LOGIN“Ndhis-ndhis ...” Samar kudengar Bapak memanggil namaku. Aku segera beranjak menghampiri Bapak untuk memastikan.
Benar saja, Bapak memanggil dengan suara lirih. Aku duduk di kursi di samping ranjang pasien. Mengelus lembut tangan Bapak yang sudah keriput. Tangannya terasa sangat dingin, dingin sekali. “Me-ni-kah-lah, Ndu-uk…” Samar, kudengar Bapak kembali berujar dengan terbata. Aku berusaha memahami semua ucapannya. Berkali-kali Bapak berujar hingga Om Rahmad dan Riko juga mendekat. Memastikan apa yang Bapak ucapkan. “Me-ni-kah-lah Ndu-uk, se-be-lum Ba-pak per-gi...” Kali ini terdengar sedikit jelas meski terbata, membuat kami semua terkejut. Mataku menghangat mendengar kalimat terakhirnya. “Bapak tidak boleh pergi, Gendhis masih butuh Bapak.” Air mata tak bisa lagi kubendung, luruh tanpa permisi. Om Rahmad mendekat mengelus lembut punggungku yang berguncang. Riko mendekati Bapak di sebelah kanan. Kulihat dia meraih tangan Bapak. “Saya akan bertanggung jawab atas semuanya, Pak. Termasuk permintaan Bapak, saya akan menikahi putri Bapak. Mohon restui kami.” Elektrokardiogram yang terhubung di monitor tiba-tiba berbunyi. Seketika aku bangkit dari sofa, lalu memencet bel yang terhubung dengan perawat jaga. Seorang perawat dan dokter segera datang. “Maaf, Pak, sepertinya kondisi Pak Herman kembali melemah.” Seketika tubuhku melemas saat mendengar pernyataan dari dokter. Aku takut jika Bapak pergi. Takut belum bisa memenuhi permintaannya itu. Kutatap Om Rahmad dan Riko bergantian dengan wajah panik. “Bagaimana ini, Om…” “Ndhis…” Riko mendekatiku. “Menikahlah sama saya.” Aku tidak siap menjawabnya. Saat aku melihat Om Rahmad, dia hanya mengangguk ke arahku dengan wajah setengah pasrah dan muram. “Terimalah, Nduk… Demi memenuhi permintaan bapakmu.” — Sorenya, pernikahan itu pun digelar. Om Rahmad menjadi waliku. Dia memanggil Pak Kamsari tetangga kami sebagai saksi dan seorang dokter yang merawat Bapak. Semua sudah bersiap, mereka semua berdiri di samping ranjang Bapak. Sementara aku duduk di sofa. Tubuh ini terasa sangat lemas. Berkali-kali aku menghela napas. Mencoba ikhlas menerima semua yang terjadi saat ini. Kulihat tangan Riko berjabat dengan tangan Om Rahmad. Pak Kamsari memberi sedikit pengarahan. Lalu, mulai menuntun acara. "Saya nikahkan engkau, Riko bin Anwar (Alm.), dengan Gendhis binti Suherman dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai." "Saya terima nikahnya Gendhis binti Suherman dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai." “Bagaimana saksi? Sah?” “Sah.” “Alhamdulillah. Alfatihah.” Lantunan doa mengalun merdu memenuhi ruangan. Ijab qobul dilaksanakan di atas raga Bapak yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. “Sini, Nduk!” Om Rahmad menyuruhku untuk mendekat. Dengan langkah gontai aku mendekat. “Sekarang kamu sudah sah menjadi istri Riko, meski baru sah di mata agama. Nanti kalau semua sudah beres, baru menikah secara resmi agar sah secara negara,” jelas Om Rahmad. “Mbak Gendhis sudah sah menjadi istri Pak Riko, Mbak Gendhis bisa mencium tangan Pak Riko sebagai tanda bahwa kalian telah menikah.” Kini Pak Kamsari menimpali. Tanpa penolakan aku mendekat ke arah Riko, kuraih tangannya dan menciumnya. Bagaimanapun, aku telah sah menjadi istrinya meski tanpa ada rasa cinta sedikit pun di hati ini. Riko membalas dengan lembut mencium keningku. Aku sedikit kaget karena tidak menyangkanya. “Saya janji akan menjaga kamu dengan baik, Gendhis,” katanya tegas. Aku tidak menjawab. Hatiku terasa sangat berat. — Malamnya, Riko mengantarku pulang, sedangkan Om Rahmad menjaga Bapak di rumah sakit. Riko menyetir di sampingku dan sepanjang perjalanan hanya ada hening di antara kami. Mobil sudah terparkir di teras rumah. Tanpa basa-basi, aku lebih dulu ke luar sedangkan Riko mengikuti di belakang. Kubuka pintu dengan kunci serep, mengucap salam. Riko tampak menyapu seisi rumah sederhana itu. “Duduk, Mas,” kataku, mempersilakannya. “Kalau mau istirahat di kamar sebelah sana. Saya mandi dulu.” Aku pun mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Waktu keluar, aku melihat Riko sedang terlelap di kursi usang, tubuhnya sedikit tertekuk. Melihatnya membuatku tidak enak. Kutepuk lengannya membangkunnya. “Mas… Jangan tidur di sini, nanti punggungnya sakit,” ujarku. Riko bangun dengan wajah yang tampak lelah. Aku menunjuk ke arah kamar, satu-satunya kamar di rumah kecil sederhana ini. Dulu itu ditinggali Bapak dan Ibu. Sedangkan kamarku sudah menjadi tempat penyimpanan barang sejak aku pergi merantau. “Terus nanti kamu tidur di mana?” tanya Riko dengan suara seraknya. Aku mengernyit mendengarnya. Kenapa dia menanyakan itu? Suami-istri tentunya tidur sekamar kan? “Ya di kamar itu juga. Di mana lagi?” jawabku. Mata Riko sedikit melebar mendengarnya. Aku jadi mendengus. Apa dia tidak mau tidur denganku?Usai makan malam dan salat berjamaah, Nisa dan Fira pamit pulang. Rumah sudah sepi, tinggal kami berdua di rumah. Seperti biasa Mas Riko duduk manis di ruang tengah sambil bermain dengan telepon pintarnya. Sementara aku mengecek laporan pekerjaan hari ini sekaligus mengecek pemasukan dan stok barang yang tersisa.Setelah semuanya selesai, aku masuk ke kemar untuk membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Beberapa saat kemudian Mas Riko ikut masuk kamar. Dia membersihkan diri sebelum akhirnya berbaring di sampingku.Aku belum tidur, hanya memejamkan mata. Namun, aku masih bisa merasakan semua geraknya. Kurasakan tangannya melingkar di perutku. Wajahnya mendekat di samping wajahku. Hembusan napasnya terasa hangat di leher membuatku sedikit meremang.Aku membuka mata, lalu memiringkan tubuh menghadapnya. "Mas geli, ih." Dia tak menanggapi, malah semakin mengeratkan pelukan membuatku terasa engap. Aku sedikit meronta saat dia memelukku semakin erat tidak peduli apa yang kurasakan."Saya
"Lain kali apapun yang terjadi, kita bicarakan bersama agar tidak ada kesalahpahaman di antara kita." Tangannya menepuk pelan tanganku, setelah itu mengusap lembut pipiku."Mau kemana, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Riko beranjak dari duduknya."Mandi," katanya sambil membalikkan badan dan menunduk, kedua tangannya mengukungku. Wajahnya tepat berada di depan wajahku, mata kami saling bertatap dalam. "Mau ikut,” lanjutnya, senyum nakal menghias di bibirnya membuat jantungku bedegup lebih kencang. Kali ini bukan karena emosi atau kebencian, tapi karena cinta yang begitu dalam.Aku mengeleng mendengar jawabannya, lalu menepuk pelan dadanya. Senyum tipis masih terlihat di bibirnya. "Mas mandi dulu," katanya sambil menolel lembut hidungku, lalu pergi ke kamar mandi.Sementara aku masih duduk termenung di tepi ranjang. Merenungi semua yang sudah terjadi. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian ini. Sebab, semua punya alasannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita menanggapi dan meny
"Assalamualaikum." Aku langsung masuk ke toko saat sampai di rumah. Selain untuk memberikan mi goreng yang ku beli, aku juga ingin menanyakan pekerjaan hari ini. Mas Riko sudah masuk rumah lebih dulu.Aku yakin mereka bisa menghandel semua pekerjaan meski tanpa aku. Namun, aku juga tidak boleh lepas tangan begitu saja. Bagaimanapun sebagai pemilik toko aku harus tahu dan ikut andil dalam pekerjaan."Waalaikumsalam, Mbak." "Ini buat kalian, minumnya bikin sendiri," kataku sambil mengulurkan kantong plastik berisi dua bungkus mi goreng komplit dengan krupuk pangsitnya. "Makasih, Mbak." Nisa menerima uluran kantong plastik dari tanganku. "Sama-sama. Hari ini gimana kerjanya?" "Beres, Mbak. Mbak Gendhis nggak perlu khawatir." "Ok, sip. Makasih untuk kerja keras kalian hari ini.""Sama-sama.""Nanti kalau Mbak nggak ke toko lagi, kalian nggak usah tunggu Mbak. Kalau sudah selesai kerja jangan lupa toko di kunci. Kalian pulang saja.""Siap, Mbak. ""Ya sudah, Mbak masuk dulu."Aku kelu
Pov Gendhis. "Sayang hari ini kita pergi." Dia memelukku dari belakang saat aku mematut diri di depan kaca. Aroma tubuhnya selalu dan selalu membuatku jatuh cinta. Sikapnya masih tetap romantis seperti biasanya, membuatku merasa bersalah karena beberapa hari ini aku uring-uringan. "Kemana, Mas?" "Kemana saja asal kamu masih percaya sama, Mas." Aku mengembuskan napas untuk melonggarkan dada yang terasa sedikit sesak. Sebenarnya bukan tidak percaya, tapi sedikit waspada jika suatu saat terjadi sesuatu aku tidak akan terlalu sakit."Tapi hari ini aku sibuk, Mas. Nisa dan Fira butuh bantuanku." Kulepas pelukkannya dan menjauh dari depan cermin. Mas Riko mengikuti kemana langkahku."Sebentar saja, sayang. Setelah itu Mas akan antar kamu pulang. Nggak lama."Tak mau berdebat, akhirnya aku menyetujui untuk pergi. Apa salahnya menuruti kata suami meski akhir-akhir ini ada saja kejadian yang membuat suasana hatiku berantakan."Baik, tapi jangan lama-lama. Kasihan Nisa dan Fira."Siap. Maka
Seperti biasa usai salat Subuh Gendhis menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara aku masih di dalam kamar melanjutkan tidurku yang baru dua jam. Sebelum kembali tidur aku sempat mengirimkan pesan untuk Danu, memberi tahu kalau hari ini aku akan ke kantor setelah jam makan siang. Jam tujuh pagi aku baru bangun dan langsung membersihkan diri. Setelah itu keluar kamar mencari keberadaan Gendhis. Aku memeluknya dari belakang saat melihatnya berdiri di depan kompor sedang membuat nasi goreng. "Tumben bikin nasi goreng?" bisikku di telinganya dan memeluknya dari belakang. "Sesekali biar suamiku tidak mencari kesenangan di luar," katanya pelan, tapi menusuk. "Hahaha, bagaimana mungkin Mas mencari kesenangan di luar kalau di dalam saja sudah ada yang bikin senang." "Nyatanya ada foto itu." Aku mengembuskan napas kasar, dia masih saja membahas foto itu. Padahal, sudah kubilang itu hanya rekayasa meski aku juga belum tahu kebenarannya. "Cukup, jangan bahas foto itu,
Tak kutemukan bukti apapun dari dalam ponselku. Semua bukti pembayaran hotel sudah kuteliti, di mana dan dengan siapa aku menginap semua masih kuingat. Aku juga tidak pernah dengan sengaja menginap di hotel dengan Kayla karena aku juga tidak pernah jatuh cinta padanya. Kusandarkan kepala di sofa dengan memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat apa aku pernah pergi dengan Kayla. Lama aku mengingat kejadian demi kejadian yang pernah aku lewati bersama Kayla.Aku mengingat satu kejadian yang menurutku di luar nalar. Aku sempat marah saat kejadian itu terjadi. Aku merasa terjebak dengan kejadian itu. Mungkinkah foto itu di ambil saat malam itu. Malam di mana aku berada di hotel saat terbangun. Aku memang tidak pernah mencintai Kayla, tapi aku pernah prgi makan malam dengannya untuk memenuhi undangan makan malam bersama kedua orang tuanya. Awalnya aku tidak ingin pergi, tapi demi rasa hormatku dengan papanya Kayla sekaligus rekan bisnis, aku memutuskan untuk datang. Usai makan malam, Kayl







