Azwa, gadis belia berusia 19 tahun itu terpaksa menikah muda dengan Aufal demi melunasi utang orang tuanya. Takdir membawanya masuk ke dalam kehidupan seorang anak bos rentenir yang terkenal di kampungnya. Dia bahkan harus rela mengorbankan perasaannya yang masih terkunci untuk seseorang di masa lalu. Meski tak ada cinta dalam hatinya, Azwa berusaha ikhlas dan menjadi istri yang baik untuk Aufal. Hingga suatu ketika perempuan itu bertemu kembali dengan sang cinta masa lalu yang membuat sikapnya kepada Aufal berubah. Lantas bagaimanakah kehidupan pernikahan Azwa dan Aufal yang diawali dengan keterpaksaan?
Lihat lebih banyakAzwa sangat tahu menguping pembicaraan orang adalah tindakan tidak sopan. Namun, dia sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi apalagi mereka menyebut keluarganya. Wanita itu menyandarkan tubuhnya di tembok samping pintu kamar. Suasana sangat hening karena malam semakin larut. Suami dan anaknya sudah tidur pulas di kamar. Jadi, dia tidak takut jika ada yang memergoki, kecuali pemilik sang kamar tentunya.“Mau sampai kapan kamu diperbudak oleh Darwin, Mas?” Suara Mama Erina kembali terdengar setelah beberapa detik terdiam. “Kamu udah memenuhi semua permintaannya yang nggak wajar itu. Apa kamu nggak bisa melawan, Mas?”“Aku bisa aja melawan, Dek, tapi dia terus-menerus mengancam. Kamu tau kan kalau ancamannya nggak main-main?” Jeda sejenak sebelum Papa Wirya melanjutkan perkataannya.“Kamu ingat? Dulu waktu aku nggak mau menjalankan bisnis rentenir, dia menculik Syamil yang masih bayi dan hampir membunuhnya. Akhirnya, aku dengan sangat terpaksa mengikuti kemauannya meski aku tau i
Aufal sangat terkejut, tidak menduga Azwa akan memberikan jawaban seperti itu. Dia menoleh menatap istrinya tak menyangka. “Dek, apa kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?”Azwa membalas tatapan suaminya disertai senyuman. “Azwa seratus persen sadar, Mas. Azwa juga nggak akan minta cerai kok,” balasnya tenang.“Nggak bisa gitu, Dek. Mas tetep nggak setuju,” protes Aufal.“Apa kamu serius, Azwa?” tanya Papa Wirya mengabaikan protes Aufal.Azwa menggenggam tangan Aufal. “Azwa serius, Pa,” jawabnya dengan mantap.Papa Wirya tersenyum. “Baiklah, semuanya udah disiapkan oleh Om Savian. Kita tinggal terima beres aja. Acara akan digelar di kediaman mereka.”Azwa menunduk menyembunyikan rasa tak nyaman dalam hatinya. Jadi semua sudah dipersiapkan, ya? Dia tersenyum pahit lantas kembali mendongak. “Tapi bolehkah Azwa meminta satu syarat?”“Katakanlah apa yang kamu inginkan, Nak?”“Ketika Mas Aufal udah resmi menikahinya, jangan satukan kami dalam satu atap yang sama.”“Itu bisa diatur. Ada l
“Apa kamu menyetujuinya, Nak?”Pertanyaan dari Papa Wirya memang terdengar lembut dan hati-hati. Namun, bagi Azwa tak ada bedanya dengan mata pisau yang semakin mengiris hatinya.“Kenapa harus menikah lagi?” tanyanya lirih.“Papa melakukan itu demi kebaikan keluarga kita, Azwa. Cuma ini satu-satunya cara yang terbaik.”Azwa tersenyum pahit. Cara terbaik meski harus melukai perasaannya, begitu? Dia menatap ayah mertuanya dengan mata berkaca-kaca. “Apa kekurangan Azwa sampai Papa tega meminta Mas Aufal menikah lagi?”Papa Wirya menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. “Nggak ada yang kurang satupun darimu, Azwa. Kamu udah menantu yang baik untuk kami. Hanya saja situasinya lagi darurat dan cuma Sheilla yang bisa menolong.”Azwa beralih menatap Mama Erina yang hanya diam dan sibuk bermain dengan Wafa di pangkuannya. Dari tadi beliau tidak berkomentar apapun. Apakah Mama juga menyetujuinya?“Kenapa Mama cuma diam aja? Mama tega menyakiti menantu Mama ini?” tanya Aufal seolah mew
Pukul sembilan malam, Aufal tiba di rumah. Dia langsung melangkah menuju kamar. Di sana, sudah ada Azwa yang sedang tidur di kasur dengan posisi memunggungi dirinya.Tanpa mengganti baju, pria itu ikut berbaring lalu memeluk istrinya dari belakang. Dia melabuhkan kecupan-kecupan di leher dan juga usapan lembut di tangan Azwa. Sepertinya tindakannya ini berhasil mengusik tidur sang istri. Terbukti saat merasakan pergerakan Azwa yang ingin berbalik menghadap ke arahnya.Namun, dia semakin mengeratkan pelukan agar Azwa tidak melihat keadaannya yang sedang kacau. Air matanya luruh tanpa diminta. Hatinya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam hingga membuat dadanya sesak.“Mas sangat mencintaimu, Sayang. Apapun yang terjadi nanti, tolong jangan pernah tinggalkan Mas,” ucapnya pelan terdengar parau lalu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang istri.Mungkin Azwa akan merasa aneh dengan sikapnya yang manja seperti ini, tetapi biarlah. Azwa tidak boleh tahu dulu yang sebenarnya. Dia tidak
Aufal tetap melanjutkan langkah menuju kamar tanpa menghiraukan panggilan ayahnya. Dia mengambil beberapa barang lalu kembali lagi menemui orang tuanya yang sekarang berada di ruang tengah.Laki-laki itu meletakkan secara kasar barang bawaannya di meja. Ada kunci motor dan mobil, kartu kredit, serta ponsel yang dulu dibelikan sebagai hadiah ulang tahun. Dia masih mempunyai satu ponsel hasil jerih payahnya sendiri.“Silakan Papa ambil semuanya. Aufal nggak butuh!” ujarnya.Papa Wirya tersenyum miring. “Kamu pikir mudah hidup merantau tanpa membawa apapun? Papa yakin kamu nggak akan bisa bertahan.”“Aufal nggak takut! Lebih baik Aufal hidup terlunta-lunta di kota orang daripada hidup bagai neraka di rumah sendiri!” balas Aufal sengit lantas kembali ke kamar.Itu adalah pertengkaran terakhirnya bersama sang ayah karena keesokan harinya Aufal langsung merantau ke Jakarta. Cowok itu memulai hidup baru dari nol di sana dengan bekerja part time. Dia juga tidak sudi memakan uang haram hasil d
Aufal menatap layar laptop di hadapannya dengan tatapan kosong. Pikirannya berkelana pada pembicaraan Raya dan Danang. Kenapa mereka melakukan semua itu? Apa tujuannya?Kemarin, Sheilla belum sempat menjawab pertanyaannya karena ada telepon masuk yang ternyata dari sang ayah. Setelahnya, gadis itu buru-buru pergi meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Dan lagi mengenai kehancuran mereka. Mereka yang dimaksud itu siapa? Apakah keluarga Ar-Rasyid? Tapi kenapa harus keluarganya? Apa karena dendam?Aufal menjadi pusing sendiri memikirkan semua itu. Apapun rencana mereka, dia tidak akan membiarkan mereka menyentuh keluarga kecilnya meski seujung kuku pun.“Aufal!”Panggil keras itu membuat lamunannya buyar. Dia menoleh ke arah sang ayah yang duduk di sofa.Saking larutnya, dia sampai melupakan keberadaan Papa Wirya. Beliau datang ke Jakarta karena ada urusan penting dan baru bisa mampir ke kantor hari ini.“Kamu dengerin Papa nggak sih?”Aufal menatap ayahnya yang tampak kesal. “Maaf, P
“Terus perasaanmu ke aku sekarang gimana?” tanya Nazhan.Azwa tersenyum manis hingga menampilkan lesung pipinya di sudut bibir. “Lebih ke melepaskan sih. Aku merasa lega banget udah jujur sama kamu. Sekarang ini, perasaanku, ya, untuk suamiku.”Dia mengalihkan pandangannya ke arah Aufal yang tengah mengajak Wafa bermain perosotan. Ibu satu anak itu melambaikan tangan kecil ketika mereka menatap ke arah sini.“Aku sangat menyayangi Mas Aufal bahkan udah mulai cinta.” Azwa kembali fokus ke Nazhan. Dapat dirinya tangkap perubahan ekspresi wajah cowok itu ketika dia mengatakan hal tersebut.Nazhan menghela napas panjang. “Ternyata kita saling mencintai. Tapi sayang, cinta kita nggak bisa bersatu,” ucapnya pelan.Azwa jadi merasa tidak enak setelah mendengar itu. Namun, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima takdir yang digariskan untuknya.“Nazhan, kisah kita cukup sampai sini, ya. Aku sama kamu ini cuma masa lalu. Aku udah bahagia bersama keluarga kecilku.” Nazhan membalas
“Anak?”“Iya, dia anakku. Namanya Wafa. Usianya satu tahun.” Azwa beralih ke putranya yang sedang asyik bermain sendiri. “Ayo, Sayang, salim dulu sama Om Azhan.”Wanita itu mengulurkan tangan kecil Wafa ke arah Nazhan untuk bersalaman sekaligus mengajarkan sopan santun. “Pintarnya anak Bunda.”Nazhan melihat pemandangan di depannya dengan tatapan sulit diartikan. “Kamu ke sini sama siapa? Sendirian?” tanyanya berusaha biasa saja.“Nggak, tapi sama suamiku. Dia lagi mengangkat telepon temannya sebentar di luar.” Azwa celingak-celinguk memandang ke arah pintu masuk. Dia tersenyum begitu melihat eksistensi Aufal.“Nah, itu dia.” Wanita itu mengangkat sebelah tangan menunjukkan keberadaannya pada sang suami.Aufal langsung mengambil tempat duduk di samping Azwa saat sudah tiba. Dia tersenyum menyapa Nazhan.“Mas, kenalin ini Nazhan, teman Azwa yang udah Azwa ceritakan ke Mas,” ucap Azwa mengenalkan kemudian beralih ke Nazhan. “Ini suamiku, namanya Mas Aufal.”Kedua laki-laki itu bersalama
Aufal mendekati Azwa dan duduk di sampingnya. “Eliza tadi bermaksud minta maaf sama kamu, Dek, tapi kamunya malah pergi. Yaudah, Mas yang temui dia sebagai tamu.”Azwa tersenyum miring. “Itu sama aja Mas ngasih dia harapan. Mas nggak lupa kan kalau dia cinta sama Mas?”“Mas nggak akan pernah lupa, Sayang. Dia datang ke sini baik-baik loh. Nggak ada maksud tertentu, niatnya cuma pengen minta maaf sama kamu doang. Seharusnya kita menghargai itikad baiknya itu,” jelas Aufal dengan tenang.“Bisa aja kan dia cuma pura-pura biar dapat simpati dari Mas?”“Dia benar-benar tulus minta maaf sama kamu, Sayang. Nggak ada unsur kepura-puraan.”“Oh, sekarang Mas berani belain dia? Atau jangan-jangan Mas udah mulai ada rasa sama dia, iya?!” tuduh Azwa.“Astaghfirullahaladzim, nggak gitu, Dek.” Aufal menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskannya guna mengisi stok kesabaran. Dia menggenggam erat tangan Azwa. “Dengarkan penjelasan Mas dulu, ya, Sayang. Adek mau kan?” tanyanya lembut yang jawab angguka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.