LOGINSegera kuambil ponsel di meja kamar sebelum dering telepon berhenti. ‘Om Rahmad’ pekikku saat melihat namanya di layar ponsel. Segera kugeser tombol warna hijau untuk memulai percakapan.
“Assalamualaikum, Om,” sapaku pada Om Rahmad. “Waalaikumsalam. Nduk, cepatlah datang kemari, bapakmu dalam keadaan kritis.” “Baik, Gendhis segera ke sana.” “Cepat, ya, Om, tunggu.” “Iya. Assalamualaikum.” Tanpa mendengar jawaban salam dari Om Rahmad aku sudah mematikan ponsel. Lalu, mengambil tas yang ada di meja. Lalu, ke luar kamar, meminta Mas Riko untuk mengantarku ke rumah sakit. “Mas, kita berangkat sekarang. Om Rahmad baru saja mengabari kalau Bapak sedang kritis.” Tanpa bicara Mas Riko langsung ke luar rumah menuju mobilnya dan bersiap di belakang kemudi. Aku segera masuk menutup pintu dan menguncinya. Tanpa di suruh, Mas Riko melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di rumah sakit aku segera turun dari mobil, langsung menuju ruangan Bapak. Kutinggalkan Mas Riko yang sedang memarkirkan mobilnya. “Bagaimana keadaan Bapak, Om?” tanyaku pada Om Rahmad saat tiba di depan ruangan. “Kondisi bapakmu kembali melemah dan kritis. Sekarang Dokter Raynald ada di dalam sedang memeriksa kondisi bapakmu. Kita doakan semoga beliau baik-baik saja.” “Aamiin.” Rasa khawatir mengaduk hati. Bayangan-bayangan buruk kembali menghampiri, membuat air mataku luruh membasahi pipi. Kujatuhkan tubuh di kursi tunggu yang ada di depan ruangan. Dengan perasaan yang tak karuan dan mata memejam. Menanti Dokter Reynald keluar dari ruangan Bapak. “Apa yang terjadi dengan Pak Herman, Pak.” Kubuka mata saat mendengar suara Mas Riko. Ternyata dia sudah datang dan mempertanyakan kondisi Bapak pada Om Rahmad. “Kondisi Beliau melemah dan kritis, Nak Riko.” “Sejak kapan, Pak?” “Sejak setengah jam yang lalu. Saya langsung mengabari Gendhis untuk datang, takut terjadi sesuatu.” Kulihat Mas Riko yang juga melihatku. Tak lama kemudian Dokter Reynald keluar dari ruangan Bapak dengan raut wajah yang tak biasa. Aku segera menghampirinya mempertanyakan kondisi Bapak. “Bagaimana kondisi, Bapak, dok?” tanyaku sendu. Dokter Reynald masih terdiam, membuatku semakin penasaran. “Dok,” ucapku lagi. Kulihat dokter tampan itu menghela napas. “Maaf, Mbak ….” ucapannya terhenti, kepalanya sedikit menunduk.” “Maaf kenapa, dok?” tanyaku sedikit berteriak. “Maaf, Mbak, Bapak tidak bisa diselamatkan, beliau telah berpulang,” jawabnya dengan nada tenang. Mendengar semua itu, seketika tubuhku limbung. Untung saja dengan sigap Mas Riko menahan tubuhku. Kecanggungan diantara kami seketika mencair, meski tak banyak bicara. Perlakuannya sedikit hangat. Mas Riko mendudukkanku di kursi dan menenggelamkanku di dada bidangnya. Tangisku pecah dalam rengkuhannya. Sementara Om Rahmad sedang berbincang dengan Dokter Reynald. Hampir setengah jam berada dalam rengkuhan Mas Riko, aku menegakkan tubuh, merenggang dari tubuhnya. Kuusap air mata yang membanjiri pipi. Aku harus mengikhlaskan kepergian Bapak karena kita hidup untuk kembali kepada-Nya. Takdir tak dapat ditolak, pun tak dapat ditawar. “Bagaimana, Nduk?” Om Rahmad menghampiriku. “Apanya yang bagaimana, Om?” tanyaku balik. “Jenazah bapakmu mau disucikan di rumah atau di sini?” “Di sini saja, Om, biar sampai rumah bisa langsung di kebumikan.” “Baik, Om, manut sama kamu.” Mas Riko bangkit dari tempat duduk, dia sedikit menjauh dariku. Lalu, mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya dan melakukan panggilan. Entah dengan siapa aku tak tahu. Sementara aku dan Om Rahmad masuk ke ruangan Bapak untuk melihat wajah Bapak yang terakhir kalinya. Semua alat yang menempel di tubuh Bapak sudah dilepas. Kupandangi wajah keriput Bapak yang tampak pucat. Kemudian menghujaninya dengan ciuman perpisahan. Sekuat tenaga aku menahan tangis agar air mata tak menetes mengenai tubuh Bapak. Om Rahmad mengelus punggung, bekali-kali menenangkanku. Secepat ini beliau meninggalkanku, bahkan belum sempat melihat pernikahanku. Setelah melihat kondisi Bapak, Om Rahmad pamit keluar untuk menelepon Bulik Hani agar mempersiapkan keperluan menyambut kepulangan jenazah Bapak. Aku mengangguk mengiakan. Beberapa saat kemudian Mas Riko masuk diikuti Om Rahmad dan seorang petugas rumah sakit dari kamar jenazah sambil membawa brankar jenazah. Petugas itu meminta izin untuk membawa Bapak ke kamar jenazah untuk disucikan. Om Rahmad dan Mas Riko mengikutinya sedangkan aku membereskan barang-barang Bapak. Setelah itu menyusul ke kamar jenazah. Aku hanya menunggu di depan ruangan. Om Rahmad dan Mas Riko berada di dalam dan ikut memandikan jenazah Bapak. Melihat antusias Mas Riko hati ini terenyuh. Karena rasa canggung membuat kami sedikit berjarak. Dua jam sudah berlalu, pemulasaran jenazah Bapak sudah selesai. “Sudah selesai, Om?” tanyaku saat melihat Om Rahmad keluar dari kamar jenazah. “Sudah tinggal nunggu mobil jenazahnya.” “Ya sudah, kalau gitu Gendhis pulang dulu, barangnya biar Gendhis yang bawa. Om Rahmad ikut mobil jenazah, nungguin Bapak.” “Kamu pulang bareng Nak Riko saja, Nduk.” “Motor Gendhis masih di sini, Om. Ndak pa-pa Gendhis naik motor aja, Mas Riko biar naik mobilnya.” “Ya sudah, hati-hati naik motornya.” “Mas, Gendhis pulang dulu, ya.” Mas Riko hanya mengangguk. “Barangnya biar aku saja yang bawa,” ucapnya sambil meraih semua barang dari tanganku. “Hati-hati di jalan,” pesan Om Rahmad melepas kepergianku. Aku mengangguk, lalu melangkah meninggalkan Om Rahmad yang masih menunggu mobil jenazah untuk mengantar kepulangan jenazah Bapak. Begitu pun dengan Mas Riko yang masih berdiri di samping Om Rahmad. Mungkin dia juga mau ikut menaikkan jenazah Bapak ke mobil. Sesampainya di parkiran, kutunjukkan kartu parkir keluarga pasien pada petugas parkir. Lalu, membantu mengambilkan motorku yang berada di barisan dalam. “Sepertinya motornya sudah dari kemarin ndak diambil, Mbak?” “Iya, Pak. Kemarin saya pulang sama suami saya. Jadi, motor saya tinggal.” “Owgh … keluarganya sudah sembuh, ya, Mbak?” “Sudah, Pak. Bapak saya sudah sembuh, bahkan ndak akan merasakan sakit lagi, beliau sudah berpulang.” “Innalillahi wa inna illahi rojiun. Semoga husnul khotimah, ya, Mbak.” “Terima kasih, Pak, atas doanya. Saya permisi dulu.” “Iya, Mbak, silakan.” Segera kulajukan motorku dengan kecepatan sedang. Menenangkan pikiran saat berkendara agar selamat sampai tujuan. Bagaimanapun aku harus tetap mewaraskan pikiran, memenangkan hati agar bisa mengikhlaskan kepergian Bapak. Semua ini sudah takdir tidak ada yang perlu disalahkan bahkan menyalahkan. Apalagi orang yang patut disalahkan sudah sah menjadi suamiku. Haruskah aku masih ingin menghakiminya? Sementara pihak polisi saja sudah tidak memperkarakannya meski awalnya kasus ini sempat masuk di kepolisian. Namun, Om Rahmad tidak mau menuntut dan mencabut semua perkara dengan jalan damai. Semua itu, Om Rahmad lakukan karena melihat pertanggungjawaban Mas Riko yang begitu besar. Begitu alasan Om Rahmad mencabut perkara. Tidak terasa aku sudah sampai di depan rumah yang sudah ramai dengan para tetangga. Semua itu Bulik Hani yang mengurus karena sebelumnya Om Rahmad sudah mengabarinya lebih dulu. Kuparkirkan motor di pinggiran teras rumah agar tak menghalangi jalan. Dengan langkah gontai aku menuju rumah, ruang tamu sudah penuh dengan pelayat. Padahal jenazah Bapak belum sampai di rumah, masyaallah begitu baiknya para tetangga pada keluarga kami. Kusalami satu persatu tamu yang ada, aku terkejut saat melihat tamu yang sudah lama kunantikan kehadirannya.Usai makan malam dan salat berjamaah, Nisa dan Fira pamit pulang. Rumah sudah sepi, tinggal kami berdua di rumah. Seperti biasa Mas Riko duduk manis di ruang tengah sambil bermain dengan telepon pintarnya. Sementara aku mengecek laporan pekerjaan hari ini sekaligus mengecek pemasukan dan stok barang yang tersisa.Setelah semuanya selesai, aku masuk ke kemar untuk membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Beberapa saat kemudian Mas Riko ikut masuk kamar. Dia membersihkan diri sebelum akhirnya berbaring di sampingku.Aku belum tidur, hanya memejamkan mata. Namun, aku masih bisa merasakan semua geraknya. Kurasakan tangannya melingkar di perutku. Wajahnya mendekat di samping wajahku. Hembusan napasnya terasa hangat di leher membuatku sedikit meremang.Aku membuka mata, lalu memiringkan tubuh menghadapnya. "Mas geli, ih." Dia tak menanggapi, malah semakin mengeratkan pelukan membuatku terasa engap. Aku sedikit meronta saat dia memelukku semakin erat tidak peduli apa yang kurasakan."Saya
"Lain kali apapun yang terjadi, kita bicarakan bersama agar tidak ada kesalahpahaman di antara kita." Tangannya menepuk pelan tanganku, setelah itu mengusap lembut pipiku."Mau kemana, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Riko beranjak dari duduknya."Mandi," katanya sambil membalikkan badan dan menunduk, kedua tangannya mengukungku. Wajahnya tepat berada di depan wajahku, mata kami saling bertatap dalam. "Mau ikut,” lanjutnya, senyum nakal menghias di bibirnya membuat jantungku bedegup lebih kencang. Kali ini bukan karena emosi atau kebencian, tapi karena cinta yang begitu dalam.Aku mengeleng mendengar jawabannya, lalu menepuk pelan dadanya. Senyum tipis masih terlihat di bibirnya. "Mas mandi dulu," katanya sambil menolel lembut hidungku, lalu pergi ke kamar mandi.Sementara aku masih duduk termenung di tepi ranjang. Merenungi semua yang sudah terjadi. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian ini. Sebab, semua punya alasannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita menanggapi dan meny
"Assalamualaikum." Aku langsung masuk ke toko saat sampai di rumah. Selain untuk memberikan mi goreng yang ku beli, aku juga ingin menanyakan pekerjaan hari ini. Mas Riko sudah masuk rumah lebih dulu.Aku yakin mereka bisa menghandel semua pekerjaan meski tanpa aku. Namun, aku juga tidak boleh lepas tangan begitu saja. Bagaimanapun sebagai pemilik toko aku harus tahu dan ikut andil dalam pekerjaan."Waalaikumsalam, Mbak." "Ini buat kalian, minumnya bikin sendiri," kataku sambil mengulurkan kantong plastik berisi dua bungkus mi goreng komplit dengan krupuk pangsitnya. "Makasih, Mbak." Nisa menerima uluran kantong plastik dari tanganku. "Sama-sama. Hari ini gimana kerjanya?" "Beres, Mbak. Mbak Gendhis nggak perlu khawatir." "Ok, sip. Makasih untuk kerja keras kalian hari ini.""Sama-sama.""Nanti kalau Mbak nggak ke toko lagi, kalian nggak usah tunggu Mbak. Kalau sudah selesai kerja jangan lupa toko di kunci. Kalian pulang saja.""Siap, Mbak. ""Ya sudah, Mbak masuk dulu."Aku kelu
Pov Gendhis. "Sayang hari ini kita pergi." Dia memelukku dari belakang saat aku mematut diri di depan kaca. Aroma tubuhnya selalu dan selalu membuatku jatuh cinta. Sikapnya masih tetap romantis seperti biasanya, membuatku merasa bersalah karena beberapa hari ini aku uring-uringan. "Kemana, Mas?" "Kemana saja asal kamu masih percaya sama, Mas." Aku mengembuskan napas untuk melonggarkan dada yang terasa sedikit sesak. Sebenarnya bukan tidak percaya, tapi sedikit waspada jika suatu saat terjadi sesuatu aku tidak akan terlalu sakit."Tapi hari ini aku sibuk, Mas. Nisa dan Fira butuh bantuanku." Kulepas pelukkannya dan menjauh dari depan cermin. Mas Riko mengikuti kemana langkahku."Sebentar saja, sayang. Setelah itu Mas akan antar kamu pulang. Nggak lama."Tak mau berdebat, akhirnya aku menyetujui untuk pergi. Apa salahnya menuruti kata suami meski akhir-akhir ini ada saja kejadian yang membuat suasana hatiku berantakan."Baik, tapi jangan lama-lama. Kasihan Nisa dan Fira."Siap. Maka
Seperti biasa usai salat Subuh Gendhis menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara aku masih di dalam kamar melanjutkan tidurku yang baru dua jam. Sebelum kembali tidur aku sempat mengirimkan pesan untuk Danu, memberi tahu kalau hari ini aku akan ke kantor setelah jam makan siang. Jam tujuh pagi aku baru bangun dan langsung membersihkan diri. Setelah itu keluar kamar mencari keberadaan Gendhis. Aku memeluknya dari belakang saat melihatnya berdiri di depan kompor sedang membuat nasi goreng. "Tumben bikin nasi goreng?" bisikku di telinganya dan memeluknya dari belakang. "Sesekali biar suamiku tidak mencari kesenangan di luar," katanya pelan, tapi menusuk. "Hahaha, bagaimana mungkin Mas mencari kesenangan di luar kalau di dalam saja sudah ada yang bikin senang." "Nyatanya ada foto itu." Aku mengembuskan napas kasar, dia masih saja membahas foto itu. Padahal, sudah kubilang itu hanya rekayasa meski aku juga belum tahu kebenarannya. "Cukup, jangan bahas foto itu,
Tak kutemukan bukti apapun dari dalam ponselku. Semua bukti pembayaran hotel sudah kuteliti, di mana dan dengan siapa aku menginap semua masih kuingat. Aku juga tidak pernah dengan sengaja menginap di hotel dengan Kayla karena aku juga tidak pernah jatuh cinta padanya. Kusandarkan kepala di sofa dengan memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat apa aku pernah pergi dengan Kayla. Lama aku mengingat kejadian demi kejadian yang pernah aku lewati bersama Kayla.Aku mengingat satu kejadian yang menurutku di luar nalar. Aku sempat marah saat kejadian itu terjadi. Aku merasa terjebak dengan kejadian itu. Mungkinkah foto itu di ambil saat malam itu. Malam di mana aku berada di hotel saat terbangun. Aku memang tidak pernah mencintai Kayla, tapi aku pernah prgi makan malam dengannya untuk memenuhi undangan makan malam bersama kedua orang tuanya. Awalnya aku tidak ingin pergi, tapi demi rasa hormatku dengan papanya Kayla sekaligus rekan bisnis, aku memutuskan untuk datang. Usai makan malam, Kayl







