Home / Romansa / Menikah Tanpa Cinta / Bagian 3 Malam Tertunda

Share

Bagian 3 Malam Tertunda

Author: Rafa Mirza
last update Last Updated: 2025-07-25 14:20:24

Subuh menyapa saat aku membuka mata. Aku melihat ke sekitar. Riko masih lelap di sampingku. Kami terpisah oleh sebuah guling. Aku jadi ingat kecanggungan semalam, juga ucapan Riko yang meyakinkan kalau dia tidak akan mengganggu tidurku.

Padahal, malam tadi adalah malam pertama kali kami sebagai suami-istri. Tapi, toh, pada dasarnya aku dan Riko juga tidak saling kenal.

Aku menggelengkan kepala, segera bangkit dari pembaringan, lalu mengambil air wudu untuk menjalankan salat Subuh. Setelah itu aku membangunkan Riko.

“Mas, bangun, sudah pagi,” ucapku sambil sedikit menepuk lengannya. Perlahan dia mengerjap, lalu duduk di atas kasur.

“Maaf, aku mau ke kamar mandi,” ucapnya.

Tanpa menjawab, aku langsung mengambil handuk bersih dan memberikan padanya. Kamar mandi di rumah kami masih terpisah di bagian belakang rumah. Airnya pun masih menggunakan mesin sanyo biasa.

Sebelum masuk ke kamar mandi Mas Riko sempat menatapku yang sedang berada di dapur memasak mi instan untuk sarapan kita berdua. Mungkin semua ini terasa aneh baginya, karena tidak sama seperti di rumahnya.

Mi instan yang kumasak sudah matang. Lalu, kuletakkan di meja makan. Aku duduk di salah satu kursi sambil menunggu Mas Riko selesai mandi.

Seketika anganku terbang bersama kisah yang telah berlalu. Dulu di meja makan inilah aku, Bapak, dan Ibu menghabiskan waktu makan bersama meski hanya dengan menu sederhana, tetapi terasa nikmat luar biasa.

Kini, masa itu sudah menjadi kenangan. Aku berdoa semoga Bapak bisa pulih seperti semula, agar aku dan Bapak bisa bernostalgia dengan masa-masa dulu meski tanpa Ibu. Digantikan dengan kehadiran Mas Riko sebagai menantu.

“Handuknya taruh di mana?” Anganku buyar saat Mas Riko datang. Rambutnya sedikit basah sehabis mandi.

“Sini biar Gendhis saja yang simpan,” ucapku mengambil handuk dari tangannya.

Setelah menjemur handuk di halaman belakang, kutuangkan mi instan ke dalam mangkuk untuk Mas Riko dengan telur mata sapi di atasnya.

“Maaf, Mas, adanya cuma mi instan, aku belum belanja,” ucapku sembari menyodorkan semangkuk mi instan untuknya.

Mas Riko mengangguk, “Iya, nggak apa-apa. Makasih, Ndhis.”

Selanjutnya, kami makan dalam keadaan hening.

Mi dalam mangkuk Mas Riko sudah habis lebih dulu. Ponselnya berdering. Ia bangkit dari kursi melangkah menuju ruang tamu.

“Sudah siapkan saja daftar kerja hari ini! Aku akan datang jam sepuluh. Jika tidak, maka akan kusuruh Danu mengatasinya. Tender ini jangan sampai gagal.”

Entah dengan siapa dia menelepon. Panjang lebar dia berbicara. Mungkin sedang ada masalah di kantornya. Aku tidak begitu paham dengan pembahasannya. Aku diam-diam mendengarkan sambil mencuci peralatan makan kami.

“Aku mau ke berangkat ke kantor, Ndhis, mau aku antar sekalian nggak?” tawar Mas Riko begitu dia selesai menelepon.

Aku menoleh ke arahnya, mengangguk. “Boleh, ke rumah sakit, ya, Mas. Mau jenguk Bapak.”

Mas Riko menatapku lamat-lamat sebelum mengangguk. “Sana siap-siap dulu. Aku tungguin.”

Aku menurut dan pergi ke kamar untuk siap-siap. Hatiku sedikit tenang. Amarahku padanya sejak kemarin hilang. Sikap Mas Riko lembut, tampak sungguh-sungguh ingin bertanggung jawab.

Aku memang belum cinta padanya. Jadi, aku akan berusaha sekuat hati untuk menumbuhkan rasa cinta di hati ini lebih dulu. Dengan begitu, mungkin kami bisa menjadi pasangan yang bahagia, begitu pikirku.

Kaos warna coklat susu dengan bawahan celana kulot berbahan jeans menjadi pilihan outfitku hari ini. Simpel yang penting nyaman. Sebab, tidak 1 atau 2 jam aku di rumah sakit. Bisa jadi sampai sore atau bahkan sampai malam. Menunggu Mas Riko menjemputku.

Aku mematut diri di depan cermin. Pertanyaan demi pertanyaan berkelindan di dalam pikiran. “Mengapa semua ini terjadi secepat ini. Pernikahan yang tiba-tiba bahkan terasa dipaksakan demi untuk memenuhi permintaan bapak.”

Kuembuskan napas berat, mau tidak mau, siap tidak siap aku harus menerima kenyataan ini. Sebab, hidup bukan untuk masa lalu, tapi menjalani apa yang sedang terjadi saat ini untuk menuju masa depan. Doaku semoga bapak pulih seperti semula agar bisa melihat pernikahan ini.

Baru selesai bersiap, teleponku tiba-tiba berdering. Siapa yang menelepon sepagi ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Tanpa Cinta    Malam Indah Setelah Badai

    Usai makan malam dan salat berjamaah, Nisa dan Fira pamit pulang. Rumah sudah sepi, tinggal kami berdua di rumah. Seperti biasa Mas Riko duduk manis di ruang tengah sambil bermain dengan telepon pintarnya. Sementara aku mengecek laporan pekerjaan hari ini sekaligus mengecek pemasukan dan stok barang yang tersisa.Setelah semuanya selesai, aku masuk ke kemar untuk membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Beberapa saat kemudian Mas Riko ikut masuk kamar. Dia membersihkan diri sebelum akhirnya berbaring di sampingku.Aku belum tidur, hanya memejamkan mata. Namun, aku masih bisa merasakan semua geraknya. Kurasakan tangannya melingkar di perutku. Wajahnya mendekat di samping wajahku. Hembusan napasnya terasa hangat di leher membuatku sedikit meremang.Aku membuka mata, lalu memiringkan tubuh menghadapnya. "Mas geli, ih." Dia tak menanggapi, malah semakin mengeratkan pelukan membuatku terasa engap. Aku sedikit meronta saat dia memelukku semakin erat tidak peduli apa yang kurasakan."Saya

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 38 Kebersamaan

    "Lain kali apapun yang terjadi, kita bicarakan bersama agar tidak ada kesalahpahaman di antara kita." Tangannya menepuk pelan tanganku, setelah itu mengusap lembut pipiku."Mau kemana, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Riko beranjak dari duduknya."Mandi," katanya sambil membalikkan badan dan menunduk, kedua tangannya mengukungku. Wajahnya tepat berada di depan wajahku, mata kami saling bertatap dalam. "Mau ikut,” lanjutnya, senyum nakal menghias di bibirnya membuat jantungku bedegup lebih kencang. Kali ini bukan karena emosi atau kebencian, tapi karena cinta yang begitu dalam.Aku mengeleng mendengar jawabannya, lalu menepuk pelan dadanya. Senyum tipis masih terlihat di bibirnya. "Mas mandi dulu," katanya sambil menolel lembut hidungku, lalu pergi ke kamar mandi.Sementara aku masih duduk termenung di tepi ranjang. Merenungi semua yang sudah terjadi. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian ini. Sebab, semua punya alasannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita menanggapi dan meny

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 37 Penjelasan

    "Assalamualaikum." Aku langsung masuk ke toko saat sampai di rumah. Selain untuk memberikan mi goreng yang ku beli, aku juga ingin menanyakan pekerjaan hari ini. Mas Riko sudah masuk rumah lebih dulu.Aku yakin mereka bisa menghandel semua pekerjaan meski tanpa aku. Namun, aku juga tidak boleh lepas tangan begitu saja. Bagaimanapun sebagai pemilik toko aku harus tahu dan ikut andil dalam pekerjaan."Waalaikumsalam, Mbak." "Ini buat kalian, minumnya bikin sendiri," kataku sambil mengulurkan kantong plastik berisi dua bungkus mi goreng komplit dengan krupuk pangsitnya. "Makasih, Mbak." Nisa menerima uluran kantong plastik dari tanganku. "Sama-sama. Hari ini gimana kerjanya?" "Beres, Mbak. Mbak Gendhis nggak perlu khawatir." "Ok, sip. Makasih untuk kerja keras kalian hari ini.""Sama-sama.""Nanti kalau Mbak nggak ke toko lagi, kalian nggak usah tunggu Mbak. Kalau sudah selesai kerja jangan lupa toko di kunci. Kalian pulang saja.""Siap, Mbak. ""Ya sudah, Mbak masuk dulu."Aku kelu

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 36 Rasa Bersalah

    Pov Gendhis. "Sayang hari ini kita pergi." Dia memelukku dari belakang saat aku mematut diri di depan kaca. Aroma tubuhnya selalu dan selalu membuatku jatuh cinta. Sikapnya masih tetap romantis seperti biasanya, membuatku merasa bersalah karena beberapa hari ini aku uring-uringan. "Kemana, Mas?" "Kemana saja asal kamu masih percaya sama, Mas." Aku mengembuskan napas untuk melonggarkan dada yang terasa sedikit sesak. Sebenarnya bukan tidak percaya, tapi sedikit waspada jika suatu saat terjadi sesuatu aku tidak akan terlalu sakit."Tapi hari ini aku sibuk, Mas. Nisa dan Fira butuh bantuanku." Kulepas pelukkannya dan menjauh dari depan cermin. Mas Riko mengikuti kemana langkahku."Sebentar saja, sayang. Setelah itu Mas akan antar kamu pulang. Nggak lama."Tak mau berdebat, akhirnya aku menyetujui untuk pergi. Apa salahnya menuruti kata suami meski akhir-akhir ini ada saja kejadian yang membuat suasana hatiku berantakan."Baik, tapi jangan lama-lama. Kasihan Nisa dan Fira."Siap. Maka

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 35 Bukti

    Seperti biasa usai salat Subuh Gendhis menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara aku masih di dalam kamar melanjutkan tidurku yang baru dua jam. Sebelum kembali tidur aku sempat mengirimkan pesan untuk Danu, memberi tahu kalau hari ini aku akan ke kantor setelah jam makan siang. Jam tujuh pagi aku baru bangun dan langsung membersihkan diri. Setelah itu keluar kamar mencari keberadaan Gendhis. Aku memeluknya dari belakang saat melihatnya berdiri di depan kompor sedang membuat nasi goreng. "Tumben bikin nasi goreng?" bisikku di telinganya dan memeluknya dari belakang. "Sesekali biar suamiku tidak mencari kesenangan di luar," katanya pelan, tapi menusuk. "Hahaha, bagaimana mungkin Mas mencari kesenangan di luar kalau di dalam saja sudah ada yang bikin senang." "Nyatanya ada foto itu." Aku mengembuskan napas kasar, dia masih saja membahas foto itu. Padahal, sudah kubilang itu hanya rekayasa meski aku juga belum tahu kebenarannya. "Cukup, jangan bahas foto itu,

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 34 Titik Terang

    Tak kutemukan bukti apapun dari dalam ponselku. Semua bukti pembayaran hotel sudah kuteliti, di mana dan dengan siapa aku menginap semua masih kuingat. Aku juga tidak pernah dengan sengaja menginap di hotel dengan Kayla karena aku juga tidak pernah jatuh cinta padanya. Kusandarkan kepala di sofa dengan memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat apa aku pernah pergi dengan Kayla. Lama aku mengingat kejadian demi kejadian yang pernah aku lewati bersama Kayla.Aku mengingat satu kejadian yang menurutku di luar nalar. Aku sempat marah saat kejadian itu terjadi. Aku merasa terjebak dengan kejadian itu. Mungkinkah foto itu di ambil saat malam itu. Malam di mana aku berada di hotel saat terbangun. Aku memang tidak pernah mencintai Kayla, tapi aku pernah prgi makan malam dengannya untuk memenuhi undangan makan malam bersama kedua orang tuanya. Awalnya aku tidak ingin pergi, tapi demi rasa hormatku dengan papanya Kayla sekaligus rekan bisnis, aku memutuskan untuk datang. Usai makan malam, Kayl

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status