Beranda / Romansa / Menikah Tanpa Cinta / Bagian 5 Kedatangan Tante Lena

Share

Bagian 5 Kedatangan Tante Lena

Penulis: Rafa Mirza
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-25 14:26:13

“Apa kabar, Tante,” sapaku menyalami beliau yang duduk di kursi roda. Sungguh sudah lama aku tak melihatnya.

“Baik, Sayang,” sahutnya lembut.

Tangannya mengusap lembut kepalaku yang tenggelam di pangkuannya. Aku berasa ada di pangkuan Ibu, seketika momen ini membuat air mataku luruh tanpa permisi. Aku merasa sendirian saat ini, pertemuanku dengannya seolah menghadirkan bayangan Ibu yang sudah lebih dulu pergi.

“Tante ke sini sama siapa?” tanyaku. Kuangkat kepala dari pangkuannya, menatap lekat wajah keriputnya yang masih terlihat cantik.

“Sama Danu, tadi dia mengantar Tante ke sini, lalu pergi ke kantor lagi karena masih ada meeting. Nanti dia akan menyusul setelah meeting selesai.”

“Iya, ndak pa-pa, Tante. Tante datang saja Gendhis sudah berterima kasih.”

“Sama-sama, Sayang.

Tante Lena mengecup pelan keningku, persis seperti anaknya sendiri. Tak lama kemudian terdengar suara sirene ambulans meraung-raung. Aku segera ke luar untuk melihatnya dan benar itu mobil ambulans yang mengantar jenazah Bapak.

Mobil Mas Riko mengikuti di belakangnya. Om Rahmad dan petugas rumah sakit menurunkan jenazah Bapak untuk dibawa masuk ke rumah. Mas Riko juga ikut membantunya.

Sesampainya di dalam, jenazah Bapak langsung dipindahkan dalam keranda yang pinjam dari pemakaman kompleks.

Setelah itu petugas pamit untuk kembali ke rumah sakit. Tanpa di suruh para pelayat dengan ikhlas membacakan surah yasin dan tahlil. Sungguh aku merasa terharu dengan kebersamaan ini, dengan pirukunnan yang tercipta.

“Tante sudah datang?” Mas Riko menghampiri Tante Lena dan menyalaminya setelah pembacaan surat yasin dan tahlil selesai.

“Sudah dari tadi, diantar Danu, tapi habis nganter Tante, Danu kembali ke kantor.”

“Iya, Tante, tadi saya meminta Danu mengatasi meeting hari ini karena memang sangat penting.”

“Ya sudah, ndak pa-pa kalau memang sangat penting.”

Aku mendengar semua percakapan Tante Lena dan Mas Riko karena kebetulan aku duduk di dekat mereka berdua. Sepertinya mereka memang sudah kenal lama. Bahkan, Mas Riko juga terlihat dekat dengan Tante Lena.

“Mau dimakamkan jam berapa, Nduk?” tanya Om Rahmad, beliau mendekat ke arahku.

“Kalau memang sudah siap, bisa dimakamkan sekarang ndak pa-pa, Om.”

“Tunggu Danu sebentar, Ndhis, dia belum datang.” Tante Lena mengingatkan.

“Ah … iya, Tante, Maaf Gendhis lupa.”

“Tunggu Mas Danu datang, Om,” timpalku pada Om Rahmad.

Beliau mengangguk. Lalu ke luar rumah. Beberapa saat kemudian Mas Danu datang, dia langsung menyalami Tante Lena dan duduk di samping Mas Riko. Kubiarkan Mas Danu duduk sejenak untuk menghilangkan lelahnya.

Aku berdiri mencari keberadaan Om Rahmad agar mempersiapkan keberangkatan Bapak di pengistirahatan terakhirnya. Aku kembali masuk setelah memastikan semua kesiapan.

“Mas, sudah hampir jam satu, semua persiapan pemakaman sudah siap. Bapak bisa diberangkatkan sekarang,” ucapku sendu pada Mas Riko. Meski canggung, aku harus tetap menghargainya.

“Kamu yang sabar, ya, Ndhis.” Mas Danu mendekat menenangkanku.

“Iya, Mas, makasih, ya,” ucapku sendu.

Maklum saja sejak tadi pagi aku tak berhenti menangis. Air mata terus saja luruh membasahi pipi. Seolah-olah tak terbendung lagi. Namun, takdir tetaplah takdir, mau tidak mau harus tetap diterima.

“Kalau begitu kita berangkatkan jenazah Om Herman sekarang. Kamu ndak usah ikut ke pemakaman, Ndhis. Tunggu di rumah saja.” Mas Danu melarangku untuk ikut. Aku tahu Mas Danu khawatir, takut aku tak kuasa melihat Bapak dimasukkan ke liang lahat. Akan tetapi, mau bagaimanapun aku akan tetap ikut. Ini kesempatan terakhirku untuk mengantar kepergian Bapak ke pengistirahatan.

“Ndak pa-pa, Mas, Gendhis ikut.”

“Ya sudah, terserah kamu.”

Semua pelayat sudah siap, Mas Danu, Mas Riko dan Om Rahmad serta di bantu tetangga mengangkat keranda jenazah Bapak untuk dibawa ke musala dekat pemakaman. Aku pun mengikutinya dan menunggui hingga salat jenazah selesai.

Usai menyalati, jenazah Bapak langsung dibawa ke pemakaman dan langsung dimakamkan sesuai syariat.

Melihat itu, aku semakin tak kuasa menahan air mata. Saat ini aku benar-benar sendiri meski ada Mas Riko yang akan menjadi pendamping hidupku. Selesai pemakaman semua tetangga pulang ke rumah masing-masing. Sementara aku Om Rahmad, Mas Danu dan Mas Riko masih tinggal di pemakaman untuk mengaji. Om Rahmad memimpin membaca doa.

Setelah mengaji Om Rahmad mengajakku pulang, tetapi aku masih enggan beranjak dari pemakaman. Di atas gundukan tanah yang masih basa ini aku menumpahkan segala rasa. Berkali-kali Om Rahmad membujuk agar aku pulang dan mengikhlaskan kepergian Bapak.

“Sudahlah, Nduk, jangan tangisi kepergian bapakmu karena hanya akan memberatkannya. Lebih baik kamu doakan agar diringankan hisapnya. Kita pulang, ya.”

Kucerna semua ucapan Om Rahmad, semua yang Om Rahmad ucapkan ada benarnya. Perlahan aku bangkit, mengikuti saran Om Rahmad untuk pulang. Mau bagaimanapun semua ini percuma ditangisi, toh kepergian Bapak tidak akan kembali karena memang beliau pergi ke tempat yang lebih kekal.

Kulangkahkan kaki meninggalkan pemakaman diikuti Om Rahmad, Mas Danu dan Mas Riko. Sesampainya di rumah kulihat Tante Lena sedang berbincang dengan Bulik Hani. Aku langsung pamit untuk membersihkan diri, membuang segala keburukan yang menempel di tubuh. Sementara ketiga lelaki yang bersamaku duduk di depan rumah.

Usai mandi dan menjalankan salat aku kembali mengobrol bersama Bulik Hani dan Tante Lena sembari menunggu azan Magrib. Kami bercerita banyak hal dari kepindahan Tante Lena hingga kepergian Ibu, tentang Mas Riko dan Mas Danu hingga kami dipertemukan kembali.

Tante Lena memberiku banyak nasihat tentang pernikahan agar aku bersabar dalam menjalankan ibadah terpanjang semasa hidup.

Apalagi pernikahan tanpa cinta yang pastinya tidak mudah untuk dijalani. Namun, yakinlah bahwa cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu, begitulah nasihat beliau.

Aku mengiakan semua nasihat beliau, mencoba mencernanya. Berharap seiring berjalannya waktu Mas Riko akan berubah. Meski aku tak menceritakan kondisi pernikahanku yang sebenarnya dengan beliau. Mungkin saja Mas Danu-lah yang menceritakan.

Tidak terasa azan Magrib berkumandang kami bergantian menjalakan salat Magrib. Para lelaki lebih memilih untuk pergi ke musala. Usai salat Magrib kami mengadakan tahlil selama tujuh hari yang sudah menjadi kebiasaan dari dulu. Yang diikuti para tetangga kompleks.

Usai acara tahlil Tante Lena dan Mas Danu pamit pulang, beliau memintaku main ke rumahnya bila ada waktu. Aku pun menyetujuinya. Setelah ke pulangan Mas Danu, aku menawarkan pada Mas Riko untuk mandi setelah itu makan malam. Suasana duka membuatku lupa untuk menyuruhnya untuk makan siang.

Namun, Mas Riko menolak. Dia justru pamit pulang ke rumahnya. Saat kutanya apakah dia mau balik ke sini lagi atau besok pagi? Mas Riko hanya menjawab “Belum tahu.”

Mendengar jawabannya aku hanya bisa pasrah. Kuizinkan Mas Riko pulang ke rumahnya. Kembali atau tidak aku tak ingin ambil pusing, pun tak ingin memaksanya. Setelah kepergian Mas Riko, aku meminta Bulik Hani agar tidur di rumahku untuk menemani, begitu pun dengan Om Rahmad. Dian dan Dito juga sekalian diboyong ke rumah.

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 17 Suara Hati

    “Maaf, sudah membuatmu tidak nyaman.”“Ndak pa-pa, Mas. Masih bisa dimaklumi kalau dia berbuat seperti itu. Sebab dia terlalu mencintaimu sedang kamu justru memilih menikah denganku. Apalagi kalian sempat dekat meski kamu tak mencintainya. Wanita mana yang tak sakit hatinya? Tiba-tiba orang terdekatnya menikah dengan orang lain.”“Terima kasih atas pengertiannya, sebab inilah yang menjadi salah satu aku memilihmu. Kedewasaanmu mampu membuatku membuka pikiran. Aku akan mempertahankanmu, kita akan hadapi masalah ini bersama.”Kami saling berdiri berhadapan tanpa jarak, bahkan Mas Riko melingkarkan tangannya di pinggangku.“Sebab Gendhis seorang perempuan, Mas, apa yang dia rasakan Gendhis juga bisa rasakan. Hanya saja sikap dan perbuatannya yang salah, jadi terlihat urakan. Sebenarnya hal itu justru akan merugikan dirinya. Dia akan terlihar murahan di mata laki-laki. Namun, semua itu tidak dia sadari, sebab dia terbelenggu oleh cinta. Sementara Gendhis hanya ingin berjuang mempertahanka

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 14 Pembelaan dari Suamiku

    Azan Subuh berkumandang, aku segera bangkit dari pembaringan kemudian membangunkan Mas Riko untuk salat Subuh berjamaah.“Mas, sudah Subuh, bangun dulu, ya,” ucapku membangunkannya.Ini kedua kalinya aku membangunkannya untuk salat. Sebab, saat kami berjarak aku tak berani membangunkannya. Namun, saat ini aku harus melakukan itu, aku ingin Mas Riko menjadi imam terbaik dalam rumah tangga.Andai Mas Riko punya kekurangan maka aku akan menutupinya, pun sebaliknya. Andai aku yang memiliki kekurangan berharap Mas Riko juga mampu menutupinya.“Mas,” ucapku lagi karena Mas Riko tak kunjung bangun. Tak lama kemudian Mas Riko membuka mata, mengerjap beberapa kali. Lalu, bangkit dari pembaringan.“Sudah Subuh, kita salat dulu, ya.”“Terima kasih, ya, Sayang sudah membangunkanku.” Hanya senyuman yang kuberikan. Lalu, dia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri bergantian denganku.Setelah bersiap, kami langsung menjalankan salat Subuh berjamaah di kamar Bapak karena kamar beliau

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 21 Kuterima Lamarannya

    “Mas, benarkah yang kudengar?” tanyaku memastikan.Jujur aku masih ragu. Mas Riko meremas jemariku dengan lembut untuk meyakinkan. Ini pertama kalinya Mas Riko menyentuhku dengan lembut karena sebelumnya memang tidak pernah.“Apa kamu meragukan ucapanku?” Mas Riko balik bertanya, seakan dia tahu kegundahan hatiku.“Tapi Mas ….”“Jangan pernah takut, aku tak akan meninggalkanmu meski kamu meminta. Kita akan hadapi masalah ini bersama-sama, jangan takut dengan ancamannya.”Aku mengernyitkan dahi, seolah Mas Riko sudah tahu apa yang ada di dalam hati dan pikiranku. Bukankah dia tadi tidak ada di rumah, lalu dari mana dia bisa tahu?“Om, Om Rahmad sebagai saksinya, bahwa malam ini, di hadapan Om Rahmad dengan sadar aku melamarmu secara resmi. Aku mohon denganmu agar kamu mau menjadi labuhan hatiku.” Sekali lagi Mas Riko menegaskan agar aku mau menjadi istrinya.“Apa Mas Riko yakin dengan keputusan ini? Lalu, bagaimana dengan kekasihmu. Aku tak mau menjadi duri dalam hubungan kalian.”Terl

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 20 Lamatan Kedua

    Aku segera bangkit dari pembaringan, lalu keluar dari kamar untuk membukakan pintu. Berharap Mas Riko yang datang. Sebelum membuka pintu aku mengintip lewat jendela lebih dulu, untuk melihat siapa yang datang.Ternyata bukan Mas Riko yang datang, melainkan Om Rahmad. Entah dari mana Om Rahmad bisa tahu kalau aku datang ke sini?“Om,” sapaku pada beliau saat membuka pintu. Rasa kecewa semakin terasa.“Kamu sama siapa, Nduk?”“Sendiri,Om. Om Rahmad kok tahu Gendhis di sini?” tanyaku sambil mempersilakan beliaumasuk dan duduk di ruang tamu.“Omndak tahu kalau kamu ada di sini, biasanya bulikmu yang datang ke sini buat nyalain lampu, tapi sore ini dia lagi ada acara jadi nggak sempat nyalain lampu. Makanya nyuruh Om datang buat nyalain lampu. Malah ndak tahunya lampu sudah menyala.” Panjang lebar Om Rahmad menjelaskan.“Nak Riko ndak ikut ke sini?” tanyanya lagi.“Nggak, Om, Gendhis ke sini sendirian. Katanya Mas Riko mau datang menjemput, tapin yatanya sudah hampir jam sembilan belum da

  • Menikah Tanpa Cinta    Kegundahan Hati

    Kutatap layar ponsel yang ada di tangan, waktu menunjukkan pukul dua siang. Sepertinya masih ada waktu untuk menepis kepenatan yang dihadirkan oleh tamu tak diundang tadi. Aku butuh refresing sejenak, tapi keadaan tak memungkinkan untuk keluar tanpa izin dari Mas Riko. Jadi, mau tidak mau aku harus minta izinpadanya.Kugeser layar ponsel untuk mencari kontak atas namanya. Nihil, tak kutemukan namanya didaftar kontak. Padahal, dia sudah menyimpan nomornya di ponselku, tapi entah dengan nama siapa aku tak tahu.Kembali kususuri satu persatu nama yang tersimpan dalam kontak. Namun, tak juga kutemukan, kuulangi sekali lagi untuk memastikan. Hingga akhirnya pencarianku terhenti saat melihat daftar kontakyang bertuliskan ‘Suamiku’.Sedikit ragu saat aku ingin melakukan panggilan, tapi tak ada cara lain selain mencoba untuk memastikan nomor Mas Riko atau bukan. Kuberanikan diri menekan nomor dengan nama ‘Suamiku’ untuk melakukan panggilan. Hanya dalam waktu beberapa saat sambungan telepon su

  • Menikah Tanpa Cinta    Bagian 12 Tamu Tak di Undang

    “Kamu, nggak makan?” Seketika aku menoleh ke sumber suara, Mas Riko duduk di sofa paling pojok, kakinya membentang di atas meja. Tangannya menggenggam ponsel, matanya serius menatap layar ponsel.“Mas, kenapa nggak membangunkanku?”“Aku takut masuk kamarmu, takut mengganggumu.”“Mas, aku itu istrimu, kenapa harus takut coba?”Mendengar pernyataanku Mas Riko menghentikan aktivitasnya. Matanya beralih menatapku, tatapannya tajam menukik hingga ke jantung hati. Seketika ada yang berdesir di dalam sini.“Maaf,” kataku sambil menunduk.“Kamu nggak lapar?”Aku menggeleng, rasa lapar yang tadi terasa sudah menghilang entah ke mana. Yang ada hanya rasa kecewa karena dia pulang terlambat.“Maafkan aku, tadi pulang terlambat, membuatmu lama menunggu,” ucapnya.“Ndak pa-pa, Mas, lain kali kalau memang sibuk setidaknya memberi kabar bila mau pulang terlambat,” jawabku tetap tenang.“Maaf,” ucapnya lagi.Mas Riko bangkit, melangkah mendekat, tepat berdiri di hadapanku.“Terima kasih, sudah memasa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status