Home / Romansa / Menikah Tanpa Cinta / Bagian 4 Kepergian Bapak

Share

Bagian 4 Kepergian Bapak

Author: Rafa Mirza
last update Last Updated: 2025-07-25 14:24:40

Segera kuambil ponsel di meja kamar sebelum dering telepon berhenti. ‘Om Rahmad’ pekikku saat melihat namanya di layar ponsel. Segera kugeser tombol warna hijau untuk memulai percakapan.

“Assalamualaikum, Om,” sapaku pada Om Rahmad.

“Waalaikumsalam. Nduk, cepatlah datang kemari, bapakmu dalam keadaan kritis.”

“Baik, Gendhis segera ke sana.”

“Cepat, ya, Om, tunggu.”

“Iya. Assalamualaikum.”

Tanpa mendengar jawaban salam dari Om Rahmad aku sudah mematikan ponsel. Lalu, mengambil tas yang ada di meja. Lalu, ke luar kamar, meminta Mas Riko untuk mengantarku ke rumah sakit.

“Mas, kita berangkat sekarang. Om Rahmad baru saja mengabari kalau Bapak sedang kritis.”

Tanpa bicara Mas Riko langsung ke luar rumah menuju mobilnya dan bersiap di belakang kemudi. Aku segera masuk menutup pintu dan menguncinya. Tanpa di suruh, Mas Riko melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di rumah sakit aku segera turun dari mobil, langsung menuju ruangan Bapak. Kutinggalkan Mas Riko yang sedang memarkirkan mobilnya.

“Bagaimana keadaan Bapak, Om?” tanyaku pada Om Rahmad saat tiba di depan ruangan.

“Kondisi bapakmu kembali melemah dan kritis. Sekarang Dokter Raynald ada di dalam sedang memeriksa kondisi bapakmu. Kita doakan semoga beliau baik-baik saja.”

“Aamiin.”

Rasa khawatir mengaduk hati. Bayangan-bayangan buruk kembali menghampiri, membuat air mataku luruh membasahi pipi.

Kujatuhkan tubuh di kursi tunggu yang ada di depan ruangan. Dengan perasaan yang tak karuan dan mata memejam.  Menanti Dokter Reynald keluar dari ruangan Bapak.

“Apa yang terjadi dengan Pak Herman, Pak.”

Kubuka mata saat  mendengar suara Mas Riko. Ternyata dia sudah datang dan mempertanyakan kondisi Bapak pada Om Rahmad.

“Kondisi Beliau melemah dan kritis, Nak Riko.”

“Sejak kapan, Pak?”

“Sejak setengah jam yang lalu. Saya langsung mengabari Gendhis untuk datang, takut terjadi sesuatu.”

Kulihat Mas Riko yang juga melihatku. Tak lama kemudian Dokter Reynald keluar dari ruangan Bapak dengan raut wajah yang tak biasa. Aku segera menghampirinya mempertanyakan kondisi Bapak.

“Bagaimana kondisi, Bapak, dok?” tanyaku sendu.

Dokter Reynald masih terdiam, membuatku semakin penasaran. “Dok,” ucapku lagi.

Kulihat dokter tampan itu menghela napas. “Maaf, Mbak ….” ucapannya terhenti, kepalanya sedikit menunduk.”

“Maaf kenapa, dok?” tanyaku sedikit berteriak.

“Maaf, Mbak, Bapak tidak bisa diselamatkan, beliau telah berpulang,” jawabnya dengan nada tenang.

Mendengar semua itu, seketika tubuhku limbung. Untung saja dengan sigap Mas Riko menahan tubuhku. Kecanggungan diantara kami seketika mencair, meski tak banyak bicara. Perlakuannya sedikit hangat. Mas Riko mendudukkanku di kursi dan menenggelamkanku di dada bidangnya.

Tangisku pecah dalam rengkuhannya. Sementara Om Rahmad sedang berbincang dengan Dokter Reynald. Hampir setengah jam berada dalam rengkuhan Mas Riko, aku menegakkan tubuh, merenggang dari tubuhnya.

Kuusap air mata yang membanjiri pipi. Aku harus mengikhlaskan kepergian Bapak karena kita hidup untuk kembali kepada-Nya. Takdir tak dapat ditolak, pun tak dapat ditawar.

“Bagaimana, Nduk?” Om Rahmad menghampiriku.

“Apanya yang bagaimana, Om?” tanyaku balik.

“Jenazah bapakmu mau disucikan di rumah atau di sini?”

“Di sini saja, Om, biar sampai rumah bisa langsung di kebumikan.”

“Baik, Om, manut sama kamu.”

Mas Riko bangkit dari tempat duduk, dia sedikit menjauh dariku. Lalu, mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya dan melakukan panggilan. Entah dengan siapa aku tak tahu.

Sementara aku dan Om Rahmad masuk ke ruangan Bapak untuk melihat wajah Bapak yang terakhir kalinya. Semua alat yang menempel di tubuh Bapak sudah dilepas. Kupandangi wajah keriput Bapak yang tampak pucat.

Kemudian menghujaninya dengan ciuman perpisahan. Sekuat tenaga aku menahan tangis agar air mata tak menetes mengenai tubuh Bapak. Om Rahmad mengelus punggung, bekali-kali menenangkanku. Secepat ini beliau meninggalkanku, bahkan belum sempat melihat pernikahanku.

Setelah melihat kondisi Bapak, Om Rahmad pamit keluar untuk menelepon Bulik Hani agar mempersiapkan keperluan menyambut kepulangan jenazah Bapak. Aku mengangguk mengiakan.

Beberapa saat kemudian Mas Riko masuk diikuti Om Rahmad dan seorang petugas rumah sakit dari kamar jenazah sambil membawa brankar jenazah.

Petugas itu meminta izin untuk membawa Bapak ke kamar jenazah untuk disucikan. Om Rahmad dan Mas Riko mengikutinya sedangkan aku membereskan barang-barang Bapak. Setelah itu menyusul ke kamar jenazah.

Aku hanya menunggu di depan ruangan. Om Rahmad dan Mas Riko berada di dalam dan ikut memandikan jenazah Bapak. Melihat antusias Mas Riko hati ini terenyuh. Karena rasa canggung membuat kami sedikit berjarak. Dua jam sudah berlalu, pemulasaran jenazah Bapak sudah selesai.

“Sudah selesai, Om?” tanyaku saat melihat Om Rahmad keluar dari kamar jenazah.

“Sudah tinggal nunggu mobil jenazahnya.”

“Ya sudah, kalau gitu Gendhis pulang dulu, barangnya biar Gendhis yang bawa. Om Rahmad ikut mobil jenazah, nungguin Bapak.”

“Kamu pulang bareng Nak Riko saja, Nduk.”

“Motor Gendhis masih di sini, Om. Ndak pa-pa Gendhis naik motor aja, Mas Riko biar naik mobilnya.”

“Ya sudah, hati-hati naik motornya.”

“Mas, Gendhis pulang dulu, ya.” Mas Riko hanya mengangguk.

“Barangnya biar aku saja yang bawa,” ucapnya sambil meraih semua barang dari tanganku.

“Hati-hati di jalan,” pesan Om Rahmad melepas kepergianku.

Aku mengangguk, lalu melangkah meninggalkan Om Rahmad yang masih menunggu mobil jenazah untuk mengantar kepulangan jenazah Bapak. Begitu pun dengan Mas Riko yang masih berdiri di samping Om Rahmad. Mungkin dia juga mau ikut menaikkan jenazah Bapak ke mobil.

Sesampainya di parkiran, kutunjukkan kartu parkir keluarga pasien pada petugas parkir. Lalu, membantu mengambilkan motorku yang berada di barisan dalam.

“Sepertinya motornya sudah dari kemarin ndak diambil, Mbak?”

“Iya, Pak. Kemarin saya pulang sama suami saya. Jadi, motor saya tinggal.”

“Owgh … keluarganya sudah sembuh, ya, Mbak?”

“Sudah, Pak. Bapak saya sudah sembuh, bahkan ndak akan merasakan sakit lagi, beliau sudah berpulang.”

“Innalillahi wa inna illahi rojiun. Semoga husnul khotimah, ya, Mbak.”

“Terima kasih, Pak, atas doanya. Saya permisi dulu.”

“Iya, Mbak, silakan.”

Segera kulajukan motorku dengan kecepatan sedang. Menenangkan pikiran saat berkendara agar selamat sampai tujuan. Bagaimanapun aku harus tetap mewaraskan pikiran, memenangkan hati agar bisa mengikhlaskan kepergian Bapak.

Semua ini sudah takdir tidak ada yang perlu disalahkan bahkan menyalahkan. Apalagi orang yang patut disalahkan sudah sah menjadi suamiku. Haruskah aku masih ingin menghakiminya? Sementara pihak polisi saja sudah tidak memperkarakannya meski awalnya kasus ini sempat masuk di kepolisian.

Namun, Om Rahmad tidak mau menuntut dan mencabut semua perkara dengan jalan damai. Semua itu, Om Rahmad lakukan karena melihat pertanggungjawaban Mas Riko yang begitu besar. Begitu alasan Om Rahmad mencabut perkara.

Tidak terasa aku sudah sampai di depan rumah yang sudah ramai dengan para tetangga. Semua itu Bulik Hani yang mengurus karena sebelumnya Om Rahmad sudah mengabarinya lebih dulu. Kuparkirkan motor di pinggiran teras rumah agar tak menghalangi jalan.

Dengan langkah gontai aku menuju rumah, ruang tamu sudah penuh dengan pelayat. Padahal jenazah Bapak belum sampai di rumah, masyaallah begitu baiknya para tetangga pada keluarga kami. Kusalami satu persatu tamu yang ada, aku terkejut saat melihat tamu yang sudah lama kunantikan kehadirannya.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 17 Suara Hati

    “Maaf, sudah membuatmu tidak nyaman.”“Ndak pa-pa, Mas. Masih bisa dimaklumi kalau dia berbuat seperti itu. Sebab dia terlalu mencintaimu sedang kamu justru memilih menikah denganku. Apalagi kalian sempat dekat meski kamu tak mencintainya. Wanita mana yang tak sakit hatinya? Tiba-tiba orang terdekatnya menikah dengan orang lain.”“Terima kasih atas pengertiannya, sebab inilah yang menjadi salah satu aku memilihmu. Kedewasaanmu mampu membuatku membuka pikiran. Aku akan mempertahankanmu, kita akan hadapi masalah ini bersama.”Kami saling berdiri berhadapan tanpa jarak, bahkan Mas Riko melingkarkan tangannya di pinggangku.“Sebab Gendhis seorang perempuan, Mas, apa yang dia rasakan Gendhis juga bisa rasakan. Hanya saja sikap dan perbuatannya yang salah, jadi terlihat urakan. Sebenarnya hal itu justru akan merugikan dirinya. Dia akan terlihar murahan di mata laki-laki. Namun, semua itu tidak dia sadari, sebab dia terbelenggu oleh cinta. Sementara Gendhis hanya ingin berjuang mempertahanka

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 14 Pembelaan dari Suamiku

    Azan Subuh berkumandang, aku segera bangkit dari pembaringan kemudian membangunkan Mas Riko untuk salat Subuh berjamaah.“Mas, sudah Subuh, bangun dulu, ya,” ucapku membangunkannya.Ini kedua kalinya aku membangunkannya untuk salat. Sebab, saat kami berjarak aku tak berani membangunkannya. Namun, saat ini aku harus melakukan itu, aku ingin Mas Riko menjadi imam terbaik dalam rumah tangga.Andai Mas Riko punya kekurangan maka aku akan menutupinya, pun sebaliknya. Andai aku yang memiliki kekurangan berharap Mas Riko juga mampu menutupinya.“Mas,” ucapku lagi karena Mas Riko tak kunjung bangun. Tak lama kemudian Mas Riko membuka mata, mengerjap beberapa kali. Lalu, bangkit dari pembaringan.“Sudah Subuh, kita salat dulu, ya.”“Terima kasih, ya, Sayang sudah membangunkanku.” Hanya senyuman yang kuberikan. Lalu, dia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri bergantian denganku.Setelah bersiap, kami langsung menjalankan salat Subuh berjamaah di kamar Bapak karena kamar beliau

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 21 Kuterima Lamarannya

    “Mas, benarkah yang kudengar?” tanyaku memastikan.Jujur aku masih ragu. Mas Riko meremas jemariku dengan lembut untuk meyakinkan. Ini pertama kalinya Mas Riko menyentuhku dengan lembut karena sebelumnya memang tidak pernah.“Apa kamu meragukan ucapanku?” Mas Riko balik bertanya, seakan dia tahu kegundahan hatiku.“Tapi Mas ….”“Jangan pernah takut, aku tak akan meninggalkanmu meski kamu meminta. Kita akan hadapi masalah ini bersama-sama, jangan takut dengan ancamannya.”Aku mengernyitkan dahi, seolah Mas Riko sudah tahu apa yang ada di dalam hati dan pikiranku. Bukankah dia tadi tidak ada di rumah, lalu dari mana dia bisa tahu?“Om, Om Rahmad sebagai saksinya, bahwa malam ini, di hadapan Om Rahmad dengan sadar aku melamarmu secara resmi. Aku mohon denganmu agar kamu mau menjadi labuhan hatiku.” Sekali lagi Mas Riko menegaskan agar aku mau menjadi istrinya.“Apa Mas Riko yakin dengan keputusan ini? Lalu, bagaimana dengan kekasihmu. Aku tak mau menjadi duri dalam hubungan kalian.”Terl

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 20 Lamatan Kedua

    Aku segera bangkit dari pembaringan, lalu keluar dari kamar untuk membukakan pintu. Berharap Mas Riko yang datang. Sebelum membuka pintu aku mengintip lewat jendela lebih dulu, untuk melihat siapa yang datang.Ternyata bukan Mas Riko yang datang, melainkan Om Rahmad. Entah dari mana Om Rahmad bisa tahu kalau aku datang ke sini?“Om,” sapaku pada beliau saat membuka pintu. Rasa kecewa semakin terasa.“Kamu sama siapa, Nduk?”“Sendiri,Om. Om Rahmad kok tahu Gendhis di sini?” tanyaku sambil mempersilakan beliaumasuk dan duduk di ruang tamu.“Omndak tahu kalau kamu ada di sini, biasanya bulikmu yang datang ke sini buat nyalain lampu, tapi sore ini dia lagi ada acara jadi nggak sempat nyalain lampu. Makanya nyuruh Om datang buat nyalain lampu. Malah ndak tahunya lampu sudah menyala.” Panjang lebar Om Rahmad menjelaskan.“Nak Riko ndak ikut ke sini?” tanyanya lagi.“Nggak, Om, Gendhis ke sini sendirian. Katanya Mas Riko mau datang menjemput, tapin yatanya sudah hampir jam sembilan belum da

  • Menikah Tanpa Cinta    Kegundahan Hati

    Kutatap layar ponsel yang ada di tangan, waktu menunjukkan pukul dua siang. Sepertinya masih ada waktu untuk menepis kepenatan yang dihadirkan oleh tamu tak diundang tadi. Aku butuh refresing sejenak, tapi keadaan tak memungkinkan untuk keluar tanpa izin dari Mas Riko. Jadi, mau tidak mau aku harus minta izinpadanya.Kugeser layar ponsel untuk mencari kontak atas namanya. Nihil, tak kutemukan namanya didaftar kontak. Padahal, dia sudah menyimpan nomornya di ponselku, tapi entah dengan nama siapa aku tak tahu.Kembali kususuri satu persatu nama yang tersimpan dalam kontak. Namun, tak juga kutemukan, kuulangi sekali lagi untuk memastikan. Hingga akhirnya pencarianku terhenti saat melihat daftar kontakyang bertuliskan ‘Suamiku’.Sedikit ragu saat aku ingin melakukan panggilan, tapi tak ada cara lain selain mencoba untuk memastikan nomor Mas Riko atau bukan. Kuberanikan diri menekan nomor dengan nama ‘Suamiku’ untuk melakukan panggilan. Hanya dalam waktu beberapa saat sambungan telepon su

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 12 Tamu Tak di Undang

    “Kamu, nggak makan?” Seketika aku menoleh ke sumber suara, Mas Riko duduk di sofa paling pojok, kakinya membentang di atas meja. Tangannya menggenggam ponsel, matanya serius menatap layar ponsel.“Mas, kenapa nggak membangunkanku?”“Aku takut masuk kamarmu, takut mengganggumu.”“Mas, aku itu istrimu, kenapa harus takut coba?”Mendengar pernyataanku Mas Riko menghentikan aktivitasnya. Matanya beralih menatapku, tatapannya tajam menukik hingga ke jantung hati. Seketika ada yang berdesir di dalam sini.“Maaf,” kataku sambil menunduk.“Kamu nggak lapar?”Aku menggeleng, rasa lapar yang tadi terasa sudah menghilang entah ke mana. Yang ada hanya rasa kecewa karena dia pulang terlambat.“Maafkan aku, tadi pulang terlambat, membuatmu lama menunggu,” ucapnya.“Ndak pa-pa, Mas, lain kali kalau memang sibuk setidaknya memberi kabar bila mau pulang terlambat,” jawabku tetap tenang.“Maaf,” ucapnya lagi.Mas Riko bangkit, melangkah mendekat, tepat berdiri di hadapanku.“Terima kasih, sudah memasa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status