Kecelakaan yang merenggut nyawa bapak membuatku harus menikah dengan laki-laki yang ttidak ku kenal. Namun, seiring berjalannya waktu cinta tumbuh di antara kami. Sayangnya, saat cinta bersemi jarak kembali bersua. Mamoukah kami mempertahankan ikatan sakral atau harus menyerah?
Lihat lebih banyak"Gendhis, ayahmu kritis sehabis kecelakaan. Sebaiknya kamu segera pulang."
Tubuhku melorot ke lantai. Air mata bercucuran membasahi pipi. Rasanya tidak percaya mendengar berita tentang satu-satunya anggota keluargaku. “Dia terus-menerus meminta Om untuk menghubungimu. Sepertinya ada sesuatu hal yang ingin dia sampaikan padamu.” Aku segera mengemasi barang-barang dan mengajukan cuti ke HRD. Tanpa peduli apa pendapatnya dengan pengajuan tiba-tiba itu, aku memesan tiket kereta untuk pulang. Rumahku ada di sebuah desa. Aku merantau jauh ke kota untuk bekerja di sebuah toko pakaian di mall besar di Semarang. Perjalanan dengan kereta memakan waktu setidaknya satu jam. Di gerbong, aku berusaha menahan tangis. Begitu kereta sampai, aku langsung memesan angkutan umum menuju rumah sakit tempat ayahku di rawat. Telepon dari Om Rahmad datang lagi. “Assalamualaikum, Ndhis? Kamu sudah sampai mana?” “Lagi di jalan, Om. Sebentar lagi sampai.” “Ya, Nduk, kalau sudah, kamu langsung ke ICU, ya. Bapakmu di sini.” Ucapannya membuat air mataku berderai. Aku tidak peduli tatapan orang-orang di angkot. Setelah sampai di depan rumah sakit, aku segera turun dan berlari tergesa ke ruang ICU. Di sana, Om Rahmad segera menangkapku sebelum aku mendorong pintu masuk. “Gendhis mau ketemu Bapak, Om,” ucapku, mencoba melepaskan diri. “Iya, tenang dulu, kita mau bicara,” kata Om Rahmad sambil menarikku ke bangku di lorong rumah sakit itu. Di sampingnya, ada seorang pria yang tidak kukenal. Aku duduk menurut dengan dada naik turun menahan tangis yang mau pecah. “Bapakmu mengalami kecelakaan, Nduk. Keadaannya sangat kritis, dokter bilang sudah tidak ada harapan lagi untuk kembali seperti semula. Tadi bapakmu sempat tersadar sebelum akhirnya kembali koma. Dia minta kamu dititipkan ke Om dan Bulik,” jelas Om Rahmad. “Bapakmu juga meminta agar kamu cepat menikah sebelum dia pergi untuk selamanya,” lanjutnya. Aku membiarkan tangisku pecah. Tidak hanya kabar bahwa Bapak akan pergi untuk selamanya, aku juga tidak mampu mendengar permintaan terakhirnya. Menikah? Dengan siapa? “Gendhis tidak bisa untuk memenuhi permintaan terakhir Bapak, Om. Selama ini Gendhis tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun. Bagaimana bisa Gendhis memenuhi permintaan terakhir Bapak, Om?” tangisku tersedu. Laki-laki di samping Om Rahmad mendekatiku, ucapan selanjutnya membuatku tersentak. “Aku akan menikahimu.” Kutatap dia dengan wajah bingung. “Maaf, mungkin saya terlalu lancang bilang begini. Tapi saya semua ini terjadi karena saya. Saya akan menikahi putri Pak Herman sebagai pertanggungjawaban saya atas semua yang terjadi.” Apa maksudnya? Aku menoleh kepada Om Rahmad yang mengembuskan napas sambil mengusap wajah, meminta penjelasan. “Ini Riko. Dia yang sudah menabrak bapakmu di kecelakaan itu,” katanya, membuat mataku membulat. “Dia juga sudah membayar biaya rumah sakit, Nduk.” Aku menatap Riko tajam dengan penuh emosi. Bergerak maju dan menarik kerah bajunya. “Kamu yang bikin Bapak kritis!!” “Ndhis, cukup, ini rumah sakit!” Om Rahmad segera meleraiku darinya. Setelah mendudukkanku kembali di bangku, Om Rahmad menatapku lagi lamat-lamat. “Om paham perasaanmu, tapi Riko sudah berusaha tanggung jawab, termasuk memenuhi permintaan terakhir bapakmu.” Napasku tercekat saat teringat dengan permintaan terakhir itu. Aku tahu, bapakku pasti tidak ingin meninggalkan aku sebatang kara. Dia ingin aku menikah agar aku tidak hidup sendirian. Haruskah aku menikah dengan orang yang membuat Bapak kritis bahkan hampir merenggut nyawanya? “Saya akan tetap bertanggung jawab, apapun resikonya saya terima. Saya akan menerima putri Pak Herman sebagai istri saya. Saya tidak ingin melihat putri Pak Herman hidup dalam kesendirian tanpa ada yang melindungi,” ucap Riko lagi dengan tegas, sorot matanya penuh rasa bersalah. Niat baiknya membuatku tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk mencaci maki dirinya. “Tapi saya bahkan tidak kenal kamu,” ucapku. Apakah Bapak juga ingin anak putrinya menikah dengan orang asing? “Saya ngerti kamu nggak bisa percaya sama saya. Apalagi kondisi ayah kamu saat ini adalah kesalahan saya. Tapi saya janji, saya akan menjaga kamu dengan baik dan menjadi suami yang bertanggung jawab,” tegas Riko lagi. Aku melihat kepada Om Rahmad lagi, tetapi beliau tampaknya tidak bisa menolak Riko juga. “Semua keputusan ada di tanganmu, Nduk. Om tidak akan memaksamu.”“Maaf, sudah membuatmu tidak nyaman.”“Ndak pa-pa, Mas. Masih bisa dimaklumi kalau dia berbuat seperti itu. Sebab dia terlalu mencintaimu sedang kamu justru memilih menikah denganku. Apalagi kalian sempat dekat meski kamu tak mencintainya. Wanita mana yang tak sakit hatinya? Tiba-tiba orang terdekatnya menikah dengan orang lain.”“Terima kasih atas pengertiannya, sebab inilah yang menjadi salah satu aku memilihmu. Kedewasaanmu mampu membuatku membuka pikiran. Aku akan mempertahankanmu, kita akan hadapi masalah ini bersama.”Kami saling berdiri berhadapan tanpa jarak, bahkan Mas Riko melingkarkan tangannya di pinggangku.“Sebab Gendhis seorang perempuan, Mas, apa yang dia rasakan Gendhis juga bisa rasakan. Hanya saja sikap dan perbuatannya yang salah, jadi terlihat urakan. Sebenarnya hal itu justru akan merugikan dirinya. Dia akan terlihar murahan di mata laki-laki. Namun, semua itu tidak dia sadari, sebab dia terbelenggu oleh cinta. Sementara Gendhis hanya ingin berjuang mempertahanka
Azan Subuh berkumandang, aku segera bangkit dari pembaringan kemudian membangunkan Mas Riko untuk salat Subuh berjamaah.“Mas, sudah Subuh, bangun dulu, ya,” ucapku membangunkannya.Ini kedua kalinya aku membangunkannya untuk salat. Sebab, saat kami berjarak aku tak berani membangunkannya. Namun, saat ini aku harus melakukan itu, aku ingin Mas Riko menjadi imam terbaik dalam rumah tangga.Andai Mas Riko punya kekurangan maka aku akan menutupinya, pun sebaliknya. Andai aku yang memiliki kekurangan berharap Mas Riko juga mampu menutupinya.“Mas,” ucapku lagi karena Mas Riko tak kunjung bangun. Tak lama kemudian Mas Riko membuka mata, mengerjap beberapa kali. Lalu, bangkit dari pembaringan.“Sudah Subuh, kita salat dulu, ya.”“Terima kasih, ya, Sayang sudah membangunkanku.” Hanya senyuman yang kuberikan. Lalu, dia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri bergantian denganku.Setelah bersiap, kami langsung menjalankan salat Subuh berjamaah di kamar Bapak karena kamar beliau
“Mas, benarkah yang kudengar?” tanyaku memastikan.Jujur aku masih ragu. Mas Riko meremas jemariku dengan lembut untuk meyakinkan. Ini pertama kalinya Mas Riko menyentuhku dengan lembut karena sebelumnya memang tidak pernah.“Apa kamu meragukan ucapanku?” Mas Riko balik bertanya, seakan dia tahu kegundahan hatiku.“Tapi Mas ….”“Jangan pernah takut, aku tak akan meninggalkanmu meski kamu meminta. Kita akan hadapi masalah ini bersama-sama, jangan takut dengan ancamannya.”Aku mengernyitkan dahi, seolah Mas Riko sudah tahu apa yang ada di dalam hati dan pikiranku. Bukankah dia tadi tidak ada di rumah, lalu dari mana dia bisa tahu?“Om, Om Rahmad sebagai saksinya, bahwa malam ini, di hadapan Om Rahmad dengan sadar aku melamarmu secara resmi. Aku mohon denganmu agar kamu mau menjadi labuhan hatiku.” Sekali lagi Mas Riko menegaskan agar aku mau menjadi istrinya.“Apa Mas Riko yakin dengan keputusan ini? Lalu, bagaimana dengan kekasihmu. Aku tak mau menjadi duri dalam hubungan kalian.”Terl
Aku segera bangkit dari pembaringan, lalu keluar dari kamar untuk membukakan pintu. Berharap Mas Riko yang datang. Sebelum membuka pintu aku mengintip lewat jendela lebih dulu, untuk melihat siapa yang datang.Ternyata bukan Mas Riko yang datang, melainkan Om Rahmad. Entah dari mana Om Rahmad bisa tahu kalau aku datang ke sini?“Om,” sapaku pada beliau saat membuka pintu. Rasa kecewa semakin terasa.“Kamu sama siapa, Nduk?”“Sendiri,Om. Om Rahmad kok tahu Gendhis di sini?” tanyaku sambil mempersilakan beliaumasuk dan duduk di ruang tamu.“Omndak tahu kalau kamu ada di sini, biasanya bulikmu yang datang ke sini buat nyalain lampu, tapi sore ini dia lagi ada acara jadi nggak sempat nyalain lampu. Makanya nyuruh Om datang buat nyalain lampu. Malah ndak tahunya lampu sudah menyala.” Panjang lebar Om Rahmad menjelaskan.“Nak Riko ndak ikut ke sini?” tanyanya lagi.“Nggak, Om, Gendhis ke sini sendirian. Katanya Mas Riko mau datang menjemput, tapin yatanya sudah hampir jam sembilan belum da
Kutatap layar ponsel yang ada di tangan, waktu menunjukkan pukul dua siang. Sepertinya masih ada waktu untuk menepis kepenatan yang dihadirkan oleh tamu tak diundang tadi. Aku butuh refresing sejenak, tapi keadaan tak memungkinkan untuk keluar tanpa izin dari Mas Riko. Jadi, mau tidak mau aku harus minta izinpadanya.Kugeser layar ponsel untuk mencari kontak atas namanya. Nihil, tak kutemukan namanya didaftar kontak. Padahal, dia sudah menyimpan nomornya di ponselku, tapi entah dengan nama siapa aku tak tahu.Kembali kususuri satu persatu nama yang tersimpan dalam kontak. Namun, tak juga kutemukan, kuulangi sekali lagi untuk memastikan. Hingga akhirnya pencarianku terhenti saat melihat daftar kontakyang bertuliskan ‘Suamiku’.Sedikit ragu saat aku ingin melakukan panggilan, tapi tak ada cara lain selain mencoba untuk memastikan nomor Mas Riko atau bukan. Kuberanikan diri menekan nomor dengan nama ‘Suamiku’ untuk melakukan panggilan. Hanya dalam waktu beberapa saat sambungan telepon su
“Kamu, nggak makan?” Seketika aku menoleh ke sumber suara, Mas Riko duduk di sofa paling pojok, kakinya membentang di atas meja. Tangannya menggenggam ponsel, matanya serius menatap layar ponsel.“Mas, kenapa nggak membangunkanku?”“Aku takut masuk kamarmu, takut mengganggumu.”“Mas, aku itu istrimu, kenapa harus takut coba?”Mendengar pernyataanku Mas Riko menghentikan aktivitasnya. Matanya beralih menatapku, tatapannya tajam menukik hingga ke jantung hati. Seketika ada yang berdesir di dalam sini.“Maaf,” kataku sambil menunduk.“Kamu nggak lapar?”Aku menggeleng, rasa lapar yang tadi terasa sudah menghilang entah ke mana. Yang ada hanya rasa kecewa karena dia pulang terlambat.“Maafkan aku, tadi pulang terlambat, membuatmu lama menunggu,” ucapnya.“Ndak pa-pa, Mas, lain kali kalau memang sibuk setidaknya memberi kabar bila mau pulang terlambat,” jawabku tetap tenang.“Maaf,” ucapnya lagi.Mas Riko bangkit, melangkah mendekat, tepat berdiri di hadapanku.“Terima kasih, sudah memasa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen