Share

Menikah Setelah Kuat Berdiri Sendiri
Menikah Setelah Kuat Berdiri Sendiri
Author: Kakesa_D

Bab 1

Author: Kakesa_D
last update Last Updated: 2024-12-16 18:38:33

Agustus 2020 adalah momen yang penuh harapan bagi Damira. Setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan di SMK Sekolah Menengah Kejuruan, ia akhirnya lulus dengan nilai yang memuaskan. Hari itu, ia berjalan pulang ke rumah dengan langkah ringan. Dalam pikirannya, ia membayangkan apa yang akan dilakukan setelah ini. Mungkin mulai mencari pekerjaan di restoran atau hotel, atau bahkan membuka usaha kecil-kecilan di rumah bersama ibunya.

Namun, langkah Damira terhenti di depan pintu rumah saat melihat ibunya, Bu Siti, duduk di ruang tamu dengan wajah serius. Biasanya, ibunya selalu menyambutnya dengan senyum ceria, tetapi kali ini raut wajahnya menunjukkan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.

“Ma, aku lulus!” seru Damira, mengangkat surat kelulusannya dengan senyum lebar.

Bu Siti tersenyum kecil, meski senyum itu tidak seperti biasanya. “Selamat ya, Nak. Mama bangga sama kamu,” katanya lembut.

Damira mengernyit. “Kenapa, Ma? Kok Mama kayaknya nggak seneng? Apa ada masalah?”

Bu Siti menghela napas panjang, menatap anak semata wayangnya itu dengan mata yang penuh pertimbangan. “Damira, duduk dulu. Mama mau bicara soal masa depanmu. Ini penting.”

Hati Damira mendadak berdebar. Kata-kata ibunya terdengar serius, bahkan sedikit mengkhawatirkan. Ia meletakkan tasnya dan duduk di kursi di depan ibunya. “Apa, Ma? Aku kan baru lulus. Rencananya aku mau cari kerja dulu. Atau Mama punya rencana lain?”

Bu Siti terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Mama sudah bicara dengan keluarga Farhan. Mereka ingin menjodohkan kamu dengannya.”

Perkataan itu terasa seperti petir di siang bolong. Damira mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. “Farhan? Siapa itu?” tanyanya bingung.

“Farhan itu sepupu keempatmu, Nak. Anak sulung dari keluarga Hadi. Kamu mungkin nggak ingat, tapi waktu kecil dia sering main ke sini saat lebaran,” jelas Bu Siti.

Damira mencoba mengingat, tapi ia hanya mendapatkan bayangan samar tentang seorang anak lelaki yang pernah ia temui di acara keluarga besar bertahun-tahun yang lalu. Ia bahkan tidak tahu bagaimana wajah Farhan sekarang.

“Ma, aku baru lulus. Aku belum siap menikah. Lagipula, aku bahkan nggak kenal dekat sama Farhan,” kata Damira dengan nada bingung.

“Mama tahu, Nak. Tapi keluarganya baik. Farhan juga sudah punya pekerjaan yang mapan. Dia bisa jadi pendamping yang baik untukmu,” kata Bu Siti, mencoba meyakinkan anaknya.

“Tapi kenapa sekarang? Kenapa aku nggak boleh memilih sendiri, Ma?” suara Damira mulai meninggi, tapi ia mencoba menahan emosinya.

Bu Siti menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. “Damira, hidup itu nggak semudah yang kamu bayangkan. Mama cuma ingin kamu punya masa depan yang stabil. Mama nggak mau kamu hidup sendirian dan kesusahan seperti Mama setelah Ayahmu meninggal.”

Damira terdiam. Ia tahu ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya. Namun, perjodohan ini terasa seperti menghancurkan semua rencana dan mimpi yang baru saja ia bentuk.

“Ma, aku cuma mau waktu. Aku baru lulus. Aku mau kerja dulu, bantu Mama, baru mikir soal nikah,” katanya, mencoba mencari jalan tengah.

Bu Siti menghela napas panjang. “Mama nggak memaksa, Nak. Tapi Mama harap kamu mau mempertimbangkannya. Farhan itu anak baik. Keluarganya juga sangat menghormati kita.”

Malam itu, Damira masuk ke kamarnya dengan kepala penuh pikiran. Ia merebahkan diri di tempat tidur, menatap langit-langit yang terasa begitu kosong.

“Kenapa aku harus menikah hanya karena orang lain bilang begitu? Kenapa aku nggak boleh menentukan hidupku sendiri?” pikirnya.

Ia bangkit dari tempat tidur dan mengambil laptopnya. Ia mulai mencari informasi tentang pernikahan, perjodohan, dan hak wanita. Artikel demi artikel ia baca, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitarnya.

Salah satu artikel yang ia temukan membahas tentang pernikahan sebagai institusi yang sering kali digunakan untuk menjaga tradisi keluarga. Dalam kasus perjodohan, sering kali perempuan berada dalam posisi yang lebih sedikit memiliki pilihan.

“Apakah aku hanya bagian dari tradisi itu?” tanyanya dalam hati.

Pikirannya melayang ke masa-masa sulit setelah ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itu, ibunya menjadi satu-satunya orang yang membimbing dan membesarkannya. Damira tahu ibunya sudah berkorban banyak untuknya. Namun, apakah itu berarti ia harus mengorbankan masa depannya sendiri?

Keesokan paginya, Damira masih merasa berat untuk berbicara dengan ibunya lagi. Namun, ia tahu ini bukan sesuatu yang bisa dihindari.

Saat sarapan, Damira mencoba membuka percakapan. “Ma, aku semalem mikir soal yang Mama bilang. Apa Mama benar-benar yakin Farhan itu orang yang tepat buat aku?”

Bu Siti menatapnya dengan lembut. “Mama nggak tahu pasti, Nak. Tapi dari apa yang Mama lihat, dia anak yang baik. Dia punya pekerjaan tetap, dan keluarganya juga baik.”

“Tapi, Ma, aku kan nggak kenal dia. Gimana aku bisa yakin dia bakal jadi pasangan yang baik? Aku bahkan nggak tahu apa yang dia suka atau nggak suka,” kata Damira, mencoba mengungkapkan kegelisahannya.

“Nak, pernikahan itu bukan cuma soal cinta atau kesukaan. Itu soal komitmen dan tanggung jawab. Kalau kamu kasih waktu, kamu bisa mengenal Farhan lebih baik. Mama nggak bilang kamu harus langsung setuju, tapi Mama harap kamu mau membuka hati untuk mencoba,” kata Bu Siti dengan suara lembut tapi tegas.

Damira terdiam. Kata-kata ibunya membuatnya merasa semakin bingung. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan kebebasannya untuk memilih. Namun di sisi lain, ia merasa tidak ingin mengecewakan ibunya.

Malam harinya, Damira kembali browsing. Ia menemukan berbagai kisah tentang orang-orang yang menerima perjodohan, beberapa berakhir bahagia, sementara yang lain justru penuh konflik.

Ia juga membaca tentang bagaimana masyarakat sering kali menganggap perempuan sebagai pihak yang harus berkorban dalam pernikahan. Damira merasa seperti melihat bayangannya sendiri dalam cerita-cerita itu.

“Apa aku juga akan kehilangan diriku sendiri dalam pernikahan?” pikirnya.

Hari-hari berlalu, dan Damira masih belum bisa memberikan jawaban kepada ibunya. Ia tahu waktu semakin mendesak, karena keluarga Farhan akan segera datang untuk bertemu dengannya.

Namun, di tengah kebingungannya, Damira bertekad untuk mengenal dirinya lebih baik sebelum membuat keputusan besar dalam hidupnya. Ia mulai mencari tahu lebih dalam tentang apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidup ini.

Ia sadar bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia tahu satu hal: ia tidak ingin hidupnya ditentukan oleh orang lain tanpa dirinya punya suara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Setelah Kuat Berdiri Sendiri   Bab 36

    Hari-hari terus berlalu, dan Damira semakin terbiasa dengan rutinitasnya di rumah sakit. Ia belajar lebih banyak setiap harinya, menghafal istilah medis dalam bahasa Jerman, serta memahami cara menangani pasien dengan profesionalisme yang tinggi. Namun, ada satu hal yang masih sulit ia hadapi—rasa rindu pada keluarganya. Suatu malam, setelah pulang dari shift sore yang melelahkan, Damira merebahkan diri di tempat tidurnya. Ia meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Foto dirinya bersama ibunya saat perpisahan di bandara membuat dadanya terasa sesak. Sofia yang sekamar dengannya melirik. “Rindu rumah?” Damira mengangguk pelan. “Iya, Sofia. Kadang aku berpikir, apa aku membuat keputusan yang benar?” Sofia tersenyum. “Kalau kamu tidak ke sini, mungkin sekarang kamu sudah menikah karena perjodohan itu.” Damira terdiam. Ya, benar. Jika ia mengikuti kemauan ibunya dulu, mungkin ia sudah menjadi istri seseorang tanpa pernah mengalami semua ini. Ia mungkin tidak akan pernah tahu bag

  • Menikah Setelah Kuat Berdiri Sendiri   Bab 35

    Damira duduk gelisah di kamar kosnya, menatap layar ponsel dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah hari pengumuman hasil seleksi program pelatihan perawat internasional. "Apa aku lolos?" pikirnya sambil menggigit bibir. Pesan dari Sofia muncul di layar. Sofia: "Damira! Sudah cek pengumuman? Aku deg-degan banget!" Damira buru-buru membuka situs resmi rumah sakit dan mencari namanya di daftar peserta yang lolos. Jari-jarinya gemetar saat menggulir layar ke bawah. Dan di sana, ia menemukannya. Damira Azzahra – Lolos Seleksi Program Pelatihan Perawat Internasional Jantungnya berdegup kencang. Ia menutup mulutnya dengan tangan, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. "Aku... aku lolos!" serunya dengan suara bergetar. Teleponnya langsung berdering. Sofia menelepon dengan suara penuh semangat. “Damira! Kita lolos! Aku nggak nyangka!” Damira tertawa kecil, masih dalam keadaan setengah terkejut. "Iya, Sof! Ini beneran terjadi!" Sofia tertawa di sebe

  • Menikah Setelah Kuat Berdiri Sendiri   Bab 34

    Setelah menerima kepastian bahwa perjodohan itu benar-benar batal, Damira merasa lebih ringan. Kini, ia bisa fokus sepenuhnya pada masa depannya tanpa bayang-bayang paksaan dari keluarga.Ia mulai merencanakan langkah selanjutnya. Jika ingin bekerja di luar negeri, ia harus mempersiapkan diri dari sekarang. Ia mulai mencari informasi tentang peluang kerja di luar negeri untuk lulusan keperawatan, termasuk syarat, sertifikasi, dan jalur yang bisa ia tempuh.Malam itu, di kamar kosnya, Damira membuka laptop dan mulai mencari informasi lebih dalam.“Bekerja sebagai perawat di luar negeri… butuh sertifikasi tambahan?” gumamnya sambil membaca sebuah artikel.Ternyata, untuk bisa bekerja di luar negeri, ia perlu mengambil ujian kompetensi tambahan dan memiliki pengalaman kerja yang cukup.“Berarti, aku harus mulai dari sekarang,” pikirnya.Ia membuat daftar langkah-langkah yang harus ia lakukan:1. Menyelesaikan magang dengan hasil terbaik.2. Meningkatkan keterampilan bahasa asing, terutam

  • Menikah Setelah Kuat Berdiri Sendiri   Bab 33

    Hari itu, setelah selesai dengan tugas magangnya, Damira duduk di balkon kosnya sambil menikmati secangkir teh hangat. Ia masih memikirkan pesan dari laki-laki yang dulu dijodohkan dengannya.Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi di sisi lain, ia ragu.Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya terkejut—ibunya menelepon.“Assalamu’alaikum, Bu.”“Wa’alaikumsalam. Kamu sibuk, Nak?”Damira tersenyum kecil. “Tidak, Bu. Ada apa?”“Ibu hanya ingin bertanya… Kamu benar-benar sudah mantap dengan pilihanmu?”Damira terdiam. Ia tahu ibunya pasti sedang membahas perjodohan itu lagi.“Ibu…” Damira menarik napas dalam. “Aku ingin sukses dulu, Bu. Aku ingin berdiri di atas kakiku sendiri. Aku tidak menolak pernikahan selamanya, tapi aku ingin menikah di waktu yang tepat, dengan orang yang benar-benar aku pilih sendiri.”Di seberang telepon, ibunya tidak langsung menjawab. Ada jeda yang cukup lama sebelum akhirnya ibunya menghela napas.“Ibu mengerti, Nak.”Jawaban itu membu

  • Menikah Setelah Kuat Berdiri Sendiri   Bab 32

    Hari-hari Damira semakin sibuk. Selain kuliah, ia juga bekerja paruh waktu di restoran. Setiap pagi ia harus berangkat lebih awal untuk mengikuti kelas, lalu melanjutkan pekerjaan hingga malam hari.Terkadang rasa lelah menyerangnya, tapi ia terus mengingat tujuan awalnya—menjadi sukses dan mandiri.Suatu hari, saat sedang membersihkan meja, Sofia duduk di salah satu kursi sambil menatapnya prihatin."Damira, kamu tidak lelah?" tanyanya.Damira tersenyum kecil. "Lelah, tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus terus maju."Sofia menghela napas. "Aku mengerti. Tapi jangan sampai kamu jatuh sakit. Ingat, kesehatan itu penting."Damira mengangguk. Ia tahu Sofia benar. Ia harus lebih menjaga keseimbangan antara belajar, bekerja, dan istirahat.Namun, dalam pikirannya, ia terus bertanya-tanya: Apakah semua ini akan cukup untuk membuktikan bahwa aku bisa berdiri sendiri?---Mendapat Tawaran MagangBeberapa bulan berlalu, hingga suatu hari Damira mendapatkan email dari kampusnya."Selamat! A

  • Menikah Setelah Kuat Berdiri Sendiri   Bab 31

    Minggu-minggu pertama di luar negeri terasa begitu menantang bagi Damira. Meskipun ia sudah mempersiapkan diri sebelum berangkat, kenyataan di lapangan jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.Di kelas, ia harus berkonsentrasi ekstra untuk memahami penjelasan dosen yang berbicara cepat dengan aksen yang berbeda. Ia sering mencatat lebih banyak daripada teman-temannya karena takut ada materi yang terlewat.Suatu hari, saat sesi diskusi kelompok, seorang mahasiswa lokal bertanya padanya, "Apa pendapatmu tentang kasus yang kita bahas tadi?"Damira terdiam beberapa detik, mencoba merangkai kata dalam bahasa asing. "Aku pikir... ini sangat penting untuk... melihat dari perspektif yang berbeda."Mahasiswa lain menunggu, seakan mengharapkan penjelasan lebih lanjut. Damira merasa gugup. Namun, salah satu temannya, Sofia, membantunya dengan mengembangkan ide yang ia coba sampaikan.Setelah kelas selesai, Sofia menepuk pundaknya. "Kamu sudah melakukan yang terbaik. Lama-lama kamu pasti lebih la

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status