Home / Romansa / Menikah Tanpa Cinta / Bagian 2 Permintaan Terakhir Bapak

Share

Bagian 2 Permintaan Terakhir Bapak

Author: Rafa Mirza
last update Last Updated: 2025-07-25 13:53:41

“Ndhis-ndhis ...” Samar kudengar Bapak memanggil namaku. Aku segera beranjak menghampiri Bapak untuk memastikan.

Benar saja, Bapak memanggil dengan suara lirih. Aku duduk di kursi di samping ranjang pasien. Mengelus lembut tangan Bapak yang sudah keriput. Tangannya terasa sangat dingin, dingin sekali.

“Me-ni-kah-lah, Ndu-uk…” Samar, kudengar Bapak kembali berujar dengan terbata. Aku berusaha memahami semua ucapannya. Berkali-kali Bapak berujar hingga Om Rahmad dan Riko juga mendekat. Memastikan apa yang Bapak ucapkan.

“Me-ni-kah-lah Ndu-uk, se-be-lum Ba-pak per-gi...”

Kali ini terdengar sedikit jelas meski terbata, membuat kami semua terkejut. Mataku menghangat mendengar kalimat terakhirnya.

“Bapak tidak boleh pergi, Gendhis masih butuh Bapak.” Air mata tak bisa lagi kubendung, luruh tanpa permisi. Om Rahmad mendekat mengelus lembut punggungku yang berguncang.

Riko mendekati Bapak di sebelah kanan. Kulihat dia meraih tangan Bapak. “Saya akan bertanggung jawab atas semuanya, Pak. Termasuk permintaan Bapak, saya akan menikahi putri Bapak. Mohon restui kami.”

Elektrokardiogram yang terhubung di monitor tiba-tiba berbunyi. Seketika aku bangkit dari sofa, lalu memencet bel yang terhubung dengan perawat jaga. Seorang perawat dan dokter segera datang.

“Maaf, Pak, sepertinya kondisi Pak Herman kembali melemah.”

Seketika tubuhku melemas saat mendengar pernyataan dari dokter. Aku takut jika Bapak pergi. Takut belum bisa memenuhi permintaannya itu. Kutatap Om Rahmad dan Riko bergantian dengan wajah panik.

“Bagaimana ini, Om…”

“Ndhis…” Riko mendekatiku. “Menikahlah sama saya.”

Aku tidak siap menjawabnya. Saat aku melihat Om Rahmad, dia hanya mengangguk ke arahku dengan wajah setengah pasrah dan muram.

“Terimalah, Nduk… Demi memenuhi permintaan bapakmu.”

Sorenya, pernikahan itu pun digelar. Om Rahmad menjadi waliku. Dia memanggil Pak Kamsari tetangga kami sebagai saksi dan seorang dokter yang merawat Bapak.

Semua sudah bersiap, mereka semua berdiri di samping ranjang Bapak. Sementara aku duduk di sofa. Tubuh ini terasa sangat lemas. Berkali-kali aku menghela napas. Mencoba ikhlas menerima semua yang terjadi saat ini.

Kulihat tangan Riko berjabat dengan tangan Om Rahmad. Pak Kamsari memberi sedikit pengarahan. Lalu, mulai menuntun acara.

"Saya nikahkan engkau, Riko bin Anwar (Alm.), dengan Gendhis binti Suherman dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai."

"Saya terima nikahnya Gendhis binti Suherman dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai."

“Bagaimana saksi? Sah?”

“Sah.”

“Alhamdulillah. Alfatihah.”

Lantunan doa mengalun merdu memenuhi ruangan. Ijab qobul dilaksanakan di atas raga Bapak yang terbaring tak berdaya di atas ranjang.

“Sini, Nduk!” Om Rahmad menyuruhku untuk mendekat. Dengan langkah gontai aku mendekat.

“Sekarang kamu sudah sah menjadi istri Riko, meski baru sah di mata agama. Nanti kalau semua sudah beres, baru menikah secara resmi agar sah secara negara,” jelas Om Rahmad.

“Mbak Gendhis sudah sah menjadi istri Pak Riko, Mbak Gendhis bisa mencium tangan Pak Riko sebagai tanda bahwa kalian telah menikah.” Kini Pak Kamsari menimpali.

Tanpa penolakan aku mendekat ke arah Riko, kuraih tangannya dan menciumnya. Bagaimanapun, aku telah sah menjadi istrinya meski tanpa ada rasa cinta sedikit pun di hati ini. Riko membalas dengan lembut mencium keningku. Aku sedikit kaget karena tidak menyangkanya.

“Saya janji akan menjaga kamu dengan baik, Gendhis,” katanya tegas.

Aku tidak menjawab. Hatiku terasa sangat berat.

Malamnya, Riko mengantarku pulang, sedangkan Om Rahmad menjaga Bapak di rumah sakit. Riko menyetir di sampingku dan sepanjang perjalanan hanya ada hening di antara kami.

Mobil sudah terparkir di teras rumah. Tanpa basa-basi, aku lebih dulu ke luar sedangkan Riko mengikuti di belakang. Kubuka pintu dengan kunci serep, mengucap salam. Riko tampak menyapu seisi rumah sederhana itu.

“Duduk, Mas,” kataku, mempersilakannya. “Kalau mau istirahat di kamar sebelah sana. Saya mandi dulu.”

Aku pun mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Waktu keluar, aku melihat Riko sedang terlelap di kursi usang, tubuhnya sedikit tertekuk. Melihatnya membuatku tidak enak. Kutepuk lengannya membangkunnya.

“Mas… Jangan tidur di sini, nanti punggungnya sakit,” ujarku.

Riko bangun dengan wajah yang tampak lelah. Aku menunjuk ke arah kamar, satu-satunya kamar di rumah kecil sederhana ini. Dulu itu ditinggali Bapak dan Ibu. Sedangkan kamarku sudah menjadi tempat penyimpanan barang sejak aku pergi merantau.

“Terus nanti kamu tidur di mana?” tanya Riko dengan suara seraknya.

Aku mengernyit mendengarnya. Kenapa dia menanyakan itu? Suami-istri tentunya tidur sekamar kan?

“Ya di kamar itu juga. Di mana lagi?” jawabku.

Mata Riko sedikit melebar mendengarnya. Aku jadi mendengus. Apa dia tidak mau tidur denganku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 17 Suara Hati

    “Maaf, sudah membuatmu tidak nyaman.”“Ndak pa-pa, Mas. Masih bisa dimaklumi kalau dia berbuat seperti itu. Sebab dia terlalu mencintaimu sedang kamu justru memilih menikah denganku. Apalagi kalian sempat dekat meski kamu tak mencintainya. Wanita mana yang tak sakit hatinya? Tiba-tiba orang terdekatnya menikah dengan orang lain.”“Terima kasih atas pengertiannya, sebab inilah yang menjadi salah satu aku memilihmu. Kedewasaanmu mampu membuatku membuka pikiran. Aku akan mempertahankanmu, kita akan hadapi masalah ini bersama.”Kami saling berdiri berhadapan tanpa jarak, bahkan Mas Riko melingkarkan tangannya di pinggangku.“Sebab Gendhis seorang perempuan, Mas, apa yang dia rasakan Gendhis juga bisa rasakan. Hanya saja sikap dan perbuatannya yang salah, jadi terlihat urakan. Sebenarnya hal itu justru akan merugikan dirinya. Dia akan terlihar murahan di mata laki-laki. Namun, semua itu tidak dia sadari, sebab dia terbelenggu oleh cinta. Sementara Gendhis hanya ingin berjuang mempertahanka

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 14 Pembelaan dari Suamiku

    Azan Subuh berkumandang, aku segera bangkit dari pembaringan kemudian membangunkan Mas Riko untuk salat Subuh berjamaah.“Mas, sudah Subuh, bangun dulu, ya,” ucapku membangunkannya.Ini kedua kalinya aku membangunkannya untuk salat. Sebab, saat kami berjarak aku tak berani membangunkannya. Namun, saat ini aku harus melakukan itu, aku ingin Mas Riko menjadi imam terbaik dalam rumah tangga.Andai Mas Riko punya kekurangan maka aku akan menutupinya, pun sebaliknya. Andai aku yang memiliki kekurangan berharap Mas Riko juga mampu menutupinya.“Mas,” ucapku lagi karena Mas Riko tak kunjung bangun. Tak lama kemudian Mas Riko membuka mata, mengerjap beberapa kali. Lalu, bangkit dari pembaringan.“Sudah Subuh, kita salat dulu, ya.”“Terima kasih, ya, Sayang sudah membangunkanku.” Hanya senyuman yang kuberikan. Lalu, dia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri bergantian denganku.Setelah bersiap, kami langsung menjalankan salat Subuh berjamaah di kamar Bapak karena kamar beliau

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 21 Kuterima Lamarannya

    “Mas, benarkah yang kudengar?” tanyaku memastikan.Jujur aku masih ragu. Mas Riko meremas jemariku dengan lembut untuk meyakinkan. Ini pertama kalinya Mas Riko menyentuhku dengan lembut karena sebelumnya memang tidak pernah.“Apa kamu meragukan ucapanku?” Mas Riko balik bertanya, seakan dia tahu kegundahan hatiku.“Tapi Mas ….”“Jangan pernah takut, aku tak akan meninggalkanmu meski kamu meminta. Kita akan hadapi masalah ini bersama-sama, jangan takut dengan ancamannya.”Aku mengernyitkan dahi, seolah Mas Riko sudah tahu apa yang ada di dalam hati dan pikiranku. Bukankah dia tadi tidak ada di rumah, lalu dari mana dia bisa tahu?“Om, Om Rahmad sebagai saksinya, bahwa malam ini, di hadapan Om Rahmad dengan sadar aku melamarmu secara resmi. Aku mohon denganmu agar kamu mau menjadi labuhan hatiku.” Sekali lagi Mas Riko menegaskan agar aku mau menjadi istrinya.“Apa Mas Riko yakin dengan keputusan ini? Lalu, bagaimana dengan kekasihmu. Aku tak mau menjadi duri dalam hubungan kalian.”Terl

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 20 Lamatan Kedua

    Aku segera bangkit dari pembaringan, lalu keluar dari kamar untuk membukakan pintu. Berharap Mas Riko yang datang. Sebelum membuka pintu aku mengintip lewat jendela lebih dulu, untuk melihat siapa yang datang.Ternyata bukan Mas Riko yang datang, melainkan Om Rahmad. Entah dari mana Om Rahmad bisa tahu kalau aku datang ke sini?“Om,” sapaku pada beliau saat membuka pintu. Rasa kecewa semakin terasa.“Kamu sama siapa, Nduk?”“Sendiri,Om. Om Rahmad kok tahu Gendhis di sini?” tanyaku sambil mempersilakan beliaumasuk dan duduk di ruang tamu.“Omndak tahu kalau kamu ada di sini, biasanya bulikmu yang datang ke sini buat nyalain lampu, tapi sore ini dia lagi ada acara jadi nggak sempat nyalain lampu. Makanya nyuruh Om datang buat nyalain lampu. Malah ndak tahunya lampu sudah menyala.” Panjang lebar Om Rahmad menjelaskan.“Nak Riko ndak ikut ke sini?” tanyanya lagi.“Nggak, Om, Gendhis ke sini sendirian. Katanya Mas Riko mau datang menjemput, tapin yatanya sudah hampir jam sembilan belum da

  • Menikah Tanpa Cinta    Kegundahan Hati

    Kutatap layar ponsel yang ada di tangan, waktu menunjukkan pukul dua siang. Sepertinya masih ada waktu untuk menepis kepenatan yang dihadirkan oleh tamu tak diundang tadi. Aku butuh refresing sejenak, tapi keadaan tak memungkinkan untuk keluar tanpa izin dari Mas Riko. Jadi, mau tidak mau aku harus minta izinpadanya.Kugeser layar ponsel untuk mencari kontak atas namanya. Nihil, tak kutemukan namanya didaftar kontak. Padahal, dia sudah menyimpan nomornya di ponselku, tapi entah dengan nama siapa aku tak tahu.Kembali kususuri satu persatu nama yang tersimpan dalam kontak. Namun, tak juga kutemukan, kuulangi sekali lagi untuk memastikan. Hingga akhirnya pencarianku terhenti saat melihat daftar kontakyang bertuliskan ‘Suamiku’.Sedikit ragu saat aku ingin melakukan panggilan, tapi tak ada cara lain selain mencoba untuk memastikan nomor Mas Riko atau bukan. Kuberanikan diri menekan nomor dengan nama ‘Suamiku’ untuk melakukan panggilan. Hanya dalam waktu beberapa saat sambungan telepon su

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 12 Tamu Tak di Undang

    “Kamu, nggak makan?” Seketika aku menoleh ke sumber suara, Mas Riko duduk di sofa paling pojok, kakinya membentang di atas meja. Tangannya menggenggam ponsel, matanya serius menatap layar ponsel.“Mas, kenapa nggak membangunkanku?”“Aku takut masuk kamarmu, takut mengganggumu.”“Mas, aku itu istrimu, kenapa harus takut coba?”Mendengar pernyataanku Mas Riko menghentikan aktivitasnya. Matanya beralih menatapku, tatapannya tajam menukik hingga ke jantung hati. Seketika ada yang berdesir di dalam sini.“Maaf,” kataku sambil menunduk.“Kamu nggak lapar?”Aku menggeleng, rasa lapar yang tadi terasa sudah menghilang entah ke mana. Yang ada hanya rasa kecewa karena dia pulang terlambat.“Maafkan aku, tadi pulang terlambat, membuatmu lama menunggu,” ucapnya.“Ndak pa-pa, Mas, lain kali kalau memang sibuk setidaknya memberi kabar bila mau pulang terlambat,” jawabku tetap tenang.“Maaf,” ucapnya lagi.Mas Riko bangkit, melangkah mendekat, tepat berdiri di hadapanku.“Terima kasih, sudah memasa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status