Share

11. Kakak Ipar Jutek

“Apa maksudmu, Diaz?” tanya Ayah Abyaz lantas bangkit dari duduknya diikuti oleh Aufal.

“Diaz nggak setuju Adek dibawa pergi sama Aufal ke Jakarta,” jawab Diaz datar.

“Kenapa memangnya? Aufal berhak membawa Adek kemanapun dia pergi.”

“Diaz tetep nggak setuju!”

Ayah Abyaz mengajak Diaz dan Aufal ke halaman rumah terlebih dahulu agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh istri dan putrinya. Beliau merasa akan ada perdebatan diantara keduanya. 

“Setuju ndak setuju, kita harus menghargai keputusannya, Diaz. Mungkin mereka butuh privasi berdua yang ndak melibatkan keluarga di dalamnya. Ayah percaya Aufal bisa menjaga dan membahagiakan Adek,” ucapnya.

“Segampang itu Ayah percaya?” Diaz terkekeh sinis. Matanya menatap tajam ke arah Aufal. “Bagaimana bisa Ayah mempercayakan Adek pada orang asing macam dia?”

“Aufal bukan orang asing, Diaz. Dia kini udah jadi suami Adek. Kita memang belum saling mengenal sepenuhnya, tapi Ayah yakin Aufal ndak akan menyakiti Azwa. Ayah juga melihat Aufal memperlakukan Adek dengan sangat baik tadi.”

“Bisa aja itu cuma pencitraan. Dia bersikap baik hanya di depan keluarga kita. Di belakang itu siapa yang tau?” Diaz tersenyum miring terkesan mengejek.

“Nggak ada yang namanya pencitraan, Mas. Aku sungguh-sungguh menyayangi Azwa dengan tulus.” Aufal membuka suara mematahkan argumen Diaz.

“Menyayangi kok memaksa,” balas Diaz sengit, lalu berjalan mendekati Aufal. 

“Aku selama ini diam bukan berarti aku menyetujui pernikahan kalian. Aku diam karena nggak ingin menambah masalah dengan keluargamu yang malah membuat masalah semakin runyam.”

“Terus kamu maunya aku gimana, Mas?” tanya Aufal. Dia dan Ardiaz sebenarnya seumuran, hanya terpaut beberapa bulan saja. Namun, status yang menjadi adik ipar mengharuskannya memanggil Diaz dengan sebutan ‘Mas’.

“Jangan libatkan Azwa ke dalam apapun masalah keluargamu.”

Aufal terbungkam. Azwa sudah menjadi istri dan menantu keluarga Ar-Rasyid yang secara otomatis akan terlibat dalam masalah keluarganya. 

Bahkan mungkin tanpa disadarinya, Azwa sudah terjun langsung ke dalam konflik antara dirinya dengan sang ayah.

Melihat keterdiaman Aufal, Diaz kembali melanjutkan, “kamu kira aku nggak tau kalau keluargamu sedang bermasalah? Aku juga nggak buta untuk melihat kalau kebanyakan keluarga besarmu nggak menyetujui pernikahan kalian.”

“Mereka nggak menghargai dan memandang Azwa sebelah mata. Mau jadi seperti apa adikku di sana?” 

Kumpul keluarga besar dua hari yang lalu di kediaman Aufal membuat laki-laki itu sadar bahwa Azwa tidak diinginkan kehadirannya di keluarga terpandang itu. Sebagai kakak, tentu saja dia sangat khawatir, takut adiknya akan menderita di sana.

“Kamu nggak perlu khawatir, Mas. Selama ada aku, Mama-Papa, insyaallah Azwa akan aman dan nyaman berada di sana,” jawab Aufal tenang.

Diaz tersenyum sinis. “Oh ya? Apa kamu bisa menjamin mereka semua nggak ngusik kehidupan rumah tanggamu?”

“Apa kamu bisa menjamin orang tuamu akan selalu membela Azwa dan tidak terpengaruh oleh ucapan mereka? Apa kamu bisa menjamin akan selalu ada buat adikku dalam keadaan sulit?” tantangnya.

“Tentu saja aku bisa menjamin semua itu, Mas. Makanya aku mengajak Azwa tinggal di Jakarta supaya nggak ada satupun keluargaku yang bisa ngusik kehidupan kami.”

“Seperti yang Ayah bilang, kami butuh privasi, butuh hidup berdua tanpa terpengaruh dari pihak luar.”

Aufal menghembuskan napas lelah. Sejak awal bertemu, laki-laki yang berstatus kakak Azwa itu selalu bersikap jutek terhadapnya. Inilah yang membuat dia tak berani mendekati Azwa meski dirinya sangat mampu. 

Diaz begitu posesif dan protektif terhadap Azwa. Sikapnya yang galak dan jutek membuat para cowok yang mendekati gadis itu mundur teratur. Entah sudah diapakan mereka semua. Dia bukan takut, tapi lebih ke minder karena statusnya yang anak rentenir.

Diaz menudingkan jari telunjuknya mengarah ke wajah Aufal. “Denger, ya, Aufal. Jangan mentang-mentang kamu berhasil memiliki Azwa, artinya kamu bisa menguasai seenaknya.”

“Pertama, lamaran yang memaksa. Kedua, pernikahan cepet. Ketiga, kamu membawa adikku ke rumahmu dan baru malam ini kalian ke sini.”

“Lalu sekarang apa? Akan membawa Azwa ke Jakarta besok pagi di saat kami masih ingin menikmati waktu bersama kalian. Egois kamu!”

Aufal menurunkan tangan Diaz yang berada di depan wajahnya. Dia menarik napas dalam-dalam guna mengisi stok sabar menghadapi kakak ipar juteknya ini.

“Senin aku udah masuk kerja. Tanggung jawabku sangat besar di perusahaan Papa. Aku cuma punya waktu besok, jadi aku manfaatin sebaik mungkin.”

“Kenapa harus pagi? Karena kami berencana mengadakan acara syukuran di rumah kontrakan baru biar nggak kemalaman,” jelasnya dengan sangat sabar.

“Kalau kamu ingin pergi ke Jakarta, pergilah sendiri tanpa adikku. Azwa biar di sini sampai liburan selesai. Setelah itu, terserah kalian mau ngapain.”

“Atau kalian tetap disini dan tinggal di rumah ini. Setidaknya kasih kami kesempatan buat mengenalmu agar bisa menilai apakah pantas untuk Azwa atau nggak.”

“Kamu ini kenapa, to, Diaz? Tiba-tiba dateng terus marah-marah sama Aufal. Ada apa sebenarnya?” tanya Ayah Abyaz yang dari tadi hanya menyimak perdebatan keduanya.

Diaz tidak dapat menjawab pertanyaan ayahnya. Tidak mungkin dia bilang kalau tak sengaja mendengar pembicaraan ibu dan adiknya di kamar tentang ketakutan Azwa yang akan tinggal bersama orang asing. 

Dirinya benar-benar dibuat emosi membayangkan kemungkinan terburuk itu. Dia hanya ingin melindungi adiknya, itu saja.

“Udahlah, Diaz. Kamu nggak usah keras kepala seperti ini. Biarin Aufal mengajak Adek ikut bersamanya. Beri dia kesempatan membuktikan semua ucapannya untuk membahagiakan Adek,” kata Ayah Abyaz bijak sekaligus menengahi. 

Beliau mengusap-usap punggung putranya yang masih terbalut emosi. “Udah, jangan emosi. Istighfar, tenangin dirimu.”

Diaz mengusap wajahnya sambil menggumamkan istighfar berkali-kali. Akibat terlalu khawatir terhadap sang adik membuatnya jadi terbawa emosi. 

Dia berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya perlahan. Laki-laki itu lantas menatap Aufal serius. “Apa kamu sanggup membuktikan semua ucapan dan janjimu?”

“Sanggup!” balas Aufal tegas membalas tatapan Diaz dengan sorot mata sungguh-sungguh.

“Baiklah, buktikan! Aku pegang ucapanmu dan Ayah yang jadi saksinya. Aku percayakan adikku kepadamu. Ingat! Jangan pernah kamu menyakiti maupun mengecewakan Azwa.”

“Setetes air mata yang jatuh di pipi Azwa, kamu harus mempertanggungjawabkannya. Kalau sampai kamu sakiti dia, aku nggak akan segan-segan misahin kalian dengan tanganku sendiri. Paham?!”

Aufal mengangguk mantap. “Aku paham, Mas.”

—o0o—

Pukul 10.00 WIB, Aufal dan Azwa tiba di Jakarta. Mereka baru saja turun dari pesawat dan berjalan menuju pintu keluar. 

Aufal menggandeng erat tangan Azwa yang terasa sangat dingin dan gemetar akibat menahan rasa takut sejak masuk ke dalam kabin. Dia tahu, ini merupakan pengalaman pertama istrinya naik pesawat.

“Masih takut, Dek?” tanya Aufal khawatir melihat muka pucat istrinya. “Mau Mas gendong aja, hm?”

Azwa menggeleng pelan. “Malu diliatin orang.”

“Yaudah. Bilang, ya, kalau merasa nggak enak badan.” Aufal beralih merangkul pundak Azwa.

Keduanya pulang dijemput oleh Nabhan, salah satu teman kontrakan lama Aufal, menggunakan mobil Dzaky. Kini, mereka tengah menempuh perjalanan pulang menuju kontrakan baru. 

Aufal tampak asyik mengobrol dengan Nabhan di kursi depan, sedangkan Azwa hanya menyimak dan sesekali melihat-lihat pemandangan di luar melalui kaca mobil.

“Mereka lagi nyiapin sesuatu buat kalian, makanya gue yang ditugaskan buat jemput,” jawab Nabhan ketika ditanya kenapa dirinya yang jemput oleh Aufal.

Aufal manggut-manggut mengerti. “Oh… nyiapin sesuatu buat acara tasyakuran nanti, ya?”

“Bukan, beda lagi. Ini tuh kejutan buat kalian.”

“Kejutan apa?”

“Ada deh. Lihat aja nanti.” Nabhan tersenyum misterius.

Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah kontrakan sederhana berlantai satu. Rumah yang disewa Aufal untuk ditinggali bersama istri beberapa waktu ke depan. 

Untuk acara hari ini, Aufal sudah memasrahkan kepada Andra, sahabatnya dari kecil. Jadi, dia tinggal terima beres.

Nabhan mengarahkan pasutri baru itu masuk ke dalam rumah. Saat pintu terbuka, Aufal dan Azwa dibuat sangat terkejut melihat banyaknya orang yang berkumpul di sana padahal di luar tampak tak ada apapun.

“Surprise! Selamat datang pengantin baru!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status