Share

14. Rasa

🍁🍁🍁🍁

"Eh, Ri, by the way, lo sadar nggak sih, Davin bikin lo jadi mikir gitu buat nggak jadi tim rebahan seumur hidup lo?"

"Maksud lo?"

"Ya dia bikin lo jadi lebih dewasa aja gitu. Iya nggak, sih? Gara-gara mulut nutrijelnya Davin yang lemes, lo akhirnya rela ngebanting harga diri lo buat nyari kerja. Padahal, Davin kan udah ngasih lo apapun yang lo butuhin."

Kaori mengangguk dengan bibir mencebik. "Gue ngerasa hati gue sakit banget waktu dia bilang gue tuh kebiasaan dimanjain dari kecil, jadi nggak tau rasanya susahnya nyari duit itu gimana."

Putri tertawa. "Tapi, bener kan apa yang dia bilang?"

Kaori melirik Putri dengan sinis, kemudian mendecih. "Ya bener, tapi nggak harus gitu juga dong. Tau gue baperan, ya nangis-nangislah denger dia ngomong gitu. Akhirnya, gue bulatin tekad gue buat nyari kerja. Pokoknya gue harus kerja!"

"Nah! Itu dia. Lo termotivasi oleh kata-katanya Davin, makanya lo semangat nyari kerjanya. Itu artinya apa? Davin bisa bikin lo berubah jadi lebih baik."

"Nggak setuju gue. Bukan dia yang bikin gue berubah, tapi emang atas kemauan gue sendiri."

"Ya udah, ya udah, terserah lo deh. Pulang, yuk! Gue udah bau banget nih seharian jalan melulu."

Kaori mendesah. "Ya udah, yuk!"

Keduanya lantas beranjak. Ketika mobil mereka keluar menuju jalan raya, sebuah mobil berwarna hitam yang dikemudikan oleh Davin melintas. Davin membuang wajah ke arah lain ketika Kaori baru saja menaikkan kaca mobilnya.

"Ke mana sih tuh anak?" gumam Davin khawatir.

***

"Kebiasaan banget sih lo pulang malem-malem? Lain kali, bawa kunci cadangan dong! Kan gue nggak perlu bangun buat bukain pintu!" semprot Kaori pada saat dia membuka pintu.

Davin mendengus kemudian masuk ke rumah dengan wajah masam. "Pulang jam berapa lo?"

"Jam delapan," jawab Kaori sambil menutup pintu.

"Kenapa lo nggak angkat telpon gue? Pesan gue juga nggak lo balas. Lo ke mana aja seharian? Ngapain aja?"

Kaori melipat tangan di dada. "Gue cari kerja. Kan gue udah bilang sama lo."

"Seharian?"

"Iya, kenapa?"

"Dapat apa enggak?"

"Enggak."

Davin mendengus, kemudian menatap Kaori lekat-lekat. "Gue pulang tengah malam gini lo tau buat siapa? Buat lo! Gue nyariin lo ke mana-mana! Tapi, ternyata lo udah di rumah dari jam delapan tadi dan lo nggak ngabarin gue sama sekali? Punya perasaan nggak, sih?"

Kaori mengerutkan dahi. "Lo nyari gue? Kenapa? Gue kan bukan anak kecil. Gue tau jalan pulang. Lagian tadi itu gue pergi sama Putri."

"Ya apa salahnya sih lo ngabarin gue? Lo itu tanggung jawab gue! Kalau ada apa-apa sama lo, gue yang harus tanggung jawab!"

"Nggak usah ngegas juga dong!"

Davin tampak menarik napas, mengembuskannya perlahan, seolah sedang berusaha keras mengendalikan emosinya. "Gue khawatir sama lo. Apa nggak bisa lo jawab telpon gue sekali aja? Gue cuma mau mastiin keadaan lo doang kok. Nggak lebih."

Davin kemudian beranjak menuju kamarnya, meninggalkan Kaori yang tampak tertegun mendengar ucapannya barusan.

Setelah Davin menghilang di balik pintu kamarnya, Kaori bergumam, "Serius dia peduli sama gue?

***

Davin merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, melepas lelahnya. Dia menghela napas, kemudian mengusap wajahnya frustasi. "Tuh cewek benar-benar, ya! Nggak tau orang khawatir apa?" gerutu Davin kesal.

Apa susahnya sih angkat telepon doang? Benar-benar menyebalkan. Kalau ada apa-apa, kan Davin juga yang akan repot. Tapi yang dikhawatirkan justru tak peduli, benar-benar payah.

Lagian aneh banget, sih? Kenapa juga dia harus peduli sampai segitunya dengan Kaori? Sampai mencarinya ke mana-mana pula sambil terus menelepon. Davin sudah seperti orang bodoh tadi, menanyai teman-teman kampusnya yang mungkin melihat Kaori. Akan tetapi, tak seorang pun dari mereka yang melihatnya. Mana Davin tahu kalau ternyata Kaori pergi dengan Putri. Kalau tahu, Davin pasti tidak akan secemas ini.

***

Keesokan harinya, seperti hari kemarin, Kaori sudah bersiap-siap untuk pergi mencari kerja. Hari ini, Kaori terpaksa pergi sendiri karena Putri katanya ada urusan kerjaan yang tidak bisa ditunda. Well, Kaori bisa mengurusnya sendiri. Hari ini, dia pasti akan dapat pekerjaan!

"Mau ke mana?"

"Cari kerja lagi."

"Nggak kapok sama yang kemarin?"

"Enggak."

Davin diam sejenak, sebelum akhirnya dia bersuara. "Gimana kalo lo kerja di coffee shop gue aja?"

"HA? Jadi apaan?"

"Nggak penting jadi apanya, yang penting mau kerjanya apa enggak?"

"Nggak mau! Nggak jelas. Lagian, gue nggak butuh dikasihani. Thanks." Kaori lantas melenggang, meninggalkan Davin yang mendengus melihatnya.

"Tinggi banget gengsinya," gumam Davin tak habis pikir.

***

Davin diam-diam mengikuti Kaori. Ke mana pun Kaori pergi, Davin mengikutinya dengan taksi online. Davin sengaja tidak memakai mobilnya karena takut Kaori akan curiga lantaran dia mengenali mobilnya. Davin melakukannya bukan tanpa alasan. Dia hanya takut Kaori kenapa-kenapa. Dia tidak mau disalahkan kalau sampai sesuatu terjadi dengan Kaori mengingat selama ini ke mana pun Kaori pergi, dia senantiasa diantar-jemput supir pribadinya. Kali ini, cewek itu pergi dengan taksi online, sendirian pula. Apa yang dikenakannya pun serba berlebihan. Bukan tak mungkin ada orang yang berniat jahat dengannya.

Davin meminta supir taksi berhenti begitu melihat Kaori turun di sebuah cafe dan seorang pria datang menghampirinya. Davin sempat menduga kalau pria itu adalah Kafka, ternyata bukan, melainkan Evan, teman SMA mereka dulu.

Selagi Davin mengamati keduanya dari dalam mobil, Kaori dan Evan tampak bernostalgia sesaat.

"Sumpah, gue nggak nyangka, Ri, bisa-bisanya lo nikah sama si Davin. Padahal, kalian itu kan nggak pernah akur dari lahir. Apalagi tuh ya kalo jam olahraga, main lempar-lemparan sepatu. Parah. Masih ingat nggak lo?" cetus Evan sambil tertawa-tawa.

"Ya namanya juga khilaf, gimana lagi." Kaori balas bergurau.

"Wah, wah! Seriusan khilaf?"

"Ya enggaklah. Kita berdua kan emang saling cinta," ucap Kaori, berusaha menahan diri untuk tidak membuat ekspresi muntah.

"Tapi gue salut sih sama Davin. Dia bisa bikin lo berubah jadi lebih dewasa gini. Sampe mikir mau kerja lagi."

Kemarin Putri, sekarang Evan yang bilang gitu. Masa sih ini semua gara-gara Davin?

Menanggapi ucapan Evan, Kaori terkekeh-kekeh. "Gimana? Gue diterima kerja nggak di sini?"

Evan mengangkat alisnya. "Lo yakin mau kerja di tempat kayak gini? Cafe gue nggak besar-besar amat, Ri. Jauhlah dari punyanya Davin."

"Yakin, yang penting gue digaji."

Evan mengulum bibir, seperti menimbang-nimbang. Selama ini dia mengenal Kaori sebagai cewek manja yang tidak suka kotor, berkeringat, apalagi capek. Hidup Kaori bak Putri Raja. Apa mungkin, dia sanggup menjadi pelayan di cafe sederhana miliknya?

"Gue nggak tau lagi mau cari kerja di mana, Van. Lo bilang lagi butuh orang, kenapa sih nggak gue aja?"

"Tapi, gajinya nggak gede, Ri."

"Nggak masalah, yang penting gue kerja."

Melihat kesungguhan di mata dan raut wajah Kaori, Evan akhirnya mengangguk setuju. "Okey, mulai besok lo kerja di sini."

Serta merta Kaori bertepuk tangan. "Akhirnyaaa gue dapet kerjaan. Thanks ya, Nyet!"

"Sama-sama, Nyet."

Keduanya lantas tertawa, dan kembali bercengkrama.

Sementara itu, di dalam mobil, Davin merogoh ponselnya, mengirimkan sebuah pesan pada Kaori, berpura-pura tidak tahu dia sedang ada di mana, padahal sejak tadi Davin ada di dekatnya.

[ Di mana lo? ]

Kaori : [ Nyari kerja.]

[ Gimana? Dapet nggak? ]

Kaori : [ Yes, gue dapet kerja 😏. ]

Davin tersenyum, dan membalas lagi.

[ Baguslah. Selamat, ya. ]

Meski Kaori tidak membalas pesan terakhirnya, Davin cukup senang karena Kaori akhirnya mendapatkan pekerjaan meskipun bukan pekerjaan yang dia harapkan. Ya, segala sesuatu itu memang harus dimulai dari nol, bukan? Setidaknya, Kaori akan tahu seperti apa susahnya mencari uang sehingga dia bisa lebih menghargai arti sebuah jerih payah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status