sabar, meski dadanya berdegup kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini tidak akan mudah, tetap
"Ibu bukan nggak tahu kegilaanmu, Gun. Hanya saja, selama ini, Ibu diam dan sengaja menunggu kamu berubah. Tapi, ternyata tidak. Kamu justru semakin gila! Salma dan laki-laki itu sudah menikah!" Yulianti berbicara dengan nada penuh amarah pada sang anak. "Apa yang kamu harapkan dari wanita pelakor itu? Dia sengaja membuat istri laki-laki itu pergi!" bentak Yulianti dengan kasar dan keras."Ibu tahu dari mana mereka sudah menikah?" tanya Guntara yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Yulianti menoleh lalu tersenyum sinis. Ia menertawakan sang anak yang tampak bodoh itu. Yulianti lantas mengatakan kalimat pedas yang membuat Guntara terdiam seketika. Fakta itu memang menyakitkan."Sejak lama Ibu sudah tahu. Kamu saja yang menutup mata dan telinga. Sudah benar membuang batu kali dan mendapatkan berlian, kamu malah memilih mengambil batu kali. Di mana otak kamu?" Yulianti mengatakan dengan nada keras. Ruangan rumah mewah itu terasa begitu tegang. Yulianti berdiri di tengah ruang