Azwa, gadis belia berusia 19 tahun itu terpaksa menikah muda dengan Aufal demi melunasi utang orang tuanya. Takdir membawanya masuk ke dalam kehidupan seorang anak bos rentenir yang terkenal di kampungnya. Dia bahkan harus rela mengorbankan perasaannya yang masih terkunci untuk seseorang di masa lalu. Meski tak ada cinta dalam hatinya, Azwa berusaha ikhlas dan menjadi istri yang baik untuk Aufal. Hingga suatu ketika perempuan itu bertemu kembali dengan sang cinta masa lalu yang membuat sikapnya kepada Aufal berubah. Lantas bagaimanakah kehidupan pernikahan Azwa dan Aufal yang diawali dengan keterpaksaan?
Lihat lebih banyak"Dek, bisa pulang cepet ndak?"
"Nggak bisa, Bun. Jadwal Adek lagi padat banget. Bentar lagi kan UAS, jadi Adek harus menyelesaikan semua tugas kuliah. Nanti habis UAS Adek pasti pulang kok. UAS-nya juga nggak lama. Kenapa, Bun, kok tiba-tiba minta Adek pulang?"
"Ada hal penting yang ingin Ayah sama Bunda sampaikan. Pulang, ya, Nak."
"Hal penting apa, Bun? Apa nggak bisa lewat telepon?"
"Ndak bisa, Dek. Ini sangat penting yang ndak bisa dibicarakan lewat telepon. Ayah sama Bunda butuh kehadiran Adek. Bunda minta tolong banget, Adek pulang, ya."
“Duh… gimana, ya, Bun? Bunda kan tau sendiri Adek lagi sibuk-sibuknya ini. Banyak tugas kelompok maupun individu yang belum selesai dan nggak bisa Adek tinggalin gitu aja. Udah jadi tanggung jawab Adek, Bun. Nggak bisa, ya, nunggu waktu liburan sekalian?”
“Kalau nunggu liburan kelamaan, Dek. Masalah tugas kan bisa diselesaikan waktu di rumah. Bunda mohon, Adek pulang, ya. Tolong, Nak, tolongin Bunda.”
"Baiklah, Bun. Nanti saat minggu tenang, insyaallah Adek bakal pulang."
"Kalau bisa dipercepat, Dek. Kami ndak bisa nunggu lebih lama lagi. Apa perlu Ayah atau Mas Diaz menjemput Adek di sana? Nanti biar diizinkan pulang."
“Nggak usah, Bunda, Adek bisa pulang sendiri. Adek usahakan weekend ini akan pulang. Adek perlu menyelesaikan urusan di sini dulu. Bunda sabar dulu, ya.”
Itu adalah percakapannya bersama sang ibu melalui telepon beberapa yang hari lalu. Sekarang ini seorang gadis bernama Azwa sedang dalam perjalanan menuju rumahnya dengan menggunakan ojek online.
Gadis itu menatap pemandangan sekitar dengan pandangan kosong. Sejak menerima telepon dari bundanya waktu itu, dia tak bisa tenang dan terus-menerus kepikiran, hingga akhirnya memutuskan untuk mempercepat kepulangannya dari Surabaya.
Azwa sangat khawatir terjadi sesuatu pada ibunya. Tidak biasanya Bunda bersikap seperti itu. Beliau selalu mengerti kesibukannya setiap akhir semester dan tidak akan mengganggu dengan sering menelepon apalagi memintanya pulang. Ini malah akan menjemput jika tidak segera pulang. Benar-benar aneh.
Teringat jelas ketika sang ibu terus-menerus mendesaknya untuk pulang. Ditambah lagi saat menelepon suara ibunya terdengar bergetar seperti menahan tangis.
Waktu Azwa meminta video call guna memastikan kondisi Bunda baik-baik saja selalu ditolak dengan berbagai alasan yang membuatnya semakin curiga. Seperti ada yang disembunyikan.
Berbagai pertanyaan hinggap memenuhi isi kepala Azwa. Hal penting apa yang akan disampaikan orang tuanya? Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Masalah apa yang menimpa keluarganya hingga mengharuskan dia pulang? Apapun itu, dia merasa bukanlah suatu hal yang baik.
Pukul 11.00, Azwa tiba di kediamannya. Gadis itu menatap rumah sederhana berlantai satu yang menjadi saksi bisu tumbuh-kembangnya dari bayi hingga berusia 19 tahun. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah memasuki rumah.
"Assalamu'alaikum, Bunda," salamnya seraya membuka pintu utama. Dia mencopot sepatu lantas diletakkannya di rak samping pintu.
"Wa'alaikumsalam," jawab Bunda Nawa, ibunya Azwa, menghampiri putrinya di ambang pintu.
Azwa langsung mencium tangan ibunya lalu memeluknya erat. "Adek kangen Bunda."
"Bunda juga kangen banget sama Adek."
Mendengar suara Bunda Nawa yang agak serak membuat Azwa segera melepas pelukannya. Dia menatap penuh selidik wanita yang melahirkannya ini. Wajah pucat, kantung mata yang menghitam dengan sedikit bengkak, mata dan hidung memerah seperti habis menangis, serta tatapannya pun tampak sayu.
Tubuh ibunya juga terlihat lebih kurus dibandingkan terakhir kali bertemu sekitar dua bulan lalu ketika ada pekan ilmiah di kampusnya. Pasti ada yang tidak beres. "Bunda kenapa? Bunda sakit?" tanyanya khawatir.
"Bunda ndak papa. Ayo, masuk dulu." Bunda Nawa membawa putrinya duduk di sofa ruang tamu.
"Kenapa tiba-tiba minta Adek pulang? Hal penting apa yang akan Bunda sampaikan ke Adek?" Azwa bertanya tanpa basa-basi karena sudah sangat penasaran dengan keanehan sang bunda.
Bunda Nawa tersenyum sembari mengusap kepala Azwa. "Tunggu Ayah sama Mas Diaz pulang dulu, ya. Hari ini katanya pulang cepat. Kita akan membahasnya sama-sama entar sore. Sekarang Adek istirahat dulu aja, pasti capek habis perjalanan jauh."
"Tapi Adek maunya sekarang. Adek udah penasaran banget ini. Adek udah bela-belain pulang cepet loh."
"Iya, Sayang, Bunda ngerti. Nanti aja, oke? Adek sekarang harus istirahat biar lelahnya hilang baru setelah itu kita bahas sama-sama. Adek paham?" perintah Bunda Nawa lembut tapi tegas tak terbantahkan.
"Iya, Bunda," jawab Azwa pasrah.
—o0o—
Sore hari, Azwa beserta semua anggota inti keluarganya berkumpul di ruang tengah guna membahas hal penting. Mereka duduk lesehan di lantai dengan posisi melingkar.
Gadis yang mengenakan piyama panjang itu duduk di sebelah kakaknya bernama Ardiaz atau kerap disapa Diaz, sedangkan di samping kirinya ada Bunda Nawa.
"Adek ndak keberatan kan pulang cepat?" tanya Ayah Abyaz, ayahnya Azwa.
"Nggak, Ayah. Lagian Senin depan mulai minggu tenang."
"Minggu tenang itu berarti libur, ya. Apa urusannya udah selesai semua di sana? Kata Bunda, Adek lagi banyak tugas."
"Udah, Yah, aman pokoknya. Sebelum pulang, Adek udah selesaikan semuanya. Tinggal yang UAS take home. Ini tak bawa pulang biar bisa nyicil."
"Emang bisa gitu, ya?" tanya Diaz.
Azwa menoleh ke arah sang kakak. "Bisa dong, Mas. Sebenarnya tugas kelompok, tapi dibagi tugas per anggotanya.”
“Ada juga yang individu. Nanti dikumpulin waktu jadwal UAS matkulnya. Jadi, semester ini UAS tertulis cuma beberapa matkul aja, nggak semuanya," jelasnya.
"Oalah, beda sama waktu Mas kuliah dulu." Diaz manggut-manggut paham.
"Ya iyalah, Mas. Beda kampus, beda peraturan. Apalagi Mas kuliahnya tahun berapa itu, udah pasti beda periode lah."
"Ehm!" Ayah Abyaz berdehem menyudahi obrolan kedua anaknya. “Adek, ada hal penting yang ingin Ayah sama Bunda sampaikan,” katanya memulai pembahasan utama.
“Hal penting apa, Ayah?” tanya Azwa penasaran.
"Adek, sebelumnya Ayah minta maaf kalau apa yang Ayah sampaikan nanti akan membuat Adek kecewa." Ayah Abyaz menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskannya guna menetralisir rasa tidak nyaman dalam hati.
"Adek, sebenarnya Ayah punya utang sama rentenir dengan jumlah yang sangat banyak berikut dengan bunganya. Tapi sayangnya, Ayah belum mampu melunasinya sampai sekarang," paparnya.
"Apa?! Bukannya Ayah paling anti utang ke rentenir?" Azwa sangat terkejut dengan pengakuan ayahnya. Dia benar-benar tidak tahu apapun tentang itu.
"Iya, Dek, tapi Ayah terpaksa karena sangat butuh. Dulu Ayah sempat utang ke bank. Sayangnya, harus pake jaminan, tapi kami ndak punya apa-apa selain rumah.”
“Kalau rumah ini jadi jaminannya, Ayah takut kita ndak punya tempat tinggal lagi. Jadi, Ayah memilih buat pinjam ke rentenir yang saat itu syaratnya sangat mudah."
"Tapi bagaimana bisa Ayah punya utang banyak?" tanya Azwa heran karena selama ini yang dia tahu keluarganya baik-baik saja, sama sekali tak memperlihatkan bila memiliki banyak utang.
Namun sekarang, bisa-bisanya Ayah Abyaz punya utang banyak dan malah menyembunyikan masalah itu. Lantas bagaimana cara melunasinya?
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen