"Loh, Fal, udah pulang? Katanya mau mampir ke rumah teman?"
"Nggak jadi. Papa mana, Ma?"
"Di ruang kerja seperti biasa."
Tanpa banyak kata, pemuda yang disapa 'Fal' itu berlalu dari hadapan ibunya yang tengah bersantai di ruang keluarga. Dia melangkah cepat ke ruang kerja ayahnya sambil mengepalkan tangan kuat menahan emosi.
Brak!
Suara pintu yang dibuka keras membuat sang penghuni ruangan terkejut. Begitu tahu siapa pelakunya, orang itu tersenyum. "Ada apa gerangan yang membuat seorang Aufal mau mendatangi ruang kerja ayahnya?"
"Papa bohong soal lamaran itu." Pemuda yang bernama Aufal itu berdiri di hadapan ayahnya dengan tatapan menyorot tajam dan dingin.
"Bohong gimana? Kan bener, lamaranmu diterima."
"Dengan cara dipaksa?"
"Yang penting diterima kan? Sesuai keinginanmu." Pria paruh baya itu membalas dengan santai tanpa merasa terintimidasi sedikitpun.
"Ya, tapi nggak dengan dipaksa juga, Pa!"
"Terus maumu apa? Diterima dengan sukarela gitu?" tanya Papa Wirya, ayahnya Aufal, meremehkan. Beliau menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dengan nyaman.
"Kamu dikenal sebagai anak seorang bos rentenir. Warga di sana memang sering minta pinjaman ke Papa, tapi mereka nggak akan setuju anaknya menikah dengan anak bos rentenir. Dengan statusmu yang anak Papa, yakin dia mau menerimamu?"
Aufal bungkam. Benar, status sialan itu yang menjadi penghalangnya sejak dulu. Kalau tidak, mungkin dia bisa mendekati Azwa secara baik-baik. Bisa dibilang dirinya jatuh cinta pada pandangan pertama saat awal pertemuan dua belas tahun yang lalu. Di mana ada seseorang yang mencium tangannya untuk pertama kali, dan orang itu adalah Azwa kecil.
Kemudian melihat bagaimana gadis itu begitu sopan dan tawadhu, tawa cerianya ketika bermain dengan sang kakak, serta senyum manis yang menampakkan lesung pipi di sudut kanan bibirnya membuat Aufal tidak bisa lupa begitu saja. Sayangnya, laki-laki itu hanya mampu melihat dari jauh tanpa berani mendekat.
"Bukannya Papa udah berhenti jadi rentenir?" tanya Aufal setelah beberapa saat terdiam.
"Benar, Papa udah nggak ikut campur lagi. Tapi untuk berhenti sepenuhnya itu nggak mudah, Fal. Masih ada yang sisa-sisa contohnya seperti keluarga Pak Abyaz.”
“Mereka nggak mampu melunasi utangnya dan melanggar perjanjian. Di sini Papa bantu mereka dengan memanfaatkan momen lamaranmu. Impas kan?" jawab Papa Wirya.
Aufal menggeleng-gelengkan kepalanya tak menyangka. Dia menghela napas keras, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa yang ada di ruangan itu.
"Aufal nggak nyangka Papa setega itu. Aufal memang ingin menjadikan Azwa istri, tapi nggak dengan cara dipaksa, Pa. Gara-gara pekerjaan Papa, Aufal jadi nggak bisa mendekati Azwa dari dulu.”
“Lamaran Aufal minggu lalu tentunya bikin dia syok karena terlalu mendadak. Di sini Papa malah semakin memperumit keadaan. Papa tau, Azwa hendak kabur tadi kalau aja nggak dijemput kakaknya," ungkapnya.
"Papa mengerti." Papa Wirya menghampiri putranya dan ikut duduk di sana. Beliau menatap Aufal sendu. Ada kerinduan yang sangat besar dan mendalam di matanya.
"Papa melakukan semua ini demi kamu, Fal. Papa ingin kita damai dengan mewujudkan keinginanmu. Nggak capek apa perang dingin terus sama Papa selama bertahun-tahun?”
“Papa kangen kita yang bersama-sama seperti dulu. Bila dengan menikahkanmu bersama Azwa bisa mengembalikan keharmonisan keluarga kita, apapun akan Papa lakukan. Papa pakai cara itu juga karena sangat yakin kalau mereka bakal menolak," paparnya.
"Papa licik!"
"Kalau nggak licik, kita nggak akan hidup mewah seperti sekarang, Aufal. Terkadang untuk mencapai sesuatu harus ditempuh menggunakan cara yang cerdik dan licik."
"Cara licik untuk merugikan orang lain buat apa?" balas Aufal sengit.
Papa Wirya memijat kepala lelah menghadapi sikap sang putra yang selalu sinis terhadapnya. "Maumu apa sih, Fal? Andaikan kamu nggak mau menikah dengan Azwa juga nggak masalah, nggak ada ruginya buat kita.”
“Papa setuju selain demi kamu juga karena dia anak penurut yang gampang diatur. Papa bisa aja carikan calon istri yang lebih baik, sepadan, dan tentunya menguntungkan buat kita.”
“Lagian sisa utang Pak Abyaz sebenarnya nggak banyak-banyak amat, tapi karena ada perjanjian, ya, harus terima konsekuensi," lontarnya.
"Bagi Papa memang nggak ada apa-apanya, tapi bagi mereka itu jumlah yang sangat besar, Pa," protes Aufal.
Papa Wirya lama-lama menjadi geram mendengar ucapan demi ucapan sengit yang dilontarkan oleh Aufal.
"Yaudah! Sekarang kamu pilih, menikah dengan Azwa atau kembali ke perusahaan kita dan menikah dengan perempuan pilihan Papa," katanya tegas.
Aufal membelalakkan mata terkejut bahkan sampai menegakkan tubuhnya. "Sampai kapanpun Aufal nggak akan pernah menginjakkan kaki di perusahaan Papa sebelum Papa mengubah sistem manajemen di sana!”
“Lebih baik Aufal kerja di tempat orang lain, daripada kerja di perusahaan sendiri tapi memakan hak karyawan!"
Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam, lalu menatap sang ayah serius. "Aufal tetap akan menikahi Azwa," putusnya dengan mantap dan tanpa gentar.
"Oke, jika itu maumu. Papa akan persiapkan segalanya."
Aufal tersenyum untuk pertama kalinya kepada sang ayah setelah beberapa tahun perang dingin. "Pa, Aufal minta, meskipun ini pernikahan terpaksa, tapi Aufal ingin menggelar lamaran secara resmi dan mempersunting Azwa sebagaimana mestinya sehingga membuatnya lupa kalau dia menikah secara paksa demi melunasi utang."
"Baiklah, bukan hal yang sulit. Kamu bisa kembali ke Jakarta lebih dulu. Bereskan semua barangmu dan keluar dari perusahaan itu. Papa minta kamu urus perusahaan cabang yang ada di Jakarta. Papa udah siapin surat resign-nya."
"Pa!" protes Aufal.
"Apa? Kamu nggak mau kembali ke perusahaan pusat kan? Yaudah, urus aja yang cabangnya. Kamu bebas melakukan apapun di sana termasuk mengubah manajemennya."
"Kan udah ada Danang, Pa."
"Kamu pewaris sahnya, Aufal. Udah saatnya kamu terjun ke sana. Danang akan menjadi tangan kananmu nantinya. Dia juga yang akan membantumu."
"Tapi, Pa–"
"Nggak ada bantahan. Itu udah jadi keputusan akhir Papa," potong Papa Wirya mutlak dan tak terbantahkan.
—o0o—
Liburan semester telah tiba. Biasanya ini merupakan momen yang paling ditunggu oleh Azwa, dimana dia bisa terbebas dari tugas, laporan, kuis, dan tetek-bengeknya. Namun, tidak untuk sekarang.
Liburan semester kali ini menjadi awal perubahan dalam seluruh kehidupannya. Iya, gadis itu memang terbebas dari kegiatan perkuliahan. Namun, dia akan terjebak dalam pernikahan yang sama sekali tak diinginkannya.
Ibaratkan keluar dari kandang harimau, lalu terjebak dalam kandang singa.
Acara lamaran secara resmi sekaligus pertunangan diadakan malam ini, tepatnya sehari setelah Azwa pulang kampung untuk liburan semester. Gadis itu tampil sangat cantik dengan balutan gamis brokat kombinasi batik warna biru.
Dia sebenarnya belum siap bertemu dengan pihak laki-laki. Namun, ini sudah menjadi serangkaian acara yang telah disusun oleh kedua keluarga dan tak bisa diubah lagi.
Azwa duduk di antara kedua orang tuanya. Selama acara berlangsung, kepalanya senantiasa menunduk menatap jari-jemari di pangkuan. Jantungnya berdetak kencang dengan hati yang gelisah.
Entahlah, dirinya tiba-tiba diserang keraguan yang begitu besar. Ya Allah, mantapkan hati Azwa. Hilangkan keraguan ini, Ya Allah, doanya dalam hati.
"Bagaimana, Nduk Azwa? Apa Gêndhuk bersedia menjadi pendamping hidup cah bagus niki?" (anak ganteng ini) Pertanyaan dari pamannya yang berperan sebagai pembawa acara malam ini membuat Azwa semakin dilanda gugup.
Bunda Nawa dengan sigap menggenggam tangan putrinya lembut. "Adek, jangan nunduk terus, Sayang, dan lihat siapa yang melamar Adek."
Perlahan tapi pasti, Azwa mengangkat kepala yang malah tak sengaja bertemu tatap dengan laki-laki di hadapannya. Seketika, jantungnya berdetak lebih cepat.
Tatapan keduanya pun terkunci untuk beberapa detik. Laki-laki itu bukan seseorang yang selama ini diharapkannya bahkan dia merasa belum pernah bertemu sama sekali.
"Ayo, Dek, berikan jawabanmu," ucap Ayah Abyaz melihat putrinya yang masih terbengong.
Azwa tersadar dan buru-buru memutus kontak mata itu, kemudian menarik napas dalam-dalam guna menetralisir kegugupannya.
"Bismillahirrahmanirrahim, dengan restu Ayah dan Bunda, Azwa… bersedia."
Dia langsung menunduk setelah mengucapkan itu. Satu persatu air matanya menetes, dadanya terasa sesak.
Ya Allah, Azwa terpaksa menerimanya karena nggak punya pilihan lain. Mau jadi seperti apa rumah tangga Azwa nantinya? batinnya.
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be