Share

Menikah Tanpa Cinta
Menikah Tanpa Cinta
Penulis: Miss April

Pengantin Pengganti

Ramai adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana di kediaman keluarga Nuraga. Para tamu mulai berdatangan dengan senyum di wajah.

Dekorasi di rumah yang bergaya perumahan itu tampak indah. Nuansanya hijau dan putih. Para panitia pernikahan sedang sibuk wara-wiri demi memastikan acaranya berjalan lancar tanpa kurang apa pun.

Itu semua membuat Nima tersenyum. Dia sedang mengamati. Gadis berkebaya putih dengan jilbab berwarna senada itu begitu gembira. Bagaimana tidak, hari ini sepupunya--Sena--akan menikah. Manalagi Sena akan menikahi pria kaya yang tentu saja akan membuat kehidupannya terjamin.

Nima tersenyum. Meski begitu ada rasa sedih karena tak lama lagi dia dan Sena akan berpisah. Tak ada lagi teman sebaya yang akan saling mencurahkan hati dengannya. Terlebih Sena anak tunggal yang otomatis kepergiannya akan membuat rumah sepi.

Mereka berasal dari keluarga sederhana. Nima anak broken home yang sejak SMA tinggal di rumah Sena. Papa mereka bersaudara kandung. Kalau saja papanya Nima masih hidup, mungkin dia tidak perlu menumpang di rumah Sena. Meski begitu, keluarga kecil Nuraga itu merawatnya dengan kasih sayang. Tidak pernah pilih kasih.

"Shtt, Nim!" Terdengar seseorang memanggil. Nima menoleh. Dilihatnya Sena memanggil dari balik pintu kamar. Wajahnya tampak cemas. Buru-buru Nima menghampiri dengan perasaan khawatir.

Sena langsung menutup pintu begitu Nima masuk. Kalau saja Sena sedang tidak berekspresi panik, tentu saja Nima akan memuji penampilannya. Bersanggulkan konde dengan paduan kebaya yang melekat pas di badan. Terlebih Sena punya tubuh yang ideal, berbanding terbalik dengan Nima yang kurus dan pendek.

"Bentar lagi calonmu bakal nyampe, Na," ujar Nima dengan ekspresi bingung, "tapi kenapa kamu malah panik? Butuh sesuatu?"

Sena menggeleng. Dia melirik pintu, berharap tidak akan ada orang yang membuka dan mendengar apa yang akan dia sampaikan. Dia pun berujar pelan. "Bantu aku lari, please. "

Nima melotot kaget. Dia menggeleng kuat. "Nggak! Kamu gila, ya, Na?"

"Please, Nim, bantuin." Sena memohon dengan wajah kalut.

"Aku ulangin kalau kamu lupa, Na. Orang yang mau nikahin kamu itu laki-laki kaya. Dia orang yang baik-baik. Bahkan jatuh cinta pandang pertama sama kamu," tegas Nima.

"Tapi aku nggak mau," sela Sena.

"Dengar, kamu memang nikah karena terpaksa. Tapi coba pikirin lagi, hidup kamu bakal bahagia. Nggak tersiksa karena calon suamimu itu udah cinta sama kamu." Nima tetap berusaha meyakinkan.

Sena masih menggeleng meski berulang kali diyakinkan oleh Nima. Dia tidak mencintai Galang, nama pria tersebut. Karena keadaan yang sulit, papanya terpaksa meminjam uang pada Galang demi menopang bisnis rumah makan keluarga yang hampir bangkrut. Namun, bisnis itu belum berkembang pesat sementara tenggat waktu pembayaran utang sudah dekat.

Galang datang menagih, dan dia jatuh cinta pandang pertama pada Sena. Maka dia pun memberi solusi. Utang akan dianggap lunas jika Sena mau menikah dengannya. Terpaksa itu harus disetujui.

Namun, sekarang Sena tak bisa lagi menahan rasa muaknya. Dia tidak menyukai Galang. Jadi dia ingin melarikan diri.

Sena menggeleng kuat, "Aku nggak bisa, Nim. Sekalipun dia kaya dan cinta, itu bukan jaminan aku bisa bahagia. Aku nggak ada rasa, udah cinta ke orang lain."

Nima memejamkan mata, mendadak merasa pening. Apalagi wajah Sena begitu menyedihkan. Air matanya sudah membanjiri. Beberapa riasan sudah acak-kadut.

"Nim, dengar. Kamu tega ngeliat aku nikah nggak bahagia? Please!" desak Sena memohon.

Nima kacau. Dia menggigit jari. Mondar-mandir di kamar tidak tahu harus berbuat apa. Dia pun menatap sepupunya itu. "Bentar, Na. Aku panggilin tante, ya. Kita diskusi dulu."

Tanpa mau dicegah Nima segera keluar kamar. Masalahnya dia tak bisa mengambil keputusan sepihak. Dia pun mendatangi mama dan papa Sena yang sedang mengobrol dengan tamu.

"Tan, Sena nggak pengen nikah," bisik Nima.

Sontak Mama Sena terkejut. Dia melotot. Nima tak menjelaskan lebih, malah langsung mengajak ke kamar. Papa Sena yang tak tahu apa yang terjadi mengikuti dari belakang.

Naasnya begitu sampai di kamar mereka tak mendapati Sena. Nima langsung panik dan mencari ke segala sisi ruang, tapi tak ditemukan. Dia sudah panik, lututnya gemetar. Bahkan jantungnya sudah berdebar kencang.

"Ini ada apa? Sena mana?" tanya Papa Sena.

Nima berhenti mencari. Dia menggigit jari. Menatap om dan tantenya itu dengan rasa cemas.

"Tadi Sena bilang dia nggak pengen nikah, Om, Tan. Terus katanya mau lari. Udah aku cegah. Aku berniat ngajak Om dan Tante supaya Sena bisa bicara baik-baik. Tapi kok ini kamarnya kosong? Itu jendelanya kebuka. Kayaknya Sena udah lari," jujur Nima begitu gugup.

"Apa!" Om dan Tante terkejut. Sontak mengecek jendela. Di bawah sana ada high heelsnya Sena. Hanya sebelah kiri, sepertinya tertinggal saat dia buru-buru lari. Di lain sisi Nima melihat secarik kertas di meja rias. Dia membacanya.

[Ma, Pa, Nim, maaf aku milih pergi. Aku nggak akan bahagia dengan pernikahan ini. Mohon maklumi keputusanku. Tolong untuk sementara waktu jangan kejar aku. Kalau sampai tetap dipaksa menikah, aku lebih baik mati.]

Nima langsung beristighfar. Tangannya gemetaran. Langsung memperlihatkan secarik kertas itu pada om dan tantenya.

Papa Sena langsung menjambak rambut klimisnya. Sebenarnya dia juga tidak ingin memaksa anaknya menikah. Namun, itu jalan satu-satunya demi menyelamatkan bisnis keluarga yang akan disita jika utang tidak dibayarkan.

Mama Sena perlahan mundur dan terduduk di ranjang. Menangis yang berusaha diredam dengan menutup tangan di mulut. Nima mencoba menenangkan. Jangan sampai kekacauan itu diketahui orang lain.

Begitu pengantin laki-laki tiba, semua bersuka cita menyambut. Papa Sena benar-benar tidak tenang. Dia terpaksa tersenyum, dalam pikiran bingung apa yang akan dia utarakan pada Galang.

Akhirnya dia pun mengajak Galang ke kamar pengantin. Di sana ada Mama Sena yang masih berusaha ditenangkan oleh Nima.

"Ada apa ini?" heran Galang saat mendapati orang menangis, "di mana mempelaiku?"

Papa Sena kesulitan mengatur kalimat. Galang menatap tajam. Melihat gelagat itu dia sudah bisa menebak keadaan. "Jangan bilang dia lari?"

Suara tangisan Mama Sena makin mengeras mendengarnya. Papa Sena berusaha menjelaskan. Sementara Galang langsung marah. Dia merupakan pria berdarah panas. Tempramental.

"Tak berguna! Kenapa malah lari! Keluarga kalian ingin mempermalukanku?" Nada suaranya membentak. Beberapa urat di wajahnya muncul.

Nima langsung melirik. Dia tak suka saat om-nya dibentak seperti itu. Dia pun menghampiri. "Heh, jaga omongan lo! Lo lagi ngomong sama orang tua. Seenaknya aja nuduh."

Galang tersenyum miring. "Lo pikir lo siapa berani-beraninya ngomong gitu?"

"Emang kenapa? Gue nggak suka ya lo bentak om gue. Gue bener-bener bersyukur Sena lari. Seenggaknya dia nggak nikah sama cowok brengs*k macam lo!" seru Nima dengan wajah tak kalah tegas. 

Kali ini Nima terpancing. Dia bukan perempuan yang lemah dan bisa ditindas seenaknya. Dia akan melawan. Sementara itu Papa Sena berusaha menenangkannya. "Udah, Nim. Ini urusan Om."

"Nggak bisa gitu, Om. Laki-laki kasar ini harus dikasih pelajaran biar nggak ngomong seenaknya." Nima bersikeras.

Papa Sena memijit pelipis lantas menyuruh istrinya mengajak Nima keluar kamar. Kebetulan istrinya sudah terdiam karena menyaksikan hal tersebut.

Papa Sena berusaha memikirkan solusi. Sementara Nima sudah di ambang pintu. Mereka tidak jadi keluar karena tiba-tiba Galang bersuara.

"Buatlah gadis kurang ajar itu sebagai pengganti mempelainya," kata Galang menatap Papa Sena. Dia mengeluarkan smirk-nya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Miss April
halo, terima kasih udah baca:D
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status