Sampai diruang tamu, Aurora melihat dua keluarga berkumpul. Ada kedua orang tua Erick juga, dan ditengah mereka ada Erick, sedangkan ditempat duduk lain ada Papa dan ibu tirinya. Saat bersamaan, Alice datang membawa nampan berisi cemilan dan meletakkannya diatas meja yang dilapisi dengan kaca.
Sikapnya sangat baik dan sopan, tidak seperti biasanya yang angkuh, iri dan suka mengganggunya. Kali ini yang dia lihat, Saudari tirinya terlihat seperti seorang anak yang sangat baik dan penurut.Terus memperhatikan, Aurora tidak menyadari kalau Alice telah melihatnya dari sana. Alice berseru memanggil namanya, "Kak Aurora sudah datang."Hanya saat ada Erick, Alice akan memanggilnya dengan sebutan 'Kak'.Semua orang diruang tamu langsung menatapnya, dan berdiri, Aurora merasa gugup, apalagi dengan penampilannya. Tetapi dia tetap berjalan mendekat dan menyapa Erick dan calon mertuanya.Kedua orang tua Erick justru menatapnya dengan dingin, tidak seperti biasanya yang hangat. Dia merasa gugup dan tersenyum dengan ragu-ragu, lalu menyapa, "Paman, bibi, apa kabar? kapan kalian datang?"Setiap bertemu, Ibunya Erick pasti akan mendekatinya dan memeluknya layaknya putri kandung, karena mereka tidak mempunyai anak perempuan. Erick adalah anak satu-satunya.Tetapi kali ini, Wanita setengah abad itu mundur dan mengerahkan tangannya saat dia hendak mendekatinya. "Jangan mendekatiku!" Suaranya terdengar seperti jijik dengannya. Ada apa?Aurora menatap Erick, laki-laki itu seperti menyimpan amarah. Saat dia hendak mendekati Erick, Tuan Hirawan ayahnya tiba-tiba sudah berdiri didepannya.Laki-laki berusia hampir 60 tahun itu tidak pernah menatapnya dengan kasih dan sayang, tetapi kali ini raut wajahnya membuatnya takut. "Papa..." Suaranya sangat gugup."Dari mana saja kamu?" Sentak Tuan Hirawan, kedua matanya menatap dengan tajam.Aurora merasa sangat gugup dan ketakutan, sampai meremas ujung kemeja putih yang dipakainya. Bukan miliknya, tetapi milik laki-laki asing itu, dres yang dipakai semalam lengannya sobek dan beberapa bagian atas. Jadi dia menutupinya dengan kemeja itu."Mulut kamu sudah bisu? Jawab!!!" Sarkas Hirawan penuh amarah.Aurora langsung kaget sampai tubuhnya gemetar. Dia sering dimarahi, dicaci-maki oleh ibu tirinya dan Alice, bahkan kadang kala papanya, bila dia tidak nurut. Tetapi kali ini, kemarahan yang tercetak jelas digurat wajah tua itu sangat membuatnya ketakutan. Ditambah beberapa foto yang dilirik diatas meja, didalam foto itu ada seorang gadis berciuman mesra didepan kamar mandi, dan itu dirinya!Aurora menahan dirinya, lalu menjawab dengan terbata, "Aku... Aku dari..."PlakDia pernah dipukul, tapi oleh ibu tirinya. Dia pernah didorong sampai jatuh dari tangga, tapi oleh Alice. Dan papanya tidak pernah membelanya, meski begitu, tangannya tidak pernah terangkat menyentuh menyakiti fisiknya. saat yang melakukan cap 5 jari itu ibu tirinya, Aurora akan terima!Aurora memegang pipinya yang terasa panas dan pedih. Hadiah tak terduga dari ayah kandungnya, dia menengadahkan kepalanya menatap laki-laki setengah abad yang berdiri berlinang air mata didepannya. "Kenapa, papa...?"Mereka yang menyaksikan hanya miris dan tidak ada yang mencegah, Sama sekali tidak ada rasa iba. Erick hanya tersenyum dengan getir. Seorang penghianat pantas mendapatkannya!"Aku membesarkanmu dengan tanganku. Kamu tidak menghargaiku aku tidak masalah! Tetapi kamu tidak pernah melihat... Perjuangan papa untuk mendidikmu menjadi gadis yang baik. Kamu mencoreng nama baik, papa! Papa sangat menyesali, anak yang papa bangga-banggakan didepan orang-orang... Kelakuannya sangat kotor!"Seperti ditusuk ribuan jarum, Aurora lemas mendengar kemarahan papanya. Kejadian malam tadi, sudah sampai dikeluarganya. Secepat itu. Air matanya luruh tanpa bisa di cegah."Erick membatalkan pernikahanmu. Dan dia akan menikahi Alice!"DuarrrMasih belum mampu menjawab pertanyaan papanya, Ibu tirinya membuka suara yang membuat hatinya patah dan hancur berkeping-keping!Saat malam sudah semakin larut, Aurora belum bisa memejamkan kedua matanya dengan rapat. Dia terus membolak-balikkan badan diatas ranjang didalam sebuah kamar hotel yang telah dipesan untuk satu malam. Sedangkan Jeffry juga memesan satu kamar disebelahnya, Jeffry pendatang baru yang tentu saja belum terlalu mengenal kota Ivaly yang besar. Aurora memikirkan Philip, Pria itu sekarang sedang marah, Philip bukan orang sembarangan yang bisa melakukan apapun sesukanya. "Kamu satu-satunya keluarga mama sekarang. Maafkan mama hampir saja mencegahmu datang kedunia." Lirihnya seraya mengusap perut dengan perasaan amat bersalah. Sekarang dia berjanji akan menjaga calon anaknya baik-baik, dan tidak akan membiarkan siapapun melukainya ataupun membahayakan nyawanya. Pagi hari menjelang, Aurora sudah bersiap-siap untuk meninggalkan kamar. Ketika membuka pintu, dia berpapasan dengan Jeffry yang akan menghampirinya. "Selamat pagi, Aurora." Sapa Jeffry tersenyum. Senyumnya manis ditambah wa
Philip masih marah atas kejadian tadi. Seharusnya Aurora menepati janjinya, namun gadis itu rupanya tidak bisa dipercaya. Flashback on! "Aku mohon, anak ini tidak bersalah apapun. Jangan menghukumnya! Dia berhak lahir kedunia..." Aurora bersimpuh dibawah seraya menangis untuk nyawa calon anaknya. Kedua tangan Philip mengepal kuat, matanya menyala tajam seakan ingin menghancurkan apapun. Dia seperti iblis yang sedang marah, sampai Aura disekitarnya ikut terasa mencengkam menakutkan. "Aku nggak menginginkan apapun darimu, tuan. Pernikahan ini memang salahku, tapi anak ini... dia keluargaku satu-satunya. Aku mohon... Izinkan dia tetap hidup!" Aurora terisak-isak mengatakannya. Dia terus memohon agar Philip luluh, dia tidak perduli lagi grup Adelina ataupun Philip. Sekarang Aurora hanya menginginkan anaknya hidup. Meski anak itu akan terlahir tanpa seorang ayah. "Kau..." Philip menahan nafasnya lalu mendorong pundak Aurora menjauhi kakinya hingga Aurora jatuh. "Pergi dari s
"Menurutmu, kenapa Aurora bisa menikah?" Didalam mobil, Erick bertanya. Alice yang menunduk fokus pada ponselnya seketika menengadahkan kepalanya, "Mana aku tau. kenapa memangnya? Jangan pernah lupa kalau kita sudah menikah, Erick Axelio!" Ketus Alice dengan kesal. ia benci seseorang yang terus menanyakan saudara tirinya, terlebih Erick suaminya sendiri yang notabennya merupakan mantan kekasih Aurora. Erick mendecih lalu menyahut, "Aku hanya bertanya. Apa itu juga salah?" "Salah! Karena kamu sekarang sudah menikah! Jadi, jangan coba-coba mencari tau informasi apapun tentang Aurora atau gadis lain!" Ancam Alice. "Ya, baiklah sayang. Jangan marah-marah. Alangkah baiknya kita kepusat perbelanjaan untuk menyenangkan hatimu." Hibur Erick mengalihkan perhatiannya. Sifat Alice dan Aurora itu jauh berbeda. Mereka memang sama-sama punya pendirian kuat, tapi Aurora mudah diluluhkan dan dikendalikan, berbeda dengan Alice yang harus mengendalikan dan mendominasi. Kalau tau begitu,
"Apa kamu bilang?" Kedua bola mata Philip membulat tajam, dia mendekati Aurora mencengkram rahangnya kuat. Tidak ada yang boleh bermain-main dengan Philip Mayer! Siapa Aurora? berani sekali mempermainkannya! "Katakan sekali lagi!" Bentak Philip, suaranya menekan dan membuat Aurora ketakutan. Hasil USG-nya bahkan jatuh, kedua tangannya berusaha mendorong tangan Philip yang sangat kuat. Tenaganya kalah, wajah Aurora merah dan kehabisan oksigen. "Ka mu...A ku.. ti dak, bi sa ber nafas!" dada Aurora kembang kempis. Philip yang belum puas terpaksa menarik tangannya, Aurora langsung terbatuk dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Jangan pernah bermain-main denganku!" Bentak Philip mengancam. Aurora tidak mampu melawan sekarang, tenaganya kalah, dan dia pasti kalah melawan pria berkuasa seperti Philip Mayer. Tidak berselang lama, pintu ruangan terbuka, muncul dokter Brave dan perawat serta Louis. "Nyonya, mari ikut kami keruang tindakan!" Perawat membantu merapikan pakaia
"Panggil suster dan bawakan obat P3K untuk mengobati lukanya!" Philip memberi perintah terhadap Louis. Louis menjalankan tugasnya baru dia memindahkan mobil milik Philip keparkiran mobil. Aurora dibawa kekursi stainless diruang tunggu lalu mereka duduk disana menunggu suster yang datang. Bukan hanya siku, tapi beberapa bagian kaki juga lecet. Setelah perawat pergi, nama Aurora dipanggil untuk segera memasuki ruang pemeriksaan. Aurora harus menjalani serangkaian pemeriksaan terlihat dahulu, untuk memastikan bagaimana kondisi janin yang tumbuh dirahimnya. Seluruh tubuhnya merasakan ketegangan, keringat dingin menetes saat seorang dokter menyuruhnya berbaring diranjang pemeriksaan untuk melakukan USG. Bukan hanya dokter, ada juga dua perawat yang membantu lalu Philip dan Louis menunggu diluar ruangan. "Permisi nyonya, saya akan mengoleskan gel diperutmu..." Izin perawat. Aurora mengangguk ragu, suster mengeluarkan kemejanya dari dalam rok span hitam pendeknya lalu membuka
Aurora sesungguhnya merasakan sakit di pinggulnya karena jatuh tadi. Tapi dia tidak sudi ditolong oleh Erick. Sedangkan ibu itu menggendong anaknya yang menangis karena ketakutan. Erick masih menawarkan diri. dia baru akan sedikit membungkuk, namun tiba-tiba saja bahunya ditahan seseorang. Seketika Erick menoleh dan langsung mendapatkan tatapan tidak mengenakkan dari pria disampingnya. "Tidak perlu repot-repot mengotori tangan anda untuk menolong istri saya, tuan muda Axelio!" Philip berkata pelan dan menekan. Philip mengulurkan tangannya kehadapan Aurora yang tercengang melihatnya, "Ayo sayang..." Philip berkata pelan. Seolah dia sungguh mencintai Aurora. Nada bicaranya yang lembut seolah memang dia sangat perhatian sebagai suami. Aurora tidak bisa berdiri. Dia menengadah keatas lalu menggeleng pelan, keningnya yang mengerut serta bibirnya yang sedikit terbuka, sudah membuktikan dia menahan sakit. Philip menyadarinya bahkan melihat kemana tangan istrinya yang terus mendek