“Mas Ofa?” Azwa mengerutkan keningnya mencoba mengingat-ingat siapa gerangan pemilik nama Ofa. Dia merasa tidak asing dengan nama itu dan pernah mendengarnya, tapi dimana? “Iya, kita bertemu lagi di bawah pohon besar dekat belakang perkampungan. Saat itu kamu masih mengenakan seragam SD entah dari mana. Kamu ingat?” Kerutan di dahi Azwa semakin dalam dan semakin mengorek ingatan masa lalunya. Samar-samar, ada bayangan saat dia bertemu seorang anak laki-laki bertubuh gempal memakai seragam SMP sedang duduk lesehan di bawah pohon besar yang terkenal angker. Lalu bayangan beralih ketika dirinya berjalan bersama sambil memberitahu arah jalan raya kepada Mas Ofa yang katanya tersesat. Dia juga menunjukkan letak rumahnya yang memang dilewati. “Oh…. Mas itu Mas Ofa! Kenapa Mas bohong?” “Mas nggak bohong. Itu nama Mas waktu kecil saat Mas baru belajar ngomong, kata Mama.” “Tapi kok Mas beda?” Azwa memicingkan matanya memperhatikan penampilan Aufal dengan seksama. Seingatnya, Aufal yan
Waktu terus menggerakkan dentangnya. Hari demi hari berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah seminggu lebih Aufal dan Azwa tinggal bersama dalam satu rumah. Hubungan keduanya pun semakin dekat. Perlahan-lahan mereka saling mengenal karakter masing-masing. Mulai dari kebiasaan sehari-hari, apa yang disuka dan tidak disuka, sampai dengan kekurangan dan kelebihan dalam diri keduanya. Setelah deep talk malam itu, sikap Azwa berubah menjadi lebih baik. Yang semula dingin tak tersentuh, kini menjadi lebih ramah dan hangat. Dia mulai menunjukkan sifat aslinya, bahkan tanpa sengaja mengeluarkan sisi manjanya. Hal tersebut dilakukan karena dirinya sudah merasa nyaman. Gadis itu tidak lagi menganggap Aufal orang asing. Semua perlakuan Aufal terhadapnya membuktikan kalau dia adalah laki-laki yang baik. Tidak ada alasan bagi Azwa untuk terus bersikap dingin apalagi sama suaminya. Oleh karena itu, Azwa berusaha menjadi istri yang baik untuk Aufal. Seperti pagi ini contohnya. Azwa melangkahkan
Di sebuah ruang kantor yang cukup luas, Aufal sedang termenung sendirian mengingat perkataan Andra tadi siang. Setahunya, Andra pindah ke perusahaan ini atas kemauan sendiri, bukan karena disuruh siapa-siapa. Namun, kenapa tadi Andra bilang kalau itu atas permintaan ayahnya? Ketika dia mendesak Andra untuk menjawab, malah terkesan menghindar dan mengalihkan pembicaraan. Aufal memijat pangkal hidungnya pusing mengingat kejadian siang tadi. “Jawab pertanyaan gue, Andra!” tekannya sekali lagi. “Eh, waktu istirahatnya hampir habis, nih. Sholat, yok, sholat.” Andra beranjak dari duduknya lantas menepuk pundah Kahfi. “Gue duluan, Fi. Baliknya hati-hati, ya.” Laki-laki itu kemudian berlalu dari sana menuju ke arah mushola. “Lo tau sesuatu, Fi?” tanya Aufal kepada Kahfi setelah memandang kepergian Andra. Kahfi menggeleng singkat. “Gue nggak tau.” Entahlah, Aufal merasa ada yang disembunyikan. Ada apa sebenarnya? Laki-laki yang memakai kemeja navy itu menghembuskan napas panjang, kemud
Pagi kembali menyapa. Aufal sudah siap berangkat kerja. Jarak kantor dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Jadi, dia tidak terlalu tergesa-gesa dan masih bisa bersantai. “Mas berangkat kerja, ya, Sayang.” Azwa mengangguk dan mencium tangan Aufal. “Doain Mas, ya. Semoga hari ini diberikan kelancaran dan kemudahan. Jaga diri baik-baik dirumah, oke?” “Iya, Mas. Mas juga hati-hati dijalan, jangan ngebut. Jaga mata, jaga hati,” ucap Azwa menirukan salah satu adegan di novel yang pernah dibacanya. "Iya, sayangku." Aufal mencium kening Azwa penuh perasaan. “Mas cinta kamu,” bisiknya sambil mengusap lembut pipi sang istri. Azwa hanya tersenyum sebagai balasan. “Udah sana, nanti telat.” “Mas berangkat, ya, assalamualaikum.” “Wa'alaikumsalam.” Azwa menatap kepergian suaminya dengan sendu. Aufal sudah sering mengucapkan tiga kata sakral itu. Namun, tak pernah sekalipun dirinya membalas. Ada sedikit rasa bersalah, tetapi dia tidak bisa membohongi hatinya hanya untuk menyenangkan Aufal kar
Aufal tengah berbaring di pangkuan Azwa sambil memainkan rambut panjang istrinya yang tergerai, sedangkan Azwa sendiri sedang memainkan ponsel untuk membalas pesan dari teman-temannya. Sesekali tangan kirinya mengusap kepala Aufal. Malam ini adalah malam terakhirnya berduaan dengan sang istri sebelum LDR. Oleh karena itu, Aufal menjadi sangat manja terhadap Azwa sejak pulang kantor. Dia bahkan tak mau melepaskan istrinya barang sedetikpun. “Dek,” panggil Aufal karena merasa dicuekin. “Bentar, ya, Mas.” Azwa segera membalas pesan temannya dengan cepat, menonaktifkan data, dan meletakkan ponselnya di nakas. Kemudian, dia memusatkan perhatiannya pada Aufal. “Dek, nggak bisa gitu baliknya ditunda? Mas masih ingin bersama kamu,” ujar Aufal setengah merengek. Azwa tersenyum sambil membelai lembut rambut Aufal. “Nggak bisa, Mas. Azwa harus balik besok mumpung ada barengannya. Kalau ditunda, Azwa nggak akan dapat tanda tangan DPA, terus nggak bisa ikut kuliah nanti.” “Mas ngerti, tapi M
Hari Kamis sesuai dengan jadwal, Azwa bersama teman-temannya akan melakukan bimbingan DPA. Sebenarnya bukan bimbingan, lebih tepatnya meminta tanda tangan KRS (Kartu Rencana Studi) dan KHS (Kartu Hasil Studi) pada DPA sebagai syarat untuk menempuh semester selanjutnya.Azwa pergi bersama ketiga sahabatnya yang kebetulan memiliki jadwal di hari yang sama. Pagi ini dia dijemput oleh Eliza seperti biasa.“Hai gaessss! Assalamualaikum, selamat pagi," sapa Almeyra yang kerap disapa Meyra yang baru saja datang di gazebo dekat GA1 (Gedung Akuntansi). Dia langsung mengambil tempat di samping Azwa.“Wa'alaikumsalam, pagi” balas Azwa dan Eliza yang sudah tiba lebih dulu.“Aku kangen banget sama kalian.” Meyra menatap teman-temannya satu-persatu. “Akhirnya, ketemu lagi.”“Alhamdulillah, kita masih diberi kesempatan buat bertemu lagi,” sahut Bahira, lalu pandangannya beralih ke Azwa. “Gimana-gimana, Wa?” Dia menampilkan senyum menggoda dan menaik turunkan alisnya.Azwa mengernyitkan dahi bingung.
Azwa terdiam. Diingatkan tentang beasiswa membuat hatinya kembali resah. “Itu yang jadi masalah utamanya. Aku nggak punya solusi buat itu. Ayah-bunda sama kakakku juga memikirkan masalah ini. Kami sepakat untuk merahasiakan pernikahanku selama di kampus. Suamiku juga udah setuju dengan itu.” “Jadi, aku minta tolong banget sama kalian buat merahasiakan pernikahanku, ya. Jangan sampai ada yang tau, apalagi sampe didengar oleh dosen-dosen kita. Aku nggak mau beasiswaku dicabut. Please, aku minta tolong sama kalian,” pintanya seraya menangkupkan kedua tangan memohon. Meyra merangkul bahu Azwa. “Tenang, Wa, rahasia kamu aman sama kami.” “Iya, Wa, nggak usah khawatir. Kami nggak akan bilang siapa-siapa tentang ini.” Bahira ikut mengusap lengan Azwa. “Makasih.” “Kamu ini, kayak sama siapa aja.” “Kalau kalian mau tau, inilah alasannya kenapa aku nggak ngundang kalian dan teman-teman lainnya,” ungkap Azwa. “Tuh kan, benar. Pasti ada alasan yang kuat kenapa kamu nggak undang kami,” sahut
Azwa kembali menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswa. Perkuliahan semester enam mulai aktif. Beberapa dosen juga sudah memberikan tugas, baik kelompok maupun individu. Aktivitas sehari-hari pun tidak berubah banyak. Bedanya, jika dulu Azwa teleponan dengan bunda, sekarang beralih ke Aufal. Oleh karena itu, hubungan Azwa dan Aufal semakin dekat walaupun terbentang oleh jarak. “Wa, aku bener-bener nggak nyangka banget saat tau kalau kamu udah nikah secepat ini apalagi bukan sama si Doi,” ujar Meyra yang siang ini berkunjung di kosan Azwa sepulang kuliah. Diantara ketiga temannya, Azwa paling dekat dan akrab dengan Meyra. Dia sudah menceritakan kisah cintanya pada gadis itu. Meyra yang menjadi tempat curhatnya selama ini. “Aku bahkan lebih terkejut, Mey. Rasanya campur aduk, nggak bisa aku gambarkan dengan jelas. Paham kan maksudku?” Meyra mengangguk. “Gimana sama Doi? Kamu masih menyukainya? Atau udah move on?” tanyanya hati-hati. Azwa terdiam. Apakah dia harus mengatakan yang s