LOGIN“Apa kabar, Tante,” sapaku menyalami beliau yang duduk di kursi roda. Sungguh sudah lama aku tak melihatnya.
“Baik, Sayang,” sahutnya lembut. Tangannya mengusap lembut kepalaku yang tenggelam di pangkuannya. Aku berasa ada di pangkuan Ibu, seketika momen ini membuat air mataku luruh tanpa permisi. Aku merasa sendirian saat ini, pertemuanku dengannya seolah menghadirkan bayangan Ibu yang sudah lebih dulu pergi. “Tante ke sini sama siapa?” tanyaku. Kuangkat kepala dari pangkuannya, menatap lekat wajah keriputnya yang masih terlihat cantik. “Sama Danu, tadi dia mengantar Tante ke sini, lalu pergi ke kantor lagi karena masih ada meeting. Nanti dia akan menyusul setelah meeting selesai.” “Iya, ndak pa-pa, Tante. Tante datang saja Gendhis sudah berterima kasih.” “Sama-sama, Sayang. Tante Lena mengecup pelan keningku, persis seperti anaknya sendiri. Tak lama kemudian terdengar suara sirene ambulans meraung-raung. Aku segera ke luar untuk melihatnya dan benar itu mobil ambulans yang mengantar jenazah Bapak. Mobil Mas Riko mengikuti di belakangnya. Om Rahmad dan petugas rumah sakit menurunkan jenazah Bapak untuk dibawa masuk ke rumah. Mas Riko juga ikut membantunya. Sesampainya di dalam, jenazah Bapak langsung dipindahkan dalam keranda yang pinjam dari pemakaman kompleks. Setelah itu petugas pamit untuk kembali ke rumah sakit. Tanpa di suruh para pelayat dengan ikhlas membacakan surah yasin dan tahlil. Sungguh aku merasa terharu dengan kebersamaan ini, dengan pirukunnan yang tercipta. “Tante sudah datang?” Mas Riko menghampiri Tante Lena dan menyalaminya setelah pembacaan surat yasin dan tahlil selesai. “Sudah dari tadi, diantar Danu, tapi habis nganter Tante, Danu kembali ke kantor.” “Iya, Tante, tadi saya meminta Danu mengatasi meeting hari ini karena memang sangat penting.” “Ya sudah, ndak pa-pa kalau memang sangat penting.” Aku mendengar semua percakapan Tante Lena dan Mas Riko karena kebetulan aku duduk di dekat mereka berdua. Sepertinya mereka memang sudah kenal lama. Bahkan, Mas Riko juga terlihat dekat dengan Tante Lena. “Mau dimakamkan jam berapa, Nduk?” tanya Om Rahmad, beliau mendekat ke arahku. “Kalau memang sudah siap, bisa dimakamkan sekarang ndak pa-pa, Om.” “Tunggu Danu sebentar, Ndhis, dia belum datang.” Tante Lena mengingatkan. “Ah … iya, Tante, Maaf Gendhis lupa.” “Tunggu Mas Danu datang, Om,” timpalku pada Om Rahmad. Beliau mengangguk. Lalu ke luar rumah. Beberapa saat kemudian Mas Danu datang, dia langsung menyalami Tante Lena dan duduk di samping Mas Riko. Kubiarkan Mas Danu duduk sejenak untuk menghilangkan lelahnya. Aku berdiri mencari keberadaan Om Rahmad agar mempersiapkan keberangkatan Bapak di pengistirahatan terakhirnya. Aku kembali masuk setelah memastikan semua kesiapan. “Mas, sudah hampir jam satu, semua persiapan pemakaman sudah siap. Bapak bisa diberangkatkan sekarang,” ucapku sendu pada Mas Riko. Meski canggung, aku harus tetap menghargainya. “Kamu yang sabar, ya, Ndhis.” Mas Danu mendekat menenangkanku. “Iya, Mas, makasih, ya,” ucapku sendu. Maklum saja sejak tadi pagi aku tak berhenti menangis. Air mata terus saja luruh membasahi pipi. Seolah-olah tak terbendung lagi. Namun, takdir tetaplah takdir, mau tidak mau harus tetap diterima. “Kalau begitu kita berangkatkan jenazah Om Herman sekarang. Kamu ndak usah ikut ke pemakaman, Ndhis. Tunggu di rumah saja.” Mas Danu melarangku untuk ikut. Aku tahu Mas Danu khawatir, takut aku tak kuasa melihat Bapak dimasukkan ke liang lahat. Akan tetapi, mau bagaimanapun aku akan tetap ikut. Ini kesempatan terakhirku untuk mengantar kepergian Bapak ke pengistirahatan. “Ndak pa-pa, Mas, Gendhis ikut.” “Ya sudah, terserah kamu.” Semua pelayat sudah siap, Mas Danu, Mas Riko dan Om Rahmad serta di bantu tetangga mengangkat keranda jenazah Bapak untuk dibawa ke musala dekat pemakaman. Aku pun mengikutinya dan menunggui hingga salat jenazah selesai. Usai menyalati, jenazah Bapak langsung dibawa ke pemakaman dan langsung dimakamkan sesuai syariat. Melihat itu, aku semakin tak kuasa menahan air mata. Saat ini aku benar-benar sendiri meski ada Mas Riko yang akan menjadi pendamping hidupku. Selesai pemakaman semua tetangga pulang ke rumah masing-masing. Sementara aku Om Rahmad, Mas Danu dan Mas Riko masih tinggal di pemakaman untuk mengaji. Om Rahmad memimpin membaca doa. Setelah mengaji Om Rahmad mengajakku pulang, tetapi aku masih enggan beranjak dari pemakaman. Di atas gundukan tanah yang masih basa ini aku menumpahkan segala rasa. Berkali-kali Om Rahmad membujuk agar aku pulang dan mengikhlaskan kepergian Bapak. “Sudahlah, Nduk, jangan tangisi kepergian bapakmu karena hanya akan memberatkannya. Lebih baik kamu doakan agar diringankan hisapnya. Kita pulang, ya.” Kucerna semua ucapan Om Rahmad, semua yang Om Rahmad ucapkan ada benarnya. Perlahan aku bangkit, mengikuti saran Om Rahmad untuk pulang. Mau bagaimanapun semua ini percuma ditangisi, toh kepergian Bapak tidak akan kembali karena memang beliau pergi ke tempat yang lebih kekal. Kulangkahkan kaki meninggalkan pemakaman diikuti Om Rahmad, Mas Danu dan Mas Riko. Sesampainya di rumah kulihat Tante Lena sedang berbincang dengan Bulik Hani. Aku langsung pamit untuk membersihkan diri, membuang segala keburukan yang menempel di tubuh. Sementara ketiga lelaki yang bersamaku duduk di depan rumah. Usai mandi dan menjalankan salat aku kembali mengobrol bersama Bulik Hani dan Tante Lena sembari menunggu azan Magrib. Kami bercerita banyak hal dari kepindahan Tante Lena hingga kepergian Ibu, tentang Mas Riko dan Mas Danu hingga kami dipertemukan kembali. Tante Lena memberiku banyak nasihat tentang pernikahan agar aku bersabar dalam menjalankan ibadah terpanjang semasa hidup. Apalagi pernikahan tanpa cinta yang pastinya tidak mudah untuk dijalani. Namun, yakinlah bahwa cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu, begitulah nasihat beliau. Aku mengiakan semua nasihat beliau, mencoba mencernanya. Berharap seiring berjalannya waktu Mas Riko akan berubah. Meski aku tak menceritakan kondisi pernikahanku yang sebenarnya dengan beliau. Mungkin saja Mas Danu-lah yang menceritakan. Tidak terasa azan Magrib berkumandang kami bergantian menjalakan salat Magrib. Para lelaki lebih memilih untuk pergi ke musala. Usai salat Magrib kami mengadakan tahlil selama tujuh hari yang sudah menjadi kebiasaan dari dulu. Yang diikuti para tetangga kompleks. Usai acara tahlil Tante Lena dan Mas Danu pamit pulang, beliau memintaku main ke rumahnya bila ada waktu. Aku pun menyetujuinya. Setelah ke pulangan Mas Danu, aku menawarkan pada Mas Riko untuk mandi setelah itu makan malam. Suasana duka membuatku lupa untuk menyuruhnya untuk makan siang. Namun, Mas Riko menolak. Dia justru pamit pulang ke rumahnya. Saat kutanya apakah dia mau balik ke sini lagi atau besok pagi? Mas Riko hanya menjawab “Belum tahu.” Mendengar jawabannya aku hanya bisa pasrah. Kuizinkan Mas Riko pulang ke rumahnya. Kembali atau tidak aku tak ingin ambil pusing, pun tak ingin memaksanya. Setelah kepergian Mas Riko, aku meminta Bulik Hani agar tidur di rumahku untuk menemani, begitu pun dengan Om Rahmad. Dian dan Dito juga sekalian diboyong ke rumah.Usai makan malam dan salat berjamaah, Nisa dan Fira pamit pulang. Rumah sudah sepi, tinggal kami berdua di rumah. Seperti biasa Mas Riko duduk manis di ruang tengah sambil bermain dengan telepon pintarnya. Sementara aku mengecek laporan pekerjaan hari ini sekaligus mengecek pemasukan dan stok barang yang tersisa.Setelah semuanya selesai, aku masuk ke kemar untuk membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Beberapa saat kemudian Mas Riko ikut masuk kamar. Dia membersihkan diri sebelum akhirnya berbaring di sampingku.Aku belum tidur, hanya memejamkan mata. Namun, aku masih bisa merasakan semua geraknya. Kurasakan tangannya melingkar di perutku. Wajahnya mendekat di samping wajahku. Hembusan napasnya terasa hangat di leher membuatku sedikit meremang.Aku membuka mata, lalu memiringkan tubuh menghadapnya. "Mas geli, ih." Dia tak menanggapi, malah semakin mengeratkan pelukan membuatku terasa engap. Aku sedikit meronta saat dia memelukku semakin erat tidak peduli apa yang kurasakan."Saya
"Lain kali apapun yang terjadi, kita bicarakan bersama agar tidak ada kesalahpahaman di antara kita." Tangannya menepuk pelan tanganku, setelah itu mengusap lembut pipiku."Mau kemana, Mas?" tanyaku saat melihat Mas Riko beranjak dari duduknya."Mandi," katanya sambil membalikkan badan dan menunduk, kedua tangannya mengukungku. Wajahnya tepat berada di depan wajahku, mata kami saling bertatap dalam. "Mau ikut,” lanjutnya, senyum nakal menghias di bibirnya membuat jantungku bedegup lebih kencang. Kali ini bukan karena emosi atau kebencian, tapi karena cinta yang begitu dalam.Aku mengeleng mendengar jawabannya, lalu menepuk pelan dadanya. Senyum tipis masih terlihat di bibirnya. "Mas mandi dulu," katanya sambil menolel lembut hidungku, lalu pergi ke kamar mandi.Sementara aku masih duduk termenung di tepi ranjang. Merenungi semua yang sudah terjadi. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian ini. Sebab, semua punya alasannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita menanggapi dan meny
"Assalamualaikum." Aku langsung masuk ke toko saat sampai di rumah. Selain untuk memberikan mi goreng yang ku beli, aku juga ingin menanyakan pekerjaan hari ini. Mas Riko sudah masuk rumah lebih dulu.Aku yakin mereka bisa menghandel semua pekerjaan meski tanpa aku. Namun, aku juga tidak boleh lepas tangan begitu saja. Bagaimanapun sebagai pemilik toko aku harus tahu dan ikut andil dalam pekerjaan."Waalaikumsalam, Mbak." "Ini buat kalian, minumnya bikin sendiri," kataku sambil mengulurkan kantong plastik berisi dua bungkus mi goreng komplit dengan krupuk pangsitnya. "Makasih, Mbak." Nisa menerima uluran kantong plastik dari tanganku. "Sama-sama. Hari ini gimana kerjanya?" "Beres, Mbak. Mbak Gendhis nggak perlu khawatir." "Ok, sip. Makasih untuk kerja keras kalian hari ini.""Sama-sama.""Nanti kalau Mbak nggak ke toko lagi, kalian nggak usah tunggu Mbak. Kalau sudah selesai kerja jangan lupa toko di kunci. Kalian pulang saja.""Siap, Mbak. ""Ya sudah, Mbak masuk dulu."Aku kelu
Pov Gendhis. "Sayang hari ini kita pergi." Dia memelukku dari belakang saat aku mematut diri di depan kaca. Aroma tubuhnya selalu dan selalu membuatku jatuh cinta. Sikapnya masih tetap romantis seperti biasanya, membuatku merasa bersalah karena beberapa hari ini aku uring-uringan. "Kemana, Mas?" "Kemana saja asal kamu masih percaya sama, Mas." Aku mengembuskan napas untuk melonggarkan dada yang terasa sedikit sesak. Sebenarnya bukan tidak percaya, tapi sedikit waspada jika suatu saat terjadi sesuatu aku tidak akan terlalu sakit."Tapi hari ini aku sibuk, Mas. Nisa dan Fira butuh bantuanku." Kulepas pelukkannya dan menjauh dari depan cermin. Mas Riko mengikuti kemana langkahku."Sebentar saja, sayang. Setelah itu Mas akan antar kamu pulang. Nggak lama."Tak mau berdebat, akhirnya aku menyetujui untuk pergi. Apa salahnya menuruti kata suami meski akhir-akhir ini ada saja kejadian yang membuat suasana hatiku berantakan."Baik, tapi jangan lama-lama. Kasihan Nisa dan Fira."Siap. Maka
Seperti biasa usai salat Subuh Gendhis menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan rumah. Sementara aku masih di dalam kamar melanjutkan tidurku yang baru dua jam. Sebelum kembali tidur aku sempat mengirimkan pesan untuk Danu, memberi tahu kalau hari ini aku akan ke kantor setelah jam makan siang. Jam tujuh pagi aku baru bangun dan langsung membersihkan diri. Setelah itu keluar kamar mencari keberadaan Gendhis. Aku memeluknya dari belakang saat melihatnya berdiri di depan kompor sedang membuat nasi goreng. "Tumben bikin nasi goreng?" bisikku di telinganya dan memeluknya dari belakang. "Sesekali biar suamiku tidak mencari kesenangan di luar," katanya pelan, tapi menusuk. "Hahaha, bagaimana mungkin Mas mencari kesenangan di luar kalau di dalam saja sudah ada yang bikin senang." "Nyatanya ada foto itu." Aku mengembuskan napas kasar, dia masih saja membahas foto itu. Padahal, sudah kubilang itu hanya rekayasa meski aku juga belum tahu kebenarannya. "Cukup, jangan bahas foto itu,
Tak kutemukan bukti apapun dari dalam ponselku. Semua bukti pembayaran hotel sudah kuteliti, di mana dan dengan siapa aku menginap semua masih kuingat. Aku juga tidak pernah dengan sengaja menginap di hotel dengan Kayla karena aku juga tidak pernah jatuh cinta padanya. Kusandarkan kepala di sofa dengan memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat apa aku pernah pergi dengan Kayla. Lama aku mengingat kejadian demi kejadian yang pernah aku lewati bersama Kayla.Aku mengingat satu kejadian yang menurutku di luar nalar. Aku sempat marah saat kejadian itu terjadi. Aku merasa terjebak dengan kejadian itu. Mungkinkah foto itu di ambil saat malam itu. Malam di mana aku berada di hotel saat terbangun. Aku memang tidak pernah mencintai Kayla, tapi aku pernah prgi makan malam dengannya untuk memenuhi undangan makan malam bersama kedua orang tuanya. Awalnya aku tidak ingin pergi, tapi demi rasa hormatku dengan papanya Kayla sekaligus rekan bisnis, aku memutuskan untuk datang. Usai makan malam, Kayl







